Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Aris Rahman
SEMENJAK kematian Nzaat dalam suatu perburuan, Urf-lah yang kemudian dipilih oleh kelompoknya untuk menjadi pemimpin yang baru. Secara fisik ia memang telah memenuhi beberapa syarat untuk dijadikan sebagai pemimpin. Badannya besar dan pergerakannya cukup lincah. Dari beberapa perburuan— jika dibanding dengan pejantan yang lain—Urf adalah yang paling handal dalam perkara merobohkan binatang buruan, dengan cara-cara yang nyaris musykil dilakukan oleh pejantan yang lain. Yang paling mutakhir adalah perburuan yang berlangsung beberapa jam yang lalu. Urf berhasil menumbangkan binatang sejenis rusa berukuran dua kali besar tubuhnya, dengan sekali lemparan tombak batu sederhana, dengan jarak antara rusa dan dirinya kurang lebih sekitar lima puluh dua langkah. Itu adalah tangkapan yang lumayan besar. Sejauh ini tangkapan tersebut adalah yang paling besar yang pernah mereka dapatkan. Semua anggota kelompoknya turut berbahagia atas keberhasilan Urf mendapatkan buruan tersebut.
Menyambut keberhasilan itu, Ngon (salah satu yang tergolong ahli dalam membuat alat batu) segera menyiapkan beberapa peralatan yang diperlukan untuk menguliti si rusa yang kebetulan sedang tertimpa nasib sial dan berniat mengulitinya di sungai yang berjarak sekitar delapan ratus langkah dari mulut gua. Ngon menguliti si rusa dengan dibantu oleh dua wanita; Zemb dan Mroh. Sambil menunggu, dua anggota kelompok yang lainnya mencoba membuat api di bagian mulut gua dengan membenturkan permukaan dua batu hingga muncul percik api, yang kemudian dilanjutkan dengan menyusun beberapa ranting kering untuk membikin nyala api yang lebih besar. Urf sendiri memilih untuk duduk di bagian sayap kiri gua sambil menyandarkan tubuhnya pada dinding bebatuan. Matanya menerawang tepat pada sebuah celah kecil di langit-langit; sebuah celah yang dimanfaatkan oleh cahaya untuk menyelinap masuk ke bagian dalam. Ia termenung. Dalam pikirannya, ia melihat ratusan hewan berlutut di hadapannya sambil menyerahkan diri dengan pasrah untuk digorok. Urf, dengan perasaan penuh hormat dan kebanggaan, mulai menggorok satu per satu hewan di depannya. Anggota kelompok yang berada di belakangnya segera menepuk-nepuk dada masing-masing melihat kejadian tersebut. Membayangkan hal tersebut, Urf mendadak bangkit dari lamunannya dan segera mencari sebuah alat batu. Ia menggoreskan batu itu pada dinding yang tadi ia jadikan tempat sandaran, dan mulai mencoba menorehkan gambar dari hewan-hewan yang muncul dalam bayangannya.
Tak berapa lama, terdengar suara gemuruh yang disertai suara teriakan. Urf gegas mengambil kapak batunya dan berlari menuju sumber suara, meninggalkan beberapa gambar hewan di dinding gua yang belum dituntaskannya. Setelah berlari sekitar delapan ratus langkah, Urf melihat sebuah bongkahan besi nyungsep dan mengepulkan asap hitam. Urf mendekati bongkahan besi tersebut sambil melihat betapa kini jasad Ngon dan dua orang wanita remuk ditabrak bongkahan besi tersebut. Serpihan besi mencelat ke mana-mana. Sementara tanah di sekitar bongkahan besi nyungsep tersebut dipenuhi oleh cipratan darah. Urf tampak begitu murka. Ia menghantamkan kapak batunya secara serampangan ke bongkahan besi yang ada di depannya. Ia mengelilingi bongkahan besi itu sebanyak tiga kali sembari meracau. Sesaat kemudian, pintu yang menempel pada bongkahan besi itu terbuka, dan dua astronot keluar dari dalamnya. Asap mengepul. Dua orang astronot berjalan agak teler dan sesekali batuk-batuk. Mereka melepaskan helm dan pakaian astronot mereka begitu saja tanpa menyadari bahwa Urf sedang menatap dua orang itu dengan perasaan heran setengah mati.
“Goblok! Kau harusnya menekan tombol brengsek itu sebelum kita disedot black hole!”
“Kaupikir aku bakal tahu kalau pesawat kita akan disedot vagina brengsek itu?”
“Itu karena kau laki-laki goblok!”
“Maksudmu apa?”
“Apa kurang jelas? Itu karena kau laki-laki goblok dan lamban! Apa kau tidak lihat sekarang kita sedang ada di mana? ”
“Di halaman belakang rumah Donald Trump?”
“Kita tertimpa musibah begini dan selera humormu masih sama menyedihkan seperti biasanya.”
“Lalu menurutmu kita lagi di mana?”
“Entahlah, kita bisa berada di Turkana pada masa 100 juta tahun silam, 100 ribu tahun, 10 ribu tahun, atau kita bisa berada di Liang Bua, di Maros, di Levant, siapa peduli? Intinya, sekarang kita tersesat dan barangkali akan menjadi bangkai dalam waktu dekat.”
“Memang apa buruknya?”
“Apa buruknya? Oh, tidak ada yang buruk. Paling para ilmuwan di masa depan akan sedikit dibikin bingung jika menemukan rangka kita bersanding dengan rangka warga lokal pada masa ini. Atau paling tidak, kita hanya akan mati menggigil di samping gua sambil meringis karena kena kusta. Atau …”
“Oh, Eva, tenanglah, selama ada aku semua akan baik-baik saja.”
“Oh, you’re so sweet, Adam. Tapi coba noleh ke belakang, kita kedatangan tamu. Eh, maksudku, kita didatangi si pemilik rumah. Hei sobat, tenang-tenang, kami orang baik. Kau tahu, o-rang ba-ik. Orang baik adalah jenis manusia yang berasal dari surga yang akan memberimu apel gratis jika kau kelaparan. ”
Urf tampak bingung. Ia tak mengerti apa yang diucapkan oleh Eva. Satu-satunya yang menahan dirinya untuk tidak segera menggorok leher dua orang di depannya adalah benda bulat warna merah yang dipegang Eva.
“Sobat, kau mau apel ini? Ambillah, ini apel dari surga. Adam yang mencurinya dari pohon belakang rumah Tuhan. Ah, kau tak tahu Tuhan, ya? Ya, sudahlah, pokoknya ambil apel ini dan makanlah. Ingat, nama kami Adam dan Eva, A-dam dan E-va! Adam dan Eva adalah manusia, ma-nu-si-a. Mari kita ber-te-man. Maukah kamu ber-te-man de-ngan ka-mi?”
“A … vha …. Eh … dam. Mwwa … nusy … aha … per … the … mha.” (*)