Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Refleksi Penelitian Etnografi: “Membaca” Ambivalensi

author = Franceline Anggia

Imagine yourself suddenly set down surrounded by all your gear, alone on a tropical beach close to a native village, while the launch or dinghy which has brought you sails away out of sight

Malinowski, 1987:4

Ungkapan tersebut merupakan deskripsi awal Malinowski, seorang etnografer Eropa yang melakukan kerja penelitian etnografi di kalangan masyarakat Kepulauan Trobriand, kira-kira satu abad yang lalu. Bagi saya, deskripsi Malinowski yang terlewat lampau itu tetap menghadirkan sensasi rasa yang relevan, paling tidak sampai terakhir kali saya melakukan penelitian etnografi setahun lalu. Dari deskripsi singkat itu, Malinowski berhasil melahirkan nuansa reflektif yang personal untuk saya. Dari ungkapannya, hadir suatu pengalaman ‘keterasingan’ yang bangkit dari jarak terbentang: antara realitas yang biasa peneliti hayati sehari-hari dengan realitas berbeda yang dihidupi oleh subjek yang diteliti.

Deskripsi singkat Malinowski juga menghadirkan rasa ‘berjarak’ (sense of detachment) yang lazim dari kerja penelitian etnografi yang pernah saya tempuh maupun yang pernah saya alami melalui proses membaca. Baik disadari atau tidak, ke-berjarak-an kerap melahirkan frustrasi, kegelisahan, bahkan kesepian yang menyeruak, seiring “perahu yang membawamu pergi perlahan sirna dari pandangan matamu”, ungkap Malinowski. Secara pribadi, saya menganalogikan perahu Malinowski sebagai realitas sehari-hari peneliti yang sudah dikenal akrab: memberi rasa aman dan stabil, kemudian perlahan dibenturkan oleh kompleksitas realitas subjek peneliti yang amat berbeda.

Menyoal Isu Buruh Perempuan

Sebagai mahasiswa jenjang S1 pada awal tahun 2019 lalu, saya memperoleh kesempatan penelitian mengenai perempuan buruh industri tekstil dan produk tekstil di Yogyakarta. Penelitian ini merupakan bentuk kerja sama riset Departemen Antropologi UGM bersama Department of Development Studies, University of Agder, Norwegia. Pengalaman ini merupakan pengalaman penelitian pertama saya mengenai buruh perempuan. Tema buruh langsung membuka laci-laci pikiran saya yang diisi oleh lembar-lembar narasi ‘besar’ mengenai buruh perempuan. Layaknya mesin, sekejap saya langsung ingat wajah bapak berkumis tebal bernama Marx selain mengingat pula ketimpangan struktural yang kerap mewarnai relasi buruh dengan si pemberi kerja. Narasi mengenai stereotip gender, ketidakadilan sistem upah, ‘beban’ ganda perempuan, hanya sebagian dari tema-tema besar lain yang telah mengisi rentetan kajian mengenai buruh perempuan. Dalam benak saya saat itu, buruh perempuan merupakan subjek rentan: terutama dalam relasi industrial maupun relasi patriarkis yang melingkupi kehidupan sehari-hari buruh perempuan. Dengan kata lain, segala pengetahuan yang terakumulasi dalam benak saya membangun suatu cara pandang yang menempatkan buruh perempuan sebagai subjek yang amat problematis pada awalnya. 

Ketika perjalanan penelitian etnografi saya lakoni, saya sempat berjumpa dengan dua buruh perempuan: Ibu Rifka (37) dan Ibu Irawati (38) (bukan nama sebenarnya) yang sama- sama berkecimpung dalam industri produk tekstil. Ibu Rifka merupakan buruh jahit borongan di sebuah pabrik garmen di Berbah, Kabupaten Sleman. Sebagai buruh borongan, upah yang diperoleh ditentukan menurut jumlah satuan hasil pakaian yang diproduksi. Dalam sehari, Ibu Rifka mampu memproduksi 50 hingga 70 potong pakaian kaos. Kaos dihargai sebesar Rp3.000,00-Rp8.000,00 sementara kemeja jatuh pada kisaran Rp13.000,00-Rp22.500,00 dengan waktu produksi lebih lama. Berbeda dengan Ibu Rifka, Ibu Irawati merupakan buruh jahit tetap di sebuah pabrik sarung tangan. Setiap bulannya, ia mendapat gaji setara dengan UMK Kabupaten Sleman. 

Sebagai perempuan yang sudah menikah dan memiliki anak, Ibu Rifka dan Ibu Irawati sama-sama menjalankan dualitas peran yang amat strategis: menjadi perempuan pekerja berbayar sekaligus bergelut dengan kerja-kerja reproduktif dalam domain domestik. Meskipun dalam tataran ideologis (de jure), keduanya sama-sama mengakui bahwa laki-laki/suami merupakan kepala rumah tangga utama yang menjadi garda terdepan mencari nafkah. Persinggungan perempuan dengan domain privat (domestik) dan domain pasar (market) acapkali dinarasikan sebagai realitas yang juga problematis: perempuan dihadapkan pada keterbatasan ruang gerak karena dualitas peran itu. Cara pandang ini pula yang tanpa sadar saya bawa, setidaknya sebelum saya berjumpa langsung secara personal dengan buruh perempuan. Dengan perlahan saya mencoba mengetahui, apa sebenarnya harapan di balik jalan kerja menjadi buruh? Ibu Rifka, contohnya, mengekspresikan harapan kerja dengan demikian:

“Lumayan Mbak, (penghasilan pabrik) bisa buat jajan anak-anak. Jadi, nggak minta suami terus. Kan malu kalau minta melulu. Lagipula, jahit sudah jadi hobi saya. Saya bingung dan bosan kalau di rumah, mending kerja aja” (wawancara 8 Februari 2019). 

“Kalau bisa saya pengen punya mesin jahit sendiri di rumah. Bisa kerjain kerjaan pabrik sambil urus anak” (wawancara 17 Februari 2019)

Sementara itu, Ibu Irawati menerjemahkan harapan kerja dengan senada sekaligus berbeda pada saat yang sama:

“Kan perempuan ya suka beli make up, (dan) sepatu. (Saya) malu kalau minta uang suami. Minimal saya kerja lah, Mbak, untuk jajan anak-anak juga” (wawancara 10 Maret 2019). 

“Saya pengennya jadi ibu rumah tangga aja. Tinggal melayani suami kalau dia pulang kerja. Pengen bisa antar-jemput anak sekolah. Nggak perlu kerja seharian di pabrik jadi kuli…” (wawancara 10 Maret 2019)

Rasa malu merupakan ekspresi yang sangat dominan ketika Ibu Rifka dan Ibu Irawati menerjemahkan kepentingan kerjanya. Bagi saya, ungkapan keduanya sama-sama menunjukkan suatu sikap mendua: Ibu Rifka maupun Ibu Irawati mengamini bahwa laki-laki- yang diwakili suami-merupakan penanggung jawab utama mencari nafkah. Namun, keduanya toh sama-sama merasa malu apabila tidak menghasilkan upah. Pada akhirnya, persetujuan ideologis itu tidak sejalan dengan praktek sehari-hari (de facto). Kerja produktif, yang kerap diasosiasikan dengan pencarian upah, tidak semata-mata jatuh di tangan laki-laki. 

Tentu saja, tantangan ekonomi rumah tangga merupakan salah satu alasan di mana kerja menjadi buruh ditempuh dengan sadar. Tak hanya itu, saya mengamati bagaimana jalan kerja sebagai buruh justru memperoleh makna melalui keterhubungan eratnya dengan kerja reproduktif yang dianggap inheren bagi perempuan. Kerja reproduktif yang diekspresikan itu adalah memenuhi kebutuhan anak dalam rumah tangga. Dalam konteks ini, jalan kerja menjadi buruh turut tampak menjadi suatu mekanisme untuk bertahan hidup secara sosial: sebagai jalan pengayaan identitas perempuan yang sudah menikah dan memiliki anak yang harus dipenuhi kebutuhannya. 

Dengan status gender, latar belakang ekonomi, status kerja, serta latar belakang rumah tangga yang serupa, Ibu Rifka dan Ibu Irawati ternyata memberi nilai yang sungguh berbeda atas status kerja mereka sebagai buruh. Ibu Rifka tetap ingin kerja jahit sembari mengurus anak di rumah. Kesempatan bekerja dianggap sebagai sebuah keistimewaan: hitung-hitung bisa menjadikan hobi jahit sebagai kegiatan yang mendatangkan upah. Lain halnya dengan Ibu Irawati yang ingin menjadi ibu rumah tangga tanpa perlu bekerja menjadi buruh. Dari ungkapannya, terasa ada devaluasi terhadap status kerjanya sendiri yang diekspresikan melalui kata ‘kuli’. Ekspresi ini merupakan buah kesadaran terhadap suatu otoritas yang lebih besar di luar dirinya sendiri: suatu otoritas yang membatasi dirinya untuk menuntaskan tanggung jawab domestik yang dianggap inheren. Kesadaran ini ternyata turut dibentuk oleh modal sosial yang Ibu Irawati miliki melalui sepak terjangnya dalam serikat pekerja. Sementara bentuk modal sosial semacam ini tidak dialami Ibu Rifka. 

Kepingan kisah tersebut hanya sebagian kecil saja dari lembaran kisah lain yang justru menghantam bangunan pengetahuan saya sebelumnya. Pada akhirnya, dengan perlahan saya menyadari bahwa jalan kerja menjadi buruh tidak pernah cukup dipandang secara hitam dan putih. Buruh perempuan bukan merupakan kelompok sosial yang homogen: di sepanjang jalan kerja yang ditempuh, terdapat interkoneksi kompleks antara status gender, latar belakang rumah tangga, kelas ekonomi, hingga pengalaman sosiologis serta proses mental yang berbeda di balik status kerja yang sama. Melalui pengalaman penelitian ini, saya menjumpai kisah- kisah personal yang kerap terhimpit di antara narasi-narasi besar mengenai buruh perempuan. 

Baru kemudian saya tersadar bahwa bingkai problematis yang selama ini saya bawa mengenai buruh perlu ditempatkan dengan amat hati-hati. Tanpa disadari, akumulasi pengetahuan serta posisi saya sebagai peneliti acap kali menciptakan ‘ke-berjarak-an’ yang membuat saya merasa begitu asing. Mungkin, ini pula yang turut dirasakan Malinowski saat itu: sebagai seorang etnografer Eropa dengan segala pengalaman serta bayangan akan ‘kemajuan’, dihadapkan pada realitas orang-orang Trobriand yang amat berbeda. Ketika keterasingan itu tercipta,

“you cannot help but compare all you see, hear and feel against the accumulated total of your previous experiences. Like all humans, you make sense of what you learn through contrast and comparison”

Blasco dan Wardle, 2007:13

Proses membandingkan, menimbang-nimbang, juga rasa gelisah adalah perjalanan yang ‘valid’ ketika proses penelitian etnografi dilakukan. Dari pengalaman itu pula, lahir sebuah inspirasi penelitian baru kemudian, saya menghadirkan suatu penelitian yang seimbang sekaligus adil bagi buruh perempuan? Dengan tidak semata menegaskan kerentanan buruh melainkan pertama-tama memandang buruh perempuan sebagai subjek aktif atas hidupnya sendiri. Sebagai buruh perempuan yang tidak lepas dari jerat relasi industrial maupun relasi sosio-kultural yang berkelindan, saya tak ingin mengabaikan kemampuan buruh perempuan membaca peluang, kemampuan membahasakan sendiri peran kerja yang dijalani, atau mungkin kemampuan bermain-main di antara celah-celah sistem yang telah mapan. 

Kajian-kajian terhadap buruh perempuan yang berorientasi pada subjek tentu bukan tidak ada. Salah satunya, jalan kajian itu dilebarkan oleh Suryomenggolo (2012) yang menganalisis pembelaan Ida Irianti: seorang buruh perempuan sekaligus kepala serikat pekerja PT Sinar Sosro. Lebih dari sekadar naskah politik, pembelaan Irianti merupakan cara buruh perempuan menerjemahkan pengalaman kerjanya sendiri. Konteks pembelaan Irianti ini luar biasa bukan saja karena dilakukan di tengah kebijakan ekonomi Orde Baru yang korporatif namun juga, keterlibatan perempuan dalam serikat masih merupakan sebuah kelangkaan saat itu. Corak karya Saptari (2008) yang membahas serangan buruh PT Mayora juga demikian adanya: terdapat kelompok buruh perempuan yang bahkan menjadi free rider. Mereka mampu membaca peluang keuntungan kerja tanpa perlu terlibat demonstrasi melawan korporasi yang menindas. 

Tentu saja, segala pengetahuan dan pengalaman yang dibawa sebagai peneliti adalah realitas yang sah. Namun, saya menyadari perlunya suatu proses reflektif panjang untuk menyadari bahwa realitas itu pada akhirnya dapat pula menjadi bumerang. Dibutuhkan suatu proses belajar yang panjang untuk lagi-lagi memahami bahwa sebagai peneliti, kita pun dapat terjebak dalam sebuah menara gading yang tidak kita sadari ketinggiannya.

Referensi
Blasco, Paloma Gay Y. dan Huan Wardle. 2007. How to Read Ethnography. New York: Routledge
Malinowski, Bronislaw. 1987. Agronauts of the Western Pacific: an account of native enterprise and adventure in the archipelagos of Melanesian New Guinea. London: Routledge
Saptari, Ratna. 2008. The Politics of Workers’ Contention: The 1999 Mayora Strike in Tangerang, West Java dalam International Instituut voor Sociale Geschiedenis, pp. 1-35
Suryomenggolo, Jafar. 2012. Factory Employment, Female Workers’ Activism, and Authoritarianism in Indonesia dalam Critical Asian Studies, 44:4, pp. 597-626