Author: Tobma

  • Perihal Anak Zaman Now

    author = Intan Puri Hapsari

    Bangun tidur, bernafas,  beraktivitas, makan, mandi, tidur lalu diulang lagi, diulang lagi sampai hidupmu habis!

    Kalau mau jujur sama diri sendiri sebenarnya hidup sehari-hari saya hanyalah sebuah rutinitas, sebuah kegiatan yang berulang-ulang. Pernahkah kamu membayangkan kalau tidak pernah ditemukan kata “waktu”? Seandainya sehari bukan 24 jam tapi hanya 10 jam, lalu bagaimana pembagian hari-hari tersebut? Apakah jam biologis yang notabenenya harus beristirahat paling sedikit 7 jam, akan dapat beradaptasi dengan waktu yang lebih singkat? Ketika satu hari diperpendek menjadi 10 jam, bagaimana dengan usia kita? Sampai umur berapa saya bisa hidup di dunia ini. 

    Katanya, manusia berevolusi dengan zaman, anak muda zaman now tidak sama dengan orang tua sepuh zaman jadul. Pola pikir, selera, rasa dan ideologi anak didikan revolusi internet tidak akan bisa sepenuhnya dimengerti oleh pendahulunya. Saya tidak tahu kemana harus menempatkan diri; apakah ke golongan anak zaman now atau zaman jadul? 

    Di suatu hari yang cerah, terlintas pemikiran saya untuk menganalisa kronologis evolusi zaman berdasarkan buku sejuta umat : “Sapiens, A brief history of humankind”, karya Yuval Noah Harari. Penulis ini menjabarkan bahwasanya manusia mengalami berbagai macam revolusi di sepanjang sejarahnya. Revolusi kognitif sebagai preambule dari rentetan revolusi yang memaksa manusia untuk berevolusi.  Pada zaman ini,  manusia mulai berevolusi secara intelektual ketika bahasa mulai diciptakan sebagai alat komunikasi. Saya membayangkan pada masa itu, semesta raya telah mengkondisikan manusia untuk mencari alat penyambung lidah baik secara lisan maupun tulisan. Setelah manusia sudah bisa berkomunikasi dengan sesama untuk segala urusan duniawi, mereka juga mulai membutuhkan hidup bermasyarakat dengan menanggalkan gaya hidup yang nomaden. Manusia pada zaman itu, memutar otak untuk menghidupi hidup dengan cara bertani. Revolusi Agriculture menyajikan solusi dari semua permasalahan di kala itu.  Niscayanya, ini juga merupakan sumbu awal, sebuah cikal bakal sistem perekonomian terbentuk nantinya.

    Zaman bergulir, manusia selalu berevolusi menurut teori dan tampaknya bumi pun semakin sesak oleh kehadiran mereka. Apakah ini berkat gizi yang lebih terpenuhi ataukah dunia ini yang menyempit karena tanah habis digarap untuk pertanian? Tapi, revolusi ini belum seberapa dahsyatnya berdampak pada keasrian bumi manusia kita. Seakan manusia zaman itu tidak bisa terpuaskan gaya hidup petani yang mungkin tampak sederhana. Sekarang giliran revolusi industri yang mengembangkan sayapnya guna merayu manusia di masa itu. Industrialisasi yang menjadi fenomena dunia telah dipelopori oleh Negeri Big Ben. Negara pengekor bermimpi hal yang sama dengan suhunya. Industrialisasi dan kapitalisasi bak dua kata tanpa sekat, berlomba dengan waktu untuk memuaskan kebutuhan manusia secara massal dengan berbagai cara. Pola pikir saat itu berkiblat pada gaya hidup kebarat-baratan dan melupakan kearifan lokal yang bukan lagi zamannya. Revolusi ini tak hanya berhenti disini, seperti bumi yang bulat dan terus berputar, manusia zaman ini pun memutar otak mencari jalan agar industri dapat berjalan lebih cepat lagi. 

    Teknologi sebagai hasil dari revolusi industri tampaknya menjadi benang merah atas semua perubahan zaman. Saya lahir di zaman ini, lebih tepatnya pada saat teknologi sedang dielu-elukan secara sakral oleh manusia di kala itu. Saya masih ingat, saat pertama kali mendengar dering telepon rumah; waktu seperti berjalan lambat, mata fokus ke kotak putih berkabel, pasang telinga baik-baik jangan sampai terlewat, hati berharap seorang kawan menyapa. Lantas, bunyi nyaring memecah penantian panjang saya “dring dring dring”, jantung saya berhenti sejenak guna mempersilahkan otak menerka, siapakah gerangan di ujung kabel tersebut? Saya menikmati misteri yang diciptakan oleh mesin kotak berkabel itu, bertahun-tahun dia bisa membuat saya deg-degan setiap kali mendengarnya bersuara. 

    Lalu, tiba pada satu zaman ketika percakapan yang membooming adalah “Hari gini ‘ga punya handphone?”, masih terngiang dengan sangat baik di telinga saya, kalimat yang terlontar itu, rasanya seperti baru kemarin sore. Saya baru memiliki ponsel saat menginjak Sekolah Menengah Atas, rasa penasaran akan siapa yang menelpon saya sudah tidak zaman lagi pada saat itu. Sekarang ponsel bisa mendeteksi nomor sang penelpon, misteri yang seharusnya terjaga kerahasiaannya sudah tidak berlaku. Sekarang saya bisa memilih dengan siapa saya mau memberikan waktu saya untuk bercakap di kotak wireless itu. Pola pikir saya berubah, kalau dulu saya menanti ditelepon, sekarang saya memilih penelpon tergantung hati dan situasi. 

    Saya rasa revolusi internet juga menjadi biang kerok perubahan pola pikir manusia zaman now. Teknologi bercampur internet sudah membuat yang dekat menjadi jauh dan yang jauh menjadi dekat. Dunia tanpa batas, informasi tanpa jarak, komunikasi yang bersifat dua arah sekarang telah beradaptasi menjadi multi arah. Sosial media, aplikasi chat tidak luput di semua ponsel manusia zaman now. Tidak butuh lagi mengenal secara manusia secara fisik, nyata adanya.  Pada zaman ini hanya dibutuhkan profil di dunia maya untuk bisa menaklukan jarak nyata. Manusia yang lahir pada zaman ini, apakah akan mengenal senangnya bermain tak banteng, batu tujuh atau main karet? Games online yang mengglobalisasikan manusia, apakah berfaedah? Saya skeptis ketika hidup menawarkan banyak pilihan namun pada akhirnya tetap merasa sendiri.   

    Industri, Teknologi dan Sains mempresentasikan keberhasilan manusia serta merta mengikat mereka untuk berpikir lebih logis. Penelitian secara ilmiah yang didewakan oleh beberapa negara berbudget menjadi ajang unjuk gigi kepada khalayak ramai. Serasa semua masalah dapat dipecahkan oleh solusi ilmiah, melalui penjabaran eksakta yang menghasilkan solusi yang konkrit. Pola pikir lagi-lagi berubah pada zaman ini, mengesampingkan perasaan demi mendapatkan hasil secara ilmiah lebih dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Saya masih hidup di zaman ini, namun pola pikir masih terjebak nostalgia di zaman saya. Saya masih suka bermain dengan perasaan dan intuisi ketimbang bermain dengan rumus pasti. 

    Selalu ada akhir di sebuah cerita, Yuval Noah menyandingkan revolusi biologi sebagai teori pamungkasnya. Revolusi ini akan menjadi revolusi mutakhir membawa manusia sebagai aktor utamanya. Kloningan manusia dengan bibit unggul akan merajai dunia ini. Langkah- langkah yang tidak akan salah karena dipersiapkan sedemikian rupa akan menjadi bekal perjalanan manusia zaman now ini.  Napak tilas untuk menggabungkan DNA manusia pertama dan penerusnya menjadi wacana guna menetaskan misteri bibit unggul. Terbersit di pikiran saya, siapa yang menentukan kriteria unggul tersebut? Manusia zaman now? Saya takut dengan semua revolusi dan perkembangan zaman ini. Manusia saja dapat dirancang, lalu bagaimana dengan perasaan dan intuisi? Saya tidak mau memiliki kloningan bibit unggul versi saya, saya hanya mau menikmati diri saya seutuhnya pada saat ini. Di antara semua zaman-zaman ini saya merenung, kalau saja waktu tidak mengenal acuan tata bahasa : lampau, sekarang dan masa depan. Saya yakin manusia hanya akan berpikir waktu yang nyata yaitu : waktu sekarang “present” dan doktrin Eckhart Tolle “The Power of Now” yang akan jadi pemenangnya! Waktu kemarin dan besok itu hanyalah tatanan waktu secara psikologis, di mana kebenarannya masih harus dipertanyakan. Jika benar keeksistensian waktu-waktu tersebut hanyalah buatan manusia. Maka, pada hari ini detik ini semua manusia akan bisa bilang bahwa saya anak zaman now! Dan mereka pun akan berhenti mencari manusia versi kini!

  • Perempuan dari Ampenan: Skenario Panjang Puisi Kiki Sulistyo

    author = La Ode Gusman Nasiru

    Judul yang saya terakan hampir tidak pernah saya bayangkan memiliki nada yang begitu rupa. Ada kekhawatiran yang cukup mengganggu demi menoleh kembali kepada judul termaksud, apakah ia punya korelasi yang ketat dengan keseluruhan pembahasan atau hanya akan jadi gula-gula yang saya tempatkan sebagai nama tulisan. Setelah saya amati sekali lagi produk ketidaksadaran itu saya akhirnya meraba ulang dorongan apa yang membuat saya tiba-tiba begitu saja mengkreasikan judul untuk tulisan sederhana ini.

    Harus saya akui keseluruhan objek pengamatan menjadi kekuatan yang cukup dahsyat mendorong saya sampai pada alternatif tersebut. Satu hal yang mengikat preferensi saya dan sehimpun puisi Kiki menjadi simpul yang sangat erat, tidak dapat saya pungkiri, berasal dari strukturasi ritme. Penyair mengkondisikan ritme sebagai peranti paling menonjol dari tipografi yang ia ajukan ke haribaan pembaca.

    Ritme puisi-puisi Kiki dalam antologi Di Ampenan Apa Lagi yang Kau Cari, selanjutnya kita singkat AAKC, dirakit dalam skala yang amat terjaga intensitasnya. Beberapa terasa sangat ketat dan nyaris matematis, semisal kata menggema, mangga, manca, yang disusun dalam satu bait dalam rumah ladang paman, puisi yang sekaligus menyinggung nama Ida untuk pertama kalinya. Ida adalah perempuan yang menjadi pusat rotasi dalam antologi Kiki. Pembahasan mengenai ini akan diperikan pada bagian-bagian selanjutnya.

    Di puisi yang sama, Kiki juga menjejalkan baris rentetan kata yang menang sesaat senang. Juga, lonceng makan siang berkeloneng di tengah ladang, batang-batang kurus kacang tanah membayang di panci rebus, bibi yang anggun bagai api unggun berdiri di kejauhan. Penyair hampir senantiasa memanfaatkan dengan intens kelompok bunyi nasal. Mungkin ia memang telah terikat dengan kata Ampenan yang ia baptis sebagai bagian dari judul antologinya. Kata ini memang berpotensi membayangi Kiki pada hampir semua puisi dalam buku ini.

    Puisi-puisi Kiki yang banyak menarik manfaat dari aliterasi bernuansa sengau yang kental mengingatkan kita bagaimana efek eufoni bekerja membangun suasana sebuah puisi. Puisi lonceng makan siang adalah salah satu yang paling berhasil mereguk berkat dari efek ini. Pertautan antara isi puisi dan suasana yang coba digali melalui ritme anuswara semisal pernikahan dua entitas yang lantas melahirkan anak-anak yang sehat dan gemuk.

    Kita segera dipeluk hangat suasana tengah ladang dengan sup kelinci dan ranum buah-buah mangga. Anda bisa saja beristirahat sejenak mengimajinasikan suasana yang sangat manis dan menyihir segenap indra, sampai akhirnya Anda dibuat melayang dengan fakta puisi tentang romansa jatuh cinta yang syahdu di tengah momentum santap bersama. Cinta yang terhidang sebagai batang-batang kacang dari panci rebus dengan aroma bunga matahari yang terkepul di udara.

    Kalau boleh jujur, saya agak cemas membayangkan bagaimana pertautan rima dimainkan dengan terlampau kalkulatif bahkan sejak antologi ini dibuka oleh bait: dengan serat ampan ia panggil ikan-ikan/di tepi bahana pantai belum bernama/sesaat sebelum tiba pasukan perang/menabuh genderang dari seberang//. Saya segera membayangkan puisi-puisi selanjutnya akan dipaksakan Kiki memiliki style serupa. Benar saja, nyaris semua puisi memiliki gaya yang sama. Homogen. Penyair bertaruh dengan kepercayaan pembaca terhadap corak yang ia usung. Ia mungkin mencoba menawarkan garansi bahwa audiens tidak akan kecewa dengan langgam demikian. Atau bisa juga, ia mungkin tidak peduli dengan itu semua.

    Beruntungnya, energi Kiki tidak sia-sia. Permainan rima luar biasa melekat dalam ruang-ruang kesadaran dan ketidaksadaran saya sebagai pembaca. Ia seperti tentakel gurita yang menempel dan membuat saya nyaris tanpa sadar menuliskan judul yang berirama seperti yang sudah saya singgung di atas. Saya apresiasi keberanian dan keteguhan Kiki dalam hal ini. Homogenitas bentuk yang disodorkan penyair justru memberi semacam suasana baru, ciri yang menjadi khas pada antologi terkaji. Tentu Kiki bukan orang pertama yang memfungsikan aliterasi dalam puisinya. Para pendahulunya, sebut saja Amir Hamzah sebagai penyair paling termasyhur, kerap mengefisiensi persajakan demikian. Anda boleh mengecek puisi Berlagu Hatiku dengan bait Bertangkai bunga kusunting/Kujunjungkupuja, kurenung/Berlagu hatiku bagai seruling/Kukira sekalini mengenyap untung.

    Tidak. Saya hanya ingin menegaskan betapa Kiki memutuskan bersetia dengan topik stilistika yang ia usung. Tugas Kiki pada antologi-antologi selanjutnya menjadi jauh lebih berat. Ia harus membertimbangkan untuk bertahan dengan teknik yang sudah ia kuasai dan kembali bertaruh dengan ekspektasi pembacanya—yang telah mengenali cirinya, atau menemukan lagu baru demi menggapai selera pembaca dalam spektrum yang jauh lebih luas.

    Karnaval Multikultural

    Di muka telah saya singgung sosok Ida sebagai pusar gelombang di tengah samudra puisi Kiki. Saya ingin menyorot bagaimana Kiki memperlakukan Ida, atau apa urgensi Ida dalam sehimpunan puisi. Membahas Ida tentu menjadi pekerjaan paling berdosa jika saya tidak ikut menyertakan tiga nama lainnya, masing-masing dari mereka ialah Eva, Itje, dan Siau Lim. Kesemuanya perempuan yang singgah menggelitik ruang-ruang libidinal dalam hasrat biologis aku-puisi, dengan intensitas yang berbeda sesuai porsi yang dilekatkan penyair.

    Eva adalah figur yang bisa kita jumpai dalam rumah abah husein. Di rumah ini aku-puisi kerap belajar mengaji. Menilik dari naming choice dalam puisi, bolehlah kita berasumsi bahwa Abah Husein masih memiliki darah keturunan Arab. Berangkat dari asumsi tersebut, bisa kita maknai bahwa Eva, sebagai anak atau paling tidak anggota keluarga Husein, juga berdarah Arab. Sampai di sini kita bisa mendudukkan Eva sebagai perempuan turunan Timur Tengah yang parasnya (mampu) membuat panas saraf remaja (aku-puisi).

    Selanjutnya Itje. Ialah karakter untuk perempuan yang eksis dalam itje dari belanda. Judul ini sudah cukup menuntun kita untuk memahami latar belakang rasial tokoh Itje. Di dalam sajak Itje melambai dari atas sepeda mini/berputar-putar di lapangan seperti mainan// (sehingga, aku-puisi memutuskan untuk) kutinggalkan Itje bersama sepeda mininya/aku tahu ia bisa pulang sendiri//konon ia pulang ke Belanda menemui ayahnya//. Itje digambarkan dengan cukup aktif melalui verba “melambai”. Ironisnya, aku-puisi malah meninggalkannya.

    Seperti Itje, Siau Lim yang sekaligus menjadi judul puisi dalam siau lim juga mudah ditebak berasal dari nenek moyang kebudayaan macam apa tokoh kita kali ini. Dibanding Eva dan Itje, Siau Lim jauh lebih pasif. Ia jarang keluar bermain//Siau Lim seperti kota ini/pucat dan kesepian//. Karakter yang nyaris tidak menawarkan apa-apa dalam masa remaja aku-puisi yang menggelegak dan terdesak tuntutan-tuntutan biologis.

    Menarik menerawang bagaimana perempuan-perempuan hadir sebagai kompartemen dalam sehimpun puisi terkaji. Dari keempat perempuan yang saya sebutkan, dengan Ida salah satunya, hanya Ida yang benar-benar menjadi “racun” bagi aku-puisi. Kiki setidaknya menulis delapan puisi yang berbicara tentang Ida dan segala hal yang melekat dengannya. Tentang bagaimana pinggul Ida, rambutnya yang membius, dan tentang bagaimana relasi mereka dikonstruksi demikian dramatis.

    Dramatisasi aku-lirik dengan Ida sudah disinggung Afrizal Malna dalam epilog AAKC. Pertalian kedua karakter dikreasikan dalam hubungan inses. Dari delapan sajak dengan Ida sebagai topik, tiga di antaranya yakni ramalan sirih pinang, anjing merah, dan ampenan, ke mana aku kan menjelang secara eksplisit menyebutkan tabu dari relasi seksual. Puisi pertama mengangkut dua gatra kunci yakni aku dan Ida akan jadi kisah terlarang//kami sebenarnya sedarah yang lama terpisah//. Puisi selanjutnya juga membonceng dua anasir sentral yakni dan akar-akar cahaya membakar mata ibu kita//ruh ibu kita mengembara di atas sana//. Puisi terakhir, menegaskan apa yang sudah terangkum dalam puisi pertama, menuliskan aku kenang ida dengan cintanya yang terlarang// sebagai lokus inses yang telanjang.

    Sementara itu, kelima puisi lainnya berfungsi sebagai penguat imaji inses yang didesain penyair dengan cukup rapi. Puisi-puisi itu berjudul rumah ladang paman; rambut merah ida; lonceng makan siang; sisir kayu; dan ida melihat komet. Kesemua puisi yang terakhir saya imbuhkan masing-masing memikul narasi tentang hubungan pertemanan yang awalnya murni tanpa tendensi seksual, sentuhan fisik pertama, kondisi spiritual jatuh cinta atas respons citra visual dari dada, rambut, dan pinggang, kondisi cemburu dan patah hati, dan khayalan hidup bersama yang utopis.

    Setakat ini, belum ada teori yang mengklaim mampu keluar dari kesepakatan tabu inses. Berbekal motivasi dari orientasi atau perspektif yang beragam, ilmu pengetahuan sependapat bahwa inses adalah laku tercela dan terkelam—meminjam bahasa Freud—umat manusia yang harus dikontrol oleh norma sosial yang sangat kuat. Para ahli medis dan biologi sepakat bahwa keturunan perkawinan sedarah memiliki resiko ganguan genetik, mengarah pada proporsi cacat lahir yang lebih tinggi. Risiko kematian juga menjadi hantu bagi seumur hidup yang membayangi keturunan pelaku inses.

    Menyoal dosa-dosa inses, sama tawarnya dengan sekadar mengamini “temuan” Afrizal pada motif seks sedarah yang sangat telanjang dalam puisi-puisi Kiki. Pembicaraan akan lebih bernilai bila akhirnya kita bisa menemukan makna di sebalik formula inses yang ditembakkan penyair dalam antologi ini. Kita mengambil jarak sejenak untuk mereka-reka hal besar apa yang coba disampaikan penyair lewat simbol-simbol tabu inses yang coba didramatisasi dan diromantisasi.

    Perkara inses menjadi unik di tengah-tengah pertarungan ras yang disodorkan Kiki. Hampir tidak memiliki dasar, bila kita menganggap bahwa puisi Kiki berhenti sampai pada persoalan cinta-kasih. Berbeda halnya andaikata inses kita sorot sebagai simbol. Dengan begitu, akan kita temukan hal-hal baru sebagai konsekuensi makna simbol yang sungguh kentara.

    Pertanyaan yang juga patut dipertimbangkan ialah hasrat apa yang sebenarnya sedang disembunyikan aku-puisi untuk memilih Ida di antara tiga perempuan lainnya yang dalam konteks keterkinian secara universal diyakini memenuhi standar-standar kecantikan. Dari manis wajah oriental, tegas dan wibawa bangsa Arab, hingga yang murni Kaukasoid dari Belanda, ras yang dinggap puncak segala ras di dunia. Kesejatian apa yang dimiliki Ida sekaligus tidak dimiliki Eva, Itje, dan Siau Lim, misalnya. Sebaiknya kita bersiap dengan kenyataan betapa inses hanya lambang belaka, atribut yang niscaya menjadi tangkup bagi esensi lainnya.

    Rambut Merah Ida

    Rambut adalah materi paling menonjol dalam puisi-puisi yang menginternalisasi wujud Ida di dalamnya. Anda bisa memeriksanya pada bagian-bagian berikut ini.

    lalu rambutmu/kucium bagai kembang jepun//di antara mereka/kucium sepenuh dukacita/rambut merahmu, Ida//

    (rambut merah Ida)

    aku meraba rambutnya, merah-terang seakan baru terpanggang//

    (ramalan sirih pinang)

    sudah lama aku menduga merah pada rambut Ida/berasal dari bulu anjing yang suatu petang pernah bertandang//

    (anjing merah)

    pada merah rambut ida ia percaya, ada cerita yang masih rahasia//

    (sisir kayu)

    lembar-lembar september bergetar di rambutnya/rambut yang merah seperti terendam darah//Ida melihat komet, kini aku menulis sonet untuknya/untuk rambut merah dan hari-hari yang tak mudah//

    (ampenan, kemana aku kan menjelang)

    Kecenderungan Kiki terhadap individualitas Ida mengingatkan saya pada cerpen Kaki yang Jelita karya Agus Noor dan Tahi Lalat di Punggung Istriku karangan Ratih Kumala. Saya pernah membahasnya dalam kesempatan yang lain. Agus Noor menghadirkan kisah Kaka dengan kaki jenjangnya. Persona ini selanjutnya menemukan kemegahan individualitasnya di tengah para pengagum yang mendewakan kejenjangan itu. Kaki menjadi lokus seksual bagi Kaka.

    Lokus seksual juga ditemukan di atas punggung tokoh istri dalam cerpen Ratih Kumala. Tokoh suami pada cerpen Ratih justru tergila-gila pada senoktah tahi lalat di punggung. Hal yang ingin saya tilik dari kedua cerpen itu ialah bagaimana pengarang merekonstruksi standar kecantikan yang—katakanlah melekat dengan erat di tas tubuh perempuan Barat atau ras Kaukasoid—selama ini memaksa perempuan di seluruh dunia untuk menjadi homogen dalam ciri fisik mereka.

    Intensitas pemujaan aku-puisi terhadap rambut Ida bisa diidentifikasi memiliki warna serupa dengan standar-standar baru yang coba dikonstruksi Ratih dan Agus. Kiki sengaja menghadirkan lawan tanding bagi Ida. Perempuan-perempuan yang dikondisikan berasal dari tiga bangsa lainnya, Cina, Arab, Belanda, yang dianggap lebih unggul dibanding ras yang turut membentuk ciri fisik Ida. Bagaimanakah kita memahami pilihan aku-puisi yang kukuh menjalin cinta terlarang denga Ida dibanding membangun relasi seksual-emosional dengan tiga perempuan “unggul” lainnya? Perkara cinta terhadap Ida adalah kasus yang kelihatannya sia-sia; sudahlah inses, bukan dari ras unggul pula.

    Mitos kecantikan membentuk konsep bahwa seolah kualitas yang disebut cantik benar-benar ada, secara objektif dan universal. Situasi itu selanjutnya menjelma sebagai sesuatu yang alamiah dan diperlukan karena bersifat biologis, seksual, dan evolusioner. Hal itu tidak sepenuhnya benar. Secara fundamental kecantikan juga ditentukan oleh sistem politik. Kecantikan bukan hal yang universal juga bukan bagian dari fungsi evolusi. Tidak ada legitimasi historis atau pembenaran biologis bagi patron kecantikan. Dengan begitu, dapat ditarik prinsip bahwa kecantikan merupakan kombinasi dari jarak emosional, represi politik, ekonomi, dan seksual.

    Memahami bahwa kecantikan itu nisbi dan seterusnya tidak ada standar pasti dan ukuran yang jelas tentang wujud perempuan cantik, Wolf mendesain sebuah teori yang berasal dari keyakinan bahwa cantik itu mitos. Itulah mengapa kemudian lahir teori mitos kecantikan, underbow studi feminisme. Kreator Ida mungkin tidak membaca Wolf, tetapi ia telah secara sadar ikut meruntuhkan standar-standar kecantikan keterkinian yang terus merongrong dan dipaksakan melalui media massa, keyakinan, atau bahkan ideologi. Kiki meruntuhkan menara gading standar kecantikan dengan membangun benteng standar kecantikan yang baru. Mitos dilawan dengan mitos. Ia percaya, standar cantik tak lebih dari sebuah omong kosong.

    Kecurigaan kita lantas punya alasan untuk merangsek kepada alasan macam apa yang coba diterangkan Kiki melalui pembentukan mitos di tengah gempuran standar dan patron yang lebih popular dan sudah punya nama. Korelasi macama apa yang coba diwacanakan penyair melalui upayanya yang begitu keras kepala mencintai saudaranya dan mengenyahkan hasrat bercinta dengan sesuatu di luar lingkarannya? Apakah ini hanya perkara pertarungan narasi eksogami dan endogami? Sepertinya, formulasi dari gagasan besar AAKC tidak berhenti hanya pada persoalan mitos kecantikan.

    Pada subbagian ini kita telah berbicara tentang ras dan mitos kecantikan secara bersamaan. Fakta isu rasialisme yang diangkut penyair selanjutnya bisa kita asumsikan disulap menjadi kayu bakar dalam tungku pembuatan roti mitos kecantikan yang baru. Hal yang perlu kita garis bawahi ialah untuk apa standar ini penyair ciptakan? Pada bagian ini harusnya kita lebih jeli dan lebih dingin lagi meletakkan fokus analisis pada dasar ideologi Kiki Sulistiyo.

    Resistensi. Kita bisa memulai babak baru perbincangan dengan kata tersebut. Resistensi menjadi landasan bagi Kiki untuk menegaskan asumsinya bahwa perempuan dari ras proto melayu sebagai ras terbesar yang mendiami pulau Lombok, lebih bergairah dan bernyawa dibanding Eva, Itje, pun Siau Lim. Eva yang turunan Arab terlalu alim dan malu-malu sementara Itje gadis Belanda dipandang terlalu bocah, tak punya hasrat, tidak mandiri, dan tidak otonom. Sama halnya Siau Lim yang bernasib sial. Oleh aku-puisi ia dinilai sebagai bocah yang benar-benar menyedihkan, tanpa kehendak menjalani hari-harinya dengan lebih bahagia, dengan bermain keluar rumah. Tidak heran, ia menjadi pucat tanpa gairah, persis mayat hidup dan tak mungkin diajak berkasih-kisah.

    Bandingkan dengan nukilan larik berikut jakun di leherku mulai mengembang dan iseng sekali/memperhatikan dada Ida, anak paman yang berambut merah bagai/gadis manca//Ida berlari di depan/pinggangnya ramping seakan ceruk tebing/bau tubuhnya runtuh/seperti datang dari sebuah kota yang lama dilupakan orang//. Larik-larik ini saya kutip dari lonceng makan siang. Sebuah jalan penokohan bagi Ida yang punya energi besar dan antusiasme menghadapi hari-harinya yang cerah sebagai gadis Lombok.

    Persoalan rambut Ida menjadi batu loncatan yang cukup sempurna untuk sekaligus menghantam persoalan fisik, sifat, dan mental dari lawan tanding Ida. Perempuan-perempuan yang tidak berhasil memuaskan hasrat aku-lirik akan pasangan yang tumbuh dari nyala api vitalitas, padat oleh gerak spiritualitas. Semangat perjuangan dan perlawanan terimplementasi dengan baik melalui pilihan warna yang diletakkan pada rambut Ida: merah.

    Resistensi rasialisme ini hadir sekaligus untuk menegaskan keberpihakannya pada nasionalismenya dengan jalan mengingkari nasionalisme di luar kondisi kulturalnya. Pengingkaran ini bisa kita yakini sebagai bentuk rasa muak Kiki terhadap keunggulan teknik—atau kemajuan-kemajuan lainnya—yang selalu dipretensikan sejalan dengan keunggulan moral. Keunggulan yang seumpama menjadi hak bagi ketiga ras lainnya untuk memegang kendali kuasa sebagai bagian dari misi pengadaban.

    Nasionalisme Kiki sekaligus bertujuan menangkal sikap-sikap negatif semacam inferioritas, pengkultusan terhadap segala budaya impor, dan upaya mengenyahkan mental inlander. Kiki tidak mendudukkan inses sebagai persoalan tabu seksual sedarah belaka. Insens selaik anak panah yang ia lesatkan demi menujah target yang kita sepakai sebagai rasisme. Pengingkaran standar kecantikan yang oriental, timur tengah, atau pun yang ke-barbie-barbie-an tidak berhenti pada upaya meruntuhan mitos, meliankan juga melegitimasi keagungan dan keunggulan budayanya. Upaya counter budaya impor yang cukup cerdas dilakukan Kiki melalui sehimpun puisinya.

    Saya jadi terkenang bagaimana Paul Tickell berbicara tentang kekuasaan kolonial Eropa dan kesadaran kaum terjajah yang tidak paham tentang indikasi seperti apa yang harus diperbuat demi keluar dari mekanisme penjajahan yang bersifat mengatur, mendisiplin, dan menguasai. Namun demikian, masih menurutnya, perlu disangsikan apakah ideologi-ideologi kolonialisasi itu benar-benar berfungsi sebagai wacana yang berkuasa dan mencakup seluruh pendudukan jajahan. Persoalan ini, bila kita adapatasi dalam keputusan Kiki memilih karakter Ida sebagai partner seksualnya, pada gilirannya menjawab kegelisahan di atas.

    Kiki tidak lagi berbicara dalam ruang kolonialisasi Eropa sebagaimana yang menjadi hantu sejarah bangsa Indonesia. Ia menggeser ruang penjajahan ini ke dalam partisi yang lebih riil terkait dengan persoalan dalam konteks keterkinian. Ketiga bangsa yang digambarkan Kiki yakni Arab, Belanda, dan Tionghoa masing-masing mewakili produk-produk impor. Arab dengan narasi agama gurun pasir, Belanda yang berdiri sebagai delegasi Barat atau western, dan Tionghoa yang menjadi lambang bagi kemakmuran dan seperangkat dominasi terhadap kantong-kantong moneter. Kiki menjadikan ketiganya sebagai representasi dari kolonial lantas menjawab apa yang menjadi kerasahan Tickell tentang “indikasi seperti apa yang harus diperbuat”.

    Dalam Clearing a Space, Tickell menyebut Marco Kartodikromo melawan dengan bahasa melalui Matahariah, maka Kiki sejatinya menentang dengan cara yang cukup berbeda. Ia bertanding dengan senjata bernama inses yang selanjutnya berpendar melalui rambut dengan warna merah sebagai penanda keberanian, ciri fisik, mental, dan spiritual. Pembahasan sederhana ini selanjutnya bisa dijadikan landasan penelitian tentang mitos kecantikan atau nasionalisme dalam puisi-puisi mutakhir Indonesia.

    Sumber Acuan

    Fukuyama, Francis. 2005. Guncangan Besar Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru. (Masri Maris. Penerjemah). Jakarta: Freedom Institute.

    Humm, Maggie. 2007. Ensiklopedia Feminisme. (Mundi Rahayu. Penerjemah.) Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.

    Pradopo, Rachmat Djoko. 2010. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

    Sulistiyo, Kiki. 2017. Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari?. Yogyakarta: BASABASI.

    Tickell, Paul. 2008. Cinta di Masa Kolonialisme, Ras dan Percintaan dalam Sebuah Novel Indonesia Awal. Dalam Keith Foulcher dan Tony Day (editor). Sastra Indonesia Modern Kritik Poskolonial, Edisi Revisi Clearing a Space. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

    Tong, Rosemarie Putnam. 2010. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. (Aquarini Priyatna Prabosmoro. Penerjemah.) Yogyakarta: Jalasutra. (Diterbitkan pertama kali tahun 1998).

    Ulasan ini dipaparkan dalam Diskusi Sastra Nasional IV yang bertema “Mengenang Ampenan” di PKKH UGM, Kamis 27 September 2018, oleh La Ode Gusman Nasiru

  • Pentingnya Pemuda Generasi 2028

    author = Olav Iban
    Lulus UGM dua kali. Saat ini bekerja sebagai pegawai negeri sihir dan dosen seni partikelir. Setahun sekali menulis opini di koran lokal.

    Mari kita akui bahwa pada tahun 1945 Indonesia tak akan merdeka tanpa 1928. Pun 1928 tak akan ada tanpa 1908, dan tiada 1908 tanpa momentum Politik Etis yang membawa ilmu pendidikan Barat ke Indonesia. Logika tersebut menjadi dasar berpikir artikel ini. Tidak ada sejarah yang berdiri sendiri.

    Di media massa SBY dan Aburizal Bakrie pernah menulis visinya tentang Indonesia 2045. Maret lalu Lemhamnas pun meluncurkan buku Skenario Indonesia 2045. Maka, penting bagi kita yang mengidamkan Indonesia merdeka 100% di tahun 2045 untuk menyiapkan pemuda generasi 2028. Maka, patutlah kita tengok kembali efek domino 1908 ke 1945.

     

    Efek Domino 1908

    Seperti yang diamini oleh para sejarahwan, ada tiga tokoh puncak di Indonesia tahun 1945, yakni triumvirat Soekarno-Hatta-Sjahrir. Soekarno (lahir 1901), Hatta (1902), dan Sjahrir (1908). Mereka masih SD, bahkan Sjahrir masih bayi ketika Budi Utomo didirikan 20 Mei 1908. Namun, pada November 1945, Soekarno adalah Presiden Pertama Indonesia, Hatta adalah Wakil Presiden Pertama, dan Sjahrir adalah Perdana Menteri Pertama. Di tahun 1908, siapa yang mengira mereka menjadi pucuk pimpinan bangsa ini?

    Soekarno-Hatta-Sjahrir takkan ada di puncak Indonesia 1945 tanpa masa mudanya diisi dengan membaca gagasan revolusioner Tan Malaka, tanpa diayomi Tjokroaminoto, atau tanpa berdiskusi dengan Agus Salim. Tan Malaka berusia 31 tahun, Tjokroaminoto 46, dan Agus Salim 44 saat Sumpah Pemuda dibacakan. Mereka adalah pamong bagi Soekarno-Hatta-Sjahrir yang berestafet membawa rakyat Indonesia menuju kemerdekaan.

    Meski Soekarno-Hatta-Sjahrir tidak banyak berperan dalam Sumpah Pemuda 1928, namun di tahun itu telah terjadi gejolak emosi nasionalisme yang sama, baik bagi mereka yang hadir di Kongres Pemuda II maupun yang tidak.

    Lihatlah nama yang menghadiri kongres itu. Ada Amir Sjarifuddin (usianya masih 21 th), Mohammad Yamin (25 th), Johannes Leimena (23 th), dsb. Siapakah mereka pasca-1945? Amir Sjarifuddin menjadi Perdana Menteri Indonesia kedua. M. Yamin menjadi Menteri Kehakiman. J. Leimena menjadi Wakil Perdana Menteri. Bahkan, SM Amin (24 th), yang tidak populer, pasca-1945 menjabat sebagai Gubernur Aceh, Sumut, dan Riau. Lihat betapa pentingnya momentum 1928 mengubah jalan hidup para pemuda itu hingga menjadi pemimpin bangsa setelah merdeka.

    Bila 1920-1930 adalah dekade propaganda, maka 1900-1910 adalah dekade bangkitnya nasionalisme. Para pemuda bersemangat mengobarkan nasionalisme dengan wadahnya masing-masing seperti Syarikat Islam (berdiri tahun 1905), Budi Utomo (1908), Perhimpunan Indonesia (1908), Indische Partij (1912), dsb.

    Siapa pemuda di balik dekade itu? Ada Tjipto Mangoenkoesoemo (yang pada 1908 berusia 22 th), Ki Hadjar Dewantara (19 th), Agus Salim (24 th), dan HOS Tjokroaminoto (26 th).

    Sejarah menyebutkan bahwa Soekarno-Hatta-Sjahrir berguru pada mereka. Tjokroaminoto adalah induk semang Soekarno ketika ia tinggal di rumah kost miliknya. Hari-hari Soekarno muda dihabiskan dengan belajar pada beliau. Adapun Tjipto Mangoenkoesoemo selama enam tahun berdiskusi hampir setiap malam dengan Hatta ketika diasingkan ke Banda Neira. Sementara Agus Salim selalu berbagi gagasan kepada Sjahrir selama pengasingan mereka di Brastagi.

    Dari sini tampak nyata bahwa sejarah kemerdekaan Indonesia adalah tongkat estafet yang disaling-silangkan antar-tokoh pendiri bangsa. Bila sekali saja tongkat itu abai diturunkan lintas-generasi, akankah ada Republik Indonesia?

    Atas dasar berpikir inilah mesti disadari bahwa cita-cita Indonesia merdeka 100% di tahun 2045 akan sulit berhasil bila kita tidak memiliki landasan 2028. Pun generasi gemilang 2028 sulit terwujud jika tidak ada kesiapan pembangunan kepemudaan dari sekarang.

    Dekade 2010-2020 adalah momen krusial yang menentukan kesiapan generasi 2028. Melihat pola Soekarno-Hatta-Sjahrir, kelak yang berada di puncak Indonesia 2045 adalah mereka yang lahir di dekade 2001-2010. Mereka menjadi remaja di dekade 2010-2020, lalu mematangkan diri lewat momentum 2028, sehingga pada 2045 siap didaulat memimpin Indonesia.

    Menurut Badan Pusat Statistik, Indonesia akan mengalami bonus demografi tahun 2020-2030 yang menyediakan 70% dari total populasi Indonesia berusia produktif (15-64 th). Di sisi lain, Masyarakat Ekonomi ASEAN telah dimulai 1 Januari 2016. Ini merupakan kebetulan sekaligus kesempatan emas. Dengan kata lain, bonus demografi dan MEA akan menjadi kawah Candradimuka bagi pemuda kita asalkan tersedia trayektori yang tepat meningkatkan kompetensi mereka.

    Lantas, bagaimana menyiapkan trayektori yang tepat bagi generasi 2028? Dari sini perlu diperhatikan apa yang memicu 1908 menjadi tahun Kebangkitan Nasional, yang kemudian berefek domino ke 1928 hingga 1945.

     

    Kesadaran Berpendidikan 

    Disebutkan di awal bahwa 1908 takkan ada tanpa momentun Politik Etis. Sebenarnya Politik Etis ditekankan pada rasa emansipasi bagi bangsa terjajah dalam tiga bentuk: irigasi, emigrasi, dan edukasi. Namun, keuntungan edukasi-lah yang menjadi titik balik cara berpikir rakyat Indonesia kala itu.

    Tanpa Politik Etis, Soekarno tak akan bergelar Insinyur, Hatta dan Sjahrir tak akan bersekolah di Belanda. Tanpa pendidikan tak akan muncul semangat nasionalisme, dan tentu tak akan ada Proklamasi. Amat disayangkan buku-buku sejarah kerap menisbikan hal ini. Sejak lama kita dicekoki bahwa kemerdekaan diraih semata-mata lewat perang. Sulit ditemui buku sejarah resmi yang menitikberatkan peran pendidikan sebagai pemicu berdirinya negara ini. 

    Pendidikanlah yang mengubah wajah Indonesia. Tanpa pendidikan, para pahlawan kita gugur sia-sia. Ada kognisi nasionalis di kepala mereka agar tidak gugur percuma. Pemuda Angkatan ‘45 takkan serta merta mengangkat bambu runcing bila tidak terdidik jiwa nasionalismenya.

    Konsep pedagogi memang telah jauh berubah. Tuntutan pun berganti. Masa depan pemuda kita dihadapkan pada kecanggihan teknologi yang pesat dan terbuka. Mesti diakui bahwa Kalimantan Tengah tertinggal dibandingkan Jawa apalagi Eropa. Hal itu bisa diatasi mengingat kita hidup di era internet —segalanya terakses. Pendidikan adalah cara termudah mengejar ketertinggalan itu. Bila pemuda kita tanggap dan pandai, mereka bisa saja mengakses jurnal Harvard dan menyainginya. Kendalanya hanya bagaimana membuat mereka tanggap dan pandai. Cara terefektif dan berdampak massal untuk mengatasinya ialah dengan pembangunan pendidikan di Indonesia. 

    Pernah terjadi sebuah diskusi sesama orangtua warga Dayak di perantauan yang membicarakan tentang pembangunan pendidikan di Tanah Tambun Bungai. Diskusi itu ingin menjawab bagaimana menjadikan Universitas Palangka Raya (UPR) setara dengan UI, UGM, UNAIR atau ITB. Begini dialektikanya: Seandainya APBD dianggarkan 100% untuk UPR. Seandainya seluruh dosen UI, UGM, UNAIR, ITB kita boyong. Seandainya gedung kampus kita duplikasi, sanggupkah ia menjadi universitas papan atas di Indonesia? Jawabannya: mustahil. 

    Akreditasi sosial terhadap perguruan tinggi ditentukan dari output-nya; prestasi yang dicapai alumninya. Kualitas output ditentukan proses pedagogis selama masa studi, sarana prasarana yang memadai, dan yang paling penting adalah kualitas input-nya (calon mahasiswa yang mendaftar).

    Meski tidak selalu demikian, ada kecenderungan bahwa universitas papan atas di Indonesia kebanyakan mahasiswanya berasal dari SMA-SMA (atau sederajat) terbaik. Kemudian, siapa yang bisa masuk SMA terbaik? Kebanyakan siswa yang berasal dari SMP terbaik. Lalu, siapa yang diterima di SMP-SMP terbaik itu? Kebanyakan siswa yang berasal dari SD-SD berkualitas. Terakhir, siapakah yang bersekolah di SD-SD berkualitas? Ialah mereka yang berasal dari keluarga yang sadar betapa pendidikan dapat mengubah nasib anak mereka. 

    Bagi daerah dengan mutu pendidikan yang masih rendah, tidaklah baik menceraikan perguruan tinggi dengan pendidikan dasar dan menengah. Perlu 6 tahun SD, 3 tahun SMP, dan 3 tahun SMA guna menyiapkan calon mahasiswa yang mampu menjadikan UPR sebagai universitas papan atas di Indonesia.

    Selama ini kita terbuai pada pembangunan infrastruktur, tetapi lupa terhadap pembangunan superstruktur (kebudayaan, falsafah, sosial-keluarga). Memang benar, di daerah seperti Kalteng tanpa akses jalan dan jembatan yang baik akan sulit berangkat sekolah. Namun, bagaimana bila anak kita bersekolah tanpa kesadaran pentingnya pendidikan.

    Sungguh baik bila para calon pemimpin bangsa itu sedari awal dibesarkan di keluarga yang menyadari pentingnya pendidikan. Menyediakan akses buku-buku di rumahnya. Belajar di sekolah inklusif yang memberi perhatian di bidang seni, multikulturalisme, dan teknologi. Lalu, ketika mereka tumbuh remaja tersedia sarana berkembang yang kreatif, bukan konsumtif.

    Semua itu bergantung pada kita, baik sebagai orangtua, tokoh masyarakat, maupun pemimpin bangsa ini yang akan menyerahkan tongkat estafet lintas-generasi. Akankah kita mampu melihat pentingnya generasi pemuda 2028 supaya kelak mereka memiliki kompetensi menjadikan Indonesia 100% merdeka di 2045?

     

    *Tulisan ini pernah dimuat di Harian Umum Tabengan edisi 7 Juli 2016

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Pengultusan dan Ketakutan akan Hilangnya Isi Kepala

    author = Hanif Amin

    Saya hidup
    dengan meniru. Waktu kecil, misalnya, saya menonton Naruto dan ingin jadi
    Naruto. Akhirnya yang saya lakukan untuk jadi sedekat mungkin dengan sosok
    Naruto adalah meniru berbagai jurus berkelahinya secara diam-diam.

    Sosok-sosok
    untuk diidolakan dan ditiru, baik yang fiktif maupun nyata, selalu ada
    sepanjang hidup saya hingga sekarang. Saya menemukan mereka lewat berbagai
    manusia dengan berbagai jenis profesi. Lewat komik, TV, dan buku.

    Sekarang,
    medium-medium itu bertambah (dan menggeser yang lama) dengan adanya smartphone dan internet. Ada Youtube,
    film, blog, podcast, dan akun sosial media yang menjadi tempat tiap orang untuk
    menunjukkan keunikan masing-masing.

    Dengan
    bertambahnya medium, bertambah pula orang-orang yang dapat dijadikan idola atau
    role model. Di Youtube saja,
    barangkali kita bisa menemukan puluhan vlogger
    dan content creator asal Indonesia
    yang memiliki subscriber puluhan ribu keatas.

    Dengan
    internet, kini anak-anak SD tidak perlu menunggu dengan sabar hingga sore di TV
    untuk menemukan idolanya. Ponsel mereka menembus batas-batas waktu.

    Sebagai
    remaja, saya juga merasakan kebutuhan untuk menemukan orang-orang yang bisa
    dijadikan panutan. Bedanya, sekarang saya tidak mencari sosok yang bisa
    melakukan jurus-jurus ajaib atau memukuli ratusan orang sendirian. Saya mencari
    orang yang menawarkan “gagasan”, “jawaban” atau “kompas buat menjawab”
    keresahan-keresahan yang saya alami. Mereka yang punya keahlian dan cara hidup
    untuk dibagi.

    Dengan
    sendirinya, saya menemukan beberapa sosok yang terasa begitu menarik untuk
    dicari kabarnya. Lalu mengikuti mereka melalui tulisan, status sosial media,
    video, atau podcast. Dan terima kasih kepada internet, sekarang saya tidak
    perlu menunggu berjam-jam untuk mendapatkan segala macam konten tersebut.
    Semuanya bahkan terasa terlalu mudah.

    Satu hal
    lagi yang jauh berbeda dibanding beberapa tahun lalu adalah soal betapa
    intens-nya saya bisa mengikuti sosok yang saya idolakan. Menonton vlog, membaca
    tulisan, dan mendengarkan podcast mereka seringkali membawa saya kepada ilusi
    bahwa saya begitu dekat dengan si idola.

    Candu untuk
    “mengikuti” ini serasa makin hebat dari hari ke hari dengan begitu aktifnya
    mereka di kanal masing-masing. Kehidupan pribadi mereka terasa menarik hingga
    membuat saya melakukan stalking untuk
    mencari-cari informasi yang lebih.

    Tapi
    ketakutan terjadi ketika saya merasa makin tenggelam pada sosok mereka sampai
    kepada suatu titik dimana saya selalu menjadikan para idola ini referensi dalam
    berpikir dan menyikapi hampir segala hal.

    Misalnya
    ketika menjumpai suatu masalah, tanpa sadar saya selalu mencoba berpikir
    menggunakan sudut pandang dari si idola. Hal ini bisa terjadi begitu sering
    sampai membuat saya melupakan pilihan-pilihan lain.

    Begitu juga
    ketika ada isu yang hadir. Sebelum mencerna dan menggali isu tersebut untuk
    disimpulkan sendiri, saya biasanya selalu mencari-cari opini dari orang-orang
    yang saya idolakan.

    Kepedulian
    saya pada keadaan yang nyata di sekitar tempat tinggal juga menghilang. Pikiran
    saya disibukkan pada masalah-masalah yang penting tapi jauh lalu melupakan yang
    terlihat kecil dan dekat.

    Sesuatu yang
    remeh barangkali terjadi pada persoalan selera musik. Yaitu ketika saya punya
    beberapa musisi idola yang selalu dijadikan referensi. Sebelum mendengarkan
    lagu A, misalnya, saya selalu mencari tanggapan dari si musisi dulu. Kalau dia
    suka, maka saya akan mendengarkan. Kalau tidak, biasanya saya tinggalkan atau
    dengarkan sedikit hanya untuk meyakinkan diri sendiri kalau musik yang saya
    sedang dengarkan adalah musik yang jelek.

    Belum lagi
    kalau idola saya punya semacam “musuh”, orang yang mengkritik atau mendebat
    mereka. Seperti persoalan selera musik, reaksi pertama saya pada si musuh
    adalah “orang ini goblok dan brengsek”. Lalu membaca sedikit soal si musuh
    hanya untuk meyakinkan anggapan saya sebelumnya tentang dia.

    Peristiwa-peristiwa
    tadi ketika dipikirkan ulang seringkali menciptakan kegaduhan kecil dalam
    kepala. Timbul pertanyaan dan keresahan soal identitas diri. Apakah saya punya
    kontrol atas apa yang saya pikirkan?

    Saya jadi
    curiga kalau sebenarnya saya tidak punya isi kepala. Kalau gagasan yang ada di
    dalam kepala adalah hasil ikut-ikutan orang lain bukannya sesuatu yang
    dipikirkan dengan matang.

    Bahkan
    sepertinya saya tidak punya gagasan. Yang ada hanya pengultusan. Saya terlalu
    intens mengikuti orang lain sampai-sampai kehilangan semangat untuk berpikir
    karena merasa sudah terwakili dengan menunggangi pikiran mereka.

    Pangeran
    Siahaan di Twitter-nya bilang : “Jangan percaya sama
    orang. Pada satu titik, orang akan mengecewakan lo. Percaya pada nilai. Percaya
    pada gagasan.”

    Saya kira
    twit barusan bisa menggambarkan masalah banyak orang. Ketika gagasan tertukar
    dengan siapa yang mengemukakan gagasan. Sehingga yang jadi pisau kita untuk
    menyikapi dan membedah sesuatu bukan gagasan, tapi orangnya.

    Akhirnya
    yang ada cuma pengultusan alih-alih akal sehat.

    Dalam skala
    yang besar pengultusan ini terlihat di dalam suasana pemilihan presiden. Selalu
    ada orang yang menganggap calon presiden pilihannya adalah manusia super yang
    tidak punya salah dan si lawan sebaliknya.

    Semuanya
    semakin konyol dengan pelabelan julukan pada masing-masing pemilih. Seperti ada
    perbedaan yang begitu tajam antar-kedua paslon. Seolah-olah segalanya cuma soal
    memilih di antara dua kubu, yang hitam-putih. Antara si baik dan si jahat.

    Kendati
    demikian, internet juga menumbuhkan beragam kultus dalam skala lebih kecil
    karena sekarang tiap orang atau perkumpulan bisa membagikan gagasannya dengan
    gampang dan intens. Pengultusan bisa terjadi dengan lebih mudah, baik dalam hal
    remeh maupun besar. Disadari maupun tidak.

    Adalah tugas masing-masing kita untuk terus mengisi kepala
    dengan akal sehat dan gagasan, alih-alih menumpahkannya secara cuma-cuma ke
    punggung idola.

  • Pengaruh Peristiwa ’65 pada Kondisi Kesehatan Jiwa Masyarakat Indonesia

    author = Mustaqim Aji Negoro

    Peristiwa ‘65 merupakan salah satu cerita sejarah terbesar di Indonesia yang terjadi pada abad ke-20. Peristiwa ini diawali dengan adanya penculikan dan pembunuhan enam orang perwira tinggi dan seorang perwira pertama Angkatan Darat pada malam 30 September 1965. Jenazah para perwira ini kemudian ditemukan di sebuah sumur tua yang ada di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur tak lama setelahnya. PKI dituduh oleh Angkatan Darat sebagai biang keladi di balik peristiwa penculikan dan pembunuhan ini.

    Segera setelah berita pembunuhan terhadap para Jenderal Angkatan Darat ini menyebar, kondisi stabilitas politik dan keamanan nasional menjadi tidak stabil dan berubah mencekam. Berlangsung aksi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan mahasiswa dan beberapa organisasi masyarakat anti-PKI dan anti-Soekarno yang dibekingi militer di beberapa kota besar tak lama setelahnya. Tuntutan mereka jelas, yakni pembubaran PKI dan pembersihan kabinet Soekarno dari unsur-unsur Kiri. 

    Hal yang perlu menjadi catatan penting di sini adalah, aksi protes dan demonstrasi tersebut, diikuti dengan persekusi, perburuan, penangkapan, dan pembunuhan massal terhadap para anggota PKI, simpatisan, atau orang-orang yang sekedar dituduh sebagai simpatisannya di mana-mana beberapa hari sampai jauh berbulan-bulan berikutnya.  

    ***

    Siapa sangka peristiwa berdarah yang berlangsung mulai Oktober 1965 sampai akhir 1966 ini ternyata tidak hanya membawa dampak pada insiden pembunuhan massal atau masalah lain yang tampak secara fisik semata. Akan tetapi, lebih daripada itu, juga berdampak langsung terhadap kondisi psikologis dan kesehatan jiwa orang-orang yang hidup di zaman tersebut. 

    Contoh penggambaran paling baik dari kasus ini adalah data yang berhasil dihimpun oleh Dr. Mikail Bharya (salah seorang psikiater tersohor yang hidup pada masa itu) dalam artikelnya di “Majalah Psikiatri Jiwa, edisi No. 3 Juli 1972” mengenai kejadian percobaan bunuh diri yang menimpa seorang wanita sunda-muslim berinisial (N) yang mencoba memotong urat nadi di pergelangan tangannya sendiri akibat dituduh komunis dan dihindari kehadirannya oleh para tetangga di sekitarnya pasca peristiwa pada tahun 1965 tersebut (hlm. 65).

    (Sumber foto: Dokumentasi penulis, Majalah Psikiatri Jiwa, edisi No. 3 Juli 1972, hlm. 65)

    Dalam kasus itu, wanita berinisial (N) mulai memiliki konflik dengan tetangganya  disebabkan oleh hal-hal sepele dalam kehidupan sehari-hari. Yakni, ketika keluar untuk bergaul dengan tetangganya, wanita tersebut merasa bahwa para tetangga menganggap dirinya sebagai seorang komunis, dan dia yakin bahwa para tetangganya tersebut menghindari kehadirannya karena sebab itu. Semenjak cap komunis melekat pada dirinya ia merasa terasing dan putus pengharapan. Kondisi kesehatan jiwanya menjadi menurun. Kondisi ini terus berlangsung hingga pada suatu hari, karena tekanan batin yang luar biasa tersebut, tanpa suatu niatan khusus sebelumnya, akhirnya ia memutuskan untuk mencoba memotong nadi di pergelangan tangannya. 

    Disebutkan pula dalam tulisan itu, latar belakang keluarga wanita yang coba melakukan bunuh diri tersebut adalah orang tidak mampu, ia memiliki dua belas saudara yang tidak pernah memperoleh pendidikan formal apapun dan tak pernah tergabung dalam organisasi partai politik manapun (termasuk PKI tentu saja).

    Cerita mengenai orang tak bersalah yang tidak memiliki afiliasi apapun dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) lalu dituduh komunis oleh para tetangga, atau orang-orang di lingkungan di sekitarnya merupakan cerita yang lumrah terjadi pada waktu-waktu tersebut (lihat misalnya penggambaran yang menakjubkan di buku berjudul Palu Arit di Ladang Tebu). 

    Karena dalam hal ini, basis data yang digunakan untuk dapat mengatakan seseorang merupakan simpatisan atau anggota partai komunis sendiri tidaklah jelas dari mana asalnya.  Lalu, kalaupun benar mereka merupakan anggota partai komunis atau simpatisannya, atas dasar justifikasi apa orang-orang desa yang tidak tahu duduk perkara apa-apa mengenai dunia politik itu bebas untuk dibantai sedemikian rupa tanpa proses peradilan? Data-data menyebut jumlah korban keganasan sentimen anti-komunis tersebut tak kurang dari 500.000 orang, bahkah ada yang menyebut sampai 2 juta orang.

    Cerita lain adalah apa yang menimpa Yunus Tan Liang Seng (37 tahun) yang pergi ke Jakarta sejak 11 Juli 1980. Hingga berita dalam Kompas yang terbit pada 22 Oktober 1980, ia belum kembali ke rumahnya di Bogor. Diketahui, Yunus dahulu sempat duduk sampai Tingkat IV sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran UI sebelum akhirnya menderita gangguan jiwa akibat syok yang dialaminya sewaktu berlangsung demonstrasi mahasiswa dan sentimen anti-PKI pasca peristiwa ’65.Sementara itu, dalam buku yang berjudul Memanusiakan Manusia: Menata Jiwa Membangun Bangsa yang ditulis oleh dr. Denny Thong, spKJ yang bercerita tentang sejarah hidup Prof. Dr. Kusumanto Setyonegoro (seseorang yang dijuluki Bapak Psikiatri Indonesia) menyebut bahwa pada masa pergolakan politik yang sedang terjadi pada 1965-1966 tersebut juga membawa dampak yang signifikan pada kondisi penanganan kesehatan jiwa masyarakat Indonesia. Di samping itu, sebagaimana hasil wawancara dr. Thong dengan dr. W. M. Roan SpKJ, teman seperjuangan Prof. Kusumanto Setyonegoro juga menyebut telah terjadi kebingungan di kalangan para psikiater, khususnya yang ada di Jakarta mengenai kondisi tersebut. Berikut kutipan hasil wawancaranya:

    “Masa itu (1965-1968) sangat tidak menguntungkan bagi kami, para psikiater. Beliau (Prof. Kusumanto) berpendapat agar kami tidak terlibat dalam masalah politik. Prahara politik memunculkan banyak ketegangan yang berdampak pada munculnya gangguan jiwa yang terkontaminasi politik. Misalnya, ada orang yang mengaku komunis (pasien bernama H), padahal ia adalah penderita gangguan jiwa di sebuah RSJ Jakarta.” Kenang Roan

    (hlm. 49)

    Sebagai tambahan, dalam tulisannya yang berjudul, “Sejarah Kesehatan Jiwa di Indonesia” di Majalah Psikiatri Jiwa edisi No. 1 Januari 1976, Prof Kusumanto Setyonegoro secara implisit menulis kalimat, “sesudah kabut G30S mulai mereda dan menipis, bagi Direktorat Kesehatan Jiwa tercipta kemungkinan untuk secara lebih tegas meletakkan landasan-landasan yang kokoh bagi perkembangan suatu instansi kesehatan jiwa yang modern.”(hlm. 84).

    Jika kita cermati kalimat tersebut, maka disimpulkan bahwa apa yang disampaikan oleh Prof. Kusumanto di atas—yang pada saat itu menjadi bagian langsung dari Direktorat Kesehatan Jiwa—bahwasanya peristiwa G30S juga memberikan dampak langsung terhadap institusi tempatnya bekerja untuk melakukan modernisasi dan peningkatan pelayanan kesehatan jiwa. Terjadi stagnasi di sana sebagai akibat dari peristiwa tersebut.

    Sementara itu, data resmi yang berhasil dihimpun oleh Sanatorium Dharmawangsa (salah satu rumah sakit jiwa swasta pertama yang ada di Indonesia) sebagaimana yang termuat dalam “Majalah Psikiatri Jiwa, edisi No. 2 April 1968” mengenai jumlah pasien yang berobat ke sana dalam kurun waktu 1962-1966. Tercatat telah terjadi lonjakan yang signifikan pada kurun waktu 1965-1966, yakni terjadi penambahan 126 orang pasien baru pada 1965 dan 189 orang pada tahun 1966. Padahal penambahan pasien yang berobat ke sana pada tahun-tahun sebelumnya tak mencapai 100 orang pasien per-tahun. Data yang hampir sama terdapat di Klinik Psikiatri RSCM-FKUI mengenai penambahan jumlah pasien yang ada di sana pada tahun 1965 sampai dengan 1966. Tercatat, terdapat penambahan 220 pasien penderita gangguan jiwa pada 1965, yang lalu meningkat jumlahnya menjadi 260 orang pada 1966 (ibid., hlm 77).

    Di sisi yang lain, pendapat yang sedikit berbeda datang dari Prof. Sasanto Wibisono dalam sesi wawancara pribadi dengan penulis. Ia menyebut bahwasanya tak ada korelasi langsung yang dapat dibuktikan secara ilmiah antara isu kesehatan jiwa dengan huru-hara politik yang terjadi pada tahun 1965-1966 tersebut. Apalagi sampai dapat meningkatkan jumlah penderita gangguan jiwa yang ada  pada waktu itu. Kalaupun dalam beberapa kasus didapati penambahan, katanya, itu hanya terjadi dalam skala kecil dan dalam kasus gangguan kesehatan jiwa yang ringan sampai sedang, seperti stress dan gangguan kecemasan karena situasi yang terjadi. Perlu diungkapkan di sini, pada saat gejolak politik dan pembantaian besar-besaran tersebut berlangsung, Prof. Sasanto Wibisono muda sedang menempuh studi lanjutan khusus psikiatri di Amerika Serikat (1964-1966).

    (Wawancara pribadi penulis dengan Prof. Sasanto Wibisono di tempat kerjanya di Sanatorium Dharmawangsa, Jakarta Selatan pada tanggal 30 Januari 2020, pukul 11.30)

    Adanya perbedaan pandangan di kalangan psikiatri ini sebenarnya lebih disebabkan karena belum adanya data-base resmi, dan sarana informasi yang lengkap serta ilmiah di bidang psikiatri yang ada di Indonesia waktu itu. Jadi, pendapat dan argumen yang mereka katakan lebih banyak bersumber dari pengalaman pribadi sehari-hari mereka ketika bertemu pasien dan ketika melihat apa kejadian yang sedang terjadi di sekeliling mereka sendiri. Di samping itu, Prof Sasanto Wibisono pada saat terjadinya peristiwa berdarah-darah tersebut tidak sedang berada di Indonesia. Ia pada 1964-1966 sedang menempuh studi lanjutan psikiatrinya di Amerika. Berbeda dengan pernyataan senior sekaligus koleganya, Prof. Kusumanto Setyonegoro yang pada saat itu aktif sebagai seorang psikiater dan pengajar di jurusan Psikiatri FK-UI dan bagian langsung dari Direktorat Kesehatan Jiwa. Ataupun juga, data-data yang berhasil dihimpun oleh Dr. Mikail Barya dan kolega di “Majalah Psikiatri Jiwa” yang pada saat kejadian berlangsung memang sedang berada dan bertugas menjadi psikiater di Indonesia.

    Daftar Pustaka

    Sumber Majalah dan Koran Sezaman

    Kompas, edisi 22 Oktober 1980.

    Majalah Psikiatri Jiwa, edisi No. 2 April 1968.

    Majalah Psikiatri Jiwa, edisi. No. 1 Januari 1976.

    Majalah Psikiatri Jiwa No. 3 Juli 1972.

    Buku Bacaan Terkait

    Denny Thong, et al. 2011. Memanusiakan Manusia: Menata Jiwa Membangun Bangsa. (Jakarta: Gramedia).

    Wawancara dengan tokoh terkait

    Wawancara pribadi dengan Prof. Sasanto Wibisono di Sanatorium Dharmawangsa, Jakarta Selatan. Tanggal 30 Januari 2020, Pukul 11.30.

  • Penculikan dan Kehancuran Negara: Mengenang Ditya Kalamarica

    author = Ody Dwicahyo

    Para pecinta wayang atau wisatawan sekaligus penonton sendratari Ramayana di Prambanan tampaknya sepakat bahwa epos Ramayana berpusar pada tiga tokoh ini: Prabu Rama, Dewi Sita, dan Rahwana. Di lapis kedua cerita terdapat tiga third-wheel yang tak boleh dilupakan: Raden Laksmana, adik Rama; pahlawan kita semua: Anoman, kera putih dan komandan bala tentara wanara; dan Kumbakarna, adik Rahwana yang selalu digambarkan berperawakan lebih besar daripada kakaknya. Di lapis ketiga, berdiri para pendukung setia dari masing-masing faksi: Serpakenaka, adik perempuan Rahwana yang sekaligus menjadi perawat Sita; serta Sugriwa dan Subali, yang keduanya adalah deputi dari Anoman dalam urusan gempur-menggempur Kerajaan Alengka. 

    Banyak orang percaya bahwa epos Ramayana memiliki pesan moral yang berotasi di sekitar kisah asmara Rama, Sita, dan Rahwana. Tak ubahnya periode pasca-pemilu di Indonesia, penikmat cerita mengalami perpecahan dalam urusan membela Rama dan Rahwana. Bayangkan jika kedua raja ini adalah laki-laki di dalam jagat twitter Indonesia. Tak satupun akan selamat dari slomotan komen pedas para warganet. 

    Rama memang begitu sungguh-sungguh menjaga Sita meskipun di akhir hari menjelma menjadi lelaki yang akan dihujat oleh jagat twitter Indonesia karena mempersoalkan kesucian Sita setelah ia diculik oleh Prabu Rahwana. Rahwana juga tak bisa lolos dari hujatan karena manifestasi rasa cintanya ditunjukkan dengan tindakan toxic berupa penculikan Dewi Sita. Kita belum menyoal pembunuhannya terhadap Jatayu yang akan menjadikannya sasaran empuk dari perundungan para pecinta hewan. 

    Kemudian kita menyadari salah satu peristiwa yang menjadi titik temu dari kisah dua Prabu posesif ini adalah penculikan terhadap Dewi Sita. Pesan moral soal kesetiaan, asmara, dan kepercayaan yang dapat dipetik dari epos Ramayana nampaknya sudah terlalu sering diulang-ulang atau menurut istilah anak gaul Jakarta Selatan: overrated. Oleh karena itu, tulisan ini akan mendekonstruksi lapisan-lapisan di paragraf pertama. Kisah cinta akan diletakkan terlebih dahulu dan kisah penculikan akan dikedepankan. Ditya Kalamarica, sang penculik berbulu rusa, adalah tokoh utama cerita ini. 

    Ditya Kalamarica atau Marica adalah sesosok raksasa yang dikenal sebagai penjaga Hutan Dandaka. Menurut cerita pewayangan, sosok awal Marica adalah manusia biasa yang karena kutukan berubah menjadi raksasa pemakan bangkai manusia. Kutukan ini menimpa Marica ketika ia membela ayahnya, Sunda, yang dilukai oleh seorang resi. Tidak hanya Marica yang terkena kutukan, Tataka, ibundanya yang awalnya berparas cantik jelita juga harus berubah menjadi raseksi. 

    Perjumpaan Marica dengan Rama dan Laksmana juga tidak hanya terjadi ketika ia harus menculik Sita. Sebelumnya, Rama pernah memburu Marica dan ibundanya. Ibundanya meregang nyawa di tangan Rama sementara Marica berhasil melarikan diri. Kedua kalinya, Marica dan teman sepergaulannya, Subahu, dihukum oleh Laksmana karena telah berbuat onar di sebuah tempat upacara keagamaan. Marica dan Subahu mengotori tempat itu dengan daging mentah dan darah dan memancing kemarahan Laksmana, yang mungkin kala itu menjabat sebagai komandan sebuah front pembela agama. Laskmana lantas memanah Subahu dan membuang Marica ke laut. 

    Lelah kucing-kucingan dengan Rama dan Laksmana, Marica kemudian mengiyakan ajakan Rahwana untuk menjadi patihnya. Preman yang diberi jabatan mentereng, tidak asing kan? Pada posisi sebagai patih inilah Marica menjalankan penculikan terhadap Sita. Kita mungkin familiar dengan pilihan Marica untuk menyamar sebagai seekor rusa bernama Kidang Kencana untuk menarik perhatian Sita. Mungkin Sita sebelumnya berdomisili di sekitar Istana Bogor sehingga membuat hatinya bungah ketika melihat seekor rusa. 

    Satu hal yang jarang diungkap adalah bagaimana Marica pada awalnya menolak perintah raja raksasa berwajah sepuluh itu. Marica percaya bahwa penculikan terhadap Dewi Sita akan menjadi awal bagi keruntuhan Kerajaan Alengka. Nampak jelas bahwa Marica bukanlah tipe penculik  ala (sinetron) Indonesia yang selalu berujar, “Siap, bos!” Marica berani menyampaikan nubuatnya kepada komandannya. Ia percaya bahwa sebuah tindakan penculikan, betapapun di kemudian hari dapat ditutupi atau dibersihkan dengan bantuan para pengicau istana, akan meruntuhkan kedigdayaan Alengka dan para raksasa pada umumnya. 

    Seperti kita tahu, akhirnya Marica tetap memutuskan untuk kembali ke hutan, wilayah operasionalnya sebelum ia diangkat menjadi patih. Kesediaan Marica dalam menjalankan perintah Prabu Rahwana konon didorong oleh hasutan Serpakenaka yang berhasil meyakinkan Ditya Marica bahwa adik Rahwana itu telah dihinakan oleh Rama dan Laksmana.  Berbekal kemarahan abadi kepada Rama dan Laksmana yang sudah mencoba membunuhnya berkali-kali, Ditya Kalamarica berangkat untuk menculik Dewi Sita dengan berubah wujud menjadi Kidang Kencana. Keputusan Marica dalam memenuhi perintah Rahwana membuatnya meregang nyawa. Hidupnya hilang bersama dengan nasihat yang telah ia sampaikan kepada atasannya. 

    Kematian Marica membuat Rahwana bisa terbang melenggang ke angkasa bersama Sita yang terpaksa menuruti kemauannya. Setelah dihantam isu miring karena bersedia mengangkut kuda besi milik seorang pejabat di Ayodya, Garuda Jatayu tetap melaksanakan tugas Sri Rama untuk mencegah penerbangan Rahwana. Pertempuran udara terjadi dengan sengit. Jatayu keok dan jatuh ke bumi. Rahwana berhasil memboyong Dewi Sita ke istananya. Singkat cerita, Rama dan Laksmana bersitegang, Anoman berangkat menyeberang lautan dan membawa Dewi Sita kembali ke Ayodya. Kemudian, nubuat Marica terbukti benar, Alengka hancur berantakan diosak-asik pasukan kera yang tidak sepenuhnya kera. Beberapa prajurit Wanara sesungguhnya adalah kapi: makhluk-makhluk hibrida kera dengan sapi, burung, kambing, kepiting, hingga singa. Lebih repotnya, para kapi ini bermain api (secara harfiah) dan membakar seluruh istana Alengka. 

    Tokoh utama cerita kita, Ditya Kalamarica, mungkin sudah membusuk di hutan. Ia wafat kesakitan karena terhujam panah Sri Rama yang sebelumnya selalu berhasil ia hindari. Tempat kejadian perkaranya tak kalah menyedihkan: hutan, sebuah tempat di mana semua trauma masa lalunya tercipta. Kehilangan ayah, ibu, dan rekan sepergaulannya: Ditya Subahu. Anggaplah Ditya Kalamarica adalah pahlawan, maka kematiannya harus kita maknai. 

    Jika Kalamarica punya aji pancasona seperti atasannya, Rahwana, pastilah ia masih hidup dan menjalankan kutukan keduanya. Ia akan hidup di negara yang sudah hancur semata-mata karena sang raja tak mendengarkan nasihatnya. Ia mungkin akan tetap disiagakan sebagai perwira dinas penculikan. Alengka sudah binasa, target operasi Marica berikutnya mungkin saja tidak berdasarkan pada kisah asmara atasannya tetapi untuk mengamankan para kawula dan wadyabala yang buka suara karena merasa sudah memperingatkan Rahwana tentang kebinasaan yang sebenarnya bisa dicegah. Tetapi Marica mati, menyusul Tataka, Sunda, dan Ditya Subahu. Gunungan ditancapkan di tengah. Cerita selesai. 

  • Merenungkan Musik Indonesia di Luar Negeri

    author = Michael H.B. Raditya

    Jika kita mempertanyakan sejauh mana musik luar negeri mendapat perhatian di Indonesia, maka dapat dikatakan hampir semua musik Indonesia adalah hasil hibriditas dari musik luar negeri, baik Timur ataupun Barat. Musik dangdut, misalnya, yang mendapat asupan organologi hingga musikalitas dari Timur Tengah, India, hingga Barat. Atau musik keroncong yang mendapat pengaruh dari Portugis.

    Alasan terjadinya hibriditas (percampuran) pun beragam. Ada musik yang memang dikonstruksi oleh kebudayaan kolonial ketika era kelam penjajahan Belanda. Ditandai dengan munculnya klub malam yang memainkan musik yang sedang berkembang di Eropa, seperti musik jazz, klasik, dsb. Ada juga pelanggengan musik luar negeri di era modern lewat televisi, seperti MTv (Music Television) milik Amerika yang sangat tenar di era 1990an. Ada pula gelombang Korea yang terepresentasikan melalui drama serta boyband dan girlband-nya belakangan ini. Setidaknya, pola itulah yang membuat musik Indonesia hingga kini mengalami saling silang budaya.

    Tidak hanya dari efek media, secara politik, baik sadar ataupun sebaliknya, musik Indonesia turut dikonstruksi oleh penguasa. Seperti halnya ketika Soekarno menghentikan distribusi musik Barat yang telah berkembang di Indonesia. Persisnya di tahun 1959, ia menyebutnya sebagai musik ‘ngak ngik ngok’, dan sekejap kebudayaan Barat ‘diusir’ pergi dari Indonesia. Dengan upayanya tersebut, Soekarno berharap dapat menumbuhkan semangat berdikari, dan seni musik nasional yang berkepribadian (Varia, 1965).

    Sebelum terjadinya ‘pengusiran budaya luar’ tersebut, musik Barat hidup subur di Indonesia. Bing Crosby, Perry Come, Elvis Persley, Tielman Brothers, The Beatles menjadi idola masyarakat—khususnya pemuda. Lalu, setelah Soekarno menutup akses Barat—walau aroma politis tetap melatarbelakangi, Soekarno berharap menemukan dan menghidupkan kembali musik di Indonesia. Namun, sejalannya Indonesia mencari musik yang ‘Indonesia’, ia banyak membuka sekolah konservatori bergaya Barat untuk musik tradisi Indonesia. Alhasil, sekolah-sekolah musik tradisi dibangun untuk menyelaraskan asa dan semangat yang ia rancang. Sedangkan di era Orde Baru, otoritas penguasa berlaku sebaliknya dengan membuka kembali kemungkinan Barat memasuki pasar Indonesia. Keputusan ini berdampak pada pengaruh musik Barat yang kembali masuk, bahkan lebih masif dan acak (Raditya, 2013). Setidaknya potret tersebutlah yang sekilas dapat kita lihat atas relasi musik luar negeri dan Indonesia dari segi politik yang dilakukan negara.

    Telah umumnya pembahasan akan relasi musik luar negeri di Indonesia dengan pelbagai sudut pandang ternyata justru membenamkan perihal penting lainnya, yakni ketika musik Indonesia yang mendapat perhatian di luar negeri. Sejujurnya catatan tersebut tidak banyak terjadi, namun tetap tertuliskan oleh beberapa sejarawan, seperti Claire Holt ataupun James R Brandon di bukunya masing-masing. Dari catatan etnografis mereka berdua, setidaknya catatan musik yang mereka tuliskan adalah catatan musik Indonesia yang dilihat oleh orang luar ketika datang dalam rangka kunjungan dan pariwisata. Musik Indonesia (lazimnya disertai pertunjukan tari) yang dikirimkan pemerintah—entah kolonial ataupun era kemerdekaan—adalah dalam upaya mengisi misi kebudayaan di luar negeri.

    Mengenai hal tersebut, Joss Wibisono (2012:12-13). turut menuliskan bahwa, “Pagelaran gamelan pada l’Exposition Universelle (Pameran Semesta) yang digelar di Paris pada 1889 untuk memperingati 100 tahun revolusi Perancis… dipentaskan gamelan Sunda Sari Oneng dari desa Parakan Salak, dekat Sukabumi, antara lain untuk juga mengiringi empat gadis penari kraton Mangkunegaran, Solo… Pameran Semesta bisa menarik sampai 875 ribu pengunjung.” Dari catatan tersebut, jelas bahwa musik Indonesia telah dikenali oleh dunia sejak lampau, walaupun terasa inferior, di mana Indonesia hanya menjadi objek komoditas. Adapun contoh lainnya adalah tembang Jawa bertajuk “Puspawarna” terpilih menjadi salah satu lagu dari album Voyager Golden Record yang dikirimkan ke pesawat ruang angkasa Voyager 1, dan dikumandangkan di angkasa lepas.

    Tidak hanya tentang konten musik, organologi musik dari Indonesia turut mempunyai tempat yang istimewa, di mana hampir semua universitas terkemuka dunia mempunyai satu set gamelan sebagai bukti lambang peradaban logam tertinggi di zamannya (Soedarsono, 1999). Dari contoh-contoh di atas, memang tidak dapat dipungkiri bahwa musik tradisilah yang menempati posisi kuat sebagai ‘pencuri’ perhatian di luar negeri.

    Namun juga tidak dapat dipungkiri bahwa fenomena global menggiring para musisi Indonesia kini berkontestasi pada musik yang dibentuk di era sekarang. Sebut saja, Anggun C Sasmi di musik pop, Agnez Mo (Agnes Monica) di musik pop dan R&B, atau musisi Jazz muda yang cukup bersinar tahun 2016 lalu, Joy Alexander, dan sejumlah musisi Indonesia lainnya, kendati mereka tidak merepresentasikan musik tradisi Indonesia. Hal ini memang perlu dipertanyakan kepada mereka musisi Indonesia yang berkompetisi dalam kancah global, namun juga perlu dipertanyakan ulang, apakah musik tradisi yang dikenal di luar negeri telah merepresentasikan Indonesia? Bukankah ketika l’Exposition Universelle itu mewakili negara Belanda untuk menyatakan bahwa negara yang mereka jajah baik-baik saja. Atau dugaan lainnya adalah karena orang Barat menyukai eksotika yang dipunya oleh orang Timur kebanyakan. Lantas apakah musik Indonesia? Apakah musik yang sebatas teks Indonesia? Apakah tubuh penyanyi Indonesia yang bernyanyi? Apakah musik tradisi sudah pasti mewakili musik Indonesia?

    Oleh karena itu, ulak alik inilah yang lantas menarik untuk kita simak lebih lanjut dengan mempertanyakan apakah musik Indonesia yang mendapatkan perhatian dari/di luar negeri sudah mewakili ciri khas musik Indonesia.

     

    Mencermati Musik Indonesia dan Negosiasinya

    Nampaknya kita perlu disudutkan pada sebuah keadaan di mana kontak budaya antarnegara di era lampau tidaklah setulus inkulturasi yang mencoba untuk mengakomodasi kebudayaan setempat dan diterapkan pada produk budaya yang baru. Kontak budaya khususnya negara di Asia dengan Eropa telah terjadi sejak abad ke-15. Kontak budaya tersebut melahirkan catatan-catatan etnografis yang ternyata turut digunakan negara di Eropa untuk menjajah negara lain. Bahkan pada permulaan abad ke 19 (fase kedua ilmu Antropologi), para sarjana yang tertarik untuk datang ke tanah Asia memutuskan bahwa evolusi mereka dibanding bangsa Eropa mengalami ketertinggalan, yang setelahnya timbul terma “primitif”. Tidak dapat dipungkiri bahwa Asia menjadi komoditas objek penelitian dari para peneliti Barat karena “keprimitifan” atau “keeksotikan”-nya. Itupun baru telaah dari Antropologi sebagai sebuah cabang keilmuan. Jika merujuk Tourism Studies kita juga akan diantarkan pada stigma pariwisata Timur adalah bentukan selera Barat.

    Dalam hal ini, menarik garis panjang stigma ‘lama’ yang ditempatkan kebanyakan orang luar negeri memandang Asia, khususnya Indonesia, pun tidak saya tempatkan sebagai upaya menakut-nakuti atau menstimulasi phobia—layaknya phobia komunisme, namun ide menarik stigma tersebut muncul agar kita dapat berpikir kritis dalam melakukan negosiasi budaya—khususnya seni—ketika di luar negeri. Hal ini tidak sepele. Salah kaprah pun kerap terjadi. Sebagai contoh, negosiasi yang dilakukan oleh Sal Murgiyanto. Ketika di New York, Sal diminta untuk mempertunjukan tarian “Panji”, namun untuk menggambarkan orang mabuk. Lantas Sal tidak mau melakukan hal tersebut dan memberikan pernyataan tegas bahwa kebudayaan tidak dapat serta-merta digunakan sesukanya. Julie Taymor selaku pihak pengundang menjadi muram dibuatnya, dan akhirnya mengalah (via Dibia, 2016: 286). Jika anda Sal, maka apa yang anda lakukan?

    Hal tersebut turut membuat I Wayan Dibia berlaku serupa ketika ia diminta untuk memerankan seorang pendeta demi membuka sebuah peresmian gedung. Dibia menolak dan menawarkan sebuah tarian lain yang lebih representatif (2016:286). Sal dan Dibia dapat melakukan negosiasi dengan betul, namun mereka satu di antara seribu. Tidak dapat dipungkiri bahwa berapa banyak orang menjual budayanya sendiri demi kemaslahatan pribadi supaya terkenal di luar negeri. Ini yang terjadi ketika l’Exposition Universelle, yang mana karena permintaan, Gamelan Sunda harus mengiringi tari Surakarta. Jika dirujuk sebagai upaya kreativitas, hal ini pastilah memiliki nilai positif, hanya saja yang terjadi di pameran tersebut sebaliknya, yakni pemerintah kolonial memamerkan hasil jajahannya—kuasa untuk memberi perintah.

    Bertolak dari contoh negosiasi budaya tersebut, agaknya dapat kita petik hal penting dan menerapkannya pada persoalan musik, yakni: bukan sejauh mana musik Indonesia mendapatkan perhatian dari luar negeri, melainkan bagaimana musik Indonesia dapat mewakili kebudayaan Indonesia dengan tepat. Tidak pandang apakah musik tradisi ataupun musik modern (entah melalui organologi, konten musik tradisi, bahasa daerah, konten kultural), yang penting ialah pernyataan sikap.

    Sikap untuk memahami musik secara mendalam, baik pada penggunaan dan musikalitas (tekstual), maupun dalam nilai, esensi, relasi dengan masyarakat (kontekstual). Sikap yang dinyatakan secara jelas kepada pihak peminta—yang dalam konteks ini adalah luar negeri. Namun, apakah jika sikap ini ditekuni akan menarik perhatian luar negeri? Tentu tidak semua orang akan peduli. Tetapi yang perlu dicatat adalah juga tidak semua orang tidak peduli. Gelagat tersebut bukan berarti membuat kita hilang nyali untuk menyampaikan sikap kita.

    Alhasil, jika dipertanyakan sejauh mana musik Indonesia dikenal oleh luar negeri, dan itu hanya sebatas musik gamelan ataupun musik tradisi lain yang dimainkan berdasarkan permintaan semata, tentu itu belum mewakili ciri khas musik Indonesia. Yang mewakili ciri khas musik Indonesia adalah mereka yang bersikap dengan pendekatan kebudayaan, yang tahu bagaimana musik itu dimainkan, sehingga musik tidak hanya menjadi sarana presentasi semata, melainkan memberi warna dan pengaruh pada kebudayaan dunia.

     

    Rujukan

    Dibia, I Wayan. 2016. “Dua Bulan di Kota New York: Kenangan Manis Bersama Mas Sal”, dalam Sal Murgiyanto: Hidup untuk Tari, oleh Michael H.B. Raditya (ed.). Surakarta dan Yogyakarta: ISI Press dan Komunitas Senrepita.

    Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

    Majalah Varia edisi 10 Juni 1965.

    Raditya, Michael H.B. 2013. “Esensi Senggakan pada Dangdut Koplo sebagai Identitas Musikal”, Tesis pada Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada.

    Soedarsono, R.M. 1999. Seni Pertunjukan Indonesia dan Pariwisata. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

    Wibisono, Joss. 2012. Saling Silang Indonesia-Eropa: dari diktator musik, hingga bahasa. Jakarta: Marjin Kiri.

     

    *gambar adalah lukisan Drummer And Friends karya Debra Hurd

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

  • Merayakan Rindu bersama Maluku

    author = Ody Dwicahyo

    “Kalau saya terlahir kembali dan boleh memilih suku bangsa; saya ingin jadi orang Maluku”

    Kutipan di atas adalah harapan liar saya setelah tiga kali memutar lagu “rame-rame” yang dinyanyikan oleh Glenn Fredly. Melalui Glenn dan saudara-saudari Malukunya di layar kaca, imaji anak Jawa seperti saya terhadap mereka (yang sering mengalami penyempitan terminologi menjadi orang Ambon) sangatlah merdu. Perbandingannya mungkin setara dengan imaji anak kulit putih AS terhadap warga keturunan Afrika setelah mereka menonton Sister Act yang dibintangi oleh Whoopi Goldberg. Orang Maluku bersuara sangat indah; suaranya pun universal alias bisa dinikmati oleh berbagai macam telinga. Berbeda dengan suara sinden Jawa, sebagai contoh, yang selalu bisa membuat penonton wayangan topang dagu, menguap, dan kemudian tergelincir ke alam mimpi. 

    Di dalam agama yang saya anut, tidak ada konsep reinkarnasi. Manusia tidak akan dilahirkan sebagai manusia lain di kehidupan berikutnya. Berarti, mimpi saya untuk menjadi Ody Samaniri [1]Nama fam Maluku imajiner saya yang sangat indah. Biasa juga ditulis samanerey gagal sudah. Satu hal yang pasti, Allah mengabulkan doa hambanya kapanpun dipanjatkan (dengan penekanan khusus pada jeda antara dua kutbah di shalat jumat, sepertiga malam, dan waktu-waktu serta tempat-tempat baik lainnya). Oleh karena itu, Ia mengabulkan doa saya untuk “menjadi orang Maluku” dengan membiarkan saya ke Belanda. 

    Sejujurnya, saya sangat awam terhadap Maluku. Seorang mahasiswa Doktoral di universitas tempat saya belajar sangat penasaran mengapa tidak banyak orang Jawa pergi ke Maluku. Dalam sebuah borrel (tradisi minum-minum dan menyantap kudapan a la Belanda), saya menjelaskan dengan alasan klasik nan relevan; “tiket pesawat ke Ambon sangat mahal. Perjalanan ke Kuala Lumpur atau Singapura jauh lebih murah”. Ia mengangguk dengan dahi mengernyit: nampaknya hanya setengah mengerti. 

    Sebab rasa awam itu, saya tertarik melihat representasi dari satu atau lebih episode sejarah Orang Maluku yang terpampang di Belanda. Satu momen yang membuat saya lebih dekat untuk melihat nukilan itu adalah perayaan HUT RI di Sekolah Indonesia Den Haag. Sekitar dua minggu sebelum perayaan, saya bertamu ke kantor asisten atase pertahanan RI di kompleks kedutaan besar RI di Den Haag. PBU, begitu sebutan bagi asisten atase pertahanan, yang saya temui sangat gemar bercerita. Salah satunya adalah bagaimana pendukung Republik Maluku Selatan di Belanda sering berdemo. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, demo itu dilakukan di depan kanselerai KBRI atau Wisma Duta. “Kalau di Indonesia kan sulit berbuat seperti itu broer, kalau di sini bebas-bebas saja. Dia mengibarkan benderanya, kita lanjut bekerja” ujarnya sembari tersenyum. 

    Kemudian memori saya berlari mundur dan mengingat bahwa suatu waktu Presiden SBY memutuskan untuk tidak berangkat ke Belanda karena “alasan RMS”.  KBRI Den Haag terkejut dan beberapa diaspora Indonesia di Belanda angkat bicara di media. Beberapa diaspora justru menambah angker suasana dengan menyebut bahwa itu bukan RMS melainkan Satu Darah, geng motor bergaya Hell’s Angel yang lahir di Belanda dan dipelopori oleh orang-orang Maluku serta beberapa orang kulit putih. Beberapa simpatisan Satu Darah memang membordir  badge bendera RMS di rompinya meskipun di saat yang bersamaan Satu Darah memiliki cabang di Jakarta dan Bali, dua cabang resmi di wilayah Republik Indonesia. Apapun penjelasan yang diberikan, Pak SBY yang sudah berada di terminal keberangkatan Halim Perdanakusuma memutuskan untuk tidak naik tangga pesawat. 

    Kacamata keamanan memang selalu lebih pesimis dibandingkan dengan kacamata kemanusiaan. Maluku sebagaimana ditunjukkan oleh Glenn Fredly di video musik rame-rame ternyata memiliki pendar yang berbeda di mata banyak orang. Orang Maluku di Belanda (dianggap) sudah pasti RMS atau paling tidak anggota Satu Darah. Pandangan semacam ini tiba-tiba ditegaskan oleh penyerangan tak beralasan terhadap asrama mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya. Bagaimana kita, atau setidaknya saudara-saudara Jawa saya, betah melabeli saudara-saudara sebangsa dengan begitu buruk?

    Pemerintah Indonesia dan banyak anggota di Grup Whatsapp keluarga besar kita sering curiga bahwa Belanda senantiasa mendukung RMS. Faktanya, Belanda pun pernah direpoti dengan pemuda-pemuda RMS yang militan. Salah satu puncaknya adalah tahun 1977 ketika pemuda RMS memutuskan untuk menyandera sebuah kereta dan sekolah dasar di Drenthe. Tidak hanya polisi dan marechaussee, Belanda perlu menerjunkan Korps Marinir untuk mengakhiri drama pembajakan tersebut. John Wattilette, pengacara dan presiden RMS yang eksil di Belanda, berpendapat bahwa militansi itu tidak unik. “Tahun-tahun itu, PLO dan organisasi pergerakan lainnya juga sangat militan. Tidak hanya RMS” ucap beliau kepada wartawati RNW dalam Bahasa Indonesia. 

    Masyarakat Maluku yang lain, sebagaimana nyong-nyong berbadan tegap yang mengamankan perayaan HUT RI, menerima bahwa Maluku adalah bagian dari Republik Indonesia. Satu hal yang pasti, dari setiap cerita mereka tentang tanah Maluku pasti terselip rasa rindu. Terkadang, rindu tersebut sering dipertanyakan keabsahannya. Sebab banyak keturunan Maluku di Belanda yang tidak pernah mengunjungi pulau-pulau tempat leluhurnya lahir dan hidup.

    Sejujurnya saya sendiri tidak menyukai dikotomi yang saya tulis sendiri di atas. Jika tidak ambil bagian dalam RMS atau Satu Darah, warga Maluku tetap selalu ambil bagian dalam urusan-urusan yang spaneng. Sebagaimana diungkap oleh dokumenter vice Indonesia, masyarakat Maluku hidup di dalam stigma. Stigma ini, menurut hemat saya, lebih tua dari usia provinsi DKI Jakarta. Bahwa Orang Maluku itu hanya punya parang dan salawaku (perisai khas Maluku) atau dalam istilah lain; suku dengan DNA kekerasan yang kental. Toch, semua suku memiliki senjata tradisional. Setidak-tidaknya menurut RPUL yang diterbitkan di zaman Orde Baru. 

    Menurut hemat saya, segala aspirasi orang Maluku di Belanda bisa diringkas dalam satu kata; rindu. Bentuk dan manifestasinya memang beragam. Namun, dari raut wajah para sesepuh Maluku di Belanda yang pernah saya temui atau pandangi dari jauh nampaknya menyimpan perasaan ingin pulang. Rasa ini begitu kuat, sebagaimana tertuang dalam lagu “Oh le sio Sayange” yang kerap dibawakan oleh Andy Tielman dari Tielman brothers. Begini nukilan liriknya “Oh le sio sayange, rasa sayang-sayange, Tanah Ambon sudah jauh… rasa sayang-sayange….”

    Leiden, 9-9-2019

    Ditulis setelah membaca selebaran MuMA – Museum Maluku di Belanda.

    References

    References
    1 Nama fam Maluku imajiner saya yang sangat indah. Biasa juga ditulis samanerey

  • Menyoal Lathi, Paradigma dan Kebertahanan Budaya Jawa.

    author = Arif Fadillah

    Dalam beberapa waktu terakhir jagad twitter diramaikan dengan tagar #LathiChallenge. Ramainya tagar ini disebabkan cuitan dari seorang yang mengatakan bahwa challenge ini berbahaya karena menurutnya mengandung setengah budaya Jawa yang syirik dan khurafat. Selain itu, si penulis mengatakan bahwa challenge sama seperti memanggil kuntilanak serta roh kuda kepang. 

    Sontak hal ini membuat riuh rendah tagar ini di Twitter. Ribuan orang menuliskan ketidaksetujuannya akan pendapat seseorang yang merupakan publik figur ini. Kebanyakan merupakan warga Indonesia dan warga Malaysia sendiri yang menganggap cuitan tersebut kurang bijak dan menyudutkan budaya Jawa. Pada akhirnya si penulis menghapus unggahan tersebut dan meminta maaf atas kesalahan dalam pemilihan kata tersebut. 

    Polemik yang mengatakan budaya Jawa kental dengan takhayul dan hal-hal negatif lainnya bukanlah narasi baru. Bukan hanya terjadi di Malaysia, namun juga di negeri asalnya: Indonesia. Tercatat pula narasi macam ini selalu berhasil dipatahkan oleh sejarawan, ahli sastra Jawa dan tokoh-tokoh macam Cak Nun dan lainnya. Meskipun demikian, narasi semacam ini masih ada dan tak jarang sering muncul ke permukaan. 

    Dalam kasus atau yang lebih bijak dikatakan fenomena #LathiChallenge ini, menunjukan bahwa stereotip tentang budaya Jawa yang negatif tetap masih ada. Sebagian orang yang tidak paham turut meng-iya-kan stereotip ini. Kebanyakan orang-orang ini hanya melihat secara kasat mata tanpa mencari tahu makna sebenarnya dari budaya yang ada di Jawa. Sialnya orang-orang semacam ini punya jumlah yang tak sedikit. Lebih jauh hal ini memantik pertanyaan bagaimana sebenarnya budaya Jawa itu sendiri? bagaimana orang-orang ini memahami budaya Jawa?

    Untuk menjawab pertanyaan ini tidaklah mudah. Akan tetapi perlu diketahui bahwa Jawa memiliki banyak kebudayaan. Dari mulai kebudayaan yang berbasis ke kasunanan dan kasultanan, panaragan, hingga ke pesisir timur pulau Jawa yang memiliki kekayaan corak budaya yang unik. Berkaitan dengan budaya, tradisi dan kesenian juga subur di Jawa. Menurut Yudoyono (1984:33) tradisi biasanya merupakan cerminan hubungan apa yang ada dalam diri manusia dengan kekuatan yang berasal dari luar diri manusia. Dengan demikian tradisi di Jawa merupakan bentuk ikatan antara manusia dengan lingkungan Jawa. 

    Bentuk kebudayaan Jawa juga tidak hanya terikat pada jenis tertentu, namun juga seluruh aspek dalam kehidupan masyarakat Jawa. Bahkan ketika dari kandungan, seorang bayi sudah lekat dengan tradisi yang merupakan sendi dalam kebudayaannya. Di Jawa, ketika anak masih berada di dalam kandungan ada tradisi telonan (diadakan ketika bayi berumur tiga bulan) kemudian ada pula tradisi tingkeban (khusus anak pertama dan diadakan ketika kandungan berumur tujuh bulan).

    Dalam tingkeban tidak sembarang makanan dapat disajikan, melainkan sudah ada pakem tersendiri. Biasanya dalam tingkeban terdapat aturan tidak tertulis berupa makanan tertentu yang harus ada. Makanan ini biasanya meliputi nasi putih, nasi kuning, tumpeng kecil berjumlah tujuh, sego golong, rujak legi, tanaman polo pendem, jenang (putih, abang, campuran/sengkala). Semua makanan ini hadir bukan tanpa alasan. Di dalamnya terdapat makna yang luhur dan perlu pemahaman tersendiri. Nasi putih melambangkan kesucian, nasi kuning melambangkan cinta, sego golong melambangkan penghormatan kepada wali songo, tanaman polo pendem melambangkan hasil bumi, serta masing-masing jenang yang memiliki makna yang berbeda-beda berupa: jenang putih melambangkan air dari sang ibu, jenang merah melambangkan air dari sang ayah dan campuran melambangkan campuran keduanya (Geertz, 1966:41).

    Jika pada contoh sebelumnya menyoal tentang tradisi dalam proses kelahiran manusia, selanjutnya merupakan tradisi yang berkaitan dengan kesenian khususnya musik. Membicarakan Jawa, sangat tidak lengkap apabila tidak menyinggung gamelan. Gamelan menurut Yudoyono (1984:15) adalah kumpulan dari alat-alat musik tradisional di Jawa yang menimbulkan pernyataan musikal. Menurut Spiller (2004:53) mengatakan gamelan adalah kelompok pemain musik yang menggunakan instrumen yang berasal dari perunggu. 

    Gamelan juga disebut gangsa. Nama gangsa lahir dari kandungan arti gong atau gang yang dapat dimaknakan sebagai gegandulaning urip ‘bergantungnya hidup’ dan sa  atau rasa (Yudoyono, 1984:17). Keduanya apabila disatukan mengandung makna bahwa masyarakat Jawa memiliki pegangan utama berupa rasa. Dari sinilah kita dapat sedikit menyalakan pijar untuk memahami manusia Jawa. 

    Dari dua contoh diatas saja, kita dapat mengetahui budaya Jawa mengandung nilai yang tersirat bukan tersurat dan tersembunyi dalam keindahannya. Untuk memahaminya perlu perenungan dan tingkatan-tingkatan yang tidak bisa bisa dilompati. Seperti pendapat Mulyono tentang bagaimana tingkatan penonton wayang (Yudoyono, 1984:41) yang bermula dari sekadar  menganggap wayang sebagai hiburan, lalu naik menganggap wayang sebagai bentuk seni, naik lagi menganggap wayang sebagai pendidikan, lalu naik lagi menganggap wayang sebagai objek kajian penelitian, hingga puncaknya menganggap wayang sebagai lambang kehidupan manusia. Dari contoh wayang ini, kita sadar bahwa budaya Jawa bukan hanya perihal seni, akan tetapi juga tentang laku manusia itu sendiri. 

    Suram dan Seman Paradigma Tentang Jawa

    Fenomena #LathiChallenge diatas menunjukan bahwa masih ada pandangan yang tidak tepat dalam memahami budaya Jawa. Pada era kiwari tentunya hal ini berbahaya bagi kebudayaan Jawa itu sendiri. Melalui peran media sosial, pandangan buram tentang budaya Jawa ini dapat menjangkit generasi muda Jawa. Ditambah lagi jika pandangan semacam ini disebarkan oleh tokoh publik. Ini bisa menjadi dasar legitimasi generasi muda Jawa untuk meninggalkan kekayaan leluhurnya. Tentunya hal ini tidak kita harapkan. 

    Perihal pandangan mistis dan seram tentang budaya Jawa sebenarnya sudah terjadi beberapa lama. Tentunya kita masih mengingat lagu lingsir wengi yang dijadikan –boleh saya sebut-ikon salah satu film horor di Indonesia. Lagu tersebut mengandung kehororan tersendiri bagi setiap pendengarnya. Padahal apabila kita melihat liriknya, tidak ada yang mengandung pemanggilan setan –kecuali kesengajaan untuk mengubahnya-. Dampak dari lagu ini cukup berpengaruh hingga akhirnya muncul pandangan bagi bahwa lagu berbahasa Jawa dengan nada tertentu merupakan media untuk memanggil makhluk halus. Tentunya ini merupakan kesesatan yang segera harus diinsyafkan. Tembang yang sering dikaitkan sebagai lagu dari Jawa memang lazim menggunakan nada yang mendayu–saya belum menemukan kosakata yang sesuai–dimungkinan untuk menimbulkan kesan emosional tertentu bagi pendengarnya. 

    Cara pandang yang tidak sempurna macam ini perlu segera dibenahi. Mengingat apabila terus terjadi maka generasi muda Jawa akan menganggap budaya leluhurnya tidak sesuai dan rawan ditinggalkan. Apabila budaya sudah ditinggalkan maka nilai-nilainya juga tidak akan terpakai. Tentunya ini akan menjadi kerontokan budaya Jawa. Contoh kecil bayangkan saja saat anak cucu kita tidak lagi menggunakan standar sopan santun yang selama ini kita ugemi. Mengutip dari sebuah perkataan dosen, bahwa generasi macam ini dapat diibaratkan seperti pohon yang kehilangan akar, akan terombang oleh gelombang zaman. 

    Pembenahan agar generasi muda Jawa tetap mempunyai cara pandang yang benar tentang budayanya memang susah. Akan tetapi kita mungkin bisa meniru filosofi orang menonton wayang. Salah satu caranya kita bisa menyesuaikan zaman dengan membuat animasi yang berlatar budaya Jawa. Harapannya dengan adanya animasi yang mengisahkan kisah berlatar budaya Jawa nantinya anak-anak akan terhibur, kemudian menganggapnya sebagai seni, lalu sebagai unsur pendidikan, kelak ketika dewasa menjadi peneliti dengan kajian berlatar serial tersebut, hingga akhirnya ia sadar bahwa kisah tersebut adalah sebuah perlambang insani. 

    Selain animasi, ada pula media musik yang dapat digunakan sebagai upaya mengenalkan kebudayaan Jawa. Hari ini musik merupakan kesenian yang paling sering diputar generasi muda. Lagu berjudul Lathi dari Weird Genius memberi setidaknya pengetahuan tentang pepatah Jawa yang dijadikan lirik yakni ajining diri ana ing lathi. Melalui lirik tersebut generasi muda Jawa banyak mencari tahu maknanya. Ini menjadi angin segar bahwa sebenarnya generasi muda masih penasaran dan mau mencari makna sesungguhnya dari sebuah ungkapan. 

    Harapannya lewat tangan kreatif macam ini dapat menjadi serangan balik yang mematikan bagi pemikiran negatif tentang budaya Jawa. Semoga saja lahir karya-karya lain yang mampu mengedukasi, bukan hanya generasi muda Jawa saja, namun juga masyarakat secara umum. Muaranya pemikiran yang mengatakan budaya Jawa kental dengan takhayul dan hal-hal negatif lainnya akan luntur. Bukankah dengan mengenal kita akan dekat?

  • Menulis Seperti Membuat Pematang

    author = Mahfud Ikhwan

    disampaikan sebagai pengantar Workshop Kepenulisan Novel dalam pra-acara rangkaian kegiatan Joglitfest (Festival Sastra Yogyakarta) yang diselenggarakan Klub Buku Yogyakarta, bekerjasama dengan Kibul.in dan Gerak Budaya Yogyakarta di Toko Buku Gerak Budaya Yogyakarta, tanggal 21 Agustus 2019.

    Hanya beberapa jam
    sebelum saya menuliskan ini, seorang peserta dalam sebuah kelompok diskusi
    menulis—yang mengaku sebagai penulis pemula—mengeluh kepada saya bahwa ia
    terbiasa menulis dan kemudian menghapusnya, menulis lagi dan kemudian
    menghapusnya lagi. Keluhan itu kemudian dipungkasi dengan pertanyaan: “Apa
    tipsnya, Mas?”

    Itu keluhan dan
    pertanyaan yang sangat sering saya dengar—saya lebih dua tahun terlibat dengan
    sebuah gerakan yang mengorganisir secara sederhana sebuah kelas menulis di
    Jogja. Dan, boleh jadi, pada satu masa, beberapa tahun lalu, di acara seminar
    atau diskusi tentang menulis yang sudah tidak saya ingat, saya menanyakan hal
    yang sama. Jadi, tentu saja saya tidak kaget. Itu kegelisahan yang sangat
    tipikal dari para penulis pemula.

    Yang mungkin tidak
    mereka (para penulis pemula itu) ketahui, membuat awal yang bagus, memulai
    kalimat dengan mantap, sebenarnya adalah kegelisahan semua penulis. Segaek apa
    pun dia. Seterkenal apa pun dia. Yang membedakan kenapa penulis pemula selalu
    bertanya tentang itu sementara penulis yang bukan pemula tidak bukanlah bahwa
    yang disebut belakangan tidak lagi punya masalah dengan kalimat pertama.
    Pengalaman, itulah yang membedakannya.

    ***

    Ada anekdot yang sudah
    nyaris menjadi dongeng bahwa cerpenis terbesar dunia, Anton Chekov, setiap
    menyelesaikan setiap ceritanya, akan memotong cerita tersebut menjadi dua dan
    kemudian membuang separoh yang pertama, dan menjadikan awal kalimat dari
    separoh akhir cerita yang dipertahankan tersebut sebagai kalimat pembukanya.

    Anekdot lain
    mengatakan, John Steinbeck, novelis terbesar Amerika, membutuhkan
    berlembar-lembar kertas untuk dicoretinya, ditulisinya, tentang apa saja
    (biasanya ia menuliskan deskripsi ruangan tempatnya menulis), hanya untuk
    dibuangnya ke bak sampah. Setelah merasa cukup melemaskan tangan dan menemukan feel-nya
    (kalau pakai istilah anak sekarang), ia baru mulai menulis betulan, memperjuangkan
    kalimat pertamanya.

    Baik kisah Chekov
    maupun cerita soal Steinbeck menunjukkan bahwa penulis, sehebat apa pun, harus
    berjuang untuk mendapatkan kalimat pertamanya yang dianggap tepat. Bakat
    mungkin membuat mereka tak semenderita kita-kita yang tak seberapa terberkati
    ini. Tapi, hal yang paling besar berperan dalam hal ini adalah bahwa
    orang-orang hebat itu sudah mengalami “kesulitan khas pemula” itu berkali-kali
    dan karena itu punya metode khusus untuk mengatasinya. Dan itu karena
    pengalaman.

    ***

    Orang-orang mungkin
    punya resep ces-pleng tentang pertanyaan “khas penulis pemula” itu.
    (“Menulis itu gampang,” kata salah seorang penulis tua; “menulis itu asyik,”
    kata banyak penulis yang tulisannya tidak terlalu asyik.) Tapi, saya selalu
    merasa bahwa pertanyaan macam itu tak bisa diberikan jawabannya oleh orang
    lain. Seseorang harus menemukan jawabannya sendiri, di kalimat-kalimat yang
    telah dihapusnya, dan dituliskannya kembali, dan kemudian dihapusnya lagi. Ia
    harus menemukan jawaban itu di kalimat-kalimat lain yang dihasilkan tangannya
    sendiri, di kalimat-kalimat lain yang pada akhirnya dipertahankannya.

    Klise mungkin. Tapi
    saya selalu berpikir bahwa kemampuan menulis bagi penulis tak berbeda dengan
    kemampuan membuat pematang bagi petani atau kemampuan mengontrol bola untuk
    pemain sepakbola. Keahlian menulis, kecakapan membuat pematang, atau kelihaian
    menggocek bola, hanya bisa didapatkan oleh banyaknya latihan, banyaknya
    mengulangi dan salah dan mengulangi dan salah dan mengulangi, dan begitu
    seterusnya.

    Ya, seperti kalimat
    pertama seorang penulis pemula, pematang pertama untuk seorang petani pemula
    juga selalu sulit. Jangan dulu memikirkan apakah pematang itu akan tampak mulus
    dan kokoh, ia bahkan harus periksa dulu apakah caranya memegang pacul  sudah benar atau belum; atau, apakah ayunan
    cangkul itu sudah pas apa belum. Kadang, si petani pemula menemukan bagian
    tanah yang terlalu keras untuk dicangkul, sehingga si petani mesti mengerahkan
    tenaga lebih memapasnya. Tapi lain kali, tanah yang dicangkkulnya terlalu
    lembek, sehingga sulit untuk dibentuk dan dipadatkan. Ada kalanya ia salah
    dalam membuat cangkulan. Cangkulan yang seharusnya kecil saja, ia unjam
    dalam-dalam. Untuk itu si petani pemula kudu menambalnya. Ada kalanya,
    cangkulan yang seharusnya tegak lurus ia lakukan terlalu landai, sehingga
    cangkulannya melenceng, dan ia mesti mengulanginya. Dan mungkin akan begitu
    lagi. Dan lagi.

    Dan kesulitan itu hanya
    untuk satu tempat saja, sementara pematang itu bermeter-meter panjangnya,
    dengan tiap jengkal pematang mungkin masalahnya bisa berbeda-beda. Namun bisa
    dipastikan, semakin panjang pematang yang telah dikerjakannya, semakin si
    petani pemula tahu apa saja macam persoalan-persoalan dalam membuat pematang
    dan untuk itu ia akan belajar bagaimana cara mengatasinya. Setelah satu petak
    selesai, dan ia melewatinya dengan baik, maka ketika ia mengerjakan pematang di
    petak yang lain, ia kini adalah petani pemula yang lebih baik.

    Dan begitu juga seorang
    penulis pemula.

    ***

    Tapi ada sedikit
    masalah—sedikit besar, mungkin lebih tepatnya. Membuat pematang hanya salah
    satu masalah saja, dan itu mungkin kecil, di antara banyak masalah lain seorang
    petani, baik itu pemula maupun yang sudah puluhan tahun. Masalah-masalah itu
    ada di setiap sudut petak sawahnya, di setiap tahapan menanamnya, dan bahkan
    tidak hanya di tanah yang digarapnya saja. Masalah itu ada di musim. Ada juga
    di rantai industri (entah di sistem distibusi pupuk atau cerapan pasar hasil
    pertanian).

    Begitu juga yang akan
    dihadapi penulis, baik pemula maupun sudah legenda. Seorang penulis opini atau
    penulis laporan akademik akan mendapati bahwa setelah ia lolos dari jerat
    kalimat pertama, ia mesti ditantang untuk menaklukkan persoalan kohenrensi
    antarkalimat, membangun premis-premis yang logis dan kokoh, dan
    simpulan-simpulan yang tepat dari rumusan masalah yang mesti diselesaikannya.
    Seorang wartawan, misalnya, setelah mampu membuat lead yang hebat, ia
    harus menghadapi sulitnya mentransformasikan hasil wawancara yang bagus dengan
    narasumber menjadi tulisan dengan narasi yang runtut dan enak dibaca, atau
    setidaknya menjaganya tetap menjadi tulisan berita dan bukan sebuah surat
    pembaca.

    Dan mungkin para
    penulis pemula belum cukup tahu bahwa masalah yang lebih besar para penulis
    fiksi, misalnya, bukanlah bagaimana membuat kalimat pertama, tapi bagaimana
    membuat kalimat terakhir.

    Makanya, menurut saya,
    sebagian besar masalah dalam menulis tidak bisa dicari solusinya pada satu-dua
    jawaban pendek dan (seakan-akan) ampuh dari seorang pembicara dalam kelas menulis,
    apalagi dalam sebuah jumpa fan pembaca dan penulis. Ia mungkin berguna sebagai
    pembanding saja. Sebab, sebagian besar tips-tips menulis dari penulis lain,
    jika bukan hasil melebih-lebihkan atau menggampang-gampangkan, setidaknya
    merupakan hasil refleksi dari pengalaman menulis orang lain yang mungkin sama
    sekali berbeda dengan yang akan dialami si penulis yang bertanya. Maka, pada
    akhirnya, sebagian, atau sebagian besar malah, masalah menulis mesti dialami
    dan setelah itu dilalui. Satu demi satu. Sendiri.  

    ***

    Menulis itu hal mulia,
    tapi boleh jadi tak lebih mulia dari kebanyakan hal yang dilakukan manusia
    lainnya. Makanya, saya sepakat saja dengan semboyan yang mengatakan bahwa
    “semua orang bisa menulis”. Tapi, pada saat yang sama, saya pikir tak perlulah
    semua orang mesti menulis. Toh menulis bukan satu-satunya hal mulia yang bisa
    dilakukan manusia. Maka, barang siapa yang misalnya sangat ingin jadi penulis
    namun setelah mencoba berkali-kali membuat kalimat pertama dan gagal, bikin
    lagi dan gagal lagi, bikin lagi, gagal lagi, kenapa tidak mencoba hal lain?
    Jadi dokter, misalnya. Jadi psikolog juga tak apa.

    Sebagaimana bertani,
    tak perlu semua orang jadi petani. Yang tak mampu bikin pematang, setelah
    berkali-kali mencoba, mending letakkan cangkul. Coba ambil joran, pergi ke
    danau, dan memancing. Siapa tahu, Anda mungkin lebih cocok kerja di air.

    Meski demikian, sebagai
    anak petani yang pernah belajar memegang cangkul dan membuat pematang, dan
    merasa tidak mampu, harus dengan bangga saya katakan bahwa sejauh ini menulis
    memang pekerjaan yang mengasyikkan. Setidaknya, dibanding bertani yang tak
    mampu saya lakukan. Setidaknya, dibanding menata pematang dan senewen, saya
    merasa jauh lebih nyaman mengolah kalimat, memadatkan ide, lalu menggarap
    cerita.

    Jadi, apakah ada yang
    masih tertarik menulis? Kalau tidak, tak apa-apa. Mari memancing saja.