Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = La Ode Gusman Nasiru
“Aku jatuh cinta pada seseorang yang hanya mampu kunikmati tubuhnya saja.”*
***
Kau meraih marlboro di samping carbonara yang baru saja diantar pelayan lengkap dengan topi koki di kepalanya. Ia salah tingkah setelah kau baca dengan teliti tulisan di celemeknya: eat pasta everyday. Pria itu kutaksir berusia awal dua puluhan. Ia mengalihkan fokusnya dengan terburu-buru menelah ludah setelah kau menyisakan kembali jarak pandang dengan perutnya.
Ia segera menyelesaikan tugasnya. Meletakkan cinnamon ginger tea dan blue ocean. Masing-masing ia sorongkan dengan hormat dan hati-hati. Barangkali ia setengah mengumpat atau membaca mantra atas pergelangannya yang tremor menerima perhatianmu. Kutangkap liriknya sebentar ke arah Landrover yang kau parkir sebelum berlalu. Ia sadar nasib.
Kuah susu dan lelehan keju menyerahkan nasib ke ujung garpu yang kau raih. Sayang, mereka batal kau kecap. Kau meraih kembali marlboro berbekas gincu di asbak motif hati. Dalam-dalam kau sesap. Semesta adalah apa yang kini terhidu ke dalam paru-parumu. Lantas kau membuka semesta baru dengan satu embusan panjang dan letih, tepat ke wajahku yang muram.
“Khamabrasta, kawan kecil yang bahkan aku tau ke arah mana penisnya berdiri, jatuh cinta pada wanita yang salah. Di usia tiga puluh tiga.”
Kau menjentikkan jari demi abu rokok dengan gestur masa remaja. Ketika remaja, ledekan tonjol dan liang selalu berhasil membuat mukaku merah. Padahal aku tahu, sejak bayi kita bahkan telah berenang di kolam yang sama dalam keadaan telanjang. Kini aku sedang tidak berselera meladeni leluconmu yang basi.
“Bocah tadi pasti pake Baxter of California Clay.”
“Sok tau.”
“Taruhan deh. Kalau benar, aku tembak kepala perempuan yang uda bikin kamu patah hati.”
Percakapan kita diinterupsi Jose Feliciano. Che Sara mendengung di telinga, membawa geliat lo stivale dan merah jantung laut Mediterania. Tapi aku masih gelisah, membayangkan kembali pengabdian dipecundangi oleh sebuah status: selingkuhan. Aku harap tak sia-sia menyeretmu dari meeting pura-pura dengan pejabat teras di Hyatt Regency. Pun menganulir jadwal berdansamu dengan para pria bule yang sebetulnya hanya sekelompok orang miskin yang sedang berpakansi.
“Aku ke airport jam 5 pagi!”
“Aroma lemon peelnya itu, lho, Kham. Jadi pengen nyicipin keringatnya.”
Tanganku malah bersidekap. Kau hapal benar tabiatku. Menanggapiku yang kesal cukup dengan lidahmu yang menjulur dengan bibir yang kau bentuk serupa moncong bebek. Aku bisa apa. Tak mungkin beranjak ke mana-mana lantas membiarkanmu lenyap seperti hari yang sudah-sudah. Pantatku bersitahan di kursi yang menghadap ke taman lampion mini.
Lampion, Clara. Merah yang menyala. Seperti mata perempuan yang tiga hari lalu mengusap dadaku, memintaku melumatnya sepenuh gairah. Matanya iblis yang melahap selama kukecap garam dari tubuhnya, menciduk surga dari tengkuknya yang madu. Mata para petualang yang tidak pernah menyediakan cinta bagi lelaki yang sudah ia cicipi. Tetapi lampion hanyalah bukti betapa kehadiran benda mengabdi pada cahaya. Sedang ia tak pernah benar-benar aku menangkan hatinya.
“Siapa namanya?”
“Riu Tantra.”
Aku terkenang bagaimana cara ia mengerling. Berkisah dengan bahasa paling santun sambil mengajakku menari di hamparan tubuhnya yang mengalir sungai-sungai dan kolam susu. Ia akan berkomentar tentang bulu-bulu di daguku yang tumbuh serampangan. Dan di separuh kesadaranku, jemarinya menyapu lidahku yang baru saja selesai ia lumat. Ia menyulap dirinya menjadi satu galaksi utuh, sedang aku hanyalah sisa tabrakan bintang yang mati dan jadi debu.
Siapa lelaki yang tidak mabuk dengan bibirnya yang membara meski tertimbun lipbalm warna lidah? Ia buah apel di hijau taman Firdaus. Daun yang menutupi yoni dan lingga manusia pertama. Ia ular dari segala jelmaan maha celaka yang alpa diempaskan tuhan ke deretan produk lupa ingatannya. Ia tertawa riang dengan analogi demikian.
Selepas bercinta, ia menatapku dengan mata seorang ibu. Seperti mafhum pada nasibku yang rentan karena sudah membuatnya tidak lagi menjadi penasaran. Gelagatnya menunjukkan empati mungkin satu dari tak terhingga alasan laki-laki bertekuk lutut menghamba berkatnya. Siapa yang rela melepasnya, Adrian si chef kapal pesiar, Zahiduz pengusaha minyak, Guntur pilot beranak empat, Rau, Dmitri, Slavik. Kepalaku pecah.
Aku membaca sederet rayuan di kotak whatsapp selagi ia nyenyak.
Angin berembus dari utara. Tak banyak kendaraan lalu lalang di jalan Yudhistira. Udara ngelantur, melingsir hingga ke suhu lima belas. Jogja tak pernah sedingin ini sejak medio 2012. Aku tak dapat menerka, berpihak pada siapa semesta di malam selasa: aku atau kelelakianku yang terkalahkan.
Kutambahkan bubuk lada ke sepiring creamy fettuccine. Ibarat menuang kekecewaan ketika paham dengan sengaja ia menelpon kekasihnya di depanku. Tak punya etika. Persis ketika kami baru selesai bersetubuh. Riu Tantra. Tiga puluh menit setelah sadar aku berada di daftar selingkuhan, kusebut namanya dengan seribu dendam. Kamar mandi mengambil alih amarahku. Oleh dindingnya, tinjuku diredam. Ketika keran kumatikan, ia resmi kulupakan.
“Ingatan harusnya kayak pembasmi hama. Kamu gak harus jadi pembenci demi menjadi semacam desinfektan.” Kau meraih tisu untuk kalimat panjang dan kedengaran filosofis.
“Teruskan,” sambil mengigit bibirku yang kepedasan, aku memohon.
“Cara terbaik melunaskan dendam adalah dengan tidak menjadi peduli.”
“Bagaimana bisa. Aku jatuh cinta.”
Kau menatapku lebih dalam. Tatapanmu menujah lembing ke jantungku yang serabut. Uap cacahan garlic tak berarti apa-apa di tengah kalimatmu yang jatuh perlahan ke atas hutan jamur di piringmu: cintamu semu, Khama.
Apakah cinta? Perlukah kita mengabdi pada epos Ramayana? Sedang Sri Rama tak lagi percaya istrinya masih suci ketika ditawan di Istana Alengka.
Siapakah pecinta? Raja Ayodya, Shinta, atau Rahwana yang sekalipun tak pernah mengotori taman Asoka dengan dosa azali yang bisa saja ia rampas dari gua garba pujaan hati?
Kalimatmu berdentang di kepalaku, seperti lonceng pintu depan yang berdenting saat malam natal. Oh, kabar bahagia dalam sekarung kado Sinterklas. Bisakah aku menjelma rusa jantan yang menarik kereta di antara bintang-bintang dan doa-doa kudus? Hingga tak perlu kuterbenam dalam perkara cinta tak sampai yang maha jahanam ini? Barangkali lebih menyenangkan mati di tiang salib. Aku menyesap teh hangat yang tiba-tiba asin oleh air mata juru selamat.
“Kamu bilang cantiknya standar. Tapi menyenangkan?”
“Tentu saja!”
“Dan menikam.”
Kau masih sedingin batu kubur. Seamsal udara Kaliurang yang tak goyah diempas segelas hangat teh jahe, tempat segala kedamaian berpulang. Kau gigil paling purba yang lahir dari kepala arca yang ditebas orang-orang konservatif, terlempar ke rerimbun semak yang menunggu jadwal ekskavasi dari pada arkeolog.
Obrolan kita selalu seperti monolog. Kau bayangan dari pantulan objek yang gelisah di muka cermin. Bahkan kerap lebih jauh. Tabir terbuka, dan kau membawaku masuk pada kesadaran-kesadaran dan melihat hal-hal mengerikan. Aku tak pernah berselera untuk itu.
Kau bertelekan pada tangan kanan dan menyorong tubuhmu untuk mengaduk blue ocean. Selasih yang rapuh mengepung empat ice cube yang melayang-layang di atas sirup mangga. Selasih itu, Clara, adalah jemariku yang membelah diri mencari-cari pegangan antara harapan dan kenyataan. Tetapi aku tahu, perut gelas tak pernah menawarkan apa-apa kecuali gelombang soda biru yang menjiplak warna langit dengan kesan yang terlalu artifisial.
Sedotan kau lepaskan setelah selesai dengan satu tegukan. Bahumu yang telanjang kembali mengakrabi kursi rotan. Aku paham benar kau gelisah mendengar kisahku yang begini-begini saja. Idemu meledakkan kepala Riu Tantra tidak bisa kuanggap main-main. Dengan caramu yang ganjil, aku paham bagaimana kau menyayangiku.
Tisu kuraih demi sisa krim di sudut bibir. Kuacungkan tangan kiri, meminta desert pada pelayan yang segera menoleh dengan takzim. Sejurus kemudian american chocolate cake terhidang di meja kita sebagai konsekuensi atas orderanmu.
“Tau gak, aku kayak terafeksi sama kesan whisky Jack D di campuran resepnya.”
“Kamu kapan terakhir making love?”
“Damn, Khama. Gak ada itu bercinta sama orang yang baru kamu kenal. Yang ada aku having fun. Dapet duit. Lha ngana, cuman dapat sakit hati.”
Dua pengunjung baru saja tiba dan segera membanting buku besar ke atas meja. Tampaknya mereka mahasiswi yang sedang diburu tenggat. Atau mungkin baru saja melalui hari yang berat. Aku tak mungkin mendapati pemandangan demikian jika tak kupalingkan mukaku menahan kesal sekaligus tawa merespons tuduhanmu. Kau sepenuhnya benar. Hidup adalah lelucon sekaligus luka di waktu yang sama.
Mereka menoleh. Hampir bersamaan mengernyitkan dahi lantas tersenyum sopan. Dugaanku mereka terganggu dengan style kostum kita. Kau yang bergaun malam sedang aku yang berjaket jeans selaik preman.
Kita terdiam beberapa jenak. Membiarkan sayup percakapan pengunjung lain ditingkahi jerit vokalis Moda. Formulasi yang cukup memberi aksen untuk tappeto di fragole. Lantas kita ikut bergumam di bagian lirik: oppure fingi di amarmi. Berpura-puralah seolah kau mencintaiku. Mata kita bertemu. Aku mendengus seraya tersenyum, sementara kau kehabisan cara mengontrol otot wajahmu yang tiba-tiba tertarik. Kau tertawa, lepas. Tanpa aba-aba. Kita berhasil mencuri perhatian karyawan dan sisa pengunjung.
Tubuhku tiba-tiba terpelanting di sepanjang jalan Piazza Nettuno di Bologna yang basah oleh ciuman dan sinar matahari. Sebuah kekuatan menyihirku menjadi lelaki Italia yang detail dan romantis. Nyatanya aku tidak membukakan pintu atau memasak resep makaroni untuk siapa-siapa. Aku. Sendiri. Hingga akhirnya aku tersedot kembali ke tengah realitas sebagai dampak dari sebuah pertanyaan: Kok kamu gampang banget jatuh cinta?
“Kadang kau lakukan sesuatu tanpa alasan. Seperti agama yang sering runtuh diolok-olok ilmu pengetahuan, tapi penganutnya tetap eksis. Mereka berpegang pada iman.”
“Terus kalau dia menua? Cacat? Gila?”
“Cintaku tanpa syarat. Satu-satunya alasan tidak mencintainya hanya saat dia tidak memilihku.”
“Artinya cintamu tetap bersyarat.”
Pemain anggar mencuri poin ketika senjata menusuk dada lawan. Tak ada pedang di meja makan Italia. Tapi aku terempas oleh kekuatan yang jauh lebih dahsyat dari sekadar tekanan floret di bawah baju pelindung. Aku terperosok sekaligus bangkit. Lagi-lagi di waktu yang sama. Lukaku tak akan sembuh selekas ini. Paling tidak, aku tahu ke arah mana sudut pandangku kini berlabuh.
Aku menoleh ke arah kasir seraya menyebut kata bill tanpa suara, cukup supaya dimengerti. Pelayan datang dan hanya mencetak satu tagihan. Aku bergumam memastikan tak ada yang keliru dengan itu.
“Orderan teman saya gak dihitung?”
“Teman Bapak?”
Aku menoleh ke arahmu. Kau tersenyum dan mengangkat bahu, lantas berpaling dan mengambil langkah ke parkiran.
“Ya.”
“Bapak tamu kami paling tenang malam ini. Kecuali saat memesan dessert dan… tertawa cukup keras, Bapak menunduk atau menerawang. Sendirian. Semua pesanan tertera sesuai nomor meja Bapak. Tak ada tambahan.”
Aku terpaku dengan kelalaiannya menghitung jumlah pesanan. Ia berjalan menuju meja kasir setelah sebelumnya mendoakan keselamatanku.
“Semoga Bapak tidak sedang patah hati. Good vibes all day.” sambungnya sebelum ia benar-benar kembali ke rutinitasnya.
Di parkiran, kau melemparkan kunci ke arahku. Berdalih hendak menikmati bir kaleng sepanjang perjalanan, itu sebabnya aku yang berhak mengambil kemudi.
”Masih jatuh cinta pada seseorang yang hanya mampu kau nikmati tubuhnya saja?”
“Aku pikir-pikir dulu.”
Kita tertawa di bawah langit suhu dua belas.
* Terinspirasi dari dialog film Rectoverso, Dewi Lestari.
** Pernah dimuat di Jurnal Ruang, sebelum situs web tersebut tutup.