Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Reza Nufa
“Sabir, Sabir, ini sudah jam sepuluh, kau harus pulang,” katanya, seperti berbisik. “Tidak baik di sini lama-lama. Tidak masalah di luar hujan, tabrak saja. Lagi pula, ada jas merah polkadot itu, yang dulu kamu kasihkan di ulang tahunku yang kedua puluh. Sudah berlubang di pundaknya, tapi itu lebih baik daripada tidak.” Aku diam saja dan dia menggoyang-goyang pundakku. “Aku serius. Kemarin ada peringatan.”
Di luar hujan tidak main-main, ditambah angin yang mirip gerombolan barbarian, menggoyang pohon sirsak depan kamar habis-habisan. Berulang kali aku berdoa, meski tak jelas pada Tuhan yang mana, semoga itu pohon tak tumbang sebab besok Senin, dan aku ogah punya pekerjaan tambahan. Ingatanku terhadap Senin kemudian membuatku makin mendekap Sika. Kulitnya seperti mesin pembakar roti. Bau gosong matahari campur parfum vanilla. Aliran air, dari rembesan hujan, sepertinya membasahi bangkai tikus di atap kamar, lalu menetes ke lantai, lalu mengalir hingga menyentuh kasur. Berita cuaca muncul malam itu, yang isinya lebih banyak soal banjir, orang-orang hilang kena arus, para nelayan yang lama menepi, burung-burung yang meringkuk di bawah kanopi pelabuhan, reporter yang basah-basahan, anak-anak yang menikmati bencana, para pejabat yang cari muka dengan ikut menceburkan diri di sana, dan aku yakin, orang-orang menyaksikan semua itu dengan wajah datar-datar saja, sambil berselimut.
“Kami sudah mengerahkan tenaga dan waktu kami untuk membantu para korban, juga…,” bla… bla… bla… sesuatu, yang sungguh mengganggu dan tiga detik kemudian kusadari adalah ponselku, bergetar di balik punggung, memaksaku untuk melepas pelukan itu. Di layarnya terpampang nama “Mak Lampir” yang mengacu pada bos, bosku yang Jawa itu, yang tidak pernah tahu kapan hari libur dan bukan, dan sudah pasti panggilan ini pun terkait pekerjaan. Tak kuangkat. Dia menelepon berulang kali. Kupeluk Sika makin dalam. Kau harus pulang, kata Sika lagi. Hujan, hujan, di luar seperti tidak ada apa-apa selain hujan. Saat begitu, monyet paling serakah pun bakal memilih untuk ngandang. Dan si bos cukup tolol untuk memberiku tugas yang jelas-jelas tak bakal kukerjakan sekarang dan lebih berpeluang untuk membuat kami bertengkar. Saat dia menelepon lagi, kumatikan ponselku.
“Tuh, kan.” kata Sika, sambil berusaha membuka mata kananku dengan jarinya lalu menolehkan mukaku ke arah tivi. “Itu, tuh, lihat. Di sini juga sempat ada yang begitu. Orangnya akhirnya diseret keluar, ditelanjangi lagi padahal mereka sudah sempat pakai baju, lalu dibawa ke kantor polisi. Yang rekam ada banyak. Videonya disebar. Si perempuan akhirnya jadi gila. Kalau aku jadi dia, mungkin lebih baik mati saja.” Di televisi kulihat empat orang yang digiring ke hadapan para wartawan, dengan muka disarungi kain hitam tebal, bersama beberapa polisi yang salah satunya memberikan keterangan terkait kasus yang mereka tangani itu. “Orang-orang kurang kerjaan,” kubilang. Lalu menutup mataku lagi. “Tapi sedang hujan begini. Lebih enak ngopi sambil memantau berita soal Katulampa. Aku tidak yakin ada orang-orang gila yang malah bergerombol menelanjangi orang lain.”
“Atau kamu naik gokar saja.”
“Tidak akan ada apa-apa. Kujamin.”
“Besok ke sini lagi. Sekarang pulang dulu.”
“Hujannya kan sekarang, Nyonya.”
Dia melepas pelukannya perlahan, lalu, dengan licin, memberi alasan bahwa dia mau kencing. Ponselnya dibawa masuk ke toilet. Juga headset-nya. Juga rasa hangatku. Genangan air di lantai makin membasahi kasur. Tahu-tahu sudah jam sebelas malam, lima puluh lima menit hilang begitu saja, dan akhirnya Sika keluar dari toilet. Aku kembali menutup mata dan menunggunya merangsek kembali ke dalam tubuhku. Tapi dia tak kunjung datang. Saluran tivi berganti. Kali ini, dari suaranya, aku tahu bahwa itu film Transformer, yang mungkin ditayangkan ulang oleh RCTI, kadang juga ditayangkan Global TV—dengan dubbing yang bisa membuat kepalamu mengalami disorientasi. Saluran kembali berganti. Diskusi-diskusi terkait tata kota, pencegahan banjir, dengan narsum para ahli di bidangnya, atau setidaknya ahli dalam hal bicara, berlangsung sengit seolah-olah persoalan itu mau diurusi betulan. Kalau soal adu bunyi, orang-orang ini memang jago sekali. “Sabir…,” kudengar lagi suara Sika. “Ayolah….”
“Besok saja aku pulang.”
“Aku serius.”
Kuabaikan.
“Kamu tidak tahu gimana kasarnya orang-orang sini. Mereka tidak main-main kalau lihat orang berduaan begini.”
“Aku kan bukan cuma sekali dua kali menginap di sini.”
“Dulu. Sekarang beda.”
“Tapi kan kita tidak salah apa-apa.”
“Bukan soal itu. Ini soal siapa yang kuat, siapa yang lemah. Masak kamu nggak ngerti?”
Aku terkunci.
“Aku lihat dengan mataku sendiri,” katanya, “waktu itu, orang diseret. Yang lain bisa apa? Semua seperti senang melihat dosa orang lain dibongkar. Dan semua mau tak mau harus ikut menyeret. Siapa pun tidak mungkin memposisikan diri sebagai pembela.”
“Sebetulnya apa sih masalahnya? Kita berduaan di sini kan tidak mengganggu siapa-siapa. Tidak ada desahan dari mulutmu. Tidak juga teriakan. Tidak seekor cicak pun kita bunuh. Paling banter kita cuma ciuman. Kamu mana pernah mau kuajak lebih dari itu. Dan semua itu cuma kita yang tahu.”
“Omongan macam itu tidak bakal mempan.”
“Padamu atau pada mereka?”
“Bisa tidak kita menyederhanakan ini?”
“Kalaupun mereka datang malam ini, bakal kuhadapi. Aku bukan orang bodoh yang bisa diintimidasi begitu.”
“Ngomong sih gampang.”
Kutatap dia lama-lama, berharap itu bisa membuatnya tenang. Sini, kataku, sambil memberi isyarat mata agar dia kembali ke kasur, meski, seketika itu juga aku sadar bahwa itu sia-sia. Dia tetap duduk di kursi, mengganti-ganti saluran tivi dengan tak tentu, lalu membetulkan lengan bajunya yang tergelung ke pundak, membetulkan celana pendeknya yang kali ini terasa lebih pendek dari biasanya, merapikan beberapa pakaian yang terserak di lantai, yang beberapa menjadi basah karena air bocoran. Dia, juga aku, tak sanggup mengingat kapan awal mula kebocoran itu, mungkin karena itu terjadi ketika kami sama sekali tak punya kesadaran mengenai waktu dan momen semacam itu banyak terjadi di kamar ini. Amat jarang kami menghitung menit bahkan detik seperti sekarang.
Dia tak menggubris lagi. Malah melepas celana pendeknya, tinggal kancut warna hijau muda, lalu memakai celana lain yang lebih panjang, lebih sopan. Baju hangatnya juga dipasang. Kurasa, ini malam memang sudah tidak mungkin dibetulkan. Tapi aku masih belum bergerak, justru menonton tetesan air yang jatuh dari atap itu, lama sekali, sesekali menoleh ke celana panjangku yang tersampir di kursi, juga ke wajahnya. Sepertinya dia tahu bahwa aku tidak rela untuk pergi. Bukan cuma itu, sejujurnya, aku tidak rela mengalah pada orang-orang semacam ini, yang bergerombol ke sana-sini buat mencari-cari masalah. Macam gangster saja. Ini kan sedang hujan. Sedang dingin. Hari minggu. Bosku saja kulawan. Mereka ini siapa? Ngasih aku makan tidak, membantu pekerjaanku pun tidak, kenal saja tidak. “Besok ke sini lagi,” suara Sika mengambang di ambang kupingku. “Besok masih ada. Tidak perlu keras kepala.”
“Besok Senin, Nyonya.”
“Kamu tidak mau kita bertemu di Senin malam?”
Itu masuk akal, tapi tidak bisa kuterima. “Kamu pindah kosan saja. Jangan di sini. Aku bisa gila.”
“Itu berlebihan. Kamu cuma perlu pulang sekarang dan besok kembali lagi.”
“Istirahat itu sesuatu yang mewah. Itu hal yang paling kuinginkan setelah gaji yang besar. Kalau akhir pekanku tidak berisi itu, aku tidak tahu, mungkin aku bakal jadi obeng betulan.”
Dia agaknya tersenyum, tapi entahlah, mungkin sebetulnya itu cibiran buatku. “Orang seperti mereka ada di mana-mana,” katanya. “Mereka tidak bodoh. Kalaupun aku pindah, rasanya pasti sama saja. Tidak bakal kita bisa sembunyi.”
Kalau mereka pintar, mereka tak bakal bergerombol. Aku mau bilang begitu tapi tak jadi. Dan betul kata si Masil, yang tai itu moral, bukan politikus. Ya, sudahlah, hujan sudah mulai berhenti, menyisakan bunyi-bunyi air yang lebih detail, yang bisa kuhitung satu demi satu. Tetesan dari atap kamar juga sudah berhenti, meninggalkanku dengan kekosongan yang tidak kupahami. Harusnya tadi kutadahi tetesan itu dengan mangkuk atau gelas atau kain kotor. Kalau dia tak jadi pindah, besok atau lusa aku sendiri yang harus membetulkan itu. Kos-kosan murah ini tidak menyediakan perbaikan apa pun. Kalau mau, tinggali, kalau tidak, ya tinggalkan. Sesimpel sekaligus semerepotkan itu. Wajar, cuma dua ratus ribu per bulan. Seorang perempuan sepertinya harusnya tidak tinggal di sini.
Aku bangun, meraih celana panjang itu, memakainya dengan gegas, tegas, senyap, lalu kubilang, “Besok, pulang kerja, kita cari kosan lain buatmu.” Tapi jaketku di mana ya?
“Tidak perlu.”
“Biar aku yang urus.” Sepertinya aku lupa membawa masuk jaket itu, tadi kutaruh di rak sepatu, di luar sana, pasti basah sudah.
“Jangan ngambek begitu.”
“Tidak.”
“Sudah jelas iya.”
“Jangan cerewet.” Sialan, di mana jaket itu!
“Nanti kan kita bisa—”
“Halah. Kau sendiri yang bilang di sini tidak nyaman.”
“Kan tidak harus malam. Tinggal matikan lampu, rasanya kurang lebih sama. Minggu pagi, misal. Minggu depan, ya, bagaimana? Kamu pasti mau kan?”
Hujan berhenti. Aku tidak tahu harus memasang muka bagaimana. Sika kemudian berdiri, menyentuh pinggangku lalu merapatkan wajahnya ke bahuku. Aku pamit padanya dengan niatan tak bakal kembali ke tempat ini sampai kesalku betul-betul sembuh. Aku tak tahu pasti kenapa harus merasa begitu, dan kepada siapa aku lebih pantas untuk kesal, meski, jelas-jelas, saat ini aku merasa sedang diusir. Sika berterima kasih karena aku sudah berkunjung dan bertepatan dengan itu, keras terdengar, sebuah ketukan yang disusul rentetan ketukan lain, menghentaki daun pintu. Waktu menunjukkan pukul dua belas malam. ***
Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.
Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi