Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

It Snows Only Once In Our Dreams

author = Hadi Winata

Selamat malam, J, apa kamu sudah terlelap? Apa lampu sudah kamu padamkan, dan lupa mengisi daya ponselmu?

Di malam panjang yang kurasakan begitu sepi ini, lagi-lagi aku merindukannya. Aku begitu merindukan pelukan hangatnya, ciumannya yang bertubi-tubi, dan perhatiannya yang begitu rupa. 

“Sampaikan salamku untuk ibu dan ayah!” katanya.

Aku mengangguk, dan berkata: tentu saja, pasti akan kusampaikan! Seraya meraih ransel hitamku yang penuh, tas biola, dan sebuah koper merah. Masih sempat kuamati raut wajah J hari itu—gelisah, sedih, dan seolah tak lagi mampu memandang diriku.

“Ayo, cepat-cepat!” teriak sekuriti pelabuhan.

Aku berjalan menarik hatiku yang seketika berat bagaikan sauh, mengikuti para penumpang lain yang ada di depan. Namun kepalaku masih juga berusaha menoleh ke arah J, mataku mencari-cari, tetapi ia tak tampak lagi.

Di barisan antrian, ketika sedang menunggu petugas imigrasi untuk memberi cap keluar pada paspor, ponselku berbunyi. Panggilan masuk dari J. Ia bertanya apakah aku sudah sampai di dalam kapal dengan tangis yang pecah. Belum, kataku, sebentar lagi, dan tolong jangan menangis!

J sudah berada di dalam mobilnya dan dalam perjalanan pulang ke apartemenr kami di sebuah tepian kota. Itu hanyalah sebuah apartemen kecil, kerap kali disebut orang-orang sebagai studio. Namun begitu, fasilitasnya lengkap dan mewah. Bisa kukatakan sangat cukup untuk kami yang belum memiliki keturunan.

Kukatakan kepada J, “Bersabarlah! Aku tidak pergi untuk meninggalkanmu. Aku akan kembali dan kita akan mempunyai banyak anak. Aku mencintaimu.”

Maka berangkatlah aku hari itu. Aku akan pulang ke kampung halamanku yang jauh dari kota ini. Aku duduk di kursi belakang paling pojok di sebelah kiri. Para penumpang masuk dan lalu-lalang mencari tempat duduk. Mesin kapal sudah hidup sedari setengah jam tadi. Para awaknya sibuk nan berisik mengatur barang bawaan dan karcis dan mesin di depan sana. Aku hanya diam. Kedua telingaku aku sumbat dengan earphones. Dan, ketika kapal mulai berjalan, mulai memecah ombak dengan mesin-mesinnya yang tajam dan menciptakan milyaran buih, meninggalkan kota itu beserta gedung-gedung tingginya dan segala kenangannya, sebuah pesan masuk. Itu dari J, kau tahu itu.

“Hati-hati. Aku akan selalu merindukanmu!”

“Terima kasih. Hatiku telah kutitipkan kepada kepala pelabuhan, dan akan kuambil kembali ketika aku datang lagi!”

Beginilah nasib seorang perantau yang datang dari seberang. Sebagai pendatang, tentu kau memiliki batas waktu. Persis seperti kedatanganmu ke dunia ini—memiliki tenggat waktu pula, bukan? Aku harus pulang, setidaknya keluar. Jika tidak, statusku akan berubah menjadi illegal, dan polisi serta petugas imigrasi bisa menangkapku sewaktu-waktu. Aku bisa dikenakan hukuman penjara, didenda, bahkan dicambuk. Tentu saja aku tidak mau hal yang demikian terjadi kepadaku. Begitu juga dengan J, ia sangat mengkhawatirkanku dalam segala hal.

Sesungguhnya ini bukanlah kali pertama aku berpisah dengan J. Maksudku, ini bukanlah kali pertama aku berpisah dengan J yang melibatkan jarak jauh dan waktu yang lama. Sebagai pendatang dari seberang, aku hanya diberikan waktu selama 23 hari di kota ini, di negeri ini. Maka setiap 23 hari itu pulalah aku harus pergi ke Batam selama satu malam dan baru bisa kembali ke pelukan J lagi.

Akan tetapi, untuk kali ini, ialah berbeda sama sekali. Aku harus pulang. Tetapi bukan ke Batam, melainkan kampung halamanku. Aku dan J takkan berjumpa untuk waktu yang sangat lama.

Hubunganku dengan J sudah melalui lima kali musim durian. Itu adalah waktu yang cukup lama. Dan, yang terpenting, kami saling mencintai.

Aku bekerja sebagai waiter restoran di sebuah hotel bintang empat. Di sana, aku bekerja bersama orang-orang dari Filipina, satu-dua orang sebangsaku Indonesia, dan tentu saja orang lokal Malaysia. Aku tidak bisa menggunakan bahasaku selama bekerja, selain karena rekan kerja yang beraneka-ragam, juga karena tamu hotel yang banyak berasal dari Singapura, Australia, dan Eropa. Sementara J, ia orang lokal. Kerjanya baik, bahkan bisa dikatakan sangat baik. Ia bekerja sebagai officer di sebuah kantor kerajaan.

Suatu hari, suatu bulan, suatu musim, ada wabah mengerikan yang jatuh dari langit. Kata orang, wabah itu jatuh di Wuhan, Tiongkok sana. Namun entah bagaimana wabah itu perlahan-lahan tapi pasti sampai ke kotaku.

Alangkah buruknya dampak wabah itu. Seluruh bisnis diharuskan berhenti dan negara mengunci pintunya untuk siapa pun. Maka menganggurlah aku, seorang perantau tanpa pekerjaan di sebuah kota yang menjelma kota mati. Setiap makhluk tidak diizinkan keluar rumah barang satu langkah—bahkan kucing.

Aku pergi kepada J. Sejak hari itu, kami tinggal bersama.

Aku dan J selalu melakukan aktivitas bersama-sama, seperti mencuci baju, menjemur pakaian, masak, makan pagi-siang-malam, mencuci piring, mandi, menonton tv, mendengarkan lagu, dan tidur. Selepas wabah itu bisa sedikit diatasi dan kerajaan memberikan kelonggaran, aku dan J pergi makan malam di kafe bersama, juga liburan singkat ke sebuah pantai di ujung kota.

Wabah ini seringkali kurasakan begitu menyakitkan. Ia bukan hanya membuatku tak bisa kerja, membuat orang-orang tutup usaha dan menjadi bangkrut, tetapi juga memisahkan aku dengan J untuk waktu yang lama dan tak diketahui. Sampai saat ini, hampir semua negara menutup diri. Begitu juga dengan negara J. Namun begitu, sejatinya, wabah ini pulalah yang telah menyatukanku dengannya.

“Tuttt … tuttt …” bunyi ponselku mencoba memanggil ponsel J di kejauhan sana. Masih tidak terhubung.

Aku dan J berkenalan melalui sebuah aplikasi dating bernama X. Di sebuah hari libur tanpa agenda, J menyapaku dan aku menanggapinya. Aku menjawab satu demi satu pesannya dengan biasa saja. Aku tidak mengejarnya, apalagi begitu mengharapkannya. Pada aplikasi itu, profilnya tidak dilengkapi foto dirinya—melainkan foto teko yang mengeluarkan kopi pada cawan putih yang cantik. Pada kolom deskripsi, ia menulis bahwa ia mencari kawan untuk secangkir kopi, sebuah film di bioskop, atau suatu liburan yang menyenangkan. Aku meminta ia mengirimkan foto selfienya dan ia menurut. Ia mengirimkan foto miliknya tiga detik kemudian. Ia mengatakan ingin berjumpa denganku pada siang itu. Setelah menimbang-nimbang, aku menyepakatinya. Dan pada hari itu, kami berdua terperangah karena telah berjumpa. Kami cocok untuk satu sama lain. Perjumpaan yang kami rencanakan hanyalah untuk sebuah secangkir kopi berubah menjadi liburan singkat selama 36 jam.

Untuk seluruh kekurangan dan kelebihannya, aku mencintainya. Aku mencintai J. Karena itulah tak henti-hentinya aku merindukannya. Tetapi, entah mengapa, malam ini, ponsel J tidak bisa dihubungi.

Kumohon J, di mana pun kau, ingatlah aku! Angkat teleponku!

“Tuttt … tuttt …”

“Hello?”

“HEY! KE MANA KAMU?”

“Maaf, aku tertidur. Ponselku low-bat.”

“Kebiasaan! Aku mengkhawatirkanmu!”

“Sudah jangan cengeng, tidak usah berlebihan!”

Oh, J, andai kau tahu hati ini, andai kau paham perasaan rinduku kepadamu. Kau tahu, seorang teman berkata kepadaku bahwa Malaysia baru akan membuka pintunya tahun 2025, dan informasi itu menghancurkan jiwaku, memecahnya jadi keping-keping salju. Membuat aku jadi bertanya-tanya, mengapa harus ada negara di kehidupan ini? Kenapa datang wabah keparat ini? Adakah mungkin aku dan J bertemu lagi, dan kehidupan kami kembali sama seperti dulu? Atau mungkin, seperti kata seorang penulis, it snows only once in our dreams? (*)

Palemraya, 2020