Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Perempuan dari Ampenan: Skenario Panjang Puisi Kiki Sulistyo

author = La Ode Gusman Nasiru

Judul yang saya terakan hampir tidak pernah saya bayangkan memiliki nada yang begitu rupa. Ada kekhawatiran yang cukup mengganggu demi menoleh kembali kepada judul termaksud, apakah ia punya korelasi yang ketat dengan keseluruhan pembahasan atau hanya akan jadi gula-gula yang saya tempatkan sebagai nama tulisan. Setelah saya amati sekali lagi produk ketidaksadaran itu saya akhirnya meraba ulang dorongan apa yang membuat saya tiba-tiba begitu saja mengkreasikan judul untuk tulisan sederhana ini.

Harus saya akui keseluruhan objek pengamatan menjadi kekuatan yang cukup dahsyat mendorong saya sampai pada alternatif tersebut. Satu hal yang mengikat preferensi saya dan sehimpun puisi Kiki menjadi simpul yang sangat erat, tidak dapat saya pungkiri, berasal dari strukturasi ritme. Penyair mengkondisikan ritme sebagai peranti paling menonjol dari tipografi yang ia ajukan ke haribaan pembaca.

Ritme puisi-puisi Kiki dalam antologi Di Ampenan Apa Lagi yang Kau Cari, selanjutnya kita singkat AAKC, dirakit dalam skala yang amat terjaga intensitasnya. Beberapa terasa sangat ketat dan nyaris matematis, semisal kata menggema, mangga, manca, yang disusun dalam satu bait dalam rumah ladang paman, puisi yang sekaligus menyinggung nama Ida untuk pertama kalinya. Ida adalah perempuan yang menjadi pusat rotasi dalam antologi Kiki. Pembahasan mengenai ini akan diperikan pada bagian-bagian selanjutnya.

Di puisi yang sama, Kiki juga menjejalkan baris rentetan kata yang menang sesaat senang. Juga, lonceng makan siang berkeloneng di tengah ladang, batang-batang kurus kacang tanah membayang di panci rebus, bibi yang anggun bagai api unggun berdiri di kejauhan. Penyair hampir senantiasa memanfaatkan dengan intens kelompok bunyi nasal. Mungkin ia memang telah terikat dengan kata Ampenan yang ia baptis sebagai bagian dari judul antologinya. Kata ini memang berpotensi membayangi Kiki pada hampir semua puisi dalam buku ini.

Puisi-puisi Kiki yang banyak menarik manfaat dari aliterasi bernuansa sengau yang kental mengingatkan kita bagaimana efek eufoni bekerja membangun suasana sebuah puisi. Puisi lonceng makan siang adalah salah satu yang paling berhasil mereguk berkat dari efek ini. Pertautan antara isi puisi dan suasana yang coba digali melalui ritme anuswara semisal pernikahan dua entitas yang lantas melahirkan anak-anak yang sehat dan gemuk.

Kita segera dipeluk hangat suasana tengah ladang dengan sup kelinci dan ranum buah-buah mangga. Anda bisa saja beristirahat sejenak mengimajinasikan suasana yang sangat manis dan menyihir segenap indra, sampai akhirnya Anda dibuat melayang dengan fakta puisi tentang romansa jatuh cinta yang syahdu di tengah momentum santap bersama. Cinta yang terhidang sebagai batang-batang kacang dari panci rebus dengan aroma bunga matahari yang terkepul di udara.

Kalau boleh jujur, saya agak cemas membayangkan bagaimana pertautan rima dimainkan dengan terlampau kalkulatif bahkan sejak antologi ini dibuka oleh bait: dengan serat ampan ia panggil ikan-ikan/di tepi bahana pantai belum bernama/sesaat sebelum tiba pasukan perang/menabuh genderang dari seberang//. Saya segera membayangkan puisi-puisi selanjutnya akan dipaksakan Kiki memiliki style serupa. Benar saja, nyaris semua puisi memiliki gaya yang sama. Homogen. Penyair bertaruh dengan kepercayaan pembaca terhadap corak yang ia usung. Ia mungkin mencoba menawarkan garansi bahwa audiens tidak akan kecewa dengan langgam demikian. Atau bisa juga, ia mungkin tidak peduli dengan itu semua.

Beruntungnya, energi Kiki tidak sia-sia. Permainan rima luar biasa melekat dalam ruang-ruang kesadaran dan ketidaksadaran saya sebagai pembaca. Ia seperti tentakel gurita yang menempel dan membuat saya nyaris tanpa sadar menuliskan judul yang berirama seperti yang sudah saya singgung di atas. Saya apresiasi keberanian dan keteguhan Kiki dalam hal ini. Homogenitas bentuk yang disodorkan penyair justru memberi semacam suasana baru, ciri yang menjadi khas pada antologi terkaji. Tentu Kiki bukan orang pertama yang memfungsikan aliterasi dalam puisinya. Para pendahulunya, sebut saja Amir Hamzah sebagai penyair paling termasyhur, kerap mengefisiensi persajakan demikian. Anda boleh mengecek puisi Berlagu Hatiku dengan bait Bertangkai bunga kusunting/Kujunjungkupuja, kurenung/Berlagu hatiku bagai seruling/Kukira sekalini mengenyap untung.

Tidak. Saya hanya ingin menegaskan betapa Kiki memutuskan bersetia dengan topik stilistika yang ia usung. Tugas Kiki pada antologi-antologi selanjutnya menjadi jauh lebih berat. Ia harus membertimbangkan untuk bertahan dengan teknik yang sudah ia kuasai dan kembali bertaruh dengan ekspektasi pembacanya—yang telah mengenali cirinya, atau menemukan lagu baru demi menggapai selera pembaca dalam spektrum yang jauh lebih luas.

Karnaval Multikultural

Di muka telah saya singgung sosok Ida sebagai pusar gelombang di tengah samudra puisi Kiki. Saya ingin menyorot bagaimana Kiki memperlakukan Ida, atau apa urgensi Ida dalam sehimpunan puisi. Membahas Ida tentu menjadi pekerjaan paling berdosa jika saya tidak ikut menyertakan tiga nama lainnya, masing-masing dari mereka ialah Eva, Itje, dan Siau Lim. Kesemuanya perempuan yang singgah menggelitik ruang-ruang libidinal dalam hasrat biologis aku-puisi, dengan intensitas yang berbeda sesuai porsi yang dilekatkan penyair.

Eva adalah figur yang bisa kita jumpai dalam rumah abah husein. Di rumah ini aku-puisi kerap belajar mengaji. Menilik dari naming choice dalam puisi, bolehlah kita berasumsi bahwa Abah Husein masih memiliki darah keturunan Arab. Berangkat dari asumsi tersebut, bisa kita maknai bahwa Eva, sebagai anak atau paling tidak anggota keluarga Husein, juga berdarah Arab. Sampai di sini kita bisa mendudukkan Eva sebagai perempuan turunan Timur Tengah yang parasnya (mampu) membuat panas saraf remaja (aku-puisi).

Selanjutnya Itje. Ialah karakter untuk perempuan yang eksis dalam itje dari belanda. Judul ini sudah cukup menuntun kita untuk memahami latar belakang rasial tokoh Itje. Di dalam sajak Itje melambai dari atas sepeda mini/berputar-putar di lapangan seperti mainan// (sehingga, aku-puisi memutuskan untuk) kutinggalkan Itje bersama sepeda mininya/aku tahu ia bisa pulang sendiri//konon ia pulang ke Belanda menemui ayahnya//. Itje digambarkan dengan cukup aktif melalui verba “melambai”. Ironisnya, aku-puisi malah meninggalkannya.

Seperti Itje, Siau Lim yang sekaligus menjadi judul puisi dalam siau lim juga mudah ditebak berasal dari nenek moyang kebudayaan macam apa tokoh kita kali ini. Dibanding Eva dan Itje, Siau Lim jauh lebih pasif. Ia jarang keluar bermain//Siau Lim seperti kota ini/pucat dan kesepian//. Karakter yang nyaris tidak menawarkan apa-apa dalam masa remaja aku-puisi yang menggelegak dan terdesak tuntutan-tuntutan biologis.

Menarik menerawang bagaimana perempuan-perempuan hadir sebagai kompartemen dalam sehimpun puisi terkaji. Dari keempat perempuan yang saya sebutkan, dengan Ida salah satunya, hanya Ida yang benar-benar menjadi “racun” bagi aku-puisi. Kiki setidaknya menulis delapan puisi yang berbicara tentang Ida dan segala hal yang melekat dengannya. Tentang bagaimana pinggul Ida, rambutnya yang membius, dan tentang bagaimana relasi mereka dikonstruksi demikian dramatis.

Dramatisasi aku-lirik dengan Ida sudah disinggung Afrizal Malna dalam epilog AAKC. Pertalian kedua karakter dikreasikan dalam hubungan inses. Dari delapan sajak dengan Ida sebagai topik, tiga di antaranya yakni ramalan sirih pinang, anjing merah, dan ampenan, ke mana aku kan menjelang secara eksplisit menyebutkan tabu dari relasi seksual. Puisi pertama mengangkut dua gatra kunci yakni aku dan Ida akan jadi kisah terlarang//kami sebenarnya sedarah yang lama terpisah//. Puisi selanjutnya juga membonceng dua anasir sentral yakni dan akar-akar cahaya membakar mata ibu kita//ruh ibu kita mengembara di atas sana//. Puisi terakhir, menegaskan apa yang sudah terangkum dalam puisi pertama, menuliskan aku kenang ida dengan cintanya yang terlarang// sebagai lokus inses yang telanjang.

Sementara itu, kelima puisi lainnya berfungsi sebagai penguat imaji inses yang didesain penyair dengan cukup rapi. Puisi-puisi itu berjudul rumah ladang paman; rambut merah ida; lonceng makan siang; sisir kayu; dan ida melihat komet. Kesemua puisi yang terakhir saya imbuhkan masing-masing memikul narasi tentang hubungan pertemanan yang awalnya murni tanpa tendensi seksual, sentuhan fisik pertama, kondisi spiritual jatuh cinta atas respons citra visual dari dada, rambut, dan pinggang, kondisi cemburu dan patah hati, dan khayalan hidup bersama yang utopis.

Setakat ini, belum ada teori yang mengklaim mampu keluar dari kesepakatan tabu inses. Berbekal motivasi dari orientasi atau perspektif yang beragam, ilmu pengetahuan sependapat bahwa inses adalah laku tercela dan terkelam—meminjam bahasa Freud—umat manusia yang harus dikontrol oleh norma sosial yang sangat kuat. Para ahli medis dan biologi sepakat bahwa keturunan perkawinan sedarah memiliki resiko ganguan genetik, mengarah pada proporsi cacat lahir yang lebih tinggi. Risiko kematian juga menjadi hantu bagi seumur hidup yang membayangi keturunan pelaku inses.

Menyoal dosa-dosa inses, sama tawarnya dengan sekadar mengamini “temuan” Afrizal pada motif seks sedarah yang sangat telanjang dalam puisi-puisi Kiki. Pembicaraan akan lebih bernilai bila akhirnya kita bisa menemukan makna di sebalik formula inses yang ditembakkan penyair dalam antologi ini. Kita mengambil jarak sejenak untuk mereka-reka hal besar apa yang coba disampaikan penyair lewat simbol-simbol tabu inses yang coba didramatisasi dan diromantisasi.

Perkara inses menjadi unik di tengah-tengah pertarungan ras yang disodorkan Kiki. Hampir tidak memiliki dasar, bila kita menganggap bahwa puisi Kiki berhenti sampai pada persoalan cinta-kasih. Berbeda halnya andaikata inses kita sorot sebagai simbol. Dengan begitu, akan kita temukan hal-hal baru sebagai konsekuensi makna simbol yang sungguh kentara.

Pertanyaan yang juga patut dipertimbangkan ialah hasrat apa yang sebenarnya sedang disembunyikan aku-puisi untuk memilih Ida di antara tiga perempuan lainnya yang dalam konteks keterkinian secara universal diyakini memenuhi standar-standar kecantikan. Dari manis wajah oriental, tegas dan wibawa bangsa Arab, hingga yang murni Kaukasoid dari Belanda, ras yang dinggap puncak segala ras di dunia. Kesejatian apa yang dimiliki Ida sekaligus tidak dimiliki Eva, Itje, dan Siau Lim, misalnya. Sebaiknya kita bersiap dengan kenyataan betapa inses hanya lambang belaka, atribut yang niscaya menjadi tangkup bagi esensi lainnya.

Rambut Merah Ida

Rambut adalah materi paling menonjol dalam puisi-puisi yang menginternalisasi wujud Ida di dalamnya. Anda bisa memeriksanya pada bagian-bagian berikut ini.

lalu rambutmu/kucium bagai kembang jepun//di antara mereka/kucium sepenuh dukacita/rambut merahmu, Ida//

(rambut merah Ida)

aku meraba rambutnya, merah-terang seakan baru terpanggang//

(ramalan sirih pinang)

sudah lama aku menduga merah pada rambut Ida/berasal dari bulu anjing yang suatu petang pernah bertandang//

(anjing merah)

pada merah rambut ida ia percaya, ada cerita yang masih rahasia//

(sisir kayu)

lembar-lembar september bergetar di rambutnya/rambut yang merah seperti terendam darah//Ida melihat komet, kini aku menulis sonet untuknya/untuk rambut merah dan hari-hari yang tak mudah//

(ampenan, kemana aku kan menjelang)

Kecenderungan Kiki terhadap individualitas Ida mengingatkan saya pada cerpen Kaki yang Jelita karya Agus Noor dan Tahi Lalat di Punggung Istriku karangan Ratih Kumala. Saya pernah membahasnya dalam kesempatan yang lain. Agus Noor menghadirkan kisah Kaka dengan kaki jenjangnya. Persona ini selanjutnya menemukan kemegahan individualitasnya di tengah para pengagum yang mendewakan kejenjangan itu. Kaki menjadi lokus seksual bagi Kaka.

Lokus seksual juga ditemukan di atas punggung tokoh istri dalam cerpen Ratih Kumala. Tokoh suami pada cerpen Ratih justru tergila-gila pada senoktah tahi lalat di punggung. Hal yang ingin saya tilik dari kedua cerpen itu ialah bagaimana pengarang merekonstruksi standar kecantikan yang—katakanlah melekat dengan erat di tas tubuh perempuan Barat atau ras Kaukasoid—selama ini memaksa perempuan di seluruh dunia untuk menjadi homogen dalam ciri fisik mereka.

Intensitas pemujaan aku-puisi terhadap rambut Ida bisa diidentifikasi memiliki warna serupa dengan standar-standar baru yang coba dikonstruksi Ratih dan Agus. Kiki sengaja menghadirkan lawan tanding bagi Ida. Perempuan-perempuan yang dikondisikan berasal dari tiga bangsa lainnya, Cina, Arab, Belanda, yang dianggap lebih unggul dibanding ras yang turut membentuk ciri fisik Ida. Bagaimanakah kita memahami pilihan aku-puisi yang kukuh menjalin cinta terlarang denga Ida dibanding membangun relasi seksual-emosional dengan tiga perempuan “unggul” lainnya? Perkara cinta terhadap Ida adalah kasus yang kelihatannya sia-sia; sudahlah inses, bukan dari ras unggul pula.

Mitos kecantikan membentuk konsep bahwa seolah kualitas yang disebut cantik benar-benar ada, secara objektif dan universal. Situasi itu selanjutnya menjelma sebagai sesuatu yang alamiah dan diperlukan karena bersifat biologis, seksual, dan evolusioner. Hal itu tidak sepenuhnya benar. Secara fundamental kecantikan juga ditentukan oleh sistem politik. Kecantikan bukan hal yang universal juga bukan bagian dari fungsi evolusi. Tidak ada legitimasi historis atau pembenaran biologis bagi patron kecantikan. Dengan begitu, dapat ditarik prinsip bahwa kecantikan merupakan kombinasi dari jarak emosional, represi politik, ekonomi, dan seksual.

Memahami bahwa kecantikan itu nisbi dan seterusnya tidak ada standar pasti dan ukuran yang jelas tentang wujud perempuan cantik, Wolf mendesain sebuah teori yang berasal dari keyakinan bahwa cantik itu mitos. Itulah mengapa kemudian lahir teori mitos kecantikan, underbow studi feminisme. Kreator Ida mungkin tidak membaca Wolf, tetapi ia telah secara sadar ikut meruntuhkan standar-standar kecantikan keterkinian yang terus merongrong dan dipaksakan melalui media massa, keyakinan, atau bahkan ideologi. Kiki meruntuhkan menara gading standar kecantikan dengan membangun benteng standar kecantikan yang baru. Mitos dilawan dengan mitos. Ia percaya, standar cantik tak lebih dari sebuah omong kosong.

Kecurigaan kita lantas punya alasan untuk merangsek kepada alasan macam apa yang coba diterangkan Kiki melalui pembentukan mitos di tengah gempuran standar dan patron yang lebih popular dan sudah punya nama. Korelasi macama apa yang coba diwacanakan penyair melalui upayanya yang begitu keras kepala mencintai saudaranya dan mengenyahkan hasrat bercinta dengan sesuatu di luar lingkarannya? Apakah ini hanya perkara pertarungan narasi eksogami dan endogami? Sepertinya, formulasi dari gagasan besar AAKC tidak berhenti hanya pada persoalan mitos kecantikan.

Pada subbagian ini kita telah berbicara tentang ras dan mitos kecantikan secara bersamaan. Fakta isu rasialisme yang diangkut penyair selanjutnya bisa kita asumsikan disulap menjadi kayu bakar dalam tungku pembuatan roti mitos kecantikan yang baru. Hal yang perlu kita garis bawahi ialah untuk apa standar ini penyair ciptakan? Pada bagian ini harusnya kita lebih jeli dan lebih dingin lagi meletakkan fokus analisis pada dasar ideologi Kiki Sulistiyo.

Resistensi. Kita bisa memulai babak baru perbincangan dengan kata tersebut. Resistensi menjadi landasan bagi Kiki untuk menegaskan asumsinya bahwa perempuan dari ras proto melayu sebagai ras terbesar yang mendiami pulau Lombok, lebih bergairah dan bernyawa dibanding Eva, Itje, pun Siau Lim. Eva yang turunan Arab terlalu alim dan malu-malu sementara Itje gadis Belanda dipandang terlalu bocah, tak punya hasrat, tidak mandiri, dan tidak otonom. Sama halnya Siau Lim yang bernasib sial. Oleh aku-puisi ia dinilai sebagai bocah yang benar-benar menyedihkan, tanpa kehendak menjalani hari-harinya dengan lebih bahagia, dengan bermain keluar rumah. Tidak heran, ia menjadi pucat tanpa gairah, persis mayat hidup dan tak mungkin diajak berkasih-kisah.

Bandingkan dengan nukilan larik berikut jakun di leherku mulai mengembang dan iseng sekali/memperhatikan dada Ida, anak paman yang berambut merah bagai/gadis manca//Ida berlari di depan/pinggangnya ramping seakan ceruk tebing/bau tubuhnya runtuh/seperti datang dari sebuah kota yang lama dilupakan orang//. Larik-larik ini saya kutip dari lonceng makan siang. Sebuah jalan penokohan bagi Ida yang punya energi besar dan antusiasme menghadapi hari-harinya yang cerah sebagai gadis Lombok.

Persoalan rambut Ida menjadi batu loncatan yang cukup sempurna untuk sekaligus menghantam persoalan fisik, sifat, dan mental dari lawan tanding Ida. Perempuan-perempuan yang tidak berhasil memuaskan hasrat aku-lirik akan pasangan yang tumbuh dari nyala api vitalitas, padat oleh gerak spiritualitas. Semangat perjuangan dan perlawanan terimplementasi dengan baik melalui pilihan warna yang diletakkan pada rambut Ida: merah.

Resistensi rasialisme ini hadir sekaligus untuk menegaskan keberpihakannya pada nasionalismenya dengan jalan mengingkari nasionalisme di luar kondisi kulturalnya. Pengingkaran ini bisa kita yakini sebagai bentuk rasa muak Kiki terhadap keunggulan teknik—atau kemajuan-kemajuan lainnya—yang selalu dipretensikan sejalan dengan keunggulan moral. Keunggulan yang seumpama menjadi hak bagi ketiga ras lainnya untuk memegang kendali kuasa sebagai bagian dari misi pengadaban.

Nasionalisme Kiki sekaligus bertujuan menangkal sikap-sikap negatif semacam inferioritas, pengkultusan terhadap segala budaya impor, dan upaya mengenyahkan mental inlander. Kiki tidak mendudukkan inses sebagai persoalan tabu seksual sedarah belaka. Insens selaik anak panah yang ia lesatkan demi menujah target yang kita sepakai sebagai rasisme. Pengingkaran standar kecantikan yang oriental, timur tengah, atau pun yang ke-barbie-barbie-an tidak berhenti pada upaya meruntuhan mitos, meliankan juga melegitimasi keagungan dan keunggulan budayanya. Upaya counter budaya impor yang cukup cerdas dilakukan Kiki melalui sehimpun puisinya.

Saya jadi terkenang bagaimana Paul Tickell berbicara tentang kekuasaan kolonial Eropa dan kesadaran kaum terjajah yang tidak paham tentang indikasi seperti apa yang harus diperbuat demi keluar dari mekanisme penjajahan yang bersifat mengatur, mendisiplin, dan menguasai. Namun demikian, masih menurutnya, perlu disangsikan apakah ideologi-ideologi kolonialisasi itu benar-benar berfungsi sebagai wacana yang berkuasa dan mencakup seluruh pendudukan jajahan. Persoalan ini, bila kita adapatasi dalam keputusan Kiki memilih karakter Ida sebagai partner seksualnya, pada gilirannya menjawab kegelisahan di atas.

Kiki tidak lagi berbicara dalam ruang kolonialisasi Eropa sebagaimana yang menjadi hantu sejarah bangsa Indonesia. Ia menggeser ruang penjajahan ini ke dalam partisi yang lebih riil terkait dengan persoalan dalam konteks keterkinian. Ketiga bangsa yang digambarkan Kiki yakni Arab, Belanda, dan Tionghoa masing-masing mewakili produk-produk impor. Arab dengan narasi agama gurun pasir, Belanda yang berdiri sebagai delegasi Barat atau western, dan Tionghoa yang menjadi lambang bagi kemakmuran dan seperangkat dominasi terhadap kantong-kantong moneter. Kiki menjadikan ketiganya sebagai representasi dari kolonial lantas menjawab apa yang menjadi kerasahan Tickell tentang “indikasi seperti apa yang harus diperbuat”.

Dalam Clearing a Space, Tickell menyebut Marco Kartodikromo melawan dengan bahasa melalui Matahariah, maka Kiki sejatinya menentang dengan cara yang cukup berbeda. Ia bertanding dengan senjata bernama inses yang selanjutnya berpendar melalui rambut dengan warna merah sebagai penanda keberanian, ciri fisik, mental, dan spiritual. Pembahasan sederhana ini selanjutnya bisa dijadikan landasan penelitian tentang mitos kecantikan atau nasionalisme dalam puisi-puisi mutakhir Indonesia.

Sumber Acuan

Fukuyama, Francis. 2005. Guncangan Besar Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru. (Masri Maris. Penerjemah). Jakarta: Freedom Institute.

Humm, Maggie. 2007. Ensiklopedia Feminisme. (Mundi Rahayu. Penerjemah.) Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2010. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sulistiyo, Kiki. 2017. Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari?. Yogyakarta: BASABASI.

Tickell, Paul. 2008. Cinta di Masa Kolonialisme, Ras dan Percintaan dalam Sebuah Novel Indonesia Awal. Dalam Keith Foulcher dan Tony Day (editor). Sastra Indonesia Modern Kritik Poskolonial, Edisi Revisi Clearing a Space. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Tong, Rosemarie Putnam. 2010. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. (Aquarini Priyatna Prabosmoro. Penerjemah.) Yogyakarta: Jalasutra. (Diterbitkan pertama kali tahun 1998).

Ulasan ini dipaparkan dalam Diskusi Sastra Nasional IV yang bertema “Mengenang Ampenan” di PKKH UGM, Kamis 27 September 2018, oleh La Ode Gusman Nasiru