Category: cerpen

  • Jiwa-jiwa yang Pergi

    author = Hadi Winata

    Pria berumur dengan kulit yang terbakar itu memandang jauh ke depan. Sejauh matanya memandang, hanya ada lautan biru yang membentang. Matanya seperti menyiratkan sebuah luka yang mendalam.

    Kedua tangannya diletakkannya di atas stir kapal. Sementara pikirannya terbang entah ke mana. Ia masih tak habis pikir bagaimana istri yang sangat dicintainya, yang telah hidup bersamanya selama belasan tahun—meski belum dikaruniani anak—itu tega mengkhianatinya.

    Berkelebat ingatannya tentang apa yang dilihatnya tiga hari yang lalu, di rumahnya sendiri. Matanya seketika memanas. Dan, beberapa jenak kemudian, melahirkan butir air.

    Ceritanya berawal dari sepuluh hari berselang, ketika ia pergi bersama rombongannya melaut. Ia adalah satu dari sekian banyak nelayan yang fokus menangkap ikan cakalang di kampungnya. Saat sebelum berangkat, ia berpesan kepada istrinya,

    “Doakan Kakak, Dik. Kita tak pernah tahu apa yang akan menimpa diri kita—Tuhan yang mengatur semuanya. Kamu baik-baik di rumah!”

    Pergilah ia melaut. Lautan luas nan lepas selalu menjadi harapan bagi para nelayan. Tak ada yang lain, hanya kepada lautlah mereka bergantung untuk dapat memenuhi kebutuan hidup keluarga.

    Suatu siang, saat semuanya tengah asyik menarik stik pancing masing-masing yang membuat ikan-ikan cakalang yang terkail terlempar ke belakang, ada seseorang dari mereka yang melanggar pantangan. Orang itu adalah orang yang baru pindah ke kampung mereka. Karena belum memiliki pekerjaan, ia meminta untuk diajak melaut. Tugasnya adalah melemparkan umpan-umpan.

    Orang itu mengucapkan kata terlarang. Yakni ketika ia melihat ikan cakalang yang dalam waktu hitungan menit sudah terkumpul begitu banyak, ketika itulah ia mengucapkannya. Sepertinya, ia tak memiliki maksud negatif. Tapi, mungkin karena sudah menjadi kebiasaan, ia menganggap kata-kata semacam itu hanyalah sebuah ocehan biasa yang tak memiliki makna berarti. Tapi apalah daya, setiap kata yang telah keluar dari mulut manusia takkan mungkin bisa ditarik lagi. Sementara kata maaf belum tentu diterima.

    Langit yang tadinya cerah tiba-tiba berubah menjadi gelap—mendung seketika. Ikan-ikan cakalang yang semula berkerumun di depan kapal, langsung pergi hingga tak menyisakan seekor pun. Dan, tak seorang pun dari nelayan-nelayan itu yang tak marah; mereka seperti ingin memakan hidup-hidup orang itu. Tapi tak ada guna, semuanya akan mati. Begitulah apa yang terjadi pada kapal-kapal nelayan lain yang melanggar pantangan.

    Para nelayan bingung. Mereka gelisah sehingga tidak tahu harus berbuat apa. Ketika itu, badai besar nan mengerikan tiba-tiba datang. Mata mereka terbelalak. Mulut mereka menganga.

    “Aku berlindung kepada Tuhan dari jin yang terkutuk—dari badai yang mengerikan ini.”

    Terjadilah!

    Kapal mereka dihempaskan oleh ombak setinggi lima meter yang sungguh mengerikan. Kapal mereka tenggelam seketika. Para nelayan terpisah satu sama lain. Masing-masing berusaha menyelamatkan diri sendiri.

    Pria dengan kulit terbakar itu ikhlas. Ia menyerahkan dirinya kepada penciptanya. Tapi, secara naluri, tentu saja setiap jiwa yang akan mati akan mencoba bertahan terlebih dahulu sebelum jiwa mereka benar-benar pergi. Demikian halnya pula dengan apa yang dilakukan oleh pria itu. Ia berenang sekuat tenaga demi mencapai permukaan. Namun badai baru saja datang, mustahil baginya untuk segera pergi. Langit gelap sepekat malam menyelimuti laut lepas itu. Pria itu tak tahu harus melakukan apa; yang bisa dilakukannya hanya satu: berserah diri. Namun jelas, berserah diri itu beda halnya dengan pasrah. Ia sadar kalau dirinya takkan mampu mencapai bibir pantai. Selain itu, ombak pun terus-menerus bergulung-gulung hebat. Maka dari itu ia putuskan untuk mencoba bertahan dengan mengambang. Ia serahkan dirinya kepada Tuhannya. Ia beranggapan, kalau Tuhan mengizinkan maka ia akan disampaikan ke bibir pantai menggunakan arus ombak yang sejatinya lebih patuh kepada-Nya. Bukan kepada jin ataupun penguasa laut lepas itu.

    Pelan namun pasti, ombak-ombak yang bergulung tinggi itu mengecil dan menjelma teman setia yang melindungi. Entah karena faktor keberuntungan atau karena sikap tawakalnya, ia sampai di bibir pantai di kampungnya.

    Pria itu terdampar semalaman. Waktu itu, kicauan burung-burung yang terbang di atasnya-lah yang membangunkannya. Kira-kira sekitar pukul tujuh pagi. Rumahnya—atau mungkin yang lebih tepat disebut gubuk—terletak di dekat bibir pantai. Dengan pakaian yang basah kuyup, ia bangun dan segera kembali ke rumahnya. Sementara langkah sempoyongan, tak terelakkan.

    Pagi itu orang-orang kampung yang melihatnya tampak heran. Namun, tak ada waktu untuk menjelaskan. Tenaga sudah habis. Tapi apa yang mau dikata, ketika ia sampai diambang pintu rumahnya, ia mendengar suara lelaki dan perempuan mendesah-desah kenikmatan.

    Pria itu tahu apa yang harus dilakukannya. Ia mengambil napas—mengumpulkan sisa-sisa tenaga. Dilihatnya ada kayu yang cukup besar tergeletak di sebelah kirinya. Diambilnya kayu itu. Emosinya menggelegak di ubun-ubunnya. Harga dirinya remuk seperti lebih dari diinjak-injak. Ini rumahku dan itu istriku, katanya dalam hati.

    Pria itu menyingkap tirai kamarnya yang kusam—yang memiliki banyak noda hitam. Dan benar! Ada sepasang lelaki-perempuan sedang bergumul kenikmatan, saling gigit-gigitan, tangan mereka mencengkam satu sama lain. Apa yang mau dikata, dua orang itu terdiam. Si perempuan yang tak lain adalah istrinya sendiri ketakutan. Sedangkan si lelaki terlihat terganggu. Ia terkejut, tapi cepat-cepat diubahnya raut mukanya menjadi marah. Lelaki itu benar-benar tak tahu diri, ia tak merasa malu sedikit pun karena telah bersenggama dengan istri orang. Dan bahkan, saat suami perempuan yang diselingkuhinya itu ada di hadapannya sendiri.

    Dialah Domo—preman yang ditakuti penduduk kampung. Namun, saat itu, sang suami sungguh tidak takut sedikit pun. Ini menyangkut harga diriku, istriku, dan rumahku yang dikotori, pikirnya.

    Domo yang masih telanjang bulat itu langsung turun dari ranjang. Sementara sang suami sudah siap dengan kuda-kudanya yang telah mantap. Tapi Domo langsung duduk dan menggenggam pasir (rumah itu masih beralaskan tanah yang berpasir). Ia langsung melemparkan pasir yang ada di genggamannya tepat ke arah mata lawannya. Sontak saja, si nelayan langsung kehilangan kendali. Karena takut akan diserang duluan, Domo mengambil pisau yang terselip di dinding papan rumah itu. Langsung saja, tidak tanggung-tanggung dan tanpa ampun sedikit pun ia menusuk si tuan rumah empat kali. Ternyata, mata sang nelayan sudah bisa terbuka meski baru sedikit. Seketika itu juga langsung dipukulkannya kayu yang ada di genggamannya tepat ke kepala Domo. Seketika itu juga Domo langsung jatuh tak sadarkan diri.

    Istrinya terus-menerus menjerit sejak tadi. Sementara pria itu memandang dengan tatapan yang sungguh murka terhadapnya.

    “Pelacur kau ini ternyata, May!” katanya sambil menunjuk wajah istrinya.

    Pria itu pergi meninggalkan rumahnya. Ia berjalan ke arah pantai dengan perut yang terus mengucurkan darah—telapak tangan kirinya dirapatkannya ke lubang tusukan itu. Ia takut kehilangan banyak darah. Sampai di bibir pantai ia berhenti, ia benar-benar telah kehabisan tenaga. Terlebih lagi karena nyeri yang tidak bisa dijelaskan akibat tusukan itu. Akhirnya, ia putuskan untuk duduk di bawah pohon kelapa. Ia harap akan ada orang yang melihatnya lalu menolongnya. Namun, sampai ia tak sadarkan diri di sana, tak seorang pun ada yang datang.

    Entah berapa jam ia tak sadarkan diri di pinggir pantai itu. Ketika bangun, ia langsung pergi meninggalkan kampung menuju laut. Ia ingin menenangkan pikirannya.

    Dan kini, ia tengah berada di atas kapalnya—dalam perjalanan pulang. Sudah tiga hari ia di lautan.

    Angin-angin laut menabrak wajahnya yang datar. Burung-burung beterbangan mencari makan bersama gerombolannya. Sementara air laut, tetap bergelombang seperti biasanya.

    Akhirnya ia sampai di bibir pantai; Ia turun dan meninggalkan kapalnya. Di atas pasir, sudah menunggu sebuah kereta dengan kuda bersayap warna putih bersama penunggangnya. Ia sudah ditunggu oleh penunggang kereta itu sejak tadi. Ia mendekat dan menaiki kereta itu.

    Kereta kuda itu berjalan, mulai terbang. Di pertengahan jalan, dari atas, pria itu melihat kalau ada rumah yang terbakar. Oh tidak, rumah itu adalah rumahnya. Dilihatnya pula, sepasang lelaki-perempuan lari terbirit-birit dari rumahnya menuju pantai. Dua orang itu terus berlari hingga tubuh mereka benar-benar hilang ditelan laut. Ia bingung, kalau yang tadi adalah istrinya dan Domo, lantas siapa dua orang yang seluruh kulitnya terbakar dan sedang dibopong oleh penduduk kampung di dekat rumahnya itu? Dan yang lebih mengherankan lagi, ia melihat seorang pria yang rupanya mirip sekali dengannya. Kulit pria itu hitam terbakar matahari. Tapi pria itu tak sadarkan diri. Tepatnya, pria itu duduk bersandar ke sebuah pohon kelapa di pinggir pantai. Sementara di sekitarnya, banyak bekas darah yang sudah mengering.

    Kereta kuda yang ditumpangi pria itu terus melaju. Terus terbang menuju tempat yang jauh.

     

    Diadaptasi dari puisi karya Hadi Winata, Jiwa-jiwa yang Hilang.

    Indralaya, 20-21 April 2017

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

  • It Snows Only Once In Our Dreams

    author = Hadi Winata

    Selamat malam, J, apa kamu sudah terlelap? Apa lampu sudah kamu padamkan, dan lupa mengisi daya ponselmu?

    Di malam panjang yang kurasakan begitu sepi ini, lagi-lagi aku merindukannya. Aku begitu merindukan pelukan hangatnya, ciumannya yang bertubi-tubi, dan perhatiannya yang begitu rupa. 

    “Sampaikan salamku untuk ibu dan ayah!” katanya.

    Aku mengangguk, dan berkata: tentu saja, pasti akan kusampaikan! Seraya meraih ransel hitamku yang penuh, tas biola, dan sebuah koper merah. Masih sempat kuamati raut wajah J hari itu—gelisah, sedih, dan seolah tak lagi mampu memandang diriku.

    “Ayo, cepat-cepat!” teriak sekuriti pelabuhan.

    Aku berjalan menarik hatiku yang seketika berat bagaikan sauh, mengikuti para penumpang lain yang ada di depan. Namun kepalaku masih juga berusaha menoleh ke arah J, mataku mencari-cari, tetapi ia tak tampak lagi.

    Di barisan antrian, ketika sedang menunggu petugas imigrasi untuk memberi cap keluar pada paspor, ponselku berbunyi. Panggilan masuk dari J. Ia bertanya apakah aku sudah sampai di dalam kapal dengan tangis yang pecah. Belum, kataku, sebentar lagi, dan tolong jangan menangis!

    J sudah berada di dalam mobilnya dan dalam perjalanan pulang ke apartemenr kami di sebuah tepian kota. Itu hanyalah sebuah apartemen kecil, kerap kali disebut orang-orang sebagai studio. Namun begitu, fasilitasnya lengkap dan mewah. Bisa kukatakan sangat cukup untuk kami yang belum memiliki keturunan.

    Kukatakan kepada J, “Bersabarlah! Aku tidak pergi untuk meninggalkanmu. Aku akan kembali dan kita akan mempunyai banyak anak. Aku mencintaimu.”

    Maka berangkatlah aku hari itu. Aku akan pulang ke kampung halamanku yang jauh dari kota ini. Aku duduk di kursi belakang paling pojok di sebelah kiri. Para penumpang masuk dan lalu-lalang mencari tempat duduk. Mesin kapal sudah hidup sedari setengah jam tadi. Para awaknya sibuk nan berisik mengatur barang bawaan dan karcis dan mesin di depan sana. Aku hanya diam. Kedua telingaku aku sumbat dengan earphones. Dan, ketika kapal mulai berjalan, mulai memecah ombak dengan mesin-mesinnya yang tajam dan menciptakan milyaran buih, meninggalkan kota itu beserta gedung-gedung tingginya dan segala kenangannya, sebuah pesan masuk. Itu dari J, kau tahu itu.

    “Hati-hati. Aku akan selalu merindukanmu!”

    “Terima kasih. Hatiku telah kutitipkan kepada kepala pelabuhan, dan akan kuambil kembali ketika aku datang lagi!”

    Beginilah nasib seorang perantau yang datang dari seberang. Sebagai pendatang, tentu kau memiliki batas waktu. Persis seperti kedatanganmu ke dunia ini—memiliki tenggat waktu pula, bukan? Aku harus pulang, setidaknya keluar. Jika tidak, statusku akan berubah menjadi illegal, dan polisi serta petugas imigrasi bisa menangkapku sewaktu-waktu. Aku bisa dikenakan hukuman penjara, didenda, bahkan dicambuk. Tentu saja aku tidak mau hal yang demikian terjadi kepadaku. Begitu juga dengan J, ia sangat mengkhawatirkanku dalam segala hal.

    Sesungguhnya ini bukanlah kali pertama aku berpisah dengan J. Maksudku, ini bukanlah kali pertama aku berpisah dengan J yang melibatkan jarak jauh dan waktu yang lama. Sebagai pendatang dari seberang, aku hanya diberikan waktu selama 23 hari di kota ini, di negeri ini. Maka setiap 23 hari itu pulalah aku harus pergi ke Batam selama satu malam dan baru bisa kembali ke pelukan J lagi.

    Akan tetapi, untuk kali ini, ialah berbeda sama sekali. Aku harus pulang. Tetapi bukan ke Batam, melainkan kampung halamanku. Aku dan J takkan berjumpa untuk waktu yang sangat lama.

    Hubunganku dengan J sudah melalui lima kali musim durian. Itu adalah waktu yang cukup lama. Dan, yang terpenting, kami saling mencintai.

    Aku bekerja sebagai waiter restoran di sebuah hotel bintang empat. Di sana, aku bekerja bersama orang-orang dari Filipina, satu-dua orang sebangsaku Indonesia, dan tentu saja orang lokal Malaysia. Aku tidak bisa menggunakan bahasaku selama bekerja, selain karena rekan kerja yang beraneka-ragam, juga karena tamu hotel yang banyak berasal dari Singapura, Australia, dan Eropa. Sementara J, ia orang lokal. Kerjanya baik, bahkan bisa dikatakan sangat baik. Ia bekerja sebagai officer di sebuah kantor kerajaan.

    Suatu hari, suatu bulan, suatu musim, ada wabah mengerikan yang jatuh dari langit. Kata orang, wabah itu jatuh di Wuhan, Tiongkok sana. Namun entah bagaimana wabah itu perlahan-lahan tapi pasti sampai ke kotaku.

    Alangkah buruknya dampak wabah itu. Seluruh bisnis diharuskan berhenti dan negara mengunci pintunya untuk siapa pun. Maka menganggurlah aku, seorang perantau tanpa pekerjaan di sebuah kota yang menjelma kota mati. Setiap makhluk tidak diizinkan keluar rumah barang satu langkah—bahkan kucing.

    Aku pergi kepada J. Sejak hari itu, kami tinggal bersama.

    Aku dan J selalu melakukan aktivitas bersama-sama, seperti mencuci baju, menjemur pakaian, masak, makan pagi-siang-malam, mencuci piring, mandi, menonton tv, mendengarkan lagu, dan tidur. Selepas wabah itu bisa sedikit diatasi dan kerajaan memberikan kelonggaran, aku dan J pergi makan malam di kafe bersama, juga liburan singkat ke sebuah pantai di ujung kota.

    Wabah ini seringkali kurasakan begitu menyakitkan. Ia bukan hanya membuatku tak bisa kerja, membuat orang-orang tutup usaha dan menjadi bangkrut, tetapi juga memisahkan aku dengan J untuk waktu yang lama dan tak diketahui. Sampai saat ini, hampir semua negara menutup diri. Begitu juga dengan negara J. Namun begitu, sejatinya, wabah ini pulalah yang telah menyatukanku dengannya.

    “Tuttt … tuttt …” bunyi ponselku mencoba memanggil ponsel J di kejauhan sana. Masih tidak terhubung.

    Aku dan J berkenalan melalui sebuah aplikasi dating bernama X. Di sebuah hari libur tanpa agenda, J menyapaku dan aku menanggapinya. Aku menjawab satu demi satu pesannya dengan biasa saja. Aku tidak mengejarnya, apalagi begitu mengharapkannya. Pada aplikasi itu, profilnya tidak dilengkapi foto dirinya—melainkan foto teko yang mengeluarkan kopi pada cawan putih yang cantik. Pada kolom deskripsi, ia menulis bahwa ia mencari kawan untuk secangkir kopi, sebuah film di bioskop, atau suatu liburan yang menyenangkan. Aku meminta ia mengirimkan foto selfienya dan ia menurut. Ia mengirimkan foto miliknya tiga detik kemudian. Ia mengatakan ingin berjumpa denganku pada siang itu. Setelah menimbang-nimbang, aku menyepakatinya. Dan pada hari itu, kami berdua terperangah karena telah berjumpa. Kami cocok untuk satu sama lain. Perjumpaan yang kami rencanakan hanyalah untuk sebuah secangkir kopi berubah menjadi liburan singkat selama 36 jam.

    Untuk seluruh kekurangan dan kelebihannya, aku mencintainya. Aku mencintai J. Karena itulah tak henti-hentinya aku merindukannya. Tetapi, entah mengapa, malam ini, ponsel J tidak bisa dihubungi.

    Kumohon J, di mana pun kau, ingatlah aku! Angkat teleponku!

    “Tuttt … tuttt …”

    “Hello?”

    “HEY! KE MANA KAMU?”

    “Maaf, aku tertidur. Ponselku low-bat.”

    “Kebiasaan! Aku mengkhawatirkanmu!”

    “Sudah jangan cengeng, tidak usah berlebihan!”

    Oh, J, andai kau tahu hati ini, andai kau paham perasaan rinduku kepadamu. Kau tahu, seorang teman berkata kepadaku bahwa Malaysia baru akan membuka pintunya tahun 2025, dan informasi itu menghancurkan jiwaku, memecahnya jadi keping-keping salju. Membuat aku jadi bertanya-tanya, mengapa harus ada negara di kehidupan ini? Kenapa datang wabah keparat ini? Adakah mungkin aku dan J bertemu lagi, dan kehidupan kami kembali sama seperti dulu? Atau mungkin, seperti kata seorang penulis, it snows only once in our dreams? (*)

    Palemraya, 2020

  • Hubungan Baik antara Budaya, Bahasa, dan Kognisi Manusia

    author = Aris Rahman

    SEMENJAK kematian Nzaat dalam suatu perburuan, Urf-lah yang kemudian dipilih oleh kelompoknya untuk menjadi pemimpin yang baru. Secara fisik ia memang telah memenuhi beberapa syarat untuk dijadikan sebagai pemimpin. Badannya besar dan pergerakannya cukup lincah.  Dari beberapa perburuan— jika dibanding dengan pejantan yang lain—Urf adalah yang paling handal dalam perkara merobohkan binatang buruan, dengan cara-cara yang nyaris musykil dilakukan oleh pejantan yang lain. Yang paling mutakhir adalah perburuan yang berlangsung beberapa jam yang lalu. Urf berhasil menumbangkan binatang sejenis rusa berukuran dua kali besar tubuhnya, dengan sekali lemparan tombak batu sederhana, dengan jarak antara rusa dan dirinya kurang lebih sekitar lima puluh dua langkah. Itu adalah tangkapan yang lumayan besar. Sejauh ini tangkapan tersebut adalah yang paling besar yang pernah mereka dapatkan. Semua anggota kelompoknya turut berbahagia atas keberhasilan Urf mendapatkan buruan tersebut.

    Menyambut keberhasilan itu, Ngon (salah satu yang tergolong ahli dalam membuat alat batu) segera menyiapkan beberapa peralatan yang diperlukan untuk menguliti si rusa yang kebetulan sedang tertimpa nasib sial dan berniat mengulitinya di sungai yang berjarak sekitar delapan ratus langkah dari mulut gua. Ngon menguliti si rusa dengan dibantu oleh dua wanita; Zemb dan Mroh. Sambil menunggu, dua anggota kelompok yang lainnya mencoba membuat api di bagian mulut gua dengan membenturkan permukaan dua batu hingga muncul percik api, yang kemudian dilanjutkan dengan menyusun beberapa ranting kering untuk membikin nyala api yang lebih besar. Urf sendiri memilih untuk duduk di bagian sayap kiri gua sambil menyandarkan tubuhnya pada dinding bebatuan. Matanya menerawang tepat pada sebuah celah kecil di langit-langit; sebuah celah yang dimanfaatkan oleh cahaya untuk menyelinap masuk ke bagian dalam. Ia termenung. Dalam pikirannya, ia melihat ratusan hewan berlutut di hadapannya sambil menyerahkan diri dengan pasrah untuk digorok. Urf, dengan perasaan penuh hormat dan kebanggaan, mulai menggorok satu per satu hewan di depannya. Anggota kelompok yang berada di belakangnya segera menepuk-nepuk dada masing-masing melihat kejadian tersebut. Membayangkan hal tersebut, Urf mendadak bangkit dari lamunannya dan segera mencari sebuah alat batu. Ia menggoreskan batu itu pada dinding yang tadi ia jadikan tempat sandaran, dan mulai mencoba menorehkan gambar dari hewan-hewan yang muncul dalam bayangannya.

    Tak berapa lama, terdengar suara gemuruh yang disertai suara teriakan. Urf gegas mengambil kapak batunya dan berlari menuju sumber suara, meninggalkan beberapa gambar hewan di dinding gua yang belum dituntaskannya. Setelah berlari sekitar delapan ratus langkah, Urf melihat sebuah bongkahan besi nyungsep dan mengepulkan asap hitam. Urf mendekati bongkahan besi tersebut sambil melihat betapa kini jasad Ngon dan dua orang wanita remuk ditabrak bongkahan besi tersebut. Serpihan besi mencelat ke mana-mana. Sementara tanah di sekitar bongkahan besi nyungsep tersebut dipenuhi oleh cipratan darah. Urf tampak begitu murka. Ia menghantamkan kapak batunya secara serampangan ke bongkahan besi yang ada di depannya. Ia mengelilingi bongkahan besi itu sebanyak tiga kali sembari meracau. Sesaat kemudian, pintu yang menempel pada bongkahan besi itu terbuka, dan dua astronot keluar dari dalamnya. Asap mengepul. Dua orang astronot berjalan agak teler dan sesekali batuk-batuk. Mereka melepaskan helm dan pakaian astronot mereka begitu saja tanpa menyadari bahwa Urf sedang menatap dua orang itu dengan perasaan heran setengah mati.

    “Goblok! Kau harusnya menekan tombol brengsek itu sebelum kita disedot black hole!”

    “Kaupikir aku bakal tahu kalau pesawat kita akan disedot vagina brengsek itu?”

    “Itu karena kau laki-laki goblok!”

    “Maksudmu apa?”

    “Apa kurang jelas? Itu karena kau laki-laki goblok dan lamban! Apa kau tidak lihat sekarang kita sedang ada di mana? ”

    “Di halaman belakang rumah Donald Trump?”

    “Kita tertimpa musibah begini dan selera humormu masih sama menyedihkan seperti biasanya.”

    “Lalu menurutmu kita lagi di mana?”

    “Entahlah, kita bisa berada di Turkana pada masa 100 juta tahun silam, 100 ribu tahun, 10  ribu tahun, atau kita bisa berada di Liang Bua, di Maros, di Levant, siapa peduli? Intinya, sekarang kita tersesat dan barangkali akan menjadi bangkai dalam waktu dekat.”

    “Memang apa buruknya?”

    “Apa buruknya? Oh, tidak ada yang buruk. Paling para ilmuwan di masa depan akan sedikit dibikin bingung jika menemukan rangka kita bersanding dengan rangka warga lokal pada masa ini. Atau paling tidak, kita hanya akan mati menggigil di samping gua sambil meringis karena kena kusta. Atau …”

    “Oh, Eva, tenanglah, selama ada aku semua akan baik-baik saja.”

    “Oh, you’re so sweet, Adam. Tapi coba noleh ke belakang, kita kedatangan tamu. Eh, maksudku, kita didatangi si pemilik rumah. Hei sobat, tenang-tenang, kami orang baik. Kau tahu, o-rang ba-ik. Orang baik adalah jenis manusia yang berasal dari surga yang akan memberimu apel gratis jika kau kelaparan. ”

    Urf tampak bingung. Ia tak mengerti apa yang diucapkan oleh Eva. Satu-satunya yang menahan dirinya untuk tidak segera menggorok leher dua orang di depannya adalah benda bulat warna merah yang dipegang Eva.

    “Sobat, kau mau apel ini? Ambillah, ini apel dari surga. Adam yang mencurinya dari pohon belakang rumah Tuhan. Ah, kau tak tahu Tuhan, ya? Ya, sudahlah, pokoknya ambil apel ini dan makanlah. Ingat, nama kami Adam dan Eva, A-dam dan E-va! Adam dan Eva adalah manusia, ma-nu-si-a. Mari kita ber-te-man. Maukah kamu ber-te-man de-ngan ka-mi?”

    “A … vha …. Eh … dam. Mwwa … nusy … aha … per … the … mha.” (*)

  • Hujan Asam Minggu Malam

    author = Reza Nufa

    “Sabir, Sabir, ini sudah jam sepuluh, kau harus pulang,” katanya, seperti berbisik. “Tidak baik di sini lama-lama. Tidak masalah di luar hujan, tabrak saja. Lagi pula, ada jas merah polkadot itu, yang dulu kamu kasihkan di ulang tahunku yang kedua puluh. Sudah berlubang di pundaknya, tapi itu lebih baik daripada tidak.” Aku diam saja dan dia menggoyang-goyang pundakku. “Aku serius. Kemarin ada peringatan.”

    Di luar hujan tidak main-main, ditambah angin yang mirip gerombolan barbarian, menggoyang pohon sirsak depan kamar habis-habisan. Berulang kali aku berdoa, meski tak jelas pada Tuhan yang mana, semoga itu pohon tak tumbang sebab besok Senin, dan aku ogah punya pekerjaan tambahan. Ingatanku terhadap Senin kemudian membuatku makin mendekap Sika. Kulitnya seperti mesin pembakar roti. Bau gosong matahari campur parfum vanilla. Aliran air, dari rembesan hujan, sepertinya membasahi bangkai tikus di atap kamar, lalu menetes ke lantai, lalu mengalir hingga menyentuh kasur. Berita cuaca muncul malam itu, yang isinya lebih banyak soal banjir, orang-orang hilang kena arus, para nelayan yang lama menepi, burung-burung yang meringkuk di bawah kanopi pelabuhan, reporter yang basah-basahan, anak-anak yang menikmati bencana, para pejabat yang cari muka dengan ikut menceburkan diri di sana, dan aku yakin, orang-orang menyaksikan semua itu dengan wajah datar-datar saja, sambil berselimut.

    “Kami sudah mengerahkan tenaga dan waktu kami untuk membantu para korban, juga…,” bla… bla… bla… sesuatu, yang sungguh mengganggu dan tiga detik kemudian kusadari adalah ponselku, bergetar di balik punggung, memaksaku untuk melepas pelukan itu. Di layarnya terpampang nama “Mak Lampir” yang mengacu pada bos, bosku yang Jawa itu, yang tidak pernah tahu kapan hari libur dan bukan, dan sudah pasti panggilan ini pun terkait pekerjaan. Tak kuangkat. Dia menelepon berulang kali. Kupeluk Sika makin dalam. Kau harus pulang, kata Sika lagi. Hujan, hujan, di luar seperti tidak ada apa-apa selain hujan. Saat begitu, monyet paling serakah pun bakal memilih untuk ngandang. Dan si bos cukup tolol untuk memberiku tugas yang jelas-jelas tak bakal kukerjakan sekarang dan lebih berpeluang untuk membuat kami bertengkar. Saat dia menelepon lagi, kumatikan ponselku.

    “Tuh, kan.” kata Sika, sambil berusaha membuka mata kananku dengan jarinya lalu menolehkan mukaku ke arah tivi. “Itu, tuh, lihat. Di sini juga sempat ada yang begitu. Orangnya akhirnya diseret keluar, ditelanjangi lagi padahal mereka sudah sempat pakai baju, lalu dibawa ke kantor polisi. Yang rekam ada banyak. Videonya disebar. Si perempuan akhirnya jadi gila. Kalau aku jadi dia, mungkin lebih baik mati saja.” Di televisi kulihat empat orang yang digiring ke hadapan para wartawan, dengan muka disarungi kain hitam tebal, bersama beberapa polisi yang salah satunya memberikan keterangan terkait kasus yang mereka tangani itu. “Orang-orang kurang kerjaan,” kubilang. Lalu menutup mataku lagi. “Tapi sedang hujan begini. Lebih enak ngopi sambil memantau berita soal Katulampa. Aku tidak yakin ada orang-orang gila yang malah bergerombol menelanjangi orang lain.”

    “Atau kamu naik gokar saja.”

    “Tidak akan ada apa-apa. Kujamin.”

    “Besok ke sini lagi. Sekarang pulang dulu.”

    “Hujannya kan sekarang, Nyonya.”

    Dia melepas pelukannya perlahan, lalu, dengan licin, memberi alasan bahwa dia mau kencing. Ponselnya dibawa masuk ke toilet. Juga headset-nya. Juga rasa hangatku. Genangan air di lantai makin membasahi kasur. Tahu-tahu sudah jam sebelas malam, lima puluh lima menit hilang begitu saja, dan akhirnya Sika keluar dari toilet. Aku kembali menutup mata dan menunggunya merangsek kembali ke dalam tubuhku. Tapi dia tak kunjung datang. Saluran tivi berganti. Kali ini, dari suaranya, aku tahu bahwa itu film Transformer, yang mungkin ditayangkan ulang oleh RCTI, kadang juga ditayangkan Global TV—dengan dubbing yang bisa membuat kepalamu mengalami disorientasi. Saluran kembali berganti. Diskusi-diskusi terkait tata kota, pencegahan banjir, dengan narsum para ahli di bidangnya, atau setidaknya ahli dalam hal bicara, berlangsung sengit seolah-olah persoalan itu mau diurusi betulan. Kalau soal adu bunyi, orang-orang ini memang jago sekali. “Sabir…,” kudengar lagi suara Sika. “Ayolah….”

    “Besok saja aku pulang.”

    “Aku serius.”

    Kuabaikan.

    “Kamu tidak tahu gimana kasarnya orang-orang sini. Mereka tidak main-main kalau lihat orang berduaan begini.”

    “Aku kan bukan cuma sekali dua kali menginap di sini.”

    “Dulu. Sekarang beda.”

    “Tapi kan kita tidak salah apa-apa.”

    “Bukan soal itu. Ini soal siapa yang kuat, siapa yang lemah. Masak kamu nggak ngerti?”

    Aku terkunci.

    “Aku lihat dengan mataku sendiri,” katanya, “waktu itu, orang diseret. Yang lain bisa apa? Semua seperti senang melihat dosa orang lain dibongkar. Dan semua mau tak mau harus ikut menyeret. Siapa pun tidak mungkin memposisikan diri sebagai pembela.”

    “Sebetulnya apa sih masalahnya? Kita berduaan di sini kan tidak mengganggu siapa-siapa. Tidak ada desahan dari mulutmu. Tidak juga teriakan. Tidak seekor cicak pun kita bunuh. Paling banter kita cuma ciuman. Kamu mana pernah mau kuajak lebih dari itu. Dan semua itu cuma kita yang tahu.”

    “Omongan macam itu tidak bakal mempan.”

    “Padamu atau pada mereka?”

    “Bisa tidak kita menyederhanakan ini?”

    “Kalaupun mereka datang malam ini, bakal kuhadapi. Aku bukan orang bodoh yang bisa diintimidasi begitu.”

    Ngomong sih gampang.”

    Kutatap dia lama-lama, berharap itu bisa membuatnya tenang. Sini, kataku, sambil memberi isyarat mata agar dia kembali ke kasur, meski, seketika itu juga aku sadar bahwa itu sia-sia. Dia tetap duduk di kursi, mengganti-ganti saluran tivi dengan tak tentu, lalu membetulkan lengan bajunya yang tergelung ke pundak, membetulkan celana pendeknya yang kali ini terasa lebih pendek dari biasanya, merapikan beberapa pakaian yang terserak di lantai, yang beberapa menjadi basah karena air bocoran. Dia, juga aku, tak sanggup mengingat kapan awal mula kebocoran itu, mungkin karena itu terjadi ketika kami sama sekali tak punya kesadaran mengenai waktu dan momen semacam itu banyak terjadi di kamar ini. Amat jarang kami menghitung menit bahkan detik seperti sekarang.

    Dia tak menggubris lagi. Malah melepas celana pendeknya, tinggal kancut warna hijau muda, lalu memakai celana lain yang lebih panjang, lebih sopan. Baju hangatnya juga dipasang. Kurasa, ini malam memang sudah tidak mungkin dibetulkan. Tapi aku masih belum bergerak, justru menonton tetesan air yang jatuh dari atap itu, lama sekali, sesekali menoleh ke celana panjangku yang tersampir di kursi, juga ke wajahnya. Sepertinya dia tahu bahwa aku tidak rela untuk pergi. Bukan cuma itu, sejujurnya, aku tidak rela mengalah pada orang-orang semacam ini, yang bergerombol ke sana-sini buat mencari-cari masalah. Macam gangster saja. Ini kan sedang hujan. Sedang dingin. Hari minggu. Bosku saja kulawan. Mereka ini siapa? Ngasih aku makan tidak, membantu pekerjaanku pun tidak, kenal saja tidak. “Besok ke sini lagi,” suara Sika mengambang di ambang kupingku. “Besok masih ada. Tidak perlu keras kepala.”

    “Besok Senin, Nyonya.”

    “Kamu tidak mau kita bertemu di Senin malam?”

    Itu masuk akal, tapi tidak bisa kuterima. “Kamu pindah kosan saja. Jangan di sini. Aku bisa gila.”

    “Itu berlebihan. Kamu cuma perlu pulang sekarang dan besok kembali lagi.”

    “Istirahat itu sesuatu yang mewah. Itu hal yang paling kuinginkan setelah gaji yang besar. Kalau akhir pekanku tidak berisi itu, aku tidak tahu, mungkin aku bakal jadi obeng betulan.”

    Dia agaknya tersenyum, tapi entahlah, mungkin sebetulnya itu cibiran buatku. “Orang seperti mereka ada di mana-mana,” katanya. “Mereka tidak bodoh. Kalaupun aku pindah, rasanya pasti sama saja. Tidak bakal kita bisa sembunyi.”

    Kalau mereka pintar, mereka tak bakal bergerombol. Aku mau bilang begitu tapi tak jadi. Dan betul kata si Masil, yang tai itu moral, bukan politikus. Ya, sudahlah, hujan sudah mulai berhenti, menyisakan bunyi-bunyi air yang lebih detail, yang bisa kuhitung satu demi satu. Tetesan dari atap kamar juga sudah berhenti, meninggalkanku dengan kekosongan yang tidak kupahami. Harusnya tadi kutadahi tetesan itu dengan mangkuk atau gelas atau kain kotor. Kalau dia tak jadi pindah, besok atau lusa aku sendiri yang harus membetulkan itu. Kos-kosan murah ini tidak menyediakan perbaikan apa pun. Kalau mau, tinggali, kalau tidak, ya tinggalkan. Sesimpel sekaligus semerepotkan itu. Wajar, cuma dua ratus ribu per bulan. Seorang perempuan sepertinya harusnya tidak tinggal di sini.

    Aku bangun, meraih celana panjang itu, memakainya dengan gegas, tegas, senyap, lalu kubilang, “Besok, pulang kerja, kita cari kosan lain buatmu.” Tapi jaketku di mana ya?

    “Tidak perlu.”

    “Biar aku yang urus.” Sepertinya aku lupa membawa masuk jaket itu, tadi kutaruh di rak sepatu, di luar sana, pasti basah sudah.

    “Jangan ngambek begitu.”

    “Tidak.”

    “Sudah jelas iya.”

    “Jangan cerewet.” Sialan, di mana jaket itu!

    “Nanti kan kita bisa—”

    “Halah. Kau sendiri yang bilang di sini tidak nyaman.”

    Kan tidak harus malam. Tinggal matikan lampu, rasanya kurang lebih sama. Minggu pagi, misal. Minggu depan, ya, bagaimana? Kamu pasti mau kan?”

    Hujan berhenti. Aku tidak tahu harus memasang muka bagaimana. Sika kemudian berdiri, menyentuh pinggangku lalu merapatkan wajahnya ke bahuku. Aku pamit padanya dengan niatan tak bakal kembali ke tempat ini sampai kesalku betul-betul sembuh. Aku tak tahu pasti kenapa harus merasa begitu, dan kepada siapa aku lebih pantas untuk kesal, meski, jelas-jelas, saat ini aku merasa sedang diusir. Sika berterima kasih karena aku sudah berkunjung dan bertepatan dengan itu, keras terdengar, sebuah ketukan yang disusul rentetan ketukan lain, menghentaki daun pintu. Waktu menunjukkan pukul dua belas malam. ***

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Hamsa Tamura

    author = Erwin Setia

    Pada acara sastra ke-66 yang ia ikuti di kotanya, Hamsa Tamura memboyong sebuah novel tebal berbahasa Inggris dengan kedua tangannya. 2666 karya Roberto Bolano. Itu bukan miliknya pribadi, tentu saja. Buku itu dipinjamnya dari Axiko yang baru memborong buku-buku sastra berbahasa asing secara online. Axiko membeli sepuluh buku dari toko buku online yang bertempat di Jakarta. Biasanya ia membeli satu atau dua. Berhubung ia baru memenangi sebuah sayembara kepenulisan, Axiko menghabiskan sebagian besar hadiah sayembara untuk membeli buku—untungnya, ada potongan harga jika membeli lebih dari 5 buku. Axiko punya perpustakaan pribadi yang kecil saja, tapi padat dengan karya-karya para pemenang Nobel dan buku-buku yang masuk daftar 1001 Buku yang Harus Kamu Baca Sebelum Kamu Mati. Sampai di sini tentang Axiko. Sementara itu, Hamsa Tamura tampak memasuki sebuah gedung dengan pendaran lampu yang samar. Langkahnya terlihat angkuh. Kemeja kremnya tampak gombrong untuk ukuran tubuhnya yang mirip tiang listrik. Kemeja itu ia pinjam dari—siapa lagi memang kalau bukan—Axiko. Ia sudah duduk di suatu kursi dan menyapa beberapa orang—sambil mengacung-acungkan buku 2666.

    “Wow, kau baca karya monumental Bolano?” takjub lelaki berambut klimis dengan setelan necis. Lelaki itu bahkan sampai melepas kacamatanya.

    Hamsa Tamura tersenyum-senyum bangga. Ia mengangguk-angguk dan mengangkat alisnya tinggi-tinggi. Kemudian, sebagaimana biasa, ia mengobral kata-kata sifat. “Buku ini bagus banget. Keren. Aku sampai kehilangan kata-kata untuk mendefiniskan kehebatannya. Luar biasa!”

    Percakapan keduanya berhenti sampai di situ. Sebab, seseorang di atas panggung mengambil mik dan mengatakan acara akan dimulai.

    Acara pertama adalah pembacaan puisi. Seorang lelaki ceking dan gondrong membacakan Aku-nya Chairil Anwar dengan ekspresif—ia mengepalkan tangan, menunduk-nunduk, tersedu-sedu dan sesekali menutupi mukanya. Setelahnya ada dua orang lain membacakan dua puisi yang lain. Tepuk tangan membahana selepas acara pembuka.

    Memasuki acara utama, tiga orang duduk di sofa berukuran sedang dengan seorang yang lain duduk di sofa terpisah. Mereka semua adalah penulis. Salah satunya bertindak sebagai moderator, satu adalah penulis buku yang bakal dibedah, dan dua sisanya adalah pembedah. Buku yang dibedah kala itu adalah novel mengenai pelacur di suatu desa pedalaman di pulau Jawa. Penulisnya adalah orang melarat dan tak terkenal sampai kemudian ia menjuarai sayembara novel yang diselenggarakan Dewan Kesenian Ibukota. Pasca itu namanya melejit dan ia diundang ke mana-mana. Pada acara bedah buku tersebut, ia bilang tengah menyusun novel tentang kehidupan seorang pesepakbola lokal yang kakinya patah dan ditinggalkan istrinya yang menikah lagi dengan pesepakbola dari klub rivalnya.

    “Sejauh mana progress penulisan novel tersebut?” tanya moderator.

    “Ah, baru sampai tahap ide,” seloroh si penulis sambil terkikik.

    Acara utama berlangsung hampir dua jam. Dan selama itu kita belum tahu apa saja yang Hamsa Tamura lakukan di kursinya yang terletak di baris kedua paling belakang.

    Banyak hal yang bisa Hamsa Tamura lakukan selama kira-kira 7200 detik. Namun, sebelum itu, ada yang patut kita pertanyakan: Mengapa Hamsa Tamura membawa bukunya Bolano alih-alih buku yang akan dibedah? Untuk menjawab hal tersebut, sebenarnya kita tak perlu pusing-pusing. Dari 65 acara sastra (maksudnya acara bedah buku) yang telah ia ikuti ia tak pernah membawa buku yang menjadi objek pembedahan. Ia selalu membawa buku yang lain. Buku-buku yang sebelum ia renggut dari perpustakaan mini Axiko, ia tanyakan dulu pada Axiko, “Ini buku bagus atau bukan?”. Kalau Axiko bilang itu bagus atau ungkapan-ungkapan pujian sejenisnya, Hamsa Tamura akan dengan bungah dan pongah membawanya. Kemudian ia akan tunjukkan kepada kenalan-kenalannya, di berbagai acara sastra. Kebanyakan mereka mengagumi dan menyangjung Hamsa Tamura dan selera bacaannya (tepatnya selera bawaannya). Sebagai pemuda pengangguran dan kesepian yang jomlo bertahun-tahun, sanjungan semacam itu membuatnya merasa layak untuk tetap melanjutkan hidup. Tiap pulang dari acara-acara sastra itu, Hamsa Tamura akan berterimakasih kepada Axiko dan meletakkan buku yang ia pinjam pada tempatnya. Ia akan meletakkannya dengan rapi dan hati-hati karena ia tak mau mengecewakan Axiko yang telah berbaik hati meminjamkannya.

    Sepanjang acara itu, sebagaimana pada acara-acara sebelumnya, Hamsa Tamura tak banyak menyimak. Ia lebih banyak berbincang dengan orang-orang sebelahnya, menjelajahi internet, bermedia sosial, membuka-buka buku 2666 dan membacanya seolah ia memahami isinya (padahal ia sama sekali tak mengerti Bahasa Inggris dan tak pernah membaca Bolano). Teman sebelahnya, si rambut klimis, juga tak beda jauh dengan Hamsa Tamura. Ketimbang menyimak kata-kata para pembedah, ia lebih banyak menatap layar ponselnya yang bersinar terang di ruangan yang berpendar samar.

    Acara selesai dan ditutup dengan sorak-sorai tepuk tangan dan foto-foto dan minta tanda tangan dan semacamnya dan semacamnya.

    Hamsa Tamura pulang ke rumah mungil peninggalan orang tuanya. Rumahnya berdampingan dengan rumah Axiko. Ia mampir ke tempat Axiko untuk mengembalikan buku. Axiko tampak sedang serius membaca sebuah buku tebal dengan secangkir kopi dan sebungkus kudapan di atas meja.

    “Kapan-kapan, kau ikutlah bersama datang ke acara sastra,” ajak Hamsa Tamura.

    “Aku tidak punya waktu. Masih banyak antrean buku yang mesti kubaca,” balas Axiko tanpa memalingkan matanya dari buku.

    “Ah, kau ini. Katanya suka sastra, tapi enggan mendatangi acara sastra.”

    Axiko tak memedulikan kata-kata Hamsa Tamura. Ia tetap asik dengan bukunya.

    Sebelum Hamsa Tamura balik ke rumahnya, setelah ia meletakkan 2666 ke rak buku baru, Axiko memandangi tubuh ringkih Hamsa Tamura sesaat, lalu membatin, “Ah, kau ini, suka datang ke acara sastra, tapi jarang membaca buku-buku sastra sampai tamat.”

    Hamsa Tamura sudah sampai di depan pintu rumahnya, dan ia tak pernah mendengar suara batin Axiko.

  • Gabak Hulu

    author = About Pinto Anugrah
    menetap di Padang, mengurus Lembaga Kebudayaan Ranah (Ranah Performing Art Company dan Komunitas Sastra Kandangpadati). Buku cerpennya Kumis Penyaring Kopi (2012).

    View all posts by Pinto Anugrah →

    Dua hari sudah seperti ini. Saat lagi terik-teriknya, orang-orang akan bergegas menjemur pakaian dan hasil panen mereka. Namun hanya sebentar, tidak sampai satu suapan nasi, awan-awan yang berat kembali datang bergulung. Orang-orang kembali berlari menyelematkan pakaian, padi, buah pala, kulit manis, jagung, dan lainnya, yang terjemur. Setelah semuanya terangkat dari jemuran, hujan tidak benar-benar turun, hanya sekadar gemuruh atau awan hitam pekat memayungi.

    Memang dalam minggu ini banyak orang mengadakan perhelatan pernikahan anaknya. Sekarang tanggal baik, begitu kata tetua kampung, makanya di hulu atau muara, di hilir atau mudik, hampir serempak orang-orang mengadakan kenduri. Tentu, kenduri mereka yang begitu meriah tidak mau dirusak hanya karena hujan yang turun tiba-tiba, untuk itu mereka berebut meminang para pawang hujan yang ada. Musim hujan jadi musim panen bagi para pawang hujan.

    Akibatnya, awan dengan gulungan hitam itu jadi operan kesana-kemari. Coba dongakkan kepala ke atas, gulungan awan itu begitu cepat berpindah. Angin begitu cepat berubah arah. Selang beberapa saat gulungan awan itu ada di ceruk bukit arah hulu sana, namun tidak akan lama, gulungan awan itu sudah berpindah ke padang datar arah muara sana, dan itu pun hanya sekejap mata, awan-awan itu kembali berbalik arah ke tempat yang lain. Setiap gulungan awan itu singgah di suatu tempat, setiap itu pula muncul asap putih—jika dilihat dari kejauhan serupa asap dupa yang menyentak ke langit. Sudah jadi rahasia umum, berarti pawang sedang bekerja memindahkan gulungan awan.

    “Hujan kiriman lagi!” Suna membanting piring kanso di genggamannya ke meja dan langsung berlari menyelematkan padinya yang terjemur.

    “Gabak! Kurang ajar kau! Laki tak berguna! Hujan turun, kau diam saja!” Suna menyemprot lakinya yang duduk di sudut rumah. Matanya menerawang entah ke mana.

    Gabak tidak menggubris, bahkan ia diam saja ketika kakinya kena lemparan batu bininya.

    “Percuma punya laki pawang hujan terkenal, tapi aku tetap pontang-panting setiap guruh datang.” Suna masih terus menyemprot sambil menyeret tikar jemurannya ke tempat yang teduh. Hujan mulai deras, ia segera berlari ke arah jemuran pakaian. Bergegas ia menyelamatkan pakaian-pakaian di tali jemuran.

    “Itu!” Suna melempar sebuah celana dalam ke arah Gabak, “tidak berguna, di rumah atau pun di luar!”

    Suna lalu menunggingkan pantatnya yang sebesar baskom ke arah lakinya. Gabak berusaha melengah sambil meremas celana dalam itu kuat-kuat.

    Suna berlalu masuk sambil terus mengomel.

    Gabak tetap berdiam diri di bangku luar sudut rumahnya. Genggaman tangan yang meremas celana dalamnya belum mengendur.

    “Seharusnya di puncak-puncak musim hujan ini kau bisa membawa sepeda motor pulang! Malah sebaliknya, semakin banyak saja aku mencucikan kolor burukmu itu! Hasilnya, nol, nol! Malah anak yang akan bertambah kau buat!” Suna berteriak dari dalam.

    Prang! Terdengar piring-piring kanso berserakan ke mana-mana.

    Gabak membuang napas jauh-jauh. Semua ini berawal dari masuknya musim penghujan kemarin. Entah apa pikiran juragan kayu di kampungnya mengadakan kenduri pernikahan anak semata wayangnya pada awal datangnya musim penghujan. Padahal itu bukan tanggal yang baik menurut tetua kampung. Akan tetapi juragan kayu itu bersikeras tetap ingin mengadakan kenduri pernikahan anak perempuan kesayangannya itu.

    Juragan kayu juga meminta Gabak untuk mengawal kenduri itu, jangan sampai hujan datang merusak. Gabak awalnya sudah menolak permintaan itu. Bagaimana pun, periode awal datangnya musim penghujan adalah saat di mana gulungan awan hitam berada di mana-mana. Dan Gabak sadar, ia tidak akan mampu menahan begitu beratnya awan-awan itu untuk mencurahkan air ke tanah. Ilmu yang dipunyainya, yang membuat namanya harum sebagai pawang hujan, bukanlah ilmu untuk menahan curah hujan agar tidak jadi turun ke tanah, namun ilmunya selama ini adalah ilmu yang mampu memindahkan dengan begitu cepat, bagaikan kilat, gulungan awan hitam itu ke tempat lain.

    “Saya tidak bisa menahan hujan turun, itu berarti melawan Tuhan! Saya tidak ingin melawan Tuhan. Saya hanya memindahkan awan itu supaya menurunkan hujan pada tempatnya, tempat yang lain, tempat yang tepat.” Begitu selalu penjelasan Gabak akan kerjanya sebagai pawang hujan.

    Biasanya ia memindahkan awan yang bergulung itu ke hulu dan hujan pun kemudian lepas di hulu ceruk bukit sana. Karena itu juga, ia kemudian lebih dikenal dengan nama Gabak Hulu, sehingga tidak ada lagi yang mengenal nama aslinya.

    Lagi pula, bekerja pada awal musim penghujan sebuah pantangan baginya. Ilmu yang ia pelajari mempunyai sebuah syarat, yakni jangan memindahkan gulungan awan pertama pada musim penghujan.

    Namun, juragan kayu tetap bersikukuh meminta Gabak mengawal kendurinya. Sampai kemudian juragan itu mengiming-imingi Gabak sebuah sepeda motor baru. Sebenarnya Gabak tetap tidak bergeming dengan imingan itu, tapi bininya yang mendengar langsung janji juragan kayu saat datang ke rumah mereka langsung menyanggupi. Sudut mata bininya menghunjam tajam ke arah Gabak, penuh ancaman supaya menerima pinangan juragan kayu itu. Gabak tidak bisa berkata apa-apa lagi selain mengiyakan.

    Kenduri juragan kayu berlangsung sangat meriah. Bahkan matahari begitu terik menuju puncaknya. Beban pikiran Gabak menjadi kendur, ia kemudian dapat bersiul-siul sambil menyalakan rokok dan duduk begitu gontai dekat unggunan kayu di belakang rumah juragan kayu. Suara juragan kayu pun begitu keras terdengar di kejauhan menyambut tamu yang datang, suara serak yang lebih banyak ditingkahi ketawa terbahak-bahak.

    Matahari sedang berada di puncaknya. Bayangan badan begitu pendek, hanya sepanjang telapak kaki. Sambil menghembus-hembuskan asap rokoknya, Gabak melempar-lemparkan puntung kayu manis ke dalam unggunan api. Seketika asap unggunan itu tercium harum, harum kayu manis, mencucuk ke langit.

    “Kerja yang bagus, Gabak.” Suara juragan kayu yang begitu riang terdengar muncul dari belakang dan tidak ketinggalan ketawanya yang terbahak-bahak.

    Gabak menoleh sebentar dan tersenyum menanggapi, memperlihatkan deretan giginya yang kuning.

    “Tenang, Gabak! Bonus sudah menantimu, bahkan tidak hanya sepeda motor yang akan kau bawa pulang, anak kambing aku berikan juga!”

    Baru saja juragan kayu berkata yang menyenangkan hati Gabak, terik matahari yang tadinya begitu menyengat tiba-tiba menghilang. Awan bergulungan datang menyelimuti. Gabak panik, air mukanya seketika berubah. Unggunan api yang sedari tadi dijaganya langsung diperbanyak asapnya. Sepertinya terlambat, hujan memulai tidak dengan rintik yang tanggung, namun langsung mengguyur dari langit. Gabak tercenung, unggunannya langsung padam disiram hujan. Juragan kayu murka.

    Gabak membuang jauh-jauh celana dalam di genggamannya itu. Celana dalam itu tepat mendarat di atap dangau tempat penyimpanan padi. Ia tidak ingin lagi mengulang-ulang ingatan akan peristiwa beberapa minggu yang lalu itu. Bukan juragan kayu saja yang murka, bininya juga ikut murka.

    Sejak peristiwa itu, tidak ada lagi orang yang datang kepadanya. Bahkan keampuhannya untuk memindahkan hujan pun jadi sirna. Menurut syarat keilmuannya, Gabak bisa mengembalikan keampuhannya jika ia menambah anak lagi.

    Itulah yang membuat Gabak pusing minta ampun. Jangankan menambah anak, bininya saja setiap malam selalu memunggunginya sejak gagal membawa sepeda motor pulang. Lagi pula, anaknya sudah lima, dapat dipastikan bininya tidak akan mau lagi mengandung. Gabak berjalan gontai dengan pikiran yang kusut. Berjalan tanpa memperhatikan ke mana arah kakinya melangkah.

    Malamnya, Gabak tidak pulang. Lewat tengah malam Gabak belum juga menampakkan batang hidungnya. Bininya mulai panik, dicarinya Gabak ke lepau tuak tempat biasa ia duduk, namun tidak ia dapati, bahkan kawan-kawannya yang biasa duduk dengan dirinya pun tidak mengetahui kabar berita pawang hujan itu.

    Dua hari, tiga hari, telah berlalu. Gabak telah dinyatakan hilang oleh orang-orang kampung. Sejak hilangnya Gabak, orang-orang ramai berkunjung ke rumah bininya. Sekadar menyatakan keprihatinan atau juga berniat membantu menemukan Gabak.

    “Terakhir ia duduk di sana!” Jelas bininya, menunjuk sebuah bangku di sudut luar rumahnya. “Waktu itu saya memang begitu kesal kepadanya. Karena kesalnya, saya lemparkan kolornya yang sedang terjemur ke mukanya, itu terakhir saya bersinggungan dengannya.”

    “Itu! Kolor! Kolor itu?” Seseorang tiba-tiba menyela sambil menunjuk ke atap dangau penyimpanan padi.

    Selaan itu menyita perhatian orang-orang yang mendatangi rumah Gabak saat itu. Suna, bini Gabak, mengangguk, mengiyakan bahwa memang celana dalam itu milik Gabak yang ia gunakan untuk melempar lakinya.

    Orang-orang lalu berbondong, menggerubungi dangau penyimpanan padi itu. Mereka memeriksa dangau itu. Memeriksa ke sekelilingnya dan memeriksa ke dalam dangau sambil berteriak-teriak memanggil Gabak. Tetap tidak ada sahutan dan Gabak tetap tidak ditemukan.

    Hujan memang sudah tidak turun hampir seminggu seiring dengan menghilangnya Gabak. Akan tetapi, entah siapa yang memulai, kini orang-orang kampung percaya bahwa hujan yang tidak turun-turun itu bukan gara-gara Gabak menghilang, namun itu gara-gara celana dalam Gabak yang terjemur di atap dangau penyimpanan padi. Semenjak celana dalam itu kembali diturunkan oleh bininya, hujan kembali mengguyur.

    Selang lama sesudah itu. Kali ini hujan tidak henti-hentinya. Sepanjang hari langit begitu kelam. Pawang hujan yang ada pun tidak dapat berbuat banyak. Entah apa yang terjadi pada musim penghujan kali ini. Gabak memang belum ditemukan, sudah sebulan lebih, namun rumahnya masih kerap dikunjungi orang-orang kampung. Bukan untuk menanyakan kabar berita hilangnya Gabak, namun untuk meminjam celana dalam Gabak ke bininya, yang dipercaya dapat menangkal hujan.

    Hujan memang berhenti di kampung itu, tapi Gabak Hulu, tidak kunjung pulang. Namun, orang-orang tidak peduli lagi pulang atau tidaknya Gabak, yang perlu bagi mereka kini celana dalamnya saja untuk menangkal hujan.

     

    Padang, 2016

     

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

    https://kibul.in/cerpen/gabak-hulu/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/04/featpinto.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/04/featpinto-150×150.jpgPinto AnugrahCerpenBudaya,Cerpen,kibul,Pinto Anugrah,Sastra,Sastra Indonesia,SeniDua hari sudah seperti ini. Saat lagi terik-teriknya, orang-orang akan bergegas menjemur pakaian dan hasil panen mereka. Namun hanya sebentar, tidak sampai satu suapan nasi, awan-awan yang berat kembali datang bergulung. Orang-orang kembali berlari menyelematkan pakaian, padi, buah pala, kulit manis, jagung, dan lainnya, yang terjemur. Setelah semuanya terangkat…Bicara Sastra dan Sekitarnya

  • Dua Cerita Pendek

    author = About Muhammad Qadhafi
    Pecandu teh tubruk panas.

    View all posts by Muhammad Qadhafi →

     

    Kekejaman Dokter dan Pedagang

     

    “Silakan, Pak Dokter. Di sini semua masih segar, cantik-cantik, molek-molek.”

    “Cantik belum tentu sehat.”

    “Kalau ini sungguh cantik, enak, dan sehat.”

    “Mana, coba yang paling bagus!”

    “Sebentar, saya ambil pisau.”

    “Pakai gunting saja!”

    “Adanya pisau dan golok.”

    “Maksudnya, saya ada gunting di tas. Kalau gunting pedagang, itu sama saja.”

    “Tapi susah kalau pakai gunting.”

    “Tapi lebih higenis gunting saya daripada pisau dan golokmu. Nih! Ini tajam dan bersih.”

    “Lhoh, bukannya ini gunting sunat? Minggu lalu anak saya sunat di tempat sampean lho, Dok. Saya yang nungguin.”

    “Saya banyak pasien. Tidak ingat satu-satu. Sudah, lekas digunting. Saya buru-buru.”

    “Yakin pakai gunting ini? Ndak jijik, Dok?”

    “Dah, Gunting saja. Jangan dikte saya!”

    ….

    “Lama sekali. Bisa tidak? Kok malah ditusuk-tusuk begitu? Digunting!”

    “Susah, Dok. Ndak bisa digunting. Bisanya dicungkil begini.”

    “Sudah. Mana guntingnya!”

    “Mau coba nggunting sendiri, Dok?”

    “Tidak. Saya mau pulang saja. Dua jam lagi buka praktik.”

    “Loh, terus dagangan saya yang satu ini gimana?”

    “Saya buru-buru!”

    “Sebentar saja, coba Pak Dokter lihat lagi baik-baik cungkilan ini: kuning warnanya, tak ada bijinya, ini pasti manis segar. Supaya yakin, silakan cicipi.”

    “Tidak. Nanti saya disuruh bayar.”

    “Kalau ndak manis dan segar, Pak Dokter baru boleh batal membelinya.”

    “Ya, sini. Paling juga tawar.”

    “Bagaimana?”

    “Hmm… Manisnya terlalu sedikit.”

    “Pinjam guntingnya lagi, Dok. Saya cungkilkan lagi. Yang lebih besar. Biar manisnya makin terasa banyak.”

    “Sudah, sudah. Saya buru-buru. Saya bayar saja, berapa?”

    “Lima belas ribu, Dok.”

    “Enam ribu boleh tidak?”

    “Kalau itu sih yang kecil, merah, yang banyak bijinya dan tak berasa.”

    “Kalau tidak mau ya sudah, saya pulang.”

    “Tambah lagi, Dok. Dua belas ribu, gimana?”

    “Delapan ribu. Sudah. Itu tawaran tertinggi buat semangka yang bolong begitu.”

    “Lhoh ini ‘kan bukan bolong dimakan codot? Tapi Pak Dokter sendiri yang memakannya barusan.”

    “Kamu ini mau jualan atau menghina saya?”

    “Kalau saya jual delapan ribu, itu baru menghina Pak Dokter. Masa bolong dimakan codot dengan bolong dimakan dokter sama harganya?”

    “Dasar pedagang! Sudah, mau harga berapa?”

    “Dua puluh ribu, Dok.”

    “Lhoh, kok naik?”

    “Soalnya saya semakin menghormati sampean, Dok.”

    “Ya ya ya. Nih, lima belas ribu. Bungkus itu semangka!”

    “Sampean kok nawar terus?”

    “Ya jelas. Pembeli ‘kan rajanya. Cepat bungkus. Saya buru-buru.”

    “Dua puluh lima ribu, Dok.”

    “Gila kamu, gila! Malah naik lagi! Sudah, saya pulang, tak jadi beli!”

    “Iya, Ndak apa-apa. Tapi bayar dulu sepuluh ribu.”

    “Enak saja! Saya tidak beli kok suruh bayar?”

    “Tapi kan sampean sudah saya potongkan semangka?”

    “Itu sepotong saja, paling cuma lima ratus rupiah! Nih, ambil, recehan!”

    “Sampean menghina saya? Saya bukan pengemis. Saya pedagang semangka. Sudahlah, Dok, sepuluh ribu, itu sudah murah.”

    “Ini pemerasan! Saya laporkan polisi kapok kamu!”

    “Pemerasan gimana sih, Dok? Lha minggu lalu sampean potong titit anak saya saja minta ongkos dua ratus ribu? Lha ini, saya cuma minta sepuluh ribu, kok sampean bilang pemerasan? Pakai mau lapor-lapor polisi segala!”

    “Woo, makin ngawur saja! Saya gunting lidahmu baru tahu rasa kamu!”

    “Gunting saja! Toh gunting sampean bersih! Ndak seperti pisau dan golok di tangan saya ini! Berani?!”[*]

     


     

    Komentator

     

    [1]

    SEPASANG komentator sepak bola berjuluk Cingkim dan Cimin keluar bui. Sepuluh meter dari gerbang kebebasan, keluarga dan fans fanatik menyodorkan rentangan tangan hiperaktif. Beberapa di antara mereka lalu menyerbu, memeluk, berebut menepuki pipi dan menjambaki rambut—persis luapan emosi rekan satu tim kepada pencetak gol.

    Sambil membenarkan rambut, Cingkim menaikkan sebelah alisnya dan berkata, “Kalian sedang kesetanan sepak bola?”

    Para penggemar bersorak penuh semangat, “Lebih dari itu! Kami rindu komentar berkualitas!” Sepertinya mereka serius.

    [2]

    MASIH tajam ingatan fans tentang komentar-komentar kontemporer yang pada akhirnya menjadi tiket menginap di penjara selama dua tahun:

    (7’) GOL

    ….

    (15’) GOL

    “Mudah bagi Negara lawan. Baru 15 menit sudah menjebol dua kali. Bagaimana, Bung Cingkim?”

    “Mungkin center back timnas terobsesi kerendahan hati Tentara Nasional Kita, Bung Cimin.”

    ….

    (32’) GOL!

    “Timnas Kita membiarkan lahir tiga gol, Bung Cingkim!”

    “Tepat sekali. Program KB gagal, Bung Cimin!”

    ….

    (40’) GOL (55’) GOL (63’) GOL (68’) GOL

    ….

    (73’) GOL!

    “Gol kedelapan, pemirsa! Striker lawan cetak gol semudah meludah saja, pemirsa!”

    “Tapi tidak terlihat kekecewaan di wajah dan gestur Pemain Kita. Bagaimana, Bung Cingkim?”

    “Tampaknya Negara Kita bertandang buat jadi bejana ludah negara lawan, Bung Cimin.”

    ….

    (80’) GOL!

    “Lihat, pemirsa! Para Pemain Kita sangat berat larinya. Mereka lamban dan mudah ditipu lawan. Lagi-lagi kebobolan!”

    “Saya tahu, Bung Cimin. Saya tahu kenapa. Perhatikan kaos kaki mereka. Ada yang menonjol dari dalamnya. Itu bukan decker perlindung kaki, tapi saweran, Bung, saweran! Pemain Kita lambat keberatan saweran!”

    ….

    *Sebagian besar komentar disensor karena dianggap telanjang, sadis, dan apa adanya.

     

    [3]

    KARENA Cingkim dan Cimin diharamkan menjadi komentator  di radio dan TV seumur hidup, maka semenjak keluar bui, keduanya menyiapkan semacam pertandingan sepak bola yang akan mereka komentari tanpa campur tangan radio, TV, bandar judi, maupun pemain sepak bola itu sendiri. Ini dilakukan semata-mata demi memuaskan dahaga para fans akan komentar-komentar berkualitas.

    Panggalian dana sukarela dilakukan. Sebagian besar dihimpun dari fans. Ada pula dari sumbangan orang yang tidak tahu sepak bola.

    Setahun kemudian, ketika seluruh pertandingan Sepak Bola Profesional Kita sementara waktu dihentikan (karena suatu kemerosotan etika dan sportifitas), saat itulah Cingkim, Cimin, dengan segenap fans dan tim kreatifnya berbondong-bondong ke stadion kandang Timnas Kita. Lampu dan puluhan kubus pengeras suara dinyalakan. Setelah sekitar dua ribu penonton berkaos hitam masuk ke stadion, gerbang ditutup. Cingkim dan Cimin menempati ruang kaca komentator.

    Pembawa acara berkata dari mikrofon, “Hadirin yang sehat jasmani dan rohani, pertandingan akan segera dimulai. Harap hadirin mengenakan kain hitam yang telah disediakan. Tutuplah mata masing-masing.” Suaranya terdengar kasual dan menjemukan.

    Orang-orang di stadion patuh menutup mata. Kecuali sound man dan stage manager. Kerja keduanya mustahil dilakukan dengan mata tertutup. Stage manager harus menginstruksikan sound man: kapan waktunya memutar lagu kebangsaan, kapan waktunya memunculkan bunyi peluit panjang, pendek, sekali, dua kali, atau tiga kali. Sebagaimana umumnya, pertandingan ini akan dijalankan dalam durasi 2X45 menit dengan 15 menit jeda turun minum, atau jika kedudukan imbang akan ditambah 2 X 15 menit lagi, dan jika tetap imbang maka diadakan adu mental dan keberuntungan di kotak penalti.

    Cimin mengetukkan telunjuk pada clip-mic di bawah lehernya. Hadirin bersorak riuh.

    “Malam yang hitam dan penuh cicit, Bung Cingkim.”

    “Memang semestinya demikian, Bung, ketika ribuan kelelawar tropis pemakan popcorn memadati stadion.”

    “Tahan dulu komentar soal mamalia bersayap dan kerupuk jagung, Bung. Kedua tim sudah memasuki lapangan. Dari starting eleven Kita, tampak ada tiga center back, lima gelandang, dan dua penyerang. Sedang dari tim lawan kemungkinan besar memainkan 4-3-3. Bagaimana pendapat, Bung Cingkim?”

    “Terimakasih atas desakan klise Anda, Bung Cimin.” Sejenak ia berdeham. Inilah ciri khas Cingkim untuk beralih dari komentar remeh ke komentar yang menurutnya lebih berkualitas. “Dari komposisi pemain kedua tim, kemungkinan besar bakal terjadi pertarungan antara kecepatan berpikir versus kecepatan berlari. Akan banyak benturan terjadi di bagian tengah dan sayap lapangan, akibat tackle cerdas maupun tackle instingtif. Karena kecepatan berpikirnya, Bung, setiap pemain lawan bisa menjalankan tiga peran sekaligus: sebagai pengancam, arsitek, dan pintu pertahanan. Perlu saudara semua tahu, bahwa faktor geografis dan kebiasaan hidup di wilayah sempit menjadikan tim lawan dapat menerapkan seni ‘eksploitasi ruang’ yang efisien. Karenanya, mereka terkesan ada di seluruh sisi lapangan. Tim Kita, dengan kecepatan dan postur kurcaci para pemainnya, sepertinya akan sering berkelit, menyusup, menantang adu sprint dari sisi kanan maupun kiri lapangan, dan cepat ngos-ngosan.”

    “Tidak ada sesi foto-foto rupanya, Bung. Tim Kita berbaris dan saling rangkul. Tampaknya akan segera dikumandangkan Lagu Kebangsaan Kita.”

    “Tambahan sedikit saja, Bung, sebelum kita bernyanyi bersama. Sebagaimana yang telah berbaris di hadapan hadirin, Tim Kita kali ini didominasi oleh para pemain pensiun dan almarhum. Ini merupakan sintesis terobjektif dari seluruh request hadirin yang utopis lagi sungguh-sungguh. Dan pada malam ini, yang akan menjadi taring penyerangan Tim Kita adalah duo almarhum: Ramang dan Gareng Soentoro. Keduanya—dengan bakat alam, postur minimalis serta kelincahan pelanduk—akan mencoba meretakkan rusuk pertahan lawan yang diperankan oleh Krol, Boer, Koeman, dan Suurbier: kuartet jangkung yang rata-rata bisa berpikir tiga langkah lebih cepat daripada lari mereka…”

    Komentar Bung Cingkim terpotong oleh intro Lagu Kebangsaan Kita yang terdengar dari sound system. Seluruh hadirin pun segera berdiri. Mata mereka tertutup. Mereka kor, menyanyikan Lagu Kebangsaan Kita, demikian pula Cingkim, Cimin, dan pembawa acara.

    Saat semua orang—yang matanya tertutup—berdiri dan bernyanyi, sound man menggerutu di samping stage manager, “Aih, Tim Kita pasti kalah lagi.”

    Stage manager terpancing. Ia menukas, “Jangan membual!”

    “Lho, aku yakin kok.” Sound man mengeluarkan sebungkus rokok dari kantong celana, lalu membantingnya di atas kotak sound operator. Sambil menyengir ia menantang, “Berani taruhan?”[*]

    https://kibul.in/cerpen/dua-cerita-pendek/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/02/IMG_20170221_053405_739-e1487639343774-1024×576.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/02/IMG_20170221_053405_739-e1487639343774-150×150.jpgMuhammad QadhafiCerpenBudaya,Cerpen,Dokter,kibul,Komentator,Muhammad Qadhafi,Sastra,Sastra Indonesia,Suara 
    Kekejaman Dokter dan Pedagang
     
    “Silakan, Pak Dokter. Di sini semua masih segar, cantik-cantik, molek-molek.”
    “Cantik belum tentu sehat.”
    “Kalau ini sungguh cantik, enak, dan sehat.”
    “Mana, coba yang paling bagus!”
    “Sebentar, saya ambil pisau.”
    “Pakai gunting saja!”
    “Adanya pisau dan golok.”
    “Maksudnya, saya ada gunting di tas. Kalau gunting pedagang, itu sama saja.”
    “Tapi susah kalau pakai gunting.”
    “Tapi…
    Bicara Sastra dan Sekitarnya

  • Dia yang Mengaku Termiskin di Dunia

    author = Asef Saeful Anwar

    M senantiasa memandang dirinya sebagai seseorang yang serba kurang dibandingkan dengan orang-orang di sekitarnya. Kalau bertemu abang becak, ia merasa tak punya becak. Kalau bertemu pemulung, ia merasa tak punya karung. Kalau bertemu tukang parkir, ia merasa tak punya peluit. Pekerjaannya sebagai operator player di sebuah tempat karaoke tak membuat dirinya merasa memiliki usaha karaoke dengan tiga cabang di kotanya dan belasan cabang di kota lainnya.

    Anggapan yang terlalu merendahkan dirinya sendiri itu berakibat buruk pada cara bergaulnya. Secara tak sadar ia telah menganggap kemiskinan sebagai penyakit menular yang membatasi pergaulannya. Untuk bergaul seperti teman-temananya, ia merasa tak mampu. Ia tak pernah jenak diajak bercakap tentang jenis-jenis burung, batu akik, atau sekadar bisik-bisik rencana mabuk-mabukan sambil bergunjing tentang perempuan. Baginya harga kandang burung atau batu akik termurah sekalipun bisa untuk menyambung hidup keluarganya barang sehari. Ia pun merasa tak baik mabuk-mabukan sementara kedua orangtuanya di rumah sedang pusing memikirkan hutang yang belum kunjung lunas kepada sejumlah tetangga dan saudara. Dialah yang tengah berupaya untuk melunasi hutang-hutang itu sekaligus membantu mencukupi kebutuhan keluarganya.

    M hidup dengan kedua orangtuanya dan satu adiknya yang masih sekolah. Bapaknya tak bisa lagi bekerja setelah telapak kaki kanannya remuk tertimpa balok bangunan. Tak ada lagi yang memanggil bapaknya untuk turut bekerja dalam sebuah proyek bangunan. Bahkan, tetangga yang hendak membangun rumah pun tak ada yang menyewa lagi tenaganya kecuali hanya karena rasa kasihan. Sebulan setelah musibah itu ibunya dipecat oleh majikannya karena mencuri. Akibatnya, ibunya sulit lagi mendapatkan orang kaya yang mau mempekerjakannya.  

    Sialnya apa yang dicuri ibunya itu adalah uang yang dipakai M untuk membayar biaya sekolah menengahnya di sebuah yayasan swasta. Tentu, ia tak bisa marah. Setidaknya berkat jasa ibunya ia punya ijazah SMA. Meskipun telah banyak berganti pekerjaan dengan ijazah itu, pada akhirnya ia betah bekerja di tempat karaoke dengan gaji yang lumayan cukup, setidaknya bila dilihat dari ijazahnya. Sementara ibunya kini berjualan gorengan dengan dibantu adiknya.

    Kalau teman-teman kerjanya mulai ngobrol tentang jenis burung paling yahud kicauannya, tentang batu akik paling bercahaya dengan isian jin Timur Tengah atau Tiongkok, dan menyinggung rencana mabuk-mabukan dengan ciu oplosan, ia memlih mlipir, diam-diam pergi tanpa pamit. Adapun temannya mula-mula heran sampai kemudian memaklumi meskipun sebagian besar menganggapnya sebagai pribadi yang sentimentil. “Sekali waktu senang-senang masak nggak bisa sih…” demikian ia biasa mendengar keluhan yang menyerupai godaan itu. Dan ia menanggapinya dengan senyum tanpa kata (ah, mana ada orang tersenyum bisa sambil berkata?). Dalam posisi meninggalkan teman-temannya itu, hatinya kerap berujar: “Bersyukurlah kalian telah memiliki hidup sendiri, bertanggung jawablah atasnya, sementara aku masih harus….”

    Saking merasa miskinnya, ia sering tak memiliki kata-kata untuk melanjutkan suara hatinya sendiri.

    Kalau pergaulannya terbatas seperti itu, lalu bagaimana ia bisa bertemu dengan Camelia, perempuan kaya yang kini dekat dengannya? Di tempat macam apakah orang miskin dan orang kaya bisa saling memandang tanpa status dan jatuh hati saat pandangan mereka tersandung? Kesempatan macam apa pula yang menyilahkan kedua insan beda harta itu bisa bertemu selain kesempatan-kesempatan sebagai pelayan dan yang dilayani, selain sebagai pesuruh dan penyuruh?

    Namun, Tuhan selalu merencanakan dan mengerjakan sesuatu yang harus tidak bisa ditebak oleh manusia. Tuhan menyediakan kesempatan baginya jatuh cinta pada waktu yang seharusnya ia total menghamba, dan pada tempat yang tak diduga seorang pun untuk jatuh cinta: mushola tempat karaoke.

    Sebagian besar tempat karaoke di kotanya, termasuk tempat kerjanya, menyediakan mushola hanya untuk memenuhi aturan dari negara yang mengharuskan perusahaan memenuhi hak beribadat karyawan dan konsumen. Tanpa ada aturan itu pastilah para pemilik karaoke lebih memilih mengubah mushola itu menjadi room tambahan. Sebab mereka lebih sering melihat banyaknya konsumen yang mengantre untuk bernyanyi daripada yang meluangkan waktu untuk beribadat. Sementara karyawan lebih suka memanfaatkan sholat sebagai alasan untuk curi-curi waktu istirahat.

    Ia tengah mengambil air wudlu ketika Camelia datang dari arah lorong room karaoke. Dengan langkah kaki yang pelan dan sepatu yang tidak ber-hak, hingga tak ada suara tak tok tak tok yang ditimbulkannya, tapi entah mengapa itu cukup mampu membuat M berpaling menatap wajah perempuan itu sekitar tujuh detik hingga ia tak sadar urutan wudlunya sampai di mana. Apakah telah membasuh tangannya atau telinganya? Mulutnya melafalkan bacaan pengampunan. Ia hendak mengulang wudlunya ketika tiba-tiba perempuan itu berdiri di sampingnya dan mulai membasuh tangannya. Hanya ada dua kran untuk wudlu di samping ruang mushola. Ketika perempuan itu berkumur, ia telah membasuh kakinya pada bilangan ketiga, dan entah mengapa air kumuran dari perempuan itu, yang terasa menyiprat ke betis kakinya, tak mau ia basuh.

    Ia buru-buru masuk ruang ibadat. Berusaha mengheningkan hati dan pikiran. Tapi tak bisa-bisa. Mencoba konsentrasi. Masih belum bisa. Ia memaksa mengucap niat dalam hati sambil bertakbir mengangkat kedua tangannya, tapi suara lembut perempuan itu terdengar olehnya. Menghentikan gerakan takbirnya karena perempuan itu memohon ia menunggu sejenak agar mereka bisa berjamaah. Ia menunggu. Dan jadilah Maghrib itu sebagai sholat yang paling tidak khusyuk sepanjang hidupnya.

    Ketika M diminta oleh manajernya untuk masuk ke sebuah room yang pelantangnya tiba-tiba tidak berfungsi, ia kembali bertemu dengannya. Camelia sendirian dalam room yang harusnya diisi oleh enam orang. Sebagai pelayan ia tersanjung ketika diajak berkenalan. Sebab baru kali ini ada pelanggan yang mengajaknya berkenalan. Meskipun orang miskin dan tidak mengerti persoalan merek barang, ia mengerti betapa Camelia adalah perempuan kaya hanya dengan melihat apa yang dikenakannya: busana dengan bahan tipis, halus, dan sedikit terbuka di bagian dada dan bahu (pasti punya mobil, tak mungkin dengan busana macam itu ia naik motor kecuali mau masuk angin), batu giwangnya yang mengkilat terkena cahaya lampu menyimbolkan huruf C (ia menduga itu berlian asli dengan merek ternama meskipun pengetahuannya yang miskin tak dapat mengerti kalau C itu menyimbolkan Channel, yang ada dalam pikirannya hanyalah inisial Camelia, nama yang barusan didengarnya), dan rambut panjangnya yang menggerai di punggungnya terpotong amat rapi, halus, dan wangi (pasti rutin ke salon kecantikan dan rajin keramas setiap kali mandi meskipun tidak sedang junub).

    “M,” panggil Camelia, sementara ia memaksa untuk tak berpaling dan berpura-pura mengotak-atik sound system setelah mencabut kabel pelantang yang memang terbukti tak berfungsi lagi. Mendapati panggilannya tak diacuhkan, Camelia tetap melanjutkan: “Besok malam aku akan di room ini lagi. Sekitar jam 8. Kamu kerja shift malam kan?”.

    Ia mengerti arah pertanyaan itu dan hanya mengangguk untuk menjawabnya tanpa perlu menjelaskan kalau ia bekerja sepanjang karaoke itu buka.

    “Besok aku tunggu ya,” kata Camelia ketika M beranjak hendak meninggalkannya, “aku mau belajar bacaan sholat”. Langkah kaki M terhenti. Ketika hendak menutup pintu, ia mengangguk dan memberi senyum.

    Esok harinya dunia seolah berubah baginya. Manajer dan teman-temannya memandangnya dengan cara berbeda. Beberapa melempar pertanyaan dan basa-basi yang tak ia mengerti apakah itu bentuk perhatian atau ledekan. Tak ada yang berani berterus terang ketika ia bertanya sebenarnya ada apa karena mereka menganggap ia tengah berpura-pura. Sampai akhirnya bertemu Camelia sebagaimana janjinya kemarin, ia mulai mengerti segalanya.

    Di monitor yang ada di hadapan mereka, terlihat menu yang menunjukkan beberapa pilihan bacaan sholat dan surat-surat pendek. Mengapa bisa ada menu seperti itu? Siapa yang memasukkannya?

    “Tak usah heran, aku yang meminta mereka untuk memasukkan menu itu.” M langsung membayangkan siapa saja yang dirujuk “mereka” dalam ucapan itu: teman-temannya. Tapi masakah manajernya mengizinkannya? Jika mengizinkan, siapa sesungguhnya perempuan ini? Ah, bukannya ia juga diizinkan, bahkan seperti disuruh, menemani perempuan ini? Pertanyaan itu menggaung selama hampir dua jam ia menemani Camelia belajar membaca sekaligus menghafal bacaan sholat dengan baik dan benar.

    “Hidup ini penuh liku-liku ya,” kata Camelia seusai merasa lelah dan terasa ingin mencurahkan isi hatinya, “ada suka ada duka.” Ia  menghela napas amat dalam. Sementara M kebingungan hendak menanggapi dengan apa dan bagaimana.

    “Minumlah,” kata Camelia yang melihat segelas es teh yang masih utuh sejak disuguhkan dan tak ada lagi pecahan esnya. M menurut dan mulai mendengarkan keluhan Camelia. Sebulan yang lalu, ibu Camelia—yang saat itu juga diketahui oleh M sebagai istri pemilik karaoke tempatnya bekerja—meninggal  dunia setelah dua hari dirawat di sebuah rumah sakit. Selama sepekan seusai dikuburkan, ibunya berturut-turut datang ke dalam mimpinya, memintanya untuk mendoakan.

    M mulai mengerti mengapa perempuan itu belajar menyempurnakan sholatnya.   

    ***

    Dari pertemuan ke pertemuan mereka kian akrab. M merasa rikuh meskipun manajernya senantiasa mengizinkannya bila ia harus meninggalkan pekerjaannya demi menemani Camelia. Sementara teman-temannya makin sering meledeknya.

    Sebagai seorang lelaki miskin, M kini khawatir Camelia menaruh hati kepadanya. Ini tentu kekhawatiran yang berlebihan tapi bisa dimaklumi mengingat demikianlah karakter lelaki perasa sepertinya, yang begitu mendapatkan sedikit saja perhatian—yang sebenarnya respons wajar—dari seorang perempuan lalu menganggap itu adalah bentuk penerimaan.

    Kekhawatiran M berujung pada ketakutan karena pengalaman cinta satu-satunya kepada Lilis. Pengalaman kegagalan cinta yang membuat ia bertahan hingga empat tahun menjaga jarak dengan perempuan agar tidak jatuh cinta. Cinta yang membuatnya trauma dan senantiasa berkaca sebelum mengungkapkan isi hati.

    Lilis adalah pelayan warteg tempatnya sering makan bila ada kelebihan rezeki. Setiap kali M datang, perempuan itu menyambutnya dengan senyum dan tatapan penuh harap. Lilis akan bertanya dengan ramah dan sedikit mesra ia akan makan dan minum apa. Awalnya, M menyangka Lilis tengah menjalankan tugasnya sebagai penjaja menu belaka. Namun, lama-kelamaan ia mengerti kalau ada perlakuan khusus padanya. Merasa mendapatkan celah, M mengajaknya jalan ketika mereka sama-sama tidak sedang bekerja. Pada pertemuan-pertemuan awal mereka bercakap seputar pekerjaan, kegemaran, dan menggunjing majikan. Pertemuan-pertemuan berikutnya mulai membicarakan masa depan, keluarga, dan pernikahan. Dan di sinilah masalah itu timbul.

    Lilis acap ogah-ogahan ketika M menyinggung pernikahan. Karena kerap tidak diacuhkan padahal M serius ingin membicarakan soal itu, mereka bertengkar. Saling diam. Lumayan lama sebelum Lilis mengirimkan ajakan bertemu kepada M melalui sebuah pesan pendek. M dengan gembira menyambut ajakan itu karena ia mengira kekasihnya itu akan serius membicarakan pernikahan. Benarlah dugaan M bahwa Lilis membicarakan pernikahan dengan amat serius:

    “Aku sangat senang ketika kamu mengajakku menikah. Aku ceritakan pada bapak dan ibu bahwa ada lelaki yang mengajakku menikah. Bapak kemudian bertanya: siapa? Ibu bertanya: apa pekerjaannya? Bapak bertanya lagi: apakah aku siap hidup miskin terus-menerus? Ibu bertanya lagi: apakah aku tidak punya pilihan lain? Setelah itu, aku merenungkan jawaban-jawaban yang aku berikan kepada bapak dan ibuku. Aku ingat-ingat pula ceritamu tentang keluargamu, tentang bapakmu yang tidak bisa bekerja lagi, tentang ibumu yang jualan gorengan, dan adikmu yang masih sekolah itu. Bila nanti kita menikah, tentu bertambah lagi tanggung jawabmu. Aku tak ingin menjadi tambahan bebanmu. Aku ini cuma pelayan warteg. Tapi, sebagai pelayan warteg aku punya keinginan untuk hidup yang lebih baik dengan suami yang mampu mengangkatku jadi majikan, bukan terus-menerus jadi pelayan. Apakah kamu bisa?”

    Alih-alih menerima pertanyaan itu sebagai sebuah tantangan, M justru memilih mundur. Ia justru menyuntuki keadaan dirinya sebagai seorang miskin dan kembali pada kesibukannya memenuhi tanggung jawab pada keluarganya. Ia dapat mengerti mengapa Lilis secara halus menolak pinangannya. Lilis anak tunggal buruh tani dan tukang becak yang hendak mengubah peruntungannya. Tak ada salahnya ia ingin hidup kaya. Memang kebahagiaan tidak selalu datang dari harta. Namun, kepercayaan itu lebih banyak diyakini oleh orang kaya yang menderita daripada oleh orang miskin yang bahagia. Sayangnya, Lilis termasuk orang miskin yang tidak bahagia.

    Sudah tahu jalannya licin, kenapa engkau pakai sepatu? Sudah tahu aku orang miskin kenapa engkau cinta padaku? M menggumam sambil meninggalkan Lilis.

    Bila dengan Lilis yang sama miskinnya saja ia tak bisa meminang, bagaimana dengan perempuan yang memiliki status sosial lebih tinggi? Itulah pertanyaan yang mengeram di kepalanya hingga empat tahun, yang selalu membuatnya menundukkan kepala ketika bertatapan dengan perempuan. Dan apabila ia tergetar karena tak sengaja memandang atau berpandangan dengan perempuan, apalagi yang turun dari mobil, ia sering buru-buru ambil air wudlu lalu bercermin dan langsung merasa merasa tak pantas.

    ***

    Camelia kian mendekat dan semakin menaruh perhatian padanya. Ketakutannya terbukti benar ketika perempuan itu menyatakan perasaan kepadanya, dan ia sudah jauh hari mempersiapkan penolakannya.

    “Jadi kamu menolakku?”

    Bukan kumenolakmu untuk mencintaiku, tetapi lihat dulu siapakah diriku.”

    “Aku sudah melihatmu. Utuh. Jadi, aku sudah tahu siapa kamu.”

    Kau orang kaya, aku orang tak punya.”

    “Aku tidak peduli itu. Aku butuh kamu.”

    Sebelum terlanjur pikir-pikirlah dulu.”

    “Aku sudah memikirkan itu sejak kita bertemu. Kamu pantas jadi imamku, pembimbingku.”

    Sebelum engkau menyesal kemudian…”

    “Aku justru menyesal bila kamu sekarang menolakku.”

    “Sekali lagi aku tidak menolakmu.”

    “Lalu kenapa kau tak mau?”

    “Aku pun mau, sangat-sangat mau.”

    “Terus apa lagi masalahnya?”

    “Aku… Pokoknya aku ini orang miskin.”

    “Aku sudah tahu itu. Jangan kamu ulang-ulangi lagi!”

    “Tapi…aku memang orang miskin.”

    “Memangnya kalau miskin nggak boleh dicintai? Sialan, harusnya kamu yang ngomong kayak gitu, bukan aku. Kamu nggak pernah mikir betapa beruntungnya kamu? Banyak cowok ngejarngejar aku, tapi aku pilih kamu.”

    “Aku tidak menolakmu. Aku sangat-sangat mau menikah denganmu. Tapi sungguh aku tidak bisa.”

    “Tidak bisa menafkahiku?”

    “Bukan, bukan itu….”

    “Jujurlah…jika memang seperti itu, aku punya banyak modal. Kita bisa buka usaha. Kamu pekerja yang ulet, kamu akan jadi pengusaha yang hebat.”

    “Jangan merayuku.”

    “Aku tidak sedang merayumu.”  

    “Aku sungguh tidak bisa.”

    “Setidaknya beri aku alasan mengapa kamu tidak bisa?”

    “Kamu sudah pandai sholat.”

    “Itu bukan alasan.”

    “Setidaknya kita tak perlu bertemu lagi.”

    “Kau menolakku dan kini tidak ingin bertemu denganku lagi. Kamu sungguh….”

    ***

    Setelah pertemuan itu M tak lagi masuk kerja. Ia menyangka Camelia mengadu kepada ayahnya untuk memecatnya sehingga tak guna masuk kerja hanya untuk mendengar pemecatan meskipun sebenarnya tak pernah ada pengaduan itu.

    Sungguh tak ada yang salah pada Camelia, tapi M sendiri yang memandang nasib hidupnya terlalu berlebihan. Apalagi setelah menjadi pengangguran. Kini, kepada siapa pun ia mengaku sebagai orang termiskin di dunia. Seolah-olah ia telah berkeliling dunia dan membuktikan bahwa tak ada orang lain yang lebih miskin darinya. Seandainya ia berkeliling dunia, tentu gugur pengakuannya, sebab ia tidak hanya gagal sebagai orang termiskin di dunia, tapi juga tidak tergolong orang miskin sebab mana ada orang miskin mampu keliling dunia? Wajahnya pun tak pernah terpampang di sampul sebuah majalah bisnis internasional sebagai yang termiskin dari 100 orang miskin di dunia.

    Sampai cerita ini ditulis belum ada bukti tentang itu, dan ia masih saja mengeluh: aku merasa orang termiskin di dunia yang penuh derita dan bermandikan air mata.***

     

    (Seluruh kalimat yang dimiringkan dalam cerita di atas berasal dari lirik lagu dangdut “Sudah Tahu Aku Miskin” dan “Termiskin di Dunia”, keduanya dinyanyikan dan dipopulerkan oleh Muchsin Alatas dan Hamdan ATT.)

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Di Pojok Restoran Italia

    author = La Ode Gusman Nasiru

    “Aku jatuh cinta pada seseorang yang hanya mampu kunikmati tubuhnya saja.”*

    ***

    Kau meraih marlboro di samping carbonara yang baru saja diantar pelayan lengkap dengan topi koki di kepalanya. Ia salah tingkah setelah kau baca dengan teliti tulisan di celemeknya: eat pasta everyday. Pria itu kutaksir berusia awal dua puluhan. Ia mengalihkan fokusnya dengan terburu-buru menelah ludah setelah kau menyisakan kembali jarak pandang dengan perutnya.

    Ia segera menyelesaikan tugasnya. Meletakkan cinnamon ginger tea dan blue ocean. Masing-masing ia sorongkan dengan hormat dan hati-hati. Barangkali ia setengah mengumpat atau membaca mantra atas pergelangannya yang tremor menerima perhatianmu. Kutangkap liriknya sebentar ke arah Landrover yang kau parkir sebelum berlalu. Ia sadar nasib. 

    Kuah susu dan lelehan keju menyerahkan nasib ke ujung garpu yang kau raih. Sayang, mereka batal kau kecap. Kau meraih kembali marlboro berbekas gincu di asbak motif hati. Dalam-dalam kau sesap. Semesta adalah apa yang kini terhidu ke dalam paru-parumu. Lantas kau membuka semesta baru dengan satu embusan panjang dan letih, tepat ke wajahku yang muram. 

    “Khamabrasta, kawan kecil yang bahkan aku tau ke arah mana penisnya berdiri, jatuh cinta pada wanita yang salah. Di usia tiga puluh tiga.”

    Kau menjentikkan jari demi abu rokok dengan gestur masa remaja. Ketika remaja, ledekan tonjol dan liang selalu berhasil membuat mukaku merah. Padahal aku tahu, sejak bayi kita bahkan telah berenang di kolam yang sama dalam keadaan telanjang. Kini aku sedang tidak berselera meladeni leluconmu yang basi. 

    “Bocah tadi pasti pake Baxter of California Clay.”

    “Sok tau.”

    “Taruhan deh. Kalau benar, aku tembak kepala perempuan yang uda bikin kamu patah hati.”

    Percakapan kita diinterupsi Jose Feliciano. Che Sara mendengung di telinga, membawa geliat lo stivale dan merah jantung laut Mediterania. Tapi aku masih gelisah, membayangkan kembali pengabdian dipecundangi oleh sebuah status: selingkuhan. Aku harap tak sia-sia menyeretmu dari meeting pura-pura dengan pejabat teras di Hyatt Regency. Pun menganulir jadwal berdansamu dengan para pria bule yang sebetulnya hanya sekelompok orang miskin yang sedang berpakansi. 

    “Aku ke airport jam 5 pagi!”

    “Aroma lemon peelnya itu, lho, Kham. Jadi pengen nyicipin keringatnya.” 

    Tanganku malah bersidekap. Kau hapal benar tabiatku. Menanggapiku yang kesal cukup dengan lidahmu yang menjulur dengan bibir yang kau bentuk serupa moncong bebek. Aku bisa apa. Tak mungkin beranjak ke mana-mana lantas membiarkanmu lenyap seperti hari yang sudah-sudah. Pantatku bersitahan di kursi yang menghadap ke taman lampion mini. 

    Lampion, Clara. Merah yang menyala. Seperti mata perempuan yang tiga hari lalu mengusap dadaku, memintaku melumatnya sepenuh gairah. Matanya iblis yang melahap selama kukecap garam dari tubuhnya, menciduk surga dari tengkuknya yang madu. Mata para petualang yang tidak pernah menyediakan cinta bagi lelaki yang sudah ia cicipi. Tetapi lampion hanyalah bukti betapa kehadiran benda mengabdi pada cahaya. Sedang ia tak pernah benar-benar aku menangkan hatinya. 

    “Siapa namanya?”

    “Riu Tantra.”

    Aku terkenang bagaimana cara ia mengerling. Berkisah dengan bahasa paling santun sambil mengajakku menari di hamparan tubuhnya yang mengalir sungai-sungai dan kolam susu. Ia akan berkomentar tentang bulu-bulu di daguku yang tumbuh serampangan. Dan di separuh kesadaranku, jemarinya menyapu lidahku yang baru saja selesai ia lumat. Ia menyulap dirinya menjadi satu galaksi utuh, sedang aku hanyalah sisa tabrakan bintang yang mati dan jadi debu. 

    Siapa lelaki yang tidak mabuk dengan bibirnya yang membara meski tertimbun lipbalm warna lidah? Ia buah apel di hijau taman Firdaus. Daun yang menutupi yoni dan lingga manusia pertama. Ia ular dari segala jelmaan maha celaka yang alpa diempaskan tuhan ke deretan produk lupa ingatannya. Ia  tertawa riang dengan analogi demikian.

    Selepas bercinta, ia menatapku dengan mata seorang ibu. Seperti mafhum pada nasibku yang rentan karena sudah membuatnya tidak lagi menjadi penasaran. Gelagatnya menunjukkan empati mungkin satu dari tak terhingga alasan laki-laki bertekuk lutut menghamba berkatnya. Siapa yang rela melepasnya, Adrian si chef kapal pesiar, Zahiduz pengusaha minyak, Guntur pilot beranak empat, Rau, Dmitri, Slavik. Kepalaku pecah. 

    Aku membaca sederet rayuan di kotak whatsapp selagi ia nyenyak.

    Angin berembus dari utara. Tak banyak kendaraan lalu lalang di jalan Yudhistira. Udara ngelantur, melingsir hingga ke suhu lima belas. Jogja tak pernah sedingin ini sejak medio 2012. Aku tak dapat menerka, berpihak pada siapa semesta di malam selasa: aku atau kelelakianku yang terkalahkan.

    Kutambahkan bubuk lada ke sepiring creamy fettuccine. Ibarat menuang kekecewaan ketika paham dengan sengaja ia menelpon kekasihnya di depanku. Tak punya etika. Persis ketika kami baru selesai bersetubuh. Riu Tantra. Tiga puluh menit setelah sadar aku berada di daftar selingkuhan, kusebut namanya dengan seribu dendam. Kamar mandi mengambil alih amarahku. Oleh dindingnya, tinjuku diredam. Ketika keran kumatikan, ia resmi kulupakan. 

    “Ingatan harusnya kayak pembasmi hama. Kamu gak harus jadi pembenci demi menjadi semacam desinfektan.” Kau meraih tisu untuk kalimat panjang dan kedengaran filosofis.

    “Teruskan,” sambil mengigit bibirku yang kepedasan, aku memohon.

    “Cara terbaik melunaskan dendam adalah dengan tidak menjadi peduli.”

    “Bagaimana bisa. Aku jatuh cinta.”

    Kau menatapku lebih dalam. Tatapanmu menujah lembing ke jantungku yang serabut. Uap cacahan garlic tak berarti apa-apa di tengah kalimatmu yang jatuh perlahan ke atas hutan jamur di piringmu: cintamu semu, Khama.

    Apakah cinta? Perlukah kita mengabdi pada epos Ramayana? Sedang Sri Rama tak lagi percaya istrinya masih suci ketika ditawan di Istana Alengka.

    Siapakah pecinta? Raja Ayodya, Shinta, atau Rahwana yang sekalipun tak pernah mengotori taman Asoka dengan dosa azali yang bisa saja ia rampas dari gua garba pujaan hati?

    Kalimatmu berdentang di kepalaku, seperti lonceng pintu depan yang berdenting saat malam natal. Oh, kabar bahagia dalam sekarung kado Sinterklas. Bisakah aku menjelma rusa jantan yang menarik kereta di antara bintang-bintang dan doa-doa kudus? Hingga tak perlu kuterbenam dalam perkara cinta tak sampai yang maha jahanam ini? Barangkali lebih menyenangkan mati di tiang salib. Aku menyesap teh hangat yang tiba-tiba asin oleh air mata juru selamat.

    “Kamu bilang cantiknya standar. Tapi menyenangkan?”

    “Tentu saja!”

    “Dan menikam.”

    Kau masih sedingin batu kubur. Seamsal udara Kaliurang yang tak goyah diempas segelas hangat teh jahe, tempat segala kedamaian berpulang. Kau gigil paling purba yang lahir dari kepala arca yang ditebas orang-orang konservatif, terlempar ke rerimbun semak yang menunggu jadwal ekskavasi dari pada arkeolog.

    Obrolan kita selalu seperti monolog. Kau bayangan dari pantulan objek yang gelisah di muka cermin. Bahkan kerap lebih jauh. Tabir terbuka, dan kau membawaku masuk pada kesadaran-kesadaran dan melihat hal-hal mengerikan. Aku tak pernah berselera untuk itu. 

    Kau bertelekan pada tangan kanan dan menyorong tubuhmu untuk mengaduk blue ocean. Selasih yang rapuh mengepung empat ice cube yang melayang-layang di atas sirup mangga. Selasih itu, Clara, adalah jemariku yang membelah diri mencari-cari pegangan antara harapan dan kenyataan. Tetapi aku tahu, perut gelas tak pernah menawarkan apa-apa kecuali gelombang soda biru yang menjiplak warna langit dengan kesan yang terlalu artifisial. 

    Sedotan kau lepaskan setelah selesai dengan satu tegukan. Bahumu yang telanjang kembali mengakrabi kursi rotan. Aku paham benar kau gelisah mendengar kisahku yang begini-begini saja. Idemu meledakkan kepala Riu Tantra tidak bisa kuanggap main-main. Dengan caramu yang ganjil, aku paham bagaimana kau menyayangiku. 

    Tisu kuraih demi sisa krim di sudut bibir. Kuacungkan tangan kiri, meminta desert pada pelayan yang segera menoleh dengan takzim. Sejurus kemudian american chocolate cake terhidang di meja kita sebagai konsekuensi atas orderanmu.

    “Tau gak, aku kayak terafeksi sama kesan whisky Jack D di campuran resepnya.”

    “Kamu kapan terakhir making love?”

    Damn, Khama. Gak ada itu bercinta sama orang yang baru kamu kenal. Yang ada aku having fun. Dapet duit. Lha ngana, cuman dapat sakit hati.”

    Dua pengunjung baru saja tiba dan segera membanting buku besar ke atas meja. Tampaknya mereka mahasiswi yang sedang diburu tenggat. Atau mungkin baru saja melalui hari yang berat. Aku tak mungkin mendapati pemandangan demikian jika tak kupalingkan mukaku menahan kesal sekaligus tawa merespons tuduhanmu. Kau sepenuhnya benar. Hidup adalah lelucon sekaligus luka di waktu yang sama. 

    Mereka menoleh. Hampir bersamaan mengernyitkan dahi lantas tersenyum sopan. Dugaanku mereka terganggu dengan style kostum kita. Kau yang bergaun malam sedang aku yang berjaket jeans selaik preman. 

    Kita terdiam beberapa jenak. Membiarkan sayup percakapan pengunjung lain ditingkahi jerit vokalis Moda. Formulasi yang cukup memberi aksen untuk tappeto di fragole. Lantas kita ikut bergumam di bagian lirik: oppure fingi di amarmi. Berpura-puralah seolah kau mencintaiku. Mata kita bertemu. Aku mendengus seraya tersenyum, sementara kau kehabisan cara mengontrol otot wajahmu yang tiba-tiba tertarik. Kau tertawa, lepas. Tanpa aba-aba. Kita berhasil mencuri perhatian karyawan dan sisa pengunjung.

    Tubuhku tiba-tiba terpelanting di sepanjang jalan Piazza Nettuno di Bologna yang basah oleh ciuman dan sinar matahari. Sebuah kekuatan menyihirku menjadi lelaki Italia yang detail dan romantis. Nyatanya aku tidak membukakan pintu atau memasak resep makaroni untuk siapa-siapa. Aku. Sendiri. Hingga akhirnya aku tersedot kembali ke tengah realitas sebagai dampak dari sebuah pertanyaan: Kok kamu gampang banget jatuh cinta?

    “Kadang kau lakukan sesuatu tanpa alasan. Seperti agama yang sering runtuh diolok-olok ilmu pengetahuan, tapi penganutnya tetap eksis. Mereka berpegang pada iman.”

    “Terus kalau dia menua? Cacat? Gila?”

    “Cintaku tanpa syarat. Satu-satunya alasan tidak mencintainya hanya saat dia tidak memilihku.”

    “Artinya cintamu tetap bersyarat.”

    Pemain anggar mencuri poin ketika senjata menusuk dada lawan. Tak ada pedang di meja makan Italia. Tapi aku terempas oleh kekuatan yang jauh lebih dahsyat dari sekadar tekanan floret di bawah baju pelindung. Aku terperosok sekaligus bangkit. Lagi-lagi di waktu yang sama. Lukaku tak akan sembuh selekas ini.  Paling tidak, aku tahu ke arah mana sudut pandangku kini berlabuh. 

    Aku menoleh ke arah kasir seraya menyebut kata bill tanpa suara, cukup supaya dimengerti. Pelayan datang dan hanya mencetak satu tagihan. Aku bergumam memastikan tak ada yang keliru dengan itu. 

    “Orderan teman saya gak dihitung?”

    “Teman Bapak?”

    Aku menoleh ke arahmu. Kau tersenyum dan mengangkat bahu, lantas berpaling dan mengambil langkah ke parkiran.

    “Ya.”

    “Bapak tamu kami paling tenang malam ini. Kecuali saat memesan dessert dan… tertawa cukup keras, Bapak menunduk atau menerawang. Sendirian. Semua pesanan tertera sesuai nomor meja Bapak. Tak ada tambahan.”

    Aku terpaku dengan kelalaiannya menghitung jumlah pesanan. Ia berjalan menuju meja kasir setelah sebelumnya mendoakan keselamatanku.

    “Semoga Bapak tidak sedang patah hati. Good vibes all day.” sambungnya sebelum ia benar-benar kembali ke rutinitasnya. 

    Di parkiran, kau melemparkan kunci ke arahku. Berdalih hendak menikmati bir kaleng sepanjang perjalanan, itu sebabnya aku yang berhak mengambil kemudi. 

    ”Masih jatuh cinta pada seseorang yang hanya mampu kau nikmati tubuhnya saja?”

    “Aku pikir-pikir dulu.” 

    Kita tertawa di bawah langit suhu dua belas.

    * Terinspirasi dari dialog film Rectoverso, Dewi Lestari.
    ** Pernah dimuat di Jurnal Ruang, sebelum situs web tersebut tutup.

  • Dewa Marah Kepada Saya

    author = Miguel Angelo Jonathan

    Pagi hari ini Jamukha menunggangi kudanya dengan begitu muram. Kuda dijalankannya lambat-lambat, wajahnya menatap kosong ke depan seperti hendak menghindari tatapanku. Padahal dalam setiap pengembaraan kami biasanya saling berlomba, siapa gerangan yang mampu memacu kuda paling cepat. Kini di atas pelananya dia bagai seorang pembenci kuda yang tak ingin lagi naik binatang itu untuk selama-lamanya.

    Aku yang berkuda beriringan dengannya semakin terheran-heran ketika Jamukha berhenti mendadak, mendesah sebentar lalu memandangku dengan raut wajah masygulnya. Bibirnya bergerak pelan dan bisikan lirihnya sampai juga akhirnya di telingaku. “Belakangan ini nampaknya para Dewa marah kepada saya.” 

    “Kenapa engkau merasa begitu, anda [1] Maknanya adalah “saudara darah”. Dua orang laki-laki Mongol bersumpah setia untuk menjadi saudara darah, meski tidak memiliki hubungan darah apa pun. Dalam bahasa Inggris istilah ini dikenal … Continue reading ?” tanyaku cepat. Jamukha cuma membisu. Sejurus kemudian dia malah memacu kudanya makin gesit. Meninggalkanku yang masih diselimuti kebingungan sendirian di atas kuda. 

    Aku berusaha mengejarnya untuk mengetahui apa gerangan yang dia pikirakan saat ini, meski aku tahu betapa keras kepalanya Jamukha. Jika dia memutuskan tidak ingin berbicara, maka begitulah jadinya. Sekeras apa pun memaksa dia tak akan membuka mulutnya sama sekali. Hanya waktu dan dirinya sajalah yang dapat memperbaiki perasaan murungnya itu.

    Kali ini aku tidak membiarkannya bergelut sendirian dengan pikirannya. Kupacu kudaku berderap lebih cepat agar mampu menyusul kuda Jamukha. Aku merasa ada sesuatu yang mengkhawatirkan. Mungkin dia mengetahui suatu bencana besar akan datang, tetapi lebih memilih memikirkan hal itu sendirian.

    Tak berapa lama Jamukha kembali menarik kekang kudanya dan berhenti. Tak sedikit pun dia menoleh ke belakang. Aku mengejar atau tidak seperti tidak penting baginya. Ketika aku kembali berada di sampingnya dan hendak menanyakan kesusahan hatinya, dia telah terlebih dahulu mengatakan apa yang mengganjal di hatinya. Sesuatu yang menggegerkan buatku.

    “Mungkin sebaiknya kita mulai membangun perkemahan sendiri-sendiri, Temujin. Kamu membangun perkemahan di seberang sungai sambil menggembalakan kambing dan domba, sedangkan aku membangun perkemahan di dekat gunung sambil mengurus kuda-kuda.” Ucapnya dengan suara agak serak.

    Aku segera paham dengan maksud perkataannya. Jelas apa yang dia ucapkan mengarah pada perpisahan. Penggembala adalah kasta terendah dalam masyarakat Mongol, sementara peternak kuda memainkan peranan penting dalam sejarah bangsa Mongol. Jamukha memberikan pilihan kepadaku, untuk tetap bersamanya tetapi hanya menjadi seorang bawahan, atau meninggalkan kelompoknya dan membangun perkemahan sendiri.

    Jamukha sekilas tampak tersenyum. Senyum di bawah kumisnya yang tajam bagai rumput-rumput padang itu tampak masam. Belum juga aku membalas perkataannya, dia telah kembali memacu kudanya lebih cepat dari sebelumnya dan kembali meninggalkan aku di belakang. Kali ini aku tidak mengejarnya.

    ***

    Ketika siang sedang panas-panasnya aku bergegas menyusuri kembali sungai Onon. Perkemahan kami sedang berada di salah satu sudut sungai itu, tengah bersiap-siap memindahkan lagi perkemahan [2]Bangsa Mongol adalah suku nomad. Setiap waktu-waktu tertentu, ratusan hingga ribuan tenda (tergantung besaran kelompok) perkemahan suku Mongol akan dipindahkan menuju padang rumput yang lain, demi … Continue reading. Dalam waktu senggang aku biasanya berkuda dengan Jamukha hingga sore hari. Saat ini aku memutuskan untuk kembali lebih cepat dan segera memberitahukan pemikiran Jamukha kepada keluargaku. Bukannya teringat pada keadaan mereka, aku justru tiba-tiba mengingat kembali kemenangan besarku bersama Jamukha.

    Hampir dua tahun telah berlalu semenjak kami bersama-sama menghancurkan suku Merkit. Pada waktu itu suku keparat Merkit berniat membalaskan dendam masa lampau ayahku. Dahulu ayahku menculik Hoelun, ibuku, dari suaminya yang berasal dari suku Merkit, Chiledu. Itu sah-sah saja dalam tradisi suku padang rumput. Yang harusnya dipermasalahankan justru adalah sikap pengecut Chiledu, yang begitu lemah sehingga tak mampu merebut kembali istrinya. Ibuku tak pantas menjadi istri orang semacam itu, dan dia sungguh beruntung menikah dengan ayahku.

    Merkit tidak menerima penghinaan tersebut dan memutuskan untuk membalaskan dendam Chiledu secara lebih pengecut lagi. Dengan 300 penunggang kuda mereka menyerang perkemahanku sewaktu malam. Bukannya untuk menculik kembali ibuku melainkan istriku, Börte. Sayangnya mereka salah jika menganggapku akan bersikap seperti Chiledu yang tak punya harga diri itu. Kuputuskan untuk merebut kembali istriku sekaligus membinasakan Merkit.

    Dengan kemarahan yang terpendam aku meminta bantuan Toghrul dan Jamukha, dua orang terdekatku. Toghrul adalah anda dari mendiang ayahku, Yesugei, yang telah kuanggap sebagai ayah keduaku. Sedangkan Jamukha adalah anda-ku. Telah kami ucapkan sumpah setia sejak kami belum mencapai usia remaja. Mereka tentu saja setuju untuk membantuku, terlebih Jamukha pernah dijadikan budak oleh Merkit dan menyimpan dendam yang tak kalah besarnya dariku.

    Kami bertiga memutuskan untuk mengumpulkan pasukan di Khenti, sebuah daerah pegunungan dan lembah yang takkan diperkirakan oleh Merkit sebagai tempat kedatangan musuh. Aku dan Toghrul terlambat datang, dan Jamukha yang telah menunggu selama tiga hari marah besar kepada kami.

    “Ketika bangsa Mongol sudah berkata ‘ya’,” teriaknya ketika melihat kedatangan pasukanku dan Toghrul, “bukankah itu berarti kita sudah bersumpah? Tidak boleh ada alasan apa pun! Jika orang Mongol telah bersepakat untuk bertemu, salju ataupun hujan tidak boleh memperlambat mereka! Sebaiknya kita usir saja, siapa pun yang telah melanggar janjinya!” Bukannya marah, aku justru merasa ucapannya begitu berdampak pada diriku yang sekarang. Penyesalan yang mendalam segera memenuhi diriku.

    Pada hari itu juga kami melancarkan serangan. Kami menang telak, suku Merkit hancur berantakan dan Börte kembali ke pelukanku. Usai kemenangan itu aku dan Jamukha memutuskan untuk membangun perkemahan bersama, menggabungkan seluruh pengikut kami sebagai satu kelompok. Rasanya seperti kembali menjalani kehidupan kanak-kanak yang telah lewat. Kami menghabiskan waktu tanpa pernah terpisahkan. Kami berkuda, berburu, makan, dan bahkan berkemah bersama. Tak kusangka hari seperti ini akan datang mengusik. Hari di mana Jamukha menyampaikan keinginan untuk berpisah.

    Aku sampai di perkemahan sebelum sore. Dengan cemas lekas kucari keberadaan keluargaku. Perasaan lega segara menyeruak keluar ketika kusibak kain tendaku dan kudapati ibuku sedang duduk di sana, justru kebingungan dengan sikapku yang begitu dipenuhi kecemasan. Jamukha ternyata belum pulang dan tak ada tindakan buruk apapun yang dilakukan oleh anggota kelompoknya. Aku segera memberitahu kepada ibuku apa yang Jamukha katakan kepadaku.

    Ibuku, Hoelun, adalah perempuan yang bijak. Dengan bersusah payah beliau mengurus enam orang anak ayahku-dua merupakan anak tiri dari istri kedua ayah-usai ayahku mati diracun dan kami kemudian diusir dari kelompoknya. Tentu aku mengharapkan petuah darinya.

    Usai keluh-kesah kusampaikan, tak kusangka Börte menyibak tenda dan bergabung sebelum ibuku sempat mengucapkan sepatah kata pun. Pastinya dia telah mendengar cerita dari mulutku. Dengan cemasnya dia berkata, “Kita semua tahu Jamukha sesungguhnya cepat bosan! Pastilah dia sudah bosan dengan kita, berniat mengusir kita semua dari sini.”

    Jamukha, cepat bosan? Pendapat dari mana itu, yang tidak jelas juntrungannya. Anda-ku, Jamukha, yang telah menjadi karibku semenjak masih anak-anak dan membantuku menaklukkan musuh bukanlah orang picik seperti yang dikatakan istriku. Tanpa Jamukha mungkin sekali Börte takkan kembali di sisiku. Sebesar apa pun perasaan sayangku padanya dia tak punya hak berbicara seperti itu.

    Meski begitu perkataannya merasuk juga ke benakku. Mengusir. Kata itu telah mengubah keresahanku menjadi kesadaran yang mengerikan. Jika kami berpisah maka kami tak mungkin menjadi satu lagi. Lantas bukankah kami akan memandang satu sama lain sebagai musuh, sebagai saingan yang harus mendominasi lawannya? Aku takkan mau menjadi bawahan, tetapi menjadi musuh bebuyutan dengan anda sendiri pun rasanya aku tidak mau.

    Pada akhirnya keputusan mesti diambil. Pada hari itu juga aku bersama seluruh keluarga dan pengikutku meninggalkan perkemahan Jamukha. Sebuah keputusan yang tentu saja membebani pikiranku. Dengan sedikit keterkejutan, sebagian pengikut Jamukha justru memutuskan untuk mengikuti kepergianku, yang mana kuterima dengan penuh senang hati. Memacu kuda dengan tergesa-gesa, kulihat perkemahan Jamukha yang semakin menjauh. Tempat yang takkan kutinggali untuk kedua kalinya.

    ***

    Aku memacu cepat kudaku. Bersama ribuan pasukan berkuda lainnya di belakangku, kami berderap menuju perkemahan suku Naiman. Di sana Toghrul dan Jamukha kabarnya mendapat suaka usai sebelumnya kukalahkan keduanya. Ya, Toghrul dan Jamukha. Dua orang yang dahulu menjadi teman seperjuanganku.

    Setelah kami berpisah, aku dan Jamukha kemudian bertempur sengit selama dua puluh tahun. Selama pertempuran yang memakan waktu lama itu masing-masing dari kami berhasil menjadi pemimpin atas dua kelompok utama yang kini mengembarai Mongolia. Para pengikutku mengangkatku sebagai seorang khan [3]Gelar pemimpin Mongolia, maka dipanggilah aku sebagai Temujin Khan. Jamukha pun diangkat oleh pengikutnya sebagai khan, dengan gelar yang hendak ditunjukkan lebih mulia daripadaku, yaitu Gur Khan [4]Penguasa semesta.

    Selama dua puluh tahun ini aku membayangkan apa-apa saja yang mampu kami capai jika kami tidak melakukan perpisahan. Kini kami berdua telah menjelma menjadi pemimpin atas dua kelompok tersisa yang ada di Mongolia. Jika yang satu berhasil menguasai yang lain, maka dia akan menjadi penguasa tunggal Mongol. Bukankah itu berarti, jika kami tidak saling melawan, Mongol seharusnya telah berada di bawah genggaman kami? Kalau saja kami bisa mengesampingkan perbedaan, sudah sejak lama kami mampu mempersatukan Mongol.

    Sayangnya itu semua hanya mimpi siang bolong di padang rumput. Kami justru melakoni perang demi perang lainnya, berhadapan sebagai musuh di setiap peperangan itu. Meski aku sadar aku adalah seorang panglima perang yang mumpuni, aku bukannya selalu menang ketika melawan Jamukha. Sebab dia memang seorang panglima perang yang cerdik juga, dan pantaslah dia diangkat sebagai seorang khan. 

    Dalam salah satu pertempuran sepuluh tahun yang lalu pasukanku dibuat kocar-kacir, hingga aku terpaksa bersembunyi di ngarai-ngarai berliku dekat Sungai Onon. Lalu terakhir-beberapa bulan sebelum aku berderap hendak menyerang suku Naiman saat ini-Jamukha dengan cerdiknya bersekongkol dengan Toghrul untuk menghancurkanku.

    Toghrul yang dahulu dianggap sebagai seorang khan itu memang telah menua, terombang-ambing di tengah perebutan kekuasaan Mongol. Dia tak punya pijakan, ataupun bawahan yang mumpuni. Dalam kebimbangannya itu dia akhirnya bergabung dengan Jamukha, meski sebelumnya sudah kupanggil dia ke dalam kelompokku. Mereka memasang perangkap dengan mengundangku menghadiri sebuah pernikahan. Di sana keduanya telah menyiapkan pasukan untuk menyergap dan membunuhku.

    Aku berkuda bersama sekelompok kecil pasukan kepercayaanku, berpikir bahwa undangan itu sebuah tanda dari Toghrul untuk menyerahkan kepemimpinan kelompoknya padaku tanpa tahu jebakan liciknya sama sekali. Beruntung dua orang bawahanku yang melintas di perkemahan Toghrul melihat jebakan itu. Berada jauh dari pasukan utama, aku hanya mampu memerintahkan kelompok kecilku itu berpencar, meminta mereka memanggil seluruh pasukanku untuk berkumpul dan menunggu kedatanganku kembali.

    Setelah semua berpencar, akhirnya aku hanya ditemani oleh sembilan belas penunggang kuda. Bersembunyi di dekat Danau Baljuna, keadaan kami serba kekurangan. Tak ada makanan, atau minuman. Ajal bisa tiba kapan saja. Kami bertahan hidup dengan memakan kuda takhi[5]Kuda liar padang rumput Mongol. dan minum air berlumpur. Bersama mereka kuhabiskan masa-masa berat persembunyian. Kutatapi wajah mereka satu per satu, bersumpah bahwa setelah semua ini usai aku akan berbagai segala hal manis dan pahit dengan mereka.

    Kami berhasil selamat dari Baljuna dan bergabung kembali dengan pasukan yang telah berkumpul. Tak mengambil waktu lama kami segera menyerang perkemahan Toghrul dan Jamukha yang tak mengira kedatangan kami sama sekali, membuat pasukan mereka hancur lebur. Keduanya selamat dari serangan itu dan melarikan diri menuju perkemahan suku Naiman, yang mana hendak kuserang saat ini.

    Betapa kemirisan di Baljuna sungguh mengikatku dengan seluruh pengikut setiaku. Meski begitu, lagi-lagi aku justru teringat pada Jamukha, anda-ku itu. Bukankah seharusnya kami berdua yang berada di dalam keadaan seperti itu? Saling mendukung dan bertahan dalam keadaan sulit, minum air lumpur Baljuna dan makan kuda liar.

    Tapi yang ada kami malah saling bertarung, berniat menghancurkan satu sama lain. Kami yang dulu sewaktu kecil bertukar dadu dari tulang domba, sewaktu remaja bertukar mata panah. Kami yang dulu menyayat ibu jari kemudian menempelkannya supaya darah kami menyatu, sehingga meski kami tak terlahir dari ibu yang sama, kami tetap bisa menjadi saudara sedarah, anda.

    Bahkan rasanya baru sekajap mata, ketika dua puluh tahun lalu setelah memenangkan pertempuran melawan Merkit kami saling bertukar ikat pinggang emas untuk menegaskan kembali hubungan persaudaraan kami. Saat ini semua yang kusebut barusan seperti tidak pernah terjadi. Seakan-akan aku dan Jamukha musuh sejak dalam kandungan, tak pernah punya keakraban.

    Di hadapanku, perkemahan suku Naiman telah terlihat. Sesaat mesti kuenyahkan dulu kenangan-kenanganku dengan Jamukha. Apa yang mesti kulakukan saat ini adalah menghancurkan kelompok terakhir penentangku itu. Jangan sampai aku dikalahkan akibat memikirkan sesuatu yang telah lewat.

    Kukirimkan terlebih dahulu sekelompok kecil penunggang kuda. Mereka menerjang, memanah musuh, kemudian berpencar ke arah berbeda. Kemudian kelompok lainnya melakukan hal yang sama hingga berkali-kali, memusingkan musuh yang tak mampu memberikan serangan balasan. Setelah taktik cepat itu berlangsung lama, barulah kuserang perkemahan Naiman dari segala penjuru dengan kekuatan penuh. 

    Naiman hancur tak tersisa. Usai pertempuran, aku mencari-cari Toghrul dan Jamukha. Kabar datang padaku bahwa sebelum sampai di perkemahan Toghrul telah mati dibunuh pasukan Naiman yang tak percaya orang itu adalah lelaki yang dahulu dipanggil sebagai khan. Sesuatu yang miris sekali buatku. Sementara itu, Jamukha seperti tidak ada bekasnya. Bagai suatu keajaiban, Jamukha ternyata kembali lolos.

    ***

    Selama beberapa hari kukerahkan pasukan untuk mencari keberadaan Jamukha. Selama dia masih berkeliaran, aku takkan tenang. Mungkin saja dia mendapat dukungan dari suku-suku lain yang menyimpan ketidaksukaan padaku dan mampu membangun kembali pasukannya. Para jenderal-jenderalku pun begitu bersemangat untuk meniadakan rintangan terakhirku. Mereka bahkan memintaku untuk segera membunuhnya setelah anda-ku itu ditemukan, kalau bisa melalui tanganku sendiri.

    Jamukha memang ibarat rintangan terakhir bagiku, tetapi jenderal-jenderalku salah jika berpikir aku berkehendak untuk membunuh saudara darahku. Aku justru hendak memberikannya pengampunan, mengajaknya bergabung dengan kelompokku. Bukan hanya karena Jamukha seorang petarung handal, atau aku hendak menunjukkan belas kasihan saja. 

    Tapi tentu saja karena dia adalah anda-ku, temanku sewaktu kecil, yang tanpanya aku mungkin sudah binasa sebagai manusia. Darinya kudapatkan kehangatan dan juga kesetiakawanan. Dua puluh tahun terakhir kami memang telah bertindak sebagai musuh dalam perang, tetapi dua puluh tahun sebelumnya aku hidup oleh karenanya.

    Ketika hari-hari pencarian semakin bertambah, semakin murung dan khawatirlah aku. Ketidaktenangan batin membuatku semakin memikirkan Jamukha dan segala pertentanganku dengannya. Sebab saat-saat seperti itu memanglah waktu-waktu yang rentan diserang berbagai pemikiran, membuat macam-macam pikiran muncul berputar-putar di kepala. Di saat batin tidak tenang, orang akan mulai memikirkan berbagai macam hal. Dan untuk kasusku, tentu saja Jamukha yang terlintas di kepala.

    Kini semakin terpatri dalam benakku, bahwa pertarunganku selama dua puluh tahun dengan Jamukha bukanlah pertarungan biasa untuk menguasai Mongol, ataupun perbedaan pendapat dua orang saudara pada umumnya yang melahirkan peperangan. Pertempuranku melawan Jamukha adalah sekaligus pertarungan antara yang lama dan baru. Tradisi selama ribuan tahun melawan norma baru yang hendak kuterapkan pada bangsa Mongol.

    Teringatlah olehku, betapa Jamukha terlahir dari keluarga terhormat Mongol. Betapa dia mempertimbangkan keuturunan seseorang sebelum mengangkatnya sebagai penasihat maupun anggota dewan, seorang jenderal ataupun pemimpin pasukan, sebagaimana tradisi yang selama ini berlaku pada bangsa Mongol. Dia menolak kaum penggembala dan kaum-kaum rendahan lainnya. Tidak memungkinkan mereka untuk mencapai kedudukan tinggi seperti yang mampu didapat oleh kaum aristokrat.

    Sementara itu, aku mengangkat seseorang ke dalam kedudukan penting bukan berdasarkan keturunan mereka, tetapi keahlian mereka. Tak peduli dia seorang penggembala, pemburu, tukang jagal, ataupun kaum yang dianggap rendah lainnya. Selama mereka memiliki kemampuan, kedudukannya sejajar dengan kaum aristokrat. 

    Inilah yang, dalam pandanganku, ditolak mentah-mentah oleh Jamukha. Jamukha mungkin menganggap ini sebagai penghancuran tradisi, tapi dia tidak melewati masa kecilnya sepertiku dengan terusir dari kelompok seorang ayah yang mati, harus berjuang sendirian bersama keluarga dengan berburu dan kabur dari serangan suku lain, sebelum akhirnya mampu menjadi penguasa Mongol. Hanya orang yang pernah terbuang mampu memahami derita orang terbuang lainnya. Dan peningkatan derajat manusia berdasarkan kelahirannya itulah yang hendak kuhapuskan.

    Tatkala aku memikirkan berbagai permasalahan di kepalaku, seorang pengawal menyibak tendaku, melaporkan bahwa dua orang bawahan Jamukha telah datang menyerahkan pimpinan mereka kepadaku. Aku terkaget. Bukannya senang aku malah merasa berang.

    Cepat-cepat aku keluar dari tenda. Dan Jamukha nampak di hadapanku, berlutut dengan tubuh terikat. Ia diikelilingi seluruh bawahanku yang memelototinya dengan mata bengis. Dia tak tampak sama sekali seperti seorang khan yang dahulu dengan gagahnya bertempur melawanku dan memimpin ribuan pasukan di medan perang. Kulitnya kotor, rambut dan jenggotnya berantakan. Jamukha menatap tanah, tak mau memandangku.

    Di samping Jamukha berdiri dua orang bekas bawahannya. Merekalah yang menangkap anda-ku itu, berniat memberikannya sebagai hadiah kepadaku. Orang yang sebelumnya mereka jadikan sebagai pemimpin. Mereka tampak percaya diri, tersenyum. Wajah-wajah yang mengharapkan hadiah besar dari sebuah pengkhianatan. Sungguh memuakkan.

    “Bawa mereka dan lekaslah penggal keduanya.” Kataku kepada para prajurit.

    Terkaget-kaget, mereka hanya bisa memberontak ketika para prajurit menahan lengan dan pundak mereka, membawa keduanya untuk dihabisi. Berteriak-teriak minta ampun, mereka berkata telah melakukan pengabdian besar dengan menyerahkan Jamukha kepadaku. Mereka tak tahu betapa aku sangat membenci pengkhianatan tercela seperti ini. Jamukha memang bisa dibilang mengusirku dari kelompoknya, tetapi dia tidak membantaiku serta keluargaku meski dia mampu melakukannya. Bukannya melakukan itu dia justru memberikan waktu kepadaku untuk bersiap-siap meninggalkan perkemahannya.

    Kini tinggalah penghakiman bagi Jamukha. Sekitar mendadak jadi senyap, terutama usai suara jatuhnya kepala dua orang pengkhianat itu. Semua mata tertuju pada aku dan Jamukha. Seluruh bawahan menunggu tindakan apa yang akan kulakukan pada orang yang dianggap oleh mereka sebagai musuh terbesarku.

    Jamukha menggerakkan kepalanya perlahan, lalu menatapku. Wajahnya benar-benar layu, matanya tak punya semangat lagi. Melihat wajahnya mendadak membuatku membisu. Setelah terdiam beberapa saat akhirnya kata-kata mampu keluar dari mulutku. Ucapan untuk mengajaknya kembali ke sisiku.

    “Kita harus saling mengingatkan apa yang telah kita lupakan, saling membangunkan dari tidur panjang kita. Ketika kau pergi dan terpisah dariku, engkau masih saudara sumpahku. Tentu selama hari-hari kita saling memburu, ulu hati dan jantungmu masih merindukanku?”

    Jamukha memejamkan matanya, tak langsung menjawab. Napasnya terdengar pelan, tapi teratur. Sejurus kemudian dia membuka kembali matanya dan membalas perkataanku.

    “Oh, anda. Tak tahukah kamu, kalau telah kau koyak-koyak tatanan bangsa Mongol. Menghancurkan tradisi.”

    Anda, hanya itu satu-satunya yang dapat dilakukan untuk mempertahankan bangsa kita, membuat mereka besar dan disegani bangsa-bangsa lain. Hanya dengan cara ini kita mampu menaklukkan dunia. Dalam tradisi kita hancur, saling berperang hingga tak mampu menyisakan kejayaan.”

    “Sekarang setelah dunia hendak berada di genggamanmu, untuk apa masih menjadikanku kawanmu? Aku justru hanya akan menghantui mimpimu, menganggu pikiranmu di pagi hari yang cerah. Aku akan menjadi kutu di kerah bajumu, menjadi serpihan kayu di keliman jubahmu.”

    Anda…”

    Belum juga kuselesaikan perkataanku, Jamukha telah kembali berbicara. 

    “Hanya boleh ada satu matahari di langit, sebagaimana hanya boleh ada satu pemimpin bangsa Mongol. Kini biarkan aku mati tanpa meneteskan darahku. Bunuhlah aku, lalu kuburkan tulang belulangku di tempat yang tinggi. Dengan begitu aku dapat melindungimu dan memberkati benih dari benihmu selamanya.”

    Pada saat perkataan itu diucapkanlah, kenangan membawaku pada kehidupan masa kecilku. Ketika aku dan keluargaku harus mengembara, bertahan hidup dengan berburu hewan liar. Saudara seayahku, Begter, yang sepadan umurnya denganku, mulai bertindak semena-mena kepadaku dan berusaha menampakkan dirinya sebagai pemimpin keluarga.

    Ketika dia semakin menindas dan menganggap rendah aku dan saudaraku, bersama adik kandungku Kasar aku membuntutinya. Ketika kami yakin dia telah jauh dan berada sendirian, kami keluar dari persembunyian lalu bersama-sama memanahnya hingga dia mati. Sesaat di matanya nampak kengerian dan penyesalan atas apa yang telah dia lakukan kepadaku.

    Usai melakukan pembunuhan itu aku menghampiri ibuku dan memberi tahu apa yang sudah kulakukan. Kukatakan itu sebagai usaha untuk mempertahankan keluarga. Bukannya menghargai tindakanku, ibu justru mencaciku sedemikian rupa. “Kalian perusak!” Umpatnya keras kepadaku serta Kasar.

    “Bagai anjing liar yang melahap ari-arinya sendiri, seperti itulah kalian telah merusak!”

    Ibu lekas memintaku dan Kasar memberikan anak panah kami. Waktu itu yang kami pikirkan hanya satu. Apakah ibu akan membunuh kami dengan anak panah? Tapi kemudian dia memerintahkan kami untuk menyisakan satu anak panah, dan menyuruh kami mematahkan panah terakhir itu. Tentu saja kami mematahkannya dengan mudah.

    Dia kemudian memberikan panah kami berdua yang telah dikumpulkannya. Meminta kami bergantian mematahkan seluruh anak panah itu sekaligus. Kami berdua tak ada yang mampu melakukannya. Aku segera paham maksud tindakannya ini.

    “Selain bayang-bayang kita sendiri, kita tidak punya teman. Hanya dengan bersatu kita mampu menjadi kuat.” Katanya lagi kepada kami.

    Aku tak sekadar mengingat perkataannya, tetapi juga meresapi apa yang telah ibuku itu ajarkan. Harus kudorong segala keinginan balas dendam jauh-jauh, mengutamakan kerja sama dan kesetiaan. Dan kini, setelah Jamukha mengucapkan permintaan terakhirnya, apakah aku harus melaksanakan permintaannya itu? Apakah Jamukha hendak memutuskan anak panah yang harusnya bersatu?

    Dengan penuh kesedihan, akhirnya kuputuskan untuk memenuhi permintaan anda-ku. Apa artinya jika Jamukha hidup dan berada di sisiku, tetapi meratapi apa yang telah dia lakukan dan terus menyesali perbuatannya. Kuperintahkan dua orang prajurit maju untuk mematahkan punggung Jamukha. Sewaktu hendak menemui ajalnya Jamukha tersenyum kepadaku. Senyum tulus yang dua puluh tahun tak pernah kudapati lagi.

    Kematiannya berlangsung cepat, tanpa setetes pun darah keluar seperti yang diinginkan olehnya. Mayatnya kukuburkan pada hari itu juga, tanpa kupertontonkan jasadnya kepada khalayak ramai. Bersamaan dengan tubuhnya kuletakkan juga ikat pinggang emas yang dahulu kami tukarkan di liang lahatnya. Seharian penuh hari itu, aku tak makan dan minum.

    ***

    Satu tahun setelah kematian Jamukha, Khurultai[6]Pertemuan nasional yang dilakukan untuk memilih seorang pemimpin dalam tradisi militer Mongol. diadakan. Tentu akulah yang dipilih sebagai pemimpin seluruh bangsa Mongol yang kini telah bersatu dalam satu panji. Aku mengganti gelar lamaku menjadi Jenghis Khan, dan dengan persatuan yang telah tercapai aku menatap lebih jauh pencapaian lain yang mampu kulakukan ke depan.

    Walau begitu, beberapa hari belakangan aku merasa cukup murung. Satu tahun telah berlalu semenjak kematian Jamukha, dan peringatan satu tahun kematiannya sudah semakin dekat. Tentu tak ada perayaan apa pun untuk mengingat kematian orang itu, sebab seluruh pasukan dan bawahanku menganggapnya sebagai musuh besarku, bahkan seorang pengkhianat. Hanya akulah yang memikirkan Jamukha, anda-ku.

    Setiap siang hingga sore, di saat waktu sedang luang kusempatkan diriku untuk berkuda, mengenang hari-hari ketika aku tak memikirkan segala macam hal-hal rumit kecuali kesenangan memacu kuda dengan Jamukha. Kubayangkan dia berkuda beriringan denganku. Suara hembusan angin kuanggap sebagai derapan kudanya. Hangatnya mentari kuanggap jadi sentuhan ramahnya. Tapi tentu semua itu terasa berbeda. Aku bagai orang gila, membayangkan sesuatu yang tidak ada menjadi ada.

    Usai berkuda seperti itu, pada suatu malam aku pulang ke perkemahan utamaku dengan kemurungan yang sedemikian dalam. Para prajurit memberi hormat, keluargaku memberikan sambutan. Tapi yang kurasakan hanya kedinginan. Menolak makan, aku bergegas tidur ditemani Börte.

    Hingga tengah malam aku tak kunjung tidur. Mata terbuka menatap langit-langit tenda. Börte terbangun waktu itu, melihatku yang masih terjaga dia lekas memelukku.

    “Engkau pasti bersusah hati setelah diangkat menjadi khan seluruh Mongol. Berbahagialah, khan agung! Kau akan mampu mencapai hal-hal tak terkira, yang tak mungkin dapat dilakukan manusia lainnya. Nanti, sayangku, kau akan kembali tenang.”

    Aku tersenyum sedikit, mengusap kepalanya. Dia memelukku dan kembali memejamkan mata. Ketika melihat wajahnya dari dekat, sesaat hendak kukatakan padanya, kalau para dewa sepertinya marah kepadaku. Tapi ucapan itu kutahan di mulut. Kuputuskan untuk memejamkan mata, berpura-pura untuk tidur. Aku tak bisa tidur sampai pagi hari.

    References

    References
    1  Maknanya adalah “saudara darah”. Dua orang laki-laki Mongol bersumpah setia untuk menjadi saudara darah, meski tidak memiliki hubungan darah apa pun. Dalam bahasa Inggris istilah ini dikenal sebagai sworn brothers, dan salah satu kisah paling menarik di Asia mengenai saudara darah terdapat dalam Kisah Tiga Kerajaan, dengan tokoh Liu Bei, Guan Yu, dan Zhang Fei.
    2 Bangsa Mongol adalah suku nomad. Setiap waktu-waktu tertentu, ratusan hingga ribuan tenda (tergantung besaran kelompok) perkemahan suku Mongol akan dipindahkan menuju padang rumput yang lain, demi ketersediaan rumput dan air yang mencukupi bagi kelompok tersebut.
    3 Gelar pemimpin Mongolia
    4 Penguasa semesta
    5 Kuda liar padang rumput Mongol.
    6 Pertemuan nasional yang dilakukan untuk memilih seorang pemimpin dalam tradisi militer Mongol.