Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Dewa Marah Kepada Saya

author = Miguel Angelo Jonathan

Pagi hari ini Jamukha menunggangi kudanya dengan begitu muram. Kuda dijalankannya lambat-lambat, wajahnya menatap kosong ke depan seperti hendak menghindari tatapanku. Padahal dalam setiap pengembaraan kami biasanya saling berlomba, siapa gerangan yang mampu memacu kuda paling cepat. Kini di atas pelananya dia bagai seorang pembenci kuda yang tak ingin lagi naik binatang itu untuk selama-lamanya.

Aku yang berkuda beriringan dengannya semakin terheran-heran ketika Jamukha berhenti mendadak, mendesah sebentar lalu memandangku dengan raut wajah masygulnya. Bibirnya bergerak pelan dan bisikan lirihnya sampai juga akhirnya di telingaku. “Belakangan ini nampaknya para Dewa marah kepada saya.” 

“Kenapa engkau merasa begitu, anda [1] Maknanya adalah “saudara darah”. Dua orang laki-laki Mongol bersumpah setia untuk menjadi saudara darah, meski tidak memiliki hubungan darah apa pun. Dalam bahasa Inggris istilah ini dikenal … Continue reading ?” tanyaku cepat. Jamukha cuma membisu. Sejurus kemudian dia malah memacu kudanya makin gesit. Meninggalkanku yang masih diselimuti kebingungan sendirian di atas kuda. 

Aku berusaha mengejarnya untuk mengetahui apa gerangan yang dia pikirakan saat ini, meski aku tahu betapa keras kepalanya Jamukha. Jika dia memutuskan tidak ingin berbicara, maka begitulah jadinya. Sekeras apa pun memaksa dia tak akan membuka mulutnya sama sekali. Hanya waktu dan dirinya sajalah yang dapat memperbaiki perasaan murungnya itu.

Kali ini aku tidak membiarkannya bergelut sendirian dengan pikirannya. Kupacu kudaku berderap lebih cepat agar mampu menyusul kuda Jamukha. Aku merasa ada sesuatu yang mengkhawatirkan. Mungkin dia mengetahui suatu bencana besar akan datang, tetapi lebih memilih memikirkan hal itu sendirian.

Tak berapa lama Jamukha kembali menarik kekang kudanya dan berhenti. Tak sedikit pun dia menoleh ke belakang. Aku mengejar atau tidak seperti tidak penting baginya. Ketika aku kembali berada di sampingnya dan hendak menanyakan kesusahan hatinya, dia telah terlebih dahulu mengatakan apa yang mengganjal di hatinya. Sesuatu yang menggegerkan buatku.

“Mungkin sebaiknya kita mulai membangun perkemahan sendiri-sendiri, Temujin. Kamu membangun perkemahan di seberang sungai sambil menggembalakan kambing dan domba, sedangkan aku membangun perkemahan di dekat gunung sambil mengurus kuda-kuda.” Ucapnya dengan suara agak serak.

Aku segera paham dengan maksud perkataannya. Jelas apa yang dia ucapkan mengarah pada perpisahan. Penggembala adalah kasta terendah dalam masyarakat Mongol, sementara peternak kuda memainkan peranan penting dalam sejarah bangsa Mongol. Jamukha memberikan pilihan kepadaku, untuk tetap bersamanya tetapi hanya menjadi seorang bawahan, atau meninggalkan kelompoknya dan membangun perkemahan sendiri.

Jamukha sekilas tampak tersenyum. Senyum di bawah kumisnya yang tajam bagai rumput-rumput padang itu tampak masam. Belum juga aku membalas perkataannya, dia telah kembali memacu kudanya lebih cepat dari sebelumnya dan kembali meninggalkan aku di belakang. Kali ini aku tidak mengejarnya.

***

Ketika siang sedang panas-panasnya aku bergegas menyusuri kembali sungai Onon. Perkemahan kami sedang berada di salah satu sudut sungai itu, tengah bersiap-siap memindahkan lagi perkemahan [2]Bangsa Mongol adalah suku nomad. Setiap waktu-waktu tertentu, ratusan hingga ribuan tenda (tergantung besaran kelompok) perkemahan suku Mongol akan dipindahkan menuju padang rumput yang lain, demi … Continue reading. Dalam waktu senggang aku biasanya berkuda dengan Jamukha hingga sore hari. Saat ini aku memutuskan untuk kembali lebih cepat dan segera memberitahukan pemikiran Jamukha kepada keluargaku. Bukannya teringat pada keadaan mereka, aku justru tiba-tiba mengingat kembali kemenangan besarku bersama Jamukha.

Hampir dua tahun telah berlalu semenjak kami bersama-sama menghancurkan suku Merkit. Pada waktu itu suku keparat Merkit berniat membalaskan dendam masa lampau ayahku. Dahulu ayahku menculik Hoelun, ibuku, dari suaminya yang berasal dari suku Merkit, Chiledu. Itu sah-sah saja dalam tradisi suku padang rumput. Yang harusnya dipermasalahankan justru adalah sikap pengecut Chiledu, yang begitu lemah sehingga tak mampu merebut kembali istrinya. Ibuku tak pantas menjadi istri orang semacam itu, dan dia sungguh beruntung menikah dengan ayahku.

Merkit tidak menerima penghinaan tersebut dan memutuskan untuk membalaskan dendam Chiledu secara lebih pengecut lagi. Dengan 300 penunggang kuda mereka menyerang perkemahanku sewaktu malam. Bukannya untuk menculik kembali ibuku melainkan istriku, Börte. Sayangnya mereka salah jika menganggapku akan bersikap seperti Chiledu yang tak punya harga diri itu. Kuputuskan untuk merebut kembali istriku sekaligus membinasakan Merkit.

Dengan kemarahan yang terpendam aku meminta bantuan Toghrul dan Jamukha, dua orang terdekatku. Toghrul adalah anda dari mendiang ayahku, Yesugei, yang telah kuanggap sebagai ayah keduaku. Sedangkan Jamukha adalah anda-ku. Telah kami ucapkan sumpah setia sejak kami belum mencapai usia remaja. Mereka tentu saja setuju untuk membantuku, terlebih Jamukha pernah dijadikan budak oleh Merkit dan menyimpan dendam yang tak kalah besarnya dariku.

Kami bertiga memutuskan untuk mengumpulkan pasukan di Khenti, sebuah daerah pegunungan dan lembah yang takkan diperkirakan oleh Merkit sebagai tempat kedatangan musuh. Aku dan Toghrul terlambat datang, dan Jamukha yang telah menunggu selama tiga hari marah besar kepada kami.

“Ketika bangsa Mongol sudah berkata ‘ya’,” teriaknya ketika melihat kedatangan pasukanku dan Toghrul, “bukankah itu berarti kita sudah bersumpah? Tidak boleh ada alasan apa pun! Jika orang Mongol telah bersepakat untuk bertemu, salju ataupun hujan tidak boleh memperlambat mereka! Sebaiknya kita usir saja, siapa pun yang telah melanggar janjinya!” Bukannya marah, aku justru merasa ucapannya begitu berdampak pada diriku yang sekarang. Penyesalan yang mendalam segera memenuhi diriku.

Pada hari itu juga kami melancarkan serangan. Kami menang telak, suku Merkit hancur berantakan dan Börte kembali ke pelukanku. Usai kemenangan itu aku dan Jamukha memutuskan untuk membangun perkemahan bersama, menggabungkan seluruh pengikut kami sebagai satu kelompok. Rasanya seperti kembali menjalani kehidupan kanak-kanak yang telah lewat. Kami menghabiskan waktu tanpa pernah terpisahkan. Kami berkuda, berburu, makan, dan bahkan berkemah bersama. Tak kusangka hari seperti ini akan datang mengusik. Hari di mana Jamukha menyampaikan keinginan untuk berpisah.

Aku sampai di perkemahan sebelum sore. Dengan cemas lekas kucari keberadaan keluargaku. Perasaan lega segara menyeruak keluar ketika kusibak kain tendaku dan kudapati ibuku sedang duduk di sana, justru kebingungan dengan sikapku yang begitu dipenuhi kecemasan. Jamukha ternyata belum pulang dan tak ada tindakan buruk apapun yang dilakukan oleh anggota kelompoknya. Aku segera memberitahu kepada ibuku apa yang Jamukha katakan kepadaku.

Ibuku, Hoelun, adalah perempuan yang bijak. Dengan bersusah payah beliau mengurus enam orang anak ayahku-dua merupakan anak tiri dari istri kedua ayah-usai ayahku mati diracun dan kami kemudian diusir dari kelompoknya. Tentu aku mengharapkan petuah darinya.

Usai keluh-kesah kusampaikan, tak kusangka Börte menyibak tenda dan bergabung sebelum ibuku sempat mengucapkan sepatah kata pun. Pastinya dia telah mendengar cerita dari mulutku. Dengan cemasnya dia berkata, “Kita semua tahu Jamukha sesungguhnya cepat bosan! Pastilah dia sudah bosan dengan kita, berniat mengusir kita semua dari sini.”

Jamukha, cepat bosan? Pendapat dari mana itu, yang tidak jelas juntrungannya. Anda-ku, Jamukha, yang telah menjadi karibku semenjak masih anak-anak dan membantuku menaklukkan musuh bukanlah orang picik seperti yang dikatakan istriku. Tanpa Jamukha mungkin sekali Börte takkan kembali di sisiku. Sebesar apa pun perasaan sayangku padanya dia tak punya hak berbicara seperti itu.

Meski begitu perkataannya merasuk juga ke benakku. Mengusir. Kata itu telah mengubah keresahanku menjadi kesadaran yang mengerikan. Jika kami berpisah maka kami tak mungkin menjadi satu lagi. Lantas bukankah kami akan memandang satu sama lain sebagai musuh, sebagai saingan yang harus mendominasi lawannya? Aku takkan mau menjadi bawahan, tetapi menjadi musuh bebuyutan dengan anda sendiri pun rasanya aku tidak mau.

Pada akhirnya keputusan mesti diambil. Pada hari itu juga aku bersama seluruh keluarga dan pengikutku meninggalkan perkemahan Jamukha. Sebuah keputusan yang tentu saja membebani pikiranku. Dengan sedikit keterkejutan, sebagian pengikut Jamukha justru memutuskan untuk mengikuti kepergianku, yang mana kuterima dengan penuh senang hati. Memacu kuda dengan tergesa-gesa, kulihat perkemahan Jamukha yang semakin menjauh. Tempat yang takkan kutinggali untuk kedua kalinya.

***

Aku memacu cepat kudaku. Bersama ribuan pasukan berkuda lainnya di belakangku, kami berderap menuju perkemahan suku Naiman. Di sana Toghrul dan Jamukha kabarnya mendapat suaka usai sebelumnya kukalahkan keduanya. Ya, Toghrul dan Jamukha. Dua orang yang dahulu menjadi teman seperjuanganku.

Setelah kami berpisah, aku dan Jamukha kemudian bertempur sengit selama dua puluh tahun. Selama pertempuran yang memakan waktu lama itu masing-masing dari kami berhasil menjadi pemimpin atas dua kelompok utama yang kini mengembarai Mongolia. Para pengikutku mengangkatku sebagai seorang khan [3]Gelar pemimpin Mongolia, maka dipanggilah aku sebagai Temujin Khan. Jamukha pun diangkat oleh pengikutnya sebagai khan, dengan gelar yang hendak ditunjukkan lebih mulia daripadaku, yaitu Gur Khan [4]Penguasa semesta.

Selama dua puluh tahun ini aku membayangkan apa-apa saja yang mampu kami capai jika kami tidak melakukan perpisahan. Kini kami berdua telah menjelma menjadi pemimpin atas dua kelompok tersisa yang ada di Mongolia. Jika yang satu berhasil menguasai yang lain, maka dia akan menjadi penguasa tunggal Mongol. Bukankah itu berarti, jika kami tidak saling melawan, Mongol seharusnya telah berada di bawah genggaman kami? Kalau saja kami bisa mengesampingkan perbedaan, sudah sejak lama kami mampu mempersatukan Mongol.

Sayangnya itu semua hanya mimpi siang bolong di padang rumput. Kami justru melakoni perang demi perang lainnya, berhadapan sebagai musuh di setiap peperangan itu. Meski aku sadar aku adalah seorang panglima perang yang mumpuni, aku bukannya selalu menang ketika melawan Jamukha. Sebab dia memang seorang panglima perang yang cerdik juga, dan pantaslah dia diangkat sebagai seorang khan. 

Dalam salah satu pertempuran sepuluh tahun yang lalu pasukanku dibuat kocar-kacir, hingga aku terpaksa bersembunyi di ngarai-ngarai berliku dekat Sungai Onon. Lalu terakhir-beberapa bulan sebelum aku berderap hendak menyerang suku Naiman saat ini-Jamukha dengan cerdiknya bersekongkol dengan Toghrul untuk menghancurkanku.

Toghrul yang dahulu dianggap sebagai seorang khan itu memang telah menua, terombang-ambing di tengah perebutan kekuasaan Mongol. Dia tak punya pijakan, ataupun bawahan yang mumpuni. Dalam kebimbangannya itu dia akhirnya bergabung dengan Jamukha, meski sebelumnya sudah kupanggil dia ke dalam kelompokku. Mereka memasang perangkap dengan mengundangku menghadiri sebuah pernikahan. Di sana keduanya telah menyiapkan pasukan untuk menyergap dan membunuhku.

Aku berkuda bersama sekelompok kecil pasukan kepercayaanku, berpikir bahwa undangan itu sebuah tanda dari Toghrul untuk menyerahkan kepemimpinan kelompoknya padaku tanpa tahu jebakan liciknya sama sekali. Beruntung dua orang bawahanku yang melintas di perkemahan Toghrul melihat jebakan itu. Berada jauh dari pasukan utama, aku hanya mampu memerintahkan kelompok kecilku itu berpencar, meminta mereka memanggil seluruh pasukanku untuk berkumpul dan menunggu kedatanganku kembali.

Setelah semua berpencar, akhirnya aku hanya ditemani oleh sembilan belas penunggang kuda. Bersembunyi di dekat Danau Baljuna, keadaan kami serba kekurangan. Tak ada makanan, atau minuman. Ajal bisa tiba kapan saja. Kami bertahan hidup dengan memakan kuda takhi[5]Kuda liar padang rumput Mongol. dan minum air berlumpur. Bersama mereka kuhabiskan masa-masa berat persembunyian. Kutatapi wajah mereka satu per satu, bersumpah bahwa setelah semua ini usai aku akan berbagai segala hal manis dan pahit dengan mereka.

Kami berhasil selamat dari Baljuna dan bergabung kembali dengan pasukan yang telah berkumpul. Tak mengambil waktu lama kami segera menyerang perkemahan Toghrul dan Jamukha yang tak mengira kedatangan kami sama sekali, membuat pasukan mereka hancur lebur. Keduanya selamat dari serangan itu dan melarikan diri menuju perkemahan suku Naiman, yang mana hendak kuserang saat ini.

Betapa kemirisan di Baljuna sungguh mengikatku dengan seluruh pengikut setiaku. Meski begitu, lagi-lagi aku justru teringat pada Jamukha, anda-ku itu. Bukankah seharusnya kami berdua yang berada di dalam keadaan seperti itu? Saling mendukung dan bertahan dalam keadaan sulit, minum air lumpur Baljuna dan makan kuda liar.

Tapi yang ada kami malah saling bertarung, berniat menghancurkan satu sama lain. Kami yang dulu sewaktu kecil bertukar dadu dari tulang domba, sewaktu remaja bertukar mata panah. Kami yang dulu menyayat ibu jari kemudian menempelkannya supaya darah kami menyatu, sehingga meski kami tak terlahir dari ibu yang sama, kami tetap bisa menjadi saudara sedarah, anda.

Bahkan rasanya baru sekajap mata, ketika dua puluh tahun lalu setelah memenangkan pertempuran melawan Merkit kami saling bertukar ikat pinggang emas untuk menegaskan kembali hubungan persaudaraan kami. Saat ini semua yang kusebut barusan seperti tidak pernah terjadi. Seakan-akan aku dan Jamukha musuh sejak dalam kandungan, tak pernah punya keakraban.

Di hadapanku, perkemahan suku Naiman telah terlihat. Sesaat mesti kuenyahkan dulu kenangan-kenanganku dengan Jamukha. Apa yang mesti kulakukan saat ini adalah menghancurkan kelompok terakhir penentangku itu. Jangan sampai aku dikalahkan akibat memikirkan sesuatu yang telah lewat.

Kukirimkan terlebih dahulu sekelompok kecil penunggang kuda. Mereka menerjang, memanah musuh, kemudian berpencar ke arah berbeda. Kemudian kelompok lainnya melakukan hal yang sama hingga berkali-kali, memusingkan musuh yang tak mampu memberikan serangan balasan. Setelah taktik cepat itu berlangsung lama, barulah kuserang perkemahan Naiman dari segala penjuru dengan kekuatan penuh. 

Naiman hancur tak tersisa. Usai pertempuran, aku mencari-cari Toghrul dan Jamukha. Kabar datang padaku bahwa sebelum sampai di perkemahan Toghrul telah mati dibunuh pasukan Naiman yang tak percaya orang itu adalah lelaki yang dahulu dipanggil sebagai khan. Sesuatu yang miris sekali buatku. Sementara itu, Jamukha seperti tidak ada bekasnya. Bagai suatu keajaiban, Jamukha ternyata kembali lolos.

***

Selama beberapa hari kukerahkan pasukan untuk mencari keberadaan Jamukha. Selama dia masih berkeliaran, aku takkan tenang. Mungkin saja dia mendapat dukungan dari suku-suku lain yang menyimpan ketidaksukaan padaku dan mampu membangun kembali pasukannya. Para jenderal-jenderalku pun begitu bersemangat untuk meniadakan rintangan terakhirku. Mereka bahkan memintaku untuk segera membunuhnya setelah anda-ku itu ditemukan, kalau bisa melalui tanganku sendiri.

Jamukha memang ibarat rintangan terakhir bagiku, tetapi jenderal-jenderalku salah jika berpikir aku berkehendak untuk membunuh saudara darahku. Aku justru hendak memberikannya pengampunan, mengajaknya bergabung dengan kelompokku. Bukan hanya karena Jamukha seorang petarung handal, atau aku hendak menunjukkan belas kasihan saja. 

Tapi tentu saja karena dia adalah anda-ku, temanku sewaktu kecil, yang tanpanya aku mungkin sudah binasa sebagai manusia. Darinya kudapatkan kehangatan dan juga kesetiakawanan. Dua puluh tahun terakhir kami memang telah bertindak sebagai musuh dalam perang, tetapi dua puluh tahun sebelumnya aku hidup oleh karenanya.

Ketika hari-hari pencarian semakin bertambah, semakin murung dan khawatirlah aku. Ketidaktenangan batin membuatku semakin memikirkan Jamukha dan segala pertentanganku dengannya. Sebab saat-saat seperti itu memanglah waktu-waktu yang rentan diserang berbagai pemikiran, membuat macam-macam pikiran muncul berputar-putar di kepala. Di saat batin tidak tenang, orang akan mulai memikirkan berbagai macam hal. Dan untuk kasusku, tentu saja Jamukha yang terlintas di kepala.

Kini semakin terpatri dalam benakku, bahwa pertarunganku selama dua puluh tahun dengan Jamukha bukanlah pertarungan biasa untuk menguasai Mongol, ataupun perbedaan pendapat dua orang saudara pada umumnya yang melahirkan peperangan. Pertempuranku melawan Jamukha adalah sekaligus pertarungan antara yang lama dan baru. Tradisi selama ribuan tahun melawan norma baru yang hendak kuterapkan pada bangsa Mongol.

Teringatlah olehku, betapa Jamukha terlahir dari keluarga terhormat Mongol. Betapa dia mempertimbangkan keuturunan seseorang sebelum mengangkatnya sebagai penasihat maupun anggota dewan, seorang jenderal ataupun pemimpin pasukan, sebagaimana tradisi yang selama ini berlaku pada bangsa Mongol. Dia menolak kaum penggembala dan kaum-kaum rendahan lainnya. Tidak memungkinkan mereka untuk mencapai kedudukan tinggi seperti yang mampu didapat oleh kaum aristokrat.

Sementara itu, aku mengangkat seseorang ke dalam kedudukan penting bukan berdasarkan keturunan mereka, tetapi keahlian mereka. Tak peduli dia seorang penggembala, pemburu, tukang jagal, ataupun kaum yang dianggap rendah lainnya. Selama mereka memiliki kemampuan, kedudukannya sejajar dengan kaum aristokrat. 

Inilah yang, dalam pandanganku, ditolak mentah-mentah oleh Jamukha. Jamukha mungkin menganggap ini sebagai penghancuran tradisi, tapi dia tidak melewati masa kecilnya sepertiku dengan terusir dari kelompok seorang ayah yang mati, harus berjuang sendirian bersama keluarga dengan berburu dan kabur dari serangan suku lain, sebelum akhirnya mampu menjadi penguasa Mongol. Hanya orang yang pernah terbuang mampu memahami derita orang terbuang lainnya. Dan peningkatan derajat manusia berdasarkan kelahirannya itulah yang hendak kuhapuskan.

Tatkala aku memikirkan berbagai permasalahan di kepalaku, seorang pengawal menyibak tendaku, melaporkan bahwa dua orang bawahan Jamukha telah datang menyerahkan pimpinan mereka kepadaku. Aku terkaget. Bukannya senang aku malah merasa berang.

Cepat-cepat aku keluar dari tenda. Dan Jamukha nampak di hadapanku, berlutut dengan tubuh terikat. Ia diikelilingi seluruh bawahanku yang memelototinya dengan mata bengis. Dia tak tampak sama sekali seperti seorang khan yang dahulu dengan gagahnya bertempur melawanku dan memimpin ribuan pasukan di medan perang. Kulitnya kotor, rambut dan jenggotnya berantakan. Jamukha menatap tanah, tak mau memandangku.

Di samping Jamukha berdiri dua orang bekas bawahannya. Merekalah yang menangkap anda-ku itu, berniat memberikannya sebagai hadiah kepadaku. Orang yang sebelumnya mereka jadikan sebagai pemimpin. Mereka tampak percaya diri, tersenyum. Wajah-wajah yang mengharapkan hadiah besar dari sebuah pengkhianatan. Sungguh memuakkan.

“Bawa mereka dan lekaslah penggal keduanya.” Kataku kepada para prajurit.

Terkaget-kaget, mereka hanya bisa memberontak ketika para prajurit menahan lengan dan pundak mereka, membawa keduanya untuk dihabisi. Berteriak-teriak minta ampun, mereka berkata telah melakukan pengabdian besar dengan menyerahkan Jamukha kepadaku. Mereka tak tahu betapa aku sangat membenci pengkhianatan tercela seperti ini. Jamukha memang bisa dibilang mengusirku dari kelompoknya, tetapi dia tidak membantaiku serta keluargaku meski dia mampu melakukannya. Bukannya melakukan itu dia justru memberikan waktu kepadaku untuk bersiap-siap meninggalkan perkemahannya.

Kini tinggalah penghakiman bagi Jamukha. Sekitar mendadak jadi senyap, terutama usai suara jatuhnya kepala dua orang pengkhianat itu. Semua mata tertuju pada aku dan Jamukha. Seluruh bawahan menunggu tindakan apa yang akan kulakukan pada orang yang dianggap oleh mereka sebagai musuh terbesarku.

Jamukha menggerakkan kepalanya perlahan, lalu menatapku. Wajahnya benar-benar layu, matanya tak punya semangat lagi. Melihat wajahnya mendadak membuatku membisu. Setelah terdiam beberapa saat akhirnya kata-kata mampu keluar dari mulutku. Ucapan untuk mengajaknya kembali ke sisiku.

“Kita harus saling mengingatkan apa yang telah kita lupakan, saling membangunkan dari tidur panjang kita. Ketika kau pergi dan terpisah dariku, engkau masih saudara sumpahku. Tentu selama hari-hari kita saling memburu, ulu hati dan jantungmu masih merindukanku?”

Jamukha memejamkan matanya, tak langsung menjawab. Napasnya terdengar pelan, tapi teratur. Sejurus kemudian dia membuka kembali matanya dan membalas perkataanku.

“Oh, anda. Tak tahukah kamu, kalau telah kau koyak-koyak tatanan bangsa Mongol. Menghancurkan tradisi.”

Anda, hanya itu satu-satunya yang dapat dilakukan untuk mempertahankan bangsa kita, membuat mereka besar dan disegani bangsa-bangsa lain. Hanya dengan cara ini kita mampu menaklukkan dunia. Dalam tradisi kita hancur, saling berperang hingga tak mampu menyisakan kejayaan.”

“Sekarang setelah dunia hendak berada di genggamanmu, untuk apa masih menjadikanku kawanmu? Aku justru hanya akan menghantui mimpimu, menganggu pikiranmu di pagi hari yang cerah. Aku akan menjadi kutu di kerah bajumu, menjadi serpihan kayu di keliman jubahmu.”

Anda…”

Belum juga kuselesaikan perkataanku, Jamukha telah kembali berbicara. 

“Hanya boleh ada satu matahari di langit, sebagaimana hanya boleh ada satu pemimpin bangsa Mongol. Kini biarkan aku mati tanpa meneteskan darahku. Bunuhlah aku, lalu kuburkan tulang belulangku di tempat yang tinggi. Dengan begitu aku dapat melindungimu dan memberkati benih dari benihmu selamanya.”

Pada saat perkataan itu diucapkanlah, kenangan membawaku pada kehidupan masa kecilku. Ketika aku dan keluargaku harus mengembara, bertahan hidup dengan berburu hewan liar. Saudara seayahku, Begter, yang sepadan umurnya denganku, mulai bertindak semena-mena kepadaku dan berusaha menampakkan dirinya sebagai pemimpin keluarga.

Ketika dia semakin menindas dan menganggap rendah aku dan saudaraku, bersama adik kandungku Kasar aku membuntutinya. Ketika kami yakin dia telah jauh dan berada sendirian, kami keluar dari persembunyian lalu bersama-sama memanahnya hingga dia mati. Sesaat di matanya nampak kengerian dan penyesalan atas apa yang telah dia lakukan kepadaku.

Usai melakukan pembunuhan itu aku menghampiri ibuku dan memberi tahu apa yang sudah kulakukan. Kukatakan itu sebagai usaha untuk mempertahankan keluarga. Bukannya menghargai tindakanku, ibu justru mencaciku sedemikian rupa. “Kalian perusak!” Umpatnya keras kepadaku serta Kasar.

“Bagai anjing liar yang melahap ari-arinya sendiri, seperti itulah kalian telah merusak!”

Ibu lekas memintaku dan Kasar memberikan anak panah kami. Waktu itu yang kami pikirkan hanya satu. Apakah ibu akan membunuh kami dengan anak panah? Tapi kemudian dia memerintahkan kami untuk menyisakan satu anak panah, dan menyuruh kami mematahkan panah terakhir itu. Tentu saja kami mematahkannya dengan mudah.

Dia kemudian memberikan panah kami berdua yang telah dikumpulkannya. Meminta kami bergantian mematahkan seluruh anak panah itu sekaligus. Kami berdua tak ada yang mampu melakukannya. Aku segera paham maksud tindakannya ini.

“Selain bayang-bayang kita sendiri, kita tidak punya teman. Hanya dengan bersatu kita mampu menjadi kuat.” Katanya lagi kepada kami.

Aku tak sekadar mengingat perkataannya, tetapi juga meresapi apa yang telah ibuku itu ajarkan. Harus kudorong segala keinginan balas dendam jauh-jauh, mengutamakan kerja sama dan kesetiaan. Dan kini, setelah Jamukha mengucapkan permintaan terakhirnya, apakah aku harus melaksanakan permintaannya itu? Apakah Jamukha hendak memutuskan anak panah yang harusnya bersatu?

Dengan penuh kesedihan, akhirnya kuputuskan untuk memenuhi permintaan anda-ku. Apa artinya jika Jamukha hidup dan berada di sisiku, tetapi meratapi apa yang telah dia lakukan dan terus menyesali perbuatannya. Kuperintahkan dua orang prajurit maju untuk mematahkan punggung Jamukha. Sewaktu hendak menemui ajalnya Jamukha tersenyum kepadaku. Senyum tulus yang dua puluh tahun tak pernah kudapati lagi.

Kematiannya berlangsung cepat, tanpa setetes pun darah keluar seperti yang diinginkan olehnya. Mayatnya kukuburkan pada hari itu juga, tanpa kupertontonkan jasadnya kepada khalayak ramai. Bersamaan dengan tubuhnya kuletakkan juga ikat pinggang emas yang dahulu kami tukarkan di liang lahatnya. Seharian penuh hari itu, aku tak makan dan minum.

***

Satu tahun setelah kematian Jamukha, Khurultai[6]Pertemuan nasional yang dilakukan untuk memilih seorang pemimpin dalam tradisi militer Mongol. diadakan. Tentu akulah yang dipilih sebagai pemimpin seluruh bangsa Mongol yang kini telah bersatu dalam satu panji. Aku mengganti gelar lamaku menjadi Jenghis Khan, dan dengan persatuan yang telah tercapai aku menatap lebih jauh pencapaian lain yang mampu kulakukan ke depan.

Walau begitu, beberapa hari belakangan aku merasa cukup murung. Satu tahun telah berlalu semenjak kematian Jamukha, dan peringatan satu tahun kematiannya sudah semakin dekat. Tentu tak ada perayaan apa pun untuk mengingat kematian orang itu, sebab seluruh pasukan dan bawahanku menganggapnya sebagai musuh besarku, bahkan seorang pengkhianat. Hanya akulah yang memikirkan Jamukha, anda-ku.

Setiap siang hingga sore, di saat waktu sedang luang kusempatkan diriku untuk berkuda, mengenang hari-hari ketika aku tak memikirkan segala macam hal-hal rumit kecuali kesenangan memacu kuda dengan Jamukha. Kubayangkan dia berkuda beriringan denganku. Suara hembusan angin kuanggap sebagai derapan kudanya. Hangatnya mentari kuanggap jadi sentuhan ramahnya. Tapi tentu semua itu terasa berbeda. Aku bagai orang gila, membayangkan sesuatu yang tidak ada menjadi ada.

Usai berkuda seperti itu, pada suatu malam aku pulang ke perkemahan utamaku dengan kemurungan yang sedemikian dalam. Para prajurit memberi hormat, keluargaku memberikan sambutan. Tapi yang kurasakan hanya kedinginan. Menolak makan, aku bergegas tidur ditemani Börte.

Hingga tengah malam aku tak kunjung tidur. Mata terbuka menatap langit-langit tenda. Börte terbangun waktu itu, melihatku yang masih terjaga dia lekas memelukku.

“Engkau pasti bersusah hati setelah diangkat menjadi khan seluruh Mongol. Berbahagialah, khan agung! Kau akan mampu mencapai hal-hal tak terkira, yang tak mungkin dapat dilakukan manusia lainnya. Nanti, sayangku, kau akan kembali tenang.”

Aku tersenyum sedikit, mengusap kepalanya. Dia memelukku dan kembali memejamkan mata. Ketika melihat wajahnya dari dekat, sesaat hendak kukatakan padanya, kalau para dewa sepertinya marah kepadaku. Tapi ucapan itu kutahan di mulut. Kuputuskan untuk memejamkan mata, berpura-pura untuk tidur. Aku tak bisa tidur sampai pagi hari.

References

References
1  Maknanya adalah “saudara darah”. Dua orang laki-laki Mongol bersumpah setia untuk menjadi saudara darah, meski tidak memiliki hubungan darah apa pun. Dalam bahasa Inggris istilah ini dikenal sebagai sworn brothers, dan salah satu kisah paling menarik di Asia mengenai saudara darah terdapat dalam Kisah Tiga Kerajaan, dengan tokoh Liu Bei, Guan Yu, dan Zhang Fei.
2 Bangsa Mongol adalah suku nomad. Setiap waktu-waktu tertentu, ratusan hingga ribuan tenda (tergantung besaran kelompok) perkemahan suku Mongol akan dipindahkan menuju padang rumput yang lain, demi ketersediaan rumput dan air yang mencukupi bagi kelompok tersebut.
3 Gelar pemimpin Mongolia
4 Penguasa semesta
5 Kuda liar padang rumput Mongol.
6 Pertemuan nasional yang dilakukan untuk memilih seorang pemimpin dalam tradisi militer Mongol.