Author: kibulin

  • Puisi Finalis Sayembara Menulis Puisi #4

    author = Redaksi Kibul

    Sari Tubuh

    M. Habib Syafa’at

    Benarkah, pada saat itu kau telah

    menuang seluruh sari tubuhmu? 

    Pada peristiwa terbelahnya gunung

    Kau mencuri bahan kepundan, kemudian

     

    dari bahan itu, kau berencana mengolah berbagai

    hidangan dalam dirimu, yang katamu bisa mengakhiri

    dahaga tubuh di perabuan ini. “Akan kusempurnakan

    berahi itu, dengan sari tubuh utama bagimu,” katamu

     

    Namun, pada gemerlap perjamuan tubuh hingga kini

    Masih kuhidu selundupan aroma gelap dari masa lalu

    Gumpalan hitam mangsi arwah kisah, teramat kelam 

    yang mengganjal. Tersumbatlah pintu masuk-keluar

     

    Aku seolah ditakdirkan selamanya gagal beranjak 

    dari puluhan situs peninggalan yang telah ditutup

    Lalu apa kiranya, di suatu tempat dalam dirikulah

    Kau dengan benar menuang seluruh sari tubuhmu? 

     

    Memanglah, sempat kutakik sehimpun bayi madu 

    dari hutan belantara tubuhmu, sebelum kita terpisah 

    menjadi dua meja perjamuan yang saling merindu, biar 

    tak berpayah aku mengingat pahit-manismu. Namun 

     

    saat mereka telah tumbuh sedewasa kita, tangan 

    gelap dari masa lalu itu melepaskan mereka 

    hingga berpukas bebas melengaskan diri dari 

    gelas-gelas kaca, ribuan lagu yang diputar, dan 

     

    kanvas-kanvas tua. Tentu saja, kau selalu sempat hadir 

    di situ, sebagai bias yang tak tersentuh genggamanku

    Sebagai sari tubuh yang lepas dari pulut. Menguap 

    sebelum berhasil kupejal menjadi sepunjut pemanis 

     

    kenangan, atau—barangkali—sekadar tambul perasan bagi hidangan 

    surga malam yang telah dikemasi dalam botol. Selalu berakhir pada 

    ampas. Membuat tubuhku berkali-kali, mati rasa. Lalu di mana 

    sebenarnya, kau telah menuang sari tubuhmu?

     

    Bojonegoro, 2020

    Sejarah Tragedi

    Yuditeha

    Delapan sebagai angka peruntungan untuk menodongkan senapan. Aku menguntit John Kedua selayaknya bayangan hingga tak mau berhenti sampai pukul sebelas malam. Usai tangannya memberi tanda kenangan, revolver kaliber tiga delapan mili, lima kali kutembakkan. Empat timah menembus daging cukup merobek malam. Darah menderas, jiwa melayang dan dunia berduka untuk mengingat John Kedua di sebuah peringatan.

     

    Strawberry Fields yang manis, aku telah menjemput ketenaran dari orang-orang palsu hingga kelak di sampul sebuah novel tertera pesan: akulah pembunuh yang menyukai cerita-cerita Caulfield, yang artinya Chapman berharap sama dengan Caulfield. Aku bermimpi menjadi tokoh pencinta anak-anak, yang menganggap dunia orang dewasa serba memuakkan. Aku menyelamatkan mereka dari jurang kepalsuan sampai datang waktuku menjelma iblis penarik pelatuk.

     

    Aku adalah Caulfield yang ada pada semua zaman, dan mereka akan membaca buku dan membicarakannya sembari terbayang wajah polos yang berangan menjadi pembebas dosa, hingga aku berteman penjara dua puluh tahun lamanya. Tiba waktunya aku pulang, bukan lagi bernafsu menjadi Caulfield. Bukan pula menjadi pembunuh berdarah dingin dengan otak basi. Aku berdoa John Kedua bahagia di surga hingga jiwanya menitis pada berjuta-juta John.

    Strawberry Fields: Sebuah taman yang tenang di Liverpool di mana John Lennon kecil biasa bermain dengan teman-temannya.
    Caunfield : Nama lengkapnya Holden Caunfield, tokoh utama dalam novel The Catcher in the Rye karya D. J. Salinger.
    Chapman : Pembunuh John Lennon yang bernama lengkap Mark David Chapman pada tanggal 8 Desember 1980

    Serampu Duka: Tatkala Perempuan Kishar Mendoa

    Kartikawati

    /I/

    Pantheon kala itu, di pusara terakhir Voltaire tua

    melalui atap kubahnya aku mengangkat sumpah

    mencintaimu, Bung

    meyakini cinta Plato

    berselam dalam iman yang baharu, aku tahu muaranya

    tidak kemanapun melainkan sumur tanpa dasar

     

    /II/

    di antara kita berdua, Bung, Tuhan mahadewa paling cemburu

    ingin miliki kita satu-satu, ingatan-ingatan dicerai. Tidak ada jalan kembali pulang

    mimpi pun tidak, apalagi bercinta sebelum subuh

    bendungan kedukaan ini, ambai

    di pelupuk indrawi

    merembah runtuh melungsur

     

    /III/

    ratusan tahun nasibku ialah hari basah

    pelangi sekadar sulur kusut

    meleler

    di ambang amuk Samas

    terlalu gigih untuk kalah

     

    terlalu pengecut untuk muncul

     

    /IV/

    sebagai putra Lahmu dari semesta konstelasi, kau

    yang paling kukasihi

    tentu bila kau tak bisa di sisiku, Bung

    lelakiku

    jangan pernah dipertuan perempuan lain

    sekalipun jangan! atau doaku dalam damai

    tenggelamlah kau, Anshargalku, di dasar palung Mariana

     

    /V/

    amin.

    Suatu Siang Si Malin Pulang

    Mira Agustin

    Di depan pintu rumah hijau

    debu kemarau menyulap

    jubin lantai menjadi gelap

    jejak-jejak hilang di rumput pelataran

    paruh mematuk ceker mengais

    musim membilas

     

    seorang tua berjemur di terik

    siang berbicara, “ku temani kau”

    dengan keringat

    di tubuh apak

     

    sementara jalanan bisu

    daun-daun mengurung jarak mata

    dan tua itu berteduh di antara

    batang-ranting

    juga sebilah golok

     

    mungkin ayam-ayam usil di sana lebih dulu tahu

    atau kucing jorok yang buang tahi

    di atas keset dapat merasa

    seorang datang dengan

    koper dan buah tangan

     

    jadi temu itu diselingi obrolan

    masih dengan teh hangat

    dan tembok-tembok yang retak

    masih dengan tanpa pajangan

     

    satu hal, sungguh, kemana

    sakral dalam benak itu yang

    tak tepermanai tersimpan jamak

     

    di ujung jalan di balik rimbun jati-mahoni

    tetiba rumah itu serasa

    sesak

    juga aku pada keramaian

    sambutan kiri kanan

    oleh potret-potret sumringah

    yang harapnya

    terlipat di kertas sisa

    di saku ketika berangkat ke perantauan

    hilang

     

    busak, rusak, dan aku malin

     

    Tuhan, apa aku durhaka

    Tersesat di Pasar Malam

    Michael Djayadi

    1)

    Pintu masuk pasar itu tak pernah sepi pengunjung

    sampai sesak engsel menahan antrean

    sampai gemeretak bunyi gerendel mengunci luap teriakan.

     

    Setelah kau masuk, tak jauh dari pintu sempit tadi,

    akan kaudapati peta ke mana ajal bakal menawarkan diri 

    digiring keinginan mata

    membelalak mencari wahana paling aman buatmu.

     

    Sayangnya, di sini tak ada yang paling aman, buat siapa saja; 

    setidaknya taman bermain pun bukanlah tempat 

    kau bebas main-main seperti anak kecil yang serius

    belajar menyodok kelereng masuk lubang taruhan.

     

    Katamu ingin memanjakan mata sibukmu 

    yang jauh-jauh hari lelah ditawan jam kerja.

    Katamu ingin memanjangkan napas pendekmu

    yang sehari-hari jauh dari kata lega.

    Tetapi sayang seribu sayang, ke mana kau melayangkan pandang

    semua wahana di pasar yang lebih mirip

    koran kosong ini tak menyediakan rubrik hiburan sepetak pun

    kesenangan apa pun di sini takkan mampu meredakan

    panas dalam dadamu.

     

    2)

    Di utara

    komidi putar kenangan masa kecilmu

    tak henti berputar-putar

    sengaja membiarkan tubuh penumpang 

    menggelepar bagai ikan lepas dari jala.

     

    Di timur

    kursi terbang yang dulu tak dapat kaunaiki 

    karena bobot tubuhmu lebih ringan dari angin

    sekarang, setelah angin tak bisa menggoyangkanmu pun

    ia masih terlalu tinggi kaugapai.

    Di barat

    kolam ban karet berisi banyak bola 

    yang kauimpi-impikan mandi di dalamnya

    tinggal sisa: isi bola polos kehilangan warna pelangi.

    Di sana, percuma kau berendam seharian,

    takkan kaucecap rasa manis pada kulit bola merah 

    semerah apel ana dari kebun nenek. 

     

    Di selatan

    tangga berjalan dengan tujuan ke mana saja

    yang selama ini cuma sanggup kautonton 

    dalam layar kaca hari minggu, juga tak bisa mengantarmu ke mana-mana. 

    Jika tegap kaudongakkan dagu berharap surga dan tuhan ada di sana,

    jika tetap kautatap tiap jengkal anak tangga itu membawa, perlahan ia mengantar,

    masihlah ketiadaan yang akan kaujumpai.

     

    3)

    Komidi putar, kursi terbang, kolam bola warna-warni,

    sampai tangga menuju rumah tuhan, percayalah, sesudah kau tiba di puncak awan

    tanpa pemandu, semua tadi hanyalah ilusi, yang akan kausesali 

    yang sampai kapan pun tak bisa kaupilih

    sebagai teman mengasyikkan berangkat dan pulang sekolah.

    4)

    Sampai waktu yang tak ditentukan

    pasar malam hasil usiamu menunggu

    tetap sesak menahan antrean,

    sampai kau sadar sekam di tengah

    taman bermain sedang menanti dibawa angin lalu

    tetap perih jari mungilmu disengat lebah

    hasil kau mencari nektar.

    Wening

    Yusril Ihza F. A.

    di hadapan cermin ini wahai, 

    Tuanku:

     

    silau permata pada dinding istana 

    yang kau lihat itu

     

    adalah rumah duka padma merah

    pendamba hangat surya

     

    semenjak tiga ratus purnama 

     

    tak pernah ia rasa anggur asmara 

    terpermana

     

    yang dituang penuh gairah oleh 

    pecinta termulia.

     

    pun berjuta tetes hujan yang tak 

    lelah suburkan dan tumbuhkan 

     

    pohon-pohon berbuah emas 

    yang tergantung 

     

    pada setiap tujuh tangkai adalah 

    telur ababil yang kau simpan 

     

    pada sebait kalam yang bakal 

    merajam lembut satin tubuhnya   

     

    apabila peluh farji mengalir 

    segar ke bibir lingga 

     

    seorang perjaka yang kau utus 

    diam-diam, 

     

    kau samarkan tiada kentara 

    sebagai musafir kehilangan arah

     

    padahal, musafir itu; 

     

    seorang zuhud dalam wujud 

    elang laut.

     

    *

    di hadapan cermin ini wahai, 

    Tuanku:

     

    bulan terbelah manis madu

    lenguh sintal tubuh itu

     

    adalah seonggok bangkai 

    peziarah

     

    terkubur pada gundukan pasir 

    di padang tandus. 

     

    setelah ia tapaki jalan lara 

    kerikil tajam

    dan beberapa kali menjumpai 

    dera dalam jeruji nestapa.

     

    seperempat abad ia hinggapi 

    dahan ara 

     

    menjelma kenari, menunggu 

    khalwat semi kembali.

     

    “duduklah, sandarkan lelahmu 

    pada belahan pahaku!” 

     

    : katanya dulu, 

     

    ketika ia sempat menggelar 

    permadani di teras istana 

     

    sembari ia singkap perlahan

    takdir pungguk

     

    sebelum kelam mengangguk

    jadi salam.

     

    “kandil-kandil berjajar menerangi 

    seisi ruangan, 

     

    api menyala, nun – adakah yang 

    tersembul di balik bola matamu?”

    lewat yusuf, musafir itu;

     

    kau bisikkan lirih, dan meletuslah 

    seluruh buih.

     

    kau ukir pilar bergambar ular 

    memasuki perkuburan.

     

    kau kirim kabar menjelang

    sabar akan terbakar, 

     

    kala simfoni bertebaran saling

    menyambar.

     

    *

    di hadapan cermin ini wahai, 

    Tuanku:

     

    tak ada lagi satin atau sutra 

    berbalut permata.

     

    ia tukar wangi misik payudara

    dengan jubah bulu domba.

     

    ia tenggelamkan sukma pada 

    samudera keabadian.

     

    sebagai usaha membunuh tujuh 

    iblis yang menutup 

    kelambu kalbunya, yang semayam 

    di kedua dinding matanya, 

     

    dan yang mengirimkan heina tua

    di setiap persimpangan 

     

    dua bukit kaf yang saling 

    berseberangan. 

     

    agar ia renungi kesempurnaan 

    cinta

     

    bukan sebatas pertapaan lingga

    merajai gua vagina

     

    atau sekadar kemesrahan kecupan 

    dan pelukan kedua insan.

     

    pun seperti lilin, ia menyala lalu 

    meleleh

     

    di hadapan keheningan:

     

    rasa sakit adalah api. 

     

    berkobar, 

     

    pada tiap kaki menapaki 

    jalan sunyi.

    ia asap diterbangkan angin,

    lalu cahaya datang menyinari,

     

    melebur jadi hampa.

     

    *

    di hadapan cermin ini wahai, 

    Tuanku:

     

    sebelum memakan bangkai

    keledai jantan, 

     

    keledai si pembawa ayat 

    ilalang 

     

    dari tanah seberang.

     

    nazar betina yang terbang 

    sempoyongan itu

     

    adalah aku,adalah jiwaku

     

    yang tak pernah mencecap 

    setetes embun daun zaitun. 

     

    dan betapa aku, 

     

    betapa dada semakin sesak 

    kala rindu 

     

    pada firman-mu. 

    walau hari semakin renta

    walau senja tak lagi merah

     

    tak lagi jingga,tak lagi hijau

    tak lagi ungu

     

    tak lagi kuning keemasan, 

     

    tak lagi bisa membedakan

    warna tua 

     

    atau hasrat ingin bersua.

     

    meski begitu, kurentangkan 

    malam berkalang 

     

    menjelma kunang-kunang

    kembang setaman.

     

    tiada tempat, tiada singgah,

    renungi empat penjuru masa.

     

    dan segala diksi dari seluruh 

    puisi bila tanpa alif di hati:

     

    adalah dusta para pujangga

     

    bersemedi pura-pura pada 

    lingkar selubung-mu.

     

    *

    di hadapan cermin ini wahai, 

    Tuanku: 

     

    kusepuh nama selingkar bejana 

    menyusup dzatmu pada kelana,

     

    tabir malam hutan cendana

    tiga salwa sandang cahaya.

     

    dan sebagian mimpi mengandung 

    doa tak terucap

     

    sebagian doa lanskap mahabbah

    pada keheningan hijau ma’wa.

     

    sebab rahasia akan tetap

    jadi rahasia

     

    meski cinta dan kematian 

    mampu mengungkapnya

     

    kala ziarah menjalin barzakh

    meleburkan 

     

    sembilan marwah.

     

    *

    di hadapan cermin ini wahai, 

    Tuanku: 

     

    bulan tak lagi menawan,

     

    daun-daun berguguran 

    di antara sungai 

     

    dua belahan.

     

    dan waktu adalah penentu 

    segala piatu

     

    adalah perahu kosong 

    di tengah laut biru

     

    tanpa tahu kemana sauh 

    akan berlabuh.

     

    *

    di hadapan cermin ini wahai, 

    Tuanku: 

     

    bumi telah berpaling dariku, 

     

    relakah engkau memeluk 

    jiwaku – penuh cinta,

     

    kala semesta tak lagi baka

    seperti 

     

    sumpah para pendamba?

  • Puisi Finalis Sayembara Menulis Puisi #3

    author = Redaksi Kibul

    Malam-malam Sulit Tidur

    Okta Saputra

    “But we should let this dead guy sleep,

    we should let this dead guy sleep.”

    —Father J. Misty

     

    Televisi menayangkan

    rekaman seekor anjing

    yang bersalto menghindari

    amuk seekor kerbau, dan

    tawaku pecah dan terus

    pecah sebelum kudengar

    pembawa acara bertanya:

    apakah kau melihat dirimu

    sebagai seekor anjing,

    atau seekor kerbau itu?

     

    Dan aku berpikir dan

    berpikir dan berpikir…

    sebelum terlempar ke

    waktu-waktu perut lapar,

    lalu pergi merebus mi, dan

    teringat bekas kekasih dan

    hari-hari hampir mati disebat

    hasrat terus produktif

     

    Sebuah perdebatan kemudian

    melintas di lini masa, dan aku

    menyimaknya dan menyadari

    banyak orang menyebut

     

    istilah: gentrifikasi—

    Aku mengetik “gentrifikasi”;

    pada mesin pencari dan

    menemukan diri di sebuah

    promo buku dengan kepala

    penuh pertanyaan baru

     

    Aku pergi ke teras;

    aku melihat ngengat

    menyengap di talas hias,

    dan ngengat di talas hias

    menyaksikan aku merutuki

    keterburu-buruanku:

     

    Aku membeli ongkos

    kirim berhadiah

    buku

    Aku membeli ongkos

    kirim berhadiah

    buku

    Astaga, aku membeli

    ongkos kirim

    berhadiah

    buku.

    Menghabiskan Waktu di Pasar Buku

    Mohammad Angga Saputro

    Kau bersikeras menghabisi

    waktu. Di sisi lainnya

    waktu. Tanpa kau tahu

    : menghabisimu.

     

    Kau mendatangi pasar buku

    berharap ada pengetahuan

    yang menuntunmu

    kepada:

    awal dan akhir.

     

    Kau sibuk menyibak—buka

    buku. Debu berhamburan mengketuk pintu

    hidung dan matamu.

    Debu kehidupan berhamburan menggedor

    ciut nyalimu.

     

    Harap cemas kau bacai satu persatu

    —huruf kemudian kata, kata kemudian etimologi

    judul pada sampul. Berharap temukan

    langit cerah hari depan.

    dan pengalaman menertawaimu

    dari segala arah. Tubuhmu

    goyah-gelisah.

     

    Para buku saling bisik:

    “ternyata masih ada yang ingin memiliki kami”

    Para penjual buku saling bisik:

    “barangkali ini rejeki kami”

     

    Hujan menampar Surakarta

    Ketika polusi berjingkrak di cakrawala

    Hujan menampar Surakarta

    Ketika puisi terserak digilas massa.

     

    Kau menghabiskan waktu di pasar buku

    Bersama ramainya huruf

    —dan riuhnya kata-kata. Tiba-tiba

    ada yang mengketuk pundakmu dari belakang

    serdadu kenyataan berbaris memanjang.

     

    Matamu berbinar usai temukan

    Buku pengetahuan kehidupan

    dan kau menanyakan harga pada penjual

    dengan binar mata bayi

    penjual menyatakan buku itu tak bisa dibeli

    buku itu koleksi pribadi.

    Tapi kau bersikeras memiliki

    dan merayu serupa bocah diembanan ibu.

    Terjadilah tawar-menawar dengan mimik memelas

    dan berakhir dengan penjual yang legawa melepas

    : buku pengetahuan kehidupan.

     

    Matamu bersinar serupa Sukesi

    di hadapan Wisrawa yang sebentar lagi

    medhar Sastra Jendra.

    Kau melangkah riang

    dengan buku pengetahuan kehidupan dalam dekapan

    : selangkah, dua langkah, tiga langkah, dan terjeda,

    kau dikagetkan dengan suara:

    “pengetahuan kehidupan bersemayam di dalam laku pengalaman!”

    —teriak penjual dari dalam kiosnya.

    Kau yang terjeda tak berani membalik rupa

    apalagi tubuh. Kau terus berjalan dengan buku pengetahuan kehidupan

    yang tak lagi dalam dekapan.

    Langkahmu gontai serupa langkah

    Wisrawa dan Sukesi yang telah disusupi

    : Guru dan Uma.

    Langkahmu gontai serupa langkah

    Wisrawa dan Sukesi menuju

    : Lokapala—Danaraja.

     

    2021

    Merawat Anjing Hitam Di Beranda

    Sherinkeshia Usagi

    suatu pagi yang dingin,

    napas mengembun di kaca

    menatap kebun mati yang

    berselimut putih usai badai

    dengking lemah terdengar

    ada anjing hitam di selasar

     

    ia selalu kembali, menetap di sudut

    teras yang bergoyang akan runtuh

    tetapi kubiarkan sejak berbulan lalu

    dan ditahan oleh si anjing yang

    sekarang terlelap di dekat pilar kayu

     

    ia menahan pilar dari rubuh

    menjaga kebun mati dari rubah

    mengusir penyusup berlabuh

    mengejar tiap selayang misbah

    layaknya ini juga adalah rumah

    bagiku dan baginya

     

    sampai akhirnya suatu pagi

    kuhitung langkah, kubuka pintu kayu

    kuulur tangan padanya

    si anjing hitam yang memekik

    lalu kuberi air dan sisa daging

    di kaleng dalam kulkas yang redup

    kami duduk berdampingan,

    aku menerimanya

    Nyadran

    M. Habib Syafa’at

    Menukamlah mereka ke hadirat megahku, sekumpulan keturunan pendamba 

    rahayu. Magandi penyerbu hamunan musuh sejak tujuh jagat campuh. Berharap

     

    akan kuganti gabah kemungkus dengan bungaran biji dan getah para ibu

     

    Mereka senang membasuh kakiku, dengan anyir darah daging hitam lakan

    Tumbal yang mereka kira sepadan, untuk tidur nyenyak penuh setahun

     

    —masa untuk tugur dan bangkit kembali saat musim penuh kehausan

     

    Sebagai upeti tambahan, dari punca belukar urat pohon gergasi ini, akan 

    mengalir pula bulir buncahku. Padahal, itu hanya tambul perjamuan malam 

     

    bagi para makara terkutuk, yang kuutus menyebar arwah-arwah kelakar

     

    biar terpugar lagi menjadi beberapa dasar pangku perjudian 

    Serta gelaran bangku-bangku pertaruhan hidup berbagai rupa

     

    yang memang sengaja disuguhkan, untuk memancing keputusasaan mereka

     

    Sebelum bantaran Bengawan Solo kesurupan, dan sepenuhnya menjelma 

    sebuah paduraksa—bagi yang sanggup melihatnya. Gerbang perantara utama

     

    bencana kelam baja dengan markah kejayaan iblis mati suri yang dalam 

     

    setahun sekali, akan dibuka memakai sebuah pagelaran wayang

    Surga jebakan bagi mereka, biar hanyut tersasar lesatan kontur bayangan 

     

    dari beribu gerak penghasutan tangan dalang-dalang jelmaan keturunanku

     

    Dari mata ketakjuban mereka itulah, akan menyembul berbagai rupa

    hidangan utama. paripurna beserta lauk pauk, bagiku. Tentu, aku tak cukup

     

    bila hanya terus-terusan mengganyang sepah sari cemani, dan asap wangi

     

    Setelah kurasa benar-benar kenyang, barulah mereka kupersilakan

    berebutan liur—tetes lidah musim semi palsu—dari tidurku, untuk diusapkan 

     

    pada ubun-ubun dan daun telinga para bayi. Menodai kudus keyakinan

     

    Dari situlah mereka akan lama bermimpi. Dalam mimpi itulah aku 

    akan merawi. Menari berjuta tahun. Menebar hujan dan benih duniawi

     

    hingga menggurat akar pangupajiwa yang hanya akan bernasib sementara

     

    Menyemburkan ludah api pada periuk-periuk pengharapan yang padam 

    lalu kembali dalam pengintaianku dari dalam semadi. Pusaka dikeramatkan

     

    sebuah halaman sembahan—yang selamanya lebar menganga. Selama 

     

    ada rasa lapar. Selama tanduk-tanduk masih merebung di tanah peninggalan

    mendiang bening tak terhitung madah, juga putih miliaran sayap  

    Bojonegoro, 2020

    Nyadran: Tradisi pembersihan makam leluhur oleh masyarakat Jawa, umumnya di pedesaan. Dalam Bahasa Jawa, Nyadran berasal dari kata sadran yang artinya ruwah syakban.

    Salindia di Sepanjang Musim Wabah

    Gilang Perdana

    sajak ini akan kita mulai dengan selarik tajuk utama

    : wabah kian ganas, mudik dilarang, kita hanya boleh pulang ke dalam diri sendiri

     

    1

    ada sepasang jarum jam merindukan dua belas

    angka itu. satu, dua, tiga dan seterusnya tak lagi

    terbaca sebagai angka, namun sebuah lema,

    kita menyebutnya sebagai karantina

     

    2

    ranjang ini, sekarang jadi kawan baikmu. semua

    orang terbangun dari mimpi buruk yang sama.

    mendadak siap dan bersemangat melakukan apa

    saja, meski mereka tak kunjung melihat sebuah

    kapan di balik tirai jendelanya

     

    3

    dari kaca kabin pesawat, langit, bumi

    manusia dan kesunyiannya terlihat

    seperti lukisan van gogh, semuanya

    seolah tumpukan pakaian kotor

    yang digulung mesin cuci

     

    4

    jika tahun ini adalah seorang pengemudi ojek

    online, kita tak perlu ragu memberinya bintang

    satu. ia membawa kita berputar-putar ke tujuan

    yang tak ada di peta, lalu kita diturunkan hanya

     

    sekian meter dari titik jemput semula

     

    5

    jika tahun ini adalah permainan papan catur

    kita butuh lebih dari 64 kotak hitam putih, demi

    mematuhi protokol jaga jarak. seabrek rencana

    yang kita punya adalah zugzwang yang berujung

    buruk. semuanya jadi serba salah. kita dipaksa

    melompat, namun tak ada satu pun jarak

    yang terlewat

     

    6

    tahun-tahun sebelum wabah; adalah cakram diska

    yang disesaki foto-foto kita pergi tamasya

    juga beragam jenis makanan, adalah unggahan

    instagram, meski sekadar foto wajah sendiri,

    tentu tidak dengan selembar masker

    yang talinya mencengkeram

    telinga

     

    7

    dan sepasang kekasih itu hampir melupakan raut

    senyum masing-masing. barangkali ada tanda

    tanya di balik masker itu yang bergerak naik

    turun. menafsir gerak bibir pasangan, tak

    pernah sesulit masa-masa sekarang

     

    8

    sepeda lipat terbaru, playstation 5, atau

    sekadar sebait sajak bukan hadiah terbaik

    buat kekasihmu yang sedang berulang tahun

    tak perlu repot-repot mewujudkan semuanya

    cukup dengan bertahan, dan tetap hidup

    : kau adalah hadiah itu

  • Puisi Finalis Sayembara Menulis Puisi #2

    author = Redaksi Kibul

    El Che

    Syani Maulana Elyasa

    /1/

    Pulang Ernesto

    pulang, anak kami

    yang hilang.

    Pulanglah dari mimpi orang-orang

    yang rindu

    kebebasan; Sebab kami merindukanmu.

    Adakah kau mengenal kami, Che?

    Adakah kau anak kami dengan

    napas tersengal-sengal itu?

    /2/

    Tak ada lagi yang

    perlu dibuktikan, pengembaraanmu

    sudah begitu jauh

    dari pikir kami.

    Begitu jauh dari pikir kami,

    Kau mengembara lagi

    dan meninggalkan sepucuk

    pesanmu—yang dingin

    sekaligus hangat di sela-sela

    mata kami:

    “Sekali lagi kurasakan di antara tumitku

    rusuk kuda Rosinante…”—sebelum tak lagi

    kembali dan merontokkan hati kami.

    Surat ini dan saat kita mati.

    Pada akhirnya kita mati.

    Hutan rimba dan peperangan, aroma

    kematian seharusnya cukup untuk membuatmu

    jeri, tapi sejak dahulu kau sudah pembangkang.

    /3/

    Sudahkah kau baca

    puisi itu, Che? dari penyair kesayanganmu?

    Baudelaire? Neruda? Nicolas Guillen?

    kau membacanya sepanjang

    waktu yang kami ingat.

    Tapi di antara tumitmu

    ada rusuk kuda Rosinante. Seperti tiap kepergian

    ia tak memberi kesempatan

    mengingat hal-hal

    yang kita cintai.

    Hal-hal yang Ditemukan Sepanjang Jalan Pulang

    Rizaldi Noverisman

    Menuju rumah setiap malam aku berjalan dengan harapan

    tidak menemukan pertanyaan. Membawa diri baru dengan

    pikiran dan perasaan mudah terbakar. Di jalan-jalan kota, di

    kejauhan,

     

    ada bayangan yang berusaha mencium kening seseorang di

    hadapannya. Seseorang itu pun mengubah hidupnya sebagai

    bulan di permukaan segelas latte hangat atau bilik penjara

    atau lukisan kaca atau dunia sepia dalam mimpi orang-orang

    yang takut untuk berlibur ke tempat ramai.

     

    Setiap kali pintu berada di hadapannya, bayangan itu hendak

    kembali jadi sebatang pohon pemalu—sambil menatap

    langit—membayangkan dirinya burung-burung yang

    mengepakkan jutaan sayap dalam kertas gambar masa kecil.

     

    *

    Warna langit malam ini: poster bergambar larangan dan

    keengganan menolak merindukan diri lain—dan keinginan.

    Buku yang kehilangan halaman-halaman terbaiknya. Bahasa

    baru yang tidak mudah dituliskan.

     

    Di tepi-tepi jalan, di cafe-cafe, orang-orang berbicara dan

    tertawa. Mereka berlari dari kata-kata yang mereka

    sembunyikan dan merakit pesawat di kepala mereka. Untuk

    pergi.

     

    Tak ada yang beda. Tak ada yang beda dari kemarin dan hari

    ini. Di kota ini dipenuhi rutinitas yang sama: seorang ibu

    yang memanggul anak dan serpihan air matanya di jalan. Para

    remaja yang sibuk

     

    melabuhkan nama pasangannya. Anak-anak gemar bermimpi

    mengenakan seragam sekolah. Selembar tiket kereta dan

    perpisahan. Kamera. Dan omong kosong pemerintah.

     

    Radio musik memutarkan lagu yang sama. Semakin banyak

    orang yang jatuh cinta kepada kehilangan. Jendela di

    kepalanya lama terkunci. Ingatannya berupa zat adiktif dan

    sejumlah keinginan, sesuatu yang berulang kali mereka bakar

    dan mereka kepulkan dari kaca kendaraan. Masa lalu yang

    terlambat dihapus. Hari-hari penuh dilanda kecemasan dan

    senyum buatan.

     

    Tak ada yang beda dengan perjalanan pulang malam ini. Aku

    terus berjalan dan membawa hal-hal yang kembali

    kupertanyakan setiba di rumah di depan layar televisi.

    Kashmir

    M Rianda Al Rasyid

    Seperti setiap pertemuan pertama yang datar

    kita beradu tatap tanpa sengaja

    kau lekat pada jiwaku – aku paku pada kaki lembahmu

    tak cukup mudah bagiku taklukkan puncak hatimu

    dengan kenangan yang beku

    Diawali dengan biryani Kangan yang bikin kangen

    Chapati Yasmin yang dingin

    serta dekap hangat Harmook yang tak akan gentas

    hanya karena kau pernah tenggelamkanku

    pada bijak danaumu yang luas

    Ketahuilah, menjejakkan diri pada tampuk tubuhmu

    adalah bentuk utuh dari tunduk

    wujud berserah pada pasrah paling tengadah

    Di bawah gugusan Via Lactea

    percakapan manis kita adalah doa-doa

    yang siap menjelma nyata

    Laut Menguap Sebagai Engkau

    Budi Mardhatillah

    Di kapal.

    Laut ingin kau tertidur sehingga 

    kau tak perlu ingin tahu rahasia-rahasianya. 

    Membuatmu sibuk membaca novel

    –yang menggambar langit di kaki-kakimu– 

    atau sekedar membayangkan cinta seperti ombak kepada pantai. 

    Tapi kau, 

    laut dan rahasianya adalah segala apa yang kau ingin.

    Kau bisa saja ingin sekali mengapung 

    di rahasia-rahasia ini lebih lama. 

    1000 kali pergi, 1000 kali pulang. 

    Tapi kapalmu begitu merindukan menjadi abu 

    atau kayu-kayu tempat dimana kau mengenang pagi-pagi dan kopi-kopi.

    Di pelabuhan yang tak akan kusebut namanya, 

    kau sedang akan melangkah turun dari kapal. Dari bibirmu ku tangkap 

    “ aku ingin menyelam”. 

    Aku takut laut menyukaimu. 

    Laut telah gagal. Mengambilmu.

    Kau menjadi rahasia.

    Kelak.

    Suatu ketika yang sangat biasa ––di embun jauh susul mentari–– 

    aku mendapatimu sebagai keping-keping hujan.

    Aku menyukai hujan, di pikiranku.

    Tapi benci menyadari kau akan menyentuh ujung rambutku 

    dalam bentuk lain––rahasia.

    Di pikiranku yang lain:

    Aku harus membeli payung tanpa warna.

    Segera!

  • Petualangan Gadis Pinokio Tak Berhidung Panjang

    author = Arifin Nasa

    Petualangan Gadis Pinokio Tak Berhidung Panjang

    : Cirebon

    Ditutupnya sepatah kata-kata yang bercecer di tanah-tanah bekas pijakan makhluk-makhluk mulia dan hina. Dua makhluk yang pernah dan masih berdiri memungut kata-kata lantas dirangkainya menjadi kalimat ambigu yang hanya seorang saja mengerti: Gadis Pinokio Tak Berhidung Panjang. Memanglah gadis itu menutup sepatah kata-kata yang dipungutnya dari tanah pijakannya sendiri meski tak mulia.

    Kalimat yang dirangkainya perlahan menjadi tebal satu buku berhalaman satu juta. Katanya ada satu huruf hilang belum ditemukannya, buku satu juta halaman belum lagi diedarkannya. Di sampingnya tertawa huruf-huruf kecil loncat dari buku satu juta halaman dan memang benar adanya lima huruf menertawakannya. Satu juta halaman sia-sia dikumpulkannya dari tanah pijakannya sendiri yang tak mulia.

    Diambilnya satu buah huruf, dipasangkannya pada kata yang berirama padu. Ah, indah sekali. Namun, asa kurang satu kata lagi. Tuhan. Ia belum menyertakan Tuhan pada hutan kata yang dipungutnya dari tanah pijakannya yang tak mulia.

    Seakan ia berkata, Tuhan Mahasegala dengan tanganku yang mengalirkan darah.

    Sekali lagi ia berkata pada kata-kata yang dipungutnya, Tuhan, aku bersama-Mu dan Kau bersamaku.

    Bohong!

    Ditulisnya kata-kata dengan diksi yang amat indah atas nama Tuhan: sedang ia bertualang. Matanya menatap pohon-pohon kecil, hidungnya menduga-duga bau kencing anjing kecil, mulutnya terbuka lebar melahap dedaunan kecil dan anjing kecil. Tuhan Mahasegala, segala yang ku perbuat atas segala-Nya.

    Juli, 2020

    Jangan Bermain-main dengan Tuhan

    Dalam gelap malam
    sang favorit merayap-rayap
    melampaui markah peraduan
    : Tuhan

    Januari mendatang
    festival besar di Negeri Salah Benar kian mencekam
    pertunjukan kekuatan, keahlian, kekritisan, dan kecakapan
    digelar bersamaan tak jeda jua
    sedetik pun seperempat detik

    Sang favorit belum kalah, dan
    memang tak mau kalah
    dalam kesempatannya juara berturut
    piala berjejer
    medali bertengger
    piagam berkelakar
    : Tuhan harus kalah!

    Memanglah Tuhan bukan tandingan
    juara di mana-mana
    di lorong gelap
    ruang terang
    atau lubang kecil
    Tuhan juara

    Sang favorit tak mau kalah dengan Tuhan!

    Dalam gelap malam
    sang favorit merayap-rayap
    melampaui markah peraduan
    : Tuhan

    Mencari titik jenuh Tuhan
    tak bisa ia mengeluh
    apalagi menyerah
    sebelum menemukan titik
    lantas mencurinya
    kemudian dirobeknya
    lalu dibakar
    dan, dikubur dalam tanah

    Januari datang
    festival besar menghadang
    sang favorit tampak bimbang

    Bukan,
    ia berhasil mendapatkan titik jenuh Tuhan
    tapi tak berhasil menguburnya
    justru ia terkubur
    dalam-dalam
    : bertemu Tuhan bukan pada festival besar

    Tuhan pun angkat bicara
    dengan irama mendayu-dayu
    sangat merdu
    : jika kau bertanya tentang Aku, Aku dekat.

    Ruang Kecil, 2020

    Tanda Tanya

    Apa guna
    Tanda tanya?

    Menanyakan
    yang diketahui
    atau
    belum diketahui?

    Memberi
    solusi
    atau
    mengundang
    emosi

    Banyak sekali
    tanda tanya
    bercecer di jalan
    di kantor
    di sekolah
    bahkan
    di dalam
    pori-pori

    Apa guna
    tanda tanya?

    Agustus, 2020

    Aku Takut Hantu

    Aku tak takut hantu
    Ketawa sendirian
    Di dahan pohon
    Atau di gelap kuburan
    Aku tak takut hantu
    Melompat
    Yang katanya merah
    Matanya
    Aku tak takut hantu
    Berlari
    Si kecil berlari
    Mencuri kata banyak orang
    Aku tak takut hantu
    Berdiam diri
    Di sudut rumah kosong
    Mengganggu sekelebat
    Aku tak takut hantu
    Bagaimanapun rupanya
    Jenis namanya
    Atau ketawanya
    Aku hanya takut hantu
    Bisa makan dan minum
    Membaca dan menulis
    Berdialog dan berdebat
    Menindas rakyat jelata

    April, 2020

  • Penulis Monte Carlo yang Terperangkap di Jakarta

    author = Anugrah Gio Pratama

    Di Negeri Kita

    : Setelah membaca sajak Stebby Julionatan

    1. Di negeri kita, virus adalah udara yang dihirup dengan terpaksa;

    2. kekacauan yang mengalir di beranda usia.

    3. Kematian adalah hitungan angka-angka.

    4. Kau ingin mati juga?

    2020

    Keserakahan Adalah Derita

    Keserakahan tumbuh
    seperti pohon pinus
    yang menusuk punggung awan.

    Keserakahan adalah derita;
    adalah virus yang ditanam manusia
    berabad-abad lamanya.

    Keserakahan adalah derita.
    Orang-orang merawatnya
    serupa malam mengasuh purnama.

    Keserakahan
    adalah derita
    di penghujung usia.

    2020

    Penulis Monte Carlo yang Terperangkap di Jakarta

    : Teringat Fitriawan Nur Indrianto

    Dalam kenyataan,
    hidup tak pernah seindah puisi.
    Seorang penyair yang telah menulis
    satu babak kisah cinta,
    bisa jadi babak-belur
    dihajar beribu rindu
    dan berjuta kecemasan.

    Apalagi sekarang
    hari-hari melahirkan air mata;
    polusi di udara perlahan lenyap
    bersamaan dengan ratusan nyawa manusia.

    Hati penyair itu pasti makin kacau
    bagai kemacetan Kota Jakarta
    sebelum pandemi merajalela.

    Penyair itu terpaksa tabah
    menghadapi wabah; menghadapi
    kenyataan yang tak seindah puisi;
    tak seindah kisah cinta Monte Carlo.

    2020

    Nyanyian Seorang Perantau

    Tatkala hujan datang.
    Deras air menjelma syair;
    membelah cahaya.

    Jika suara
    menyelimuti kota.

    Anak-anak
    menanam pelajaran
    dan perantau
    memanen kerinduan.

    2020

    Jalan Menuju Ibu

    Bagaimanakah ingatan
    melukis kebahagiaan
    dari kenangan
    yang sedingin dendam?

    Aku bukan kata
    yang terendam
    dalam perihmu.

    Aku hanyalah air mata
    yang lebih biru
    dari permata.

    Ratusan musim akan meranggas
    bagai daun. Dan aku akan menujumu.

    Menujumu berarti
    menempuh jalan yang terjal
    dan aku menginginkannya.

    2020

  • Pada Sebuah Perjalanan oleh Mahfud RD

    author = Mahfud RD

    Catatan Redaksi:
    Dengan mengambil tema kerinduan dan bayangan tentang Yogyakarta, puisi ini nampak mengulang apa yang sudah dinyatakan oleh KLA Project dalam Lagunya “Yogyakarta” atau ungkapan puitik Penyair Joko Pinurbo bahwa “Jogja terbuat dari rindu, pulang dan angkringan.” Puisi ini seolah mengulang perasaan yang sama dan hampir dialami oleh orang yang pernah tinggal dan menetap di Yogyakarta. Yang menarik, penyairnya juga menggambarkan kota lain (kota yang dituju selepas meninggalkan Yogyakarta). Lanskap dan suasana batin yang hadir sungguh berbeda. Jika Yogyakarta digambarkan sebagai kota yang damai, sederhana, tempat bersantai dan memperoleh ketenangan jiwa, berada di kota lain adalah sebaliknya, penuh keresahan, pertanyaan dan ketidakpastian. Tapi dalam puisi berjudul Pada Sebuah Perjalanan, aku lirik nampak bersikap bahwa ia harus meninggalkan semua kenangan tentang negeri damai dan ideal (baca:Yogyakarta) dan berani menjalani dunia barunya yang penuh tanda tanya. Sebegitu membuaikah kota yang dinamakan Yogyakarta itu sehingga ketika keluar mereka bagai anak kecil yang terdampar di jalan raya?

     

    Pada Sebuah Perjalanan

    pada sepertiga siang
    laju kereta membawaku terusir
    dari hiruk pikuk
    dan ingar bingar Kediri; yang kau bilang salah satu tempat pulang dan kembali.

    lagi lagi di stasiun
    tempat temu dan pisah berduyun duyun
    hingga gesekan roda dengan rel kereta tak mampu menterjemahkan
    mengapa aku menunggumu
    di persinggahan yang jelas tiada.

    terkadang
    aku seperti musafir
    pergi pulang hulu ke hilir
    peduli apa pada jemari yang terkilir
    atau pada padi yang dipanen
    dan mengubahnya jadi nomaden.

    jogja melambai jauh di mata
    rindunya erat melekat
    seperti gang gang di kotanya
    yang penuh tulisan jam belajar masyarakat.

    lagi lagi kadang di matamu;
    ingatan ingatan yang memaksa dimakamkan.

    2018

     

     

    Pamitan Puisi

    aku tiba pada ingar bingar kotamu
    disambut tulisan jogja berhati nyaman
    dan sepiring magelangan.

    pada subuh yang terlelap di kelopak tukang becak
    tukang ojek
    dan sopir taksi.
    jalan layang janti mengantarku
    pada belantara angkringan dan kopi.

    malioboro pun terjaga jua
    dengan pejalan kaki atau hangat wedang ronde
    atau pelantun tembang yang jatuh di telinga
    atau para peminta
    yang ditolak
    dengan lambaian tangan dan guncangannya.

    laron bertengger di bawah jembatan sorowajan
    bercakap cakap lempar tulisan
    dibumbui caci maki
    pada setiap diksi
    dan logika yang pergi.

    sapa bosan menekan dada
    laron terbang lagi
    mencari cahaya lebih terang
    atau di mana sayap mereka layak ditanggalkan.

    pada sepertiga malam
    sayup pantun menikam telinga
    kalau ada sumur di ladang
    bolehlah kita menumpang mandi
    kalau ada umur panjang
    hukum wajib bersua lagi.

    dan aku pamit pada sebuah puisi
    yang kuukir di lantai lantai kamar
    di temaram lampu kota yang jatuh di retinamu
    di meja meja kedai kopi
    di kartu kartu poker yang ditertawai coretan gincu
    di bulu romamu hingga pori menampakkan diri
    di bangku ruang tunggu stasiun
    dan di kaca jendela gerbong kereta yang bernoda.

    burung gereja berkejaran
    berburu makan
    atau sekadar berpagut kemesraan
    sedang kaca pecah pada kedua mataku
    sebab pergi tak menunggu ketepatan waktu
    dan datang tak selalu akrab dengan bimbang.

    aku pamit pada sebuah puisi
    yang kutulis
    dan macet
    dan ruwet di jaringan otak
    lalu jatuh di tenggorokanku yang serak.

    aku pamit pada sebuah puisi
    yang kulahap bersama orak arik
    dan dada sesak
    sebab mimpi telah tercabik
    di antara bangku taman
    atau di mana segala kenangan ini bisa kumakamkan.

    2018

     

     

    Di Rumah

    sebelum resah melambai dimainkan angin dan dengung nyamuk melengking di kuping, berapa ratus bahagia
    berapa ribu dukacita
    yang kini jadi tanya dan jutaan terka?

    mungkin besok
    atau lusa
    atau minggu depan
    atau bulan depan
    mungkin juga setiap saat
    kau
    atau aku
    akan jadi terdakwa di antara yang tertawa.

    suatu kala yang ramah jadi remah remah
    yang sumringah ditikam gelisah
    yang menjulang dipukul gelombang
    dan tumbang tanpa pelampung.

    di sini
    bau bumbu masakan selalu jadi aroma kepulangan
    sejauh langkah kaki merapuh
    sedekat perih yang ringkih.

    dan di langit
    awan berarak teduh melambai
    dan gulana belum tampak akan usai
    menciptakan ingatan ingatan
    yang memaksa dilupakan
    dibuang
    ditendang
    dan ditanam dalam dalam.

    2018

     

     

    Di Jalan Gading

    dulu
    sebelum setapak ini melukis rekahan di punggungnya
    kopi dan hujan sudah kerap mampir
    dalam bait yang kemudian dibaiat jadi sajak dan puisi.

    bening pekat bersandingan di setapak basah ini
    bersinergi
    mengadah letih yang tumpah
    mendekap tasbih dalam segala serapah.

    kini
    pada bingar dan lalu lalang setapak ini
    tanda tanya semburat
    bertebaran jemu
    menanti kematian pertama sopan bertamu.

    2018

     

  • Obituari Jiwa oleh Nugroho Adi

    author = Nugroho Adi

    OBITUARI JIWA

    Gusti, aku khawatir

    lelahku menggigil di kulkas

    artis-artis yang mendadak

    jualan kue khas.

     

    Gusti, aku cengang  

    jalan dan jembatan membekam luka

    tapi di langit sana justru

    gedung dan pagar terus dipugar.

     

    Gusti, aku lemas

    sawahku gelagapan debu

    pabrik itu menubruk kemanusiaan

    dan piring makan ibu.

     

    Gusti, aku sangsi

    doaku murung di dalam sarung

    para juru khotbah

    yang lupa cara merenung.

     

    Tapi Gusti, aku percaya

    Kau adalah maha cinta

    menaungi segala nasib

    yang berumah pada derita.

     

    Blora, 2017

     

     

    TAYUB

    Melenggang nada sutra

    tembang-tembang memuntah

    ranum bah bibir pesinden

    melumur ke usia ayah.

    Sementara semesta gagap

    melihat pinggul-pinggul yang gemulai

    menanggung dendam para panjak

    kepada kendang-kendang dunia

    yang tak habis menabuh prasangka.

    Minggu kedua, Juli 2017

     

    JL. RAYA DIPONEGORO-60213

    Waktu menjadi tunarungu

    suara yang jauh dari kata-kata

    menguap disibak nganga rahasia

    berliter keinginan ramai-ramai

    menuruni jalan raya

    menyembur wangi ter aspal tua.

     

    Waktu semakin tunarungu

    kebisingan membubul rapat

    di langit cerak burung-burung

    menyeret awan-awan hitam

    tempat amarah berkumpul

    umpatan yang menggantung

    pecah ditusuknya. Mataku pedih

    dan ingatan-ingatan berjatuhan.

     

    Dengan penuh diam-diam

    kauhisap tajam

    kepingannya dalam-dalam.

    kerelaanmu merambat serat

    seikat masa kecil luruh

    ke mesin-mesin tak bersekat.

     

    Orang-orang adalah tunarungu

    patung-patung lemah

    yang hanya lebih takut

    kalau-kalau lampu memerah.

     

    Orang-orang semakin tunarungu

    hutan merimba di atas kepala

    terus menumbuhkan binatang-binatang senama

    meski hati tak merawat dendam yang sama.

     

    Surabaya, Maret 2017

     

    Catatan Redaksi:

    Puisi-puisi ini mencoba memperlihatkan persoalan carut marut dunia yang tidak hanya ada di kota tapi juga merambah ke desa. Dunia modern yang bergerak serba cepat dan bising membuat orang-orang pun mencari hiburan, tapi justru kehilangan diri karena mabuk dalam kepalsuan. Kenyataan ini membuat aku lirik justru terjebak dalam kesunyian. Agama, sebagai salah satu tempat untuk menemukan kembali kemanusiaan/jiwa pun dirasanya tak lagi menjadi jalan. Dalam segala keputusasaan itulah, Tuhan pun dijadikannya tempat untuk menemukan kembali secerca harapan.

    Dibandingkan dua puisi yang menggambarkan suasana kota, puisi Tayub yang membawa ciri khas kedaerahaan (mungkin juga desa) lebih menyuguhkan penggambaran lanskap suasana luar yang kentara. Hal ini karena terdapat berbagai citraan, seperti citraan penglihatan dan pendengaran yang sama-sama bermain dalam menanggapi peristiwa yang ada di hadapan. Pemandangan yang dilihat pun mungkin adalah pemandangan yang temporal, berbeda dengan apa yang ada di kota, yang nampak terlalu monoton sehingga menyuguhkan sesuatu yang lebih segar, kaya, sekaligus dalam.

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Mitos Kehilangan

    author = Raihan Robby

    Mitos Kehilangan

    /1
    Pelukanmu
    terjemahan bebas dari segala kesiapan
    untuk sebuah perjalanan panjang
    atau kehilangan

    Jika pagi ini
    aku tidak mengetuk pintu itu
    dan kau masih menungguiku
    hingga terlelap
    maka jangan pernah kau mencariku
    aku dalam keadaan aman-aman saja
    negara yang mengamankanku
    (mungkin juga menghilangkanku)

    Tapi kau telah menghadiahkan aku sebuah pelukan
    dalam kemas yang mungil dan indah
    jika aku merinduimu
    dalam palung yang dingin atau lubang kubur yang sesak
    aku akan membuka kemasan pelukanmu
    dan kupakai dengan gembira
    hanya dalam pelukanmu aku benar-benar merasa aman
    dan para orang-orang hilang itu akan cemburu
    pada diriku, mereka lupa untuk meminta hadiah pelukan
    sebelum benar-benar dihilangkan

    /2
    Setiap diri kita merasakan kehilangan
    tapi hanya sedikit yang benar-benar memaknai kenangan

    Meja makan lebih sepi
    dari sebuah jalan yang baru saja terjadi kekacauan
    genting, hening.
    ibu mengiris air matanya sendiri
    di dapur yang ia cintai

    Tak ada malaikat mampir
    untuk mencatat kesedihan kami
    seharusnya malam ini ayah pulang
    membawakan satu kotak martabak manis
    sebagai permintaan maaf
    karena telah mencampakkan keluarga
    selama hidupnya.

    Ibu kembali ke meja makan
    dengan bunga tabur
    serta epitaf di kerupuk

    “Mari kita berdoa, semoga tak ada lagi kebencian yang singgah di meja makan ini.”

    Ketika berucap. Aamiin.

    Ayah muncul
    sebagai seseorang yang tidak dikenali oleh siapapun
    tidak juga ibu, ataupun aku.
    ayah muncul bersamaan dengan orang-orang yang hilang
    hilang dari zaman yang baru
    kembali ke zaman yang lebih baru

    /3
    Tak ada yang lebih tabah
    dari pada lelap seorang istri
    yang menunggu suaminya pulang

    Seharusnya aku tak benar-benar melepasmu pergi
    kota kita tengah dikepung oleh ketidakpercayaan yang keji
    mitos diciptakan untuk membuat ketakutan
    dan ketakutan terbesarku
    adalah
                 kehilanganmu

    Jika saja
    aku telah siap dengan ketidaksiapan ini
    dan sebuah kabar
    adalah samudera yang dingin
    membanjiri seluruh kecemasanku
    Lain kali, jika ingin hilang
    bawalah aku dalam kehilanganmu
    karena dengan tanpa dirimu
    aku tak pernah benar-benar
    ada

    Anak-anak kita bertanya tentang kau
    “Ibu, ayah sedang apa? Mengapa belum pulang?”

    Menahan tangis aku menjawab
    “Ayah tengah disimpan negara, di sebuah berkas yang dibakar masa untuk sengaja dilupakan”

    Yogyakarta, 2019

    Perempuan Bulan

                          -untuk sari novita ningrum

    Masih ingatkah engkau
    malam di mana malam
    yang kita susuri
    untuk mencari bulan
    yang sembunyi dari
    mata kita

    Bulan yang bundar itu
    menutupi dirinya
    dalam awan gelap
    atau gedung-gedung bertingkat

    Katamu
    Ayo kita cari bulan!

    Sehabis minum kopi
    dengan sekali tegak
    dan debar di dadaku
    saat bersamamu

    Kita mencari
    bulan yang tidak
    ingin ditemukan
    menembus dingin malam
    kelanggengan jalan
    dan jam tidur yang berantakan

    Berhenti! Aku menemukan bulan
    katamu menepuk pundakku

    Kau menatap malam dengan
    senyuman yang memadukan
    sisa kopi dan sisa malam yang menghitung pagi
    menghasilkan banyak malam-malam lain
    yang kuharap tidak menghasilkan pagi

    Bulan menghilang dalam kamera handphonemu
    di jok motor aku juga mencari-cari ke mana bulan itu pergi
    tak kutemukan di langit manapun

    Saat memandangmu
    bulan singgah dalam pipimu
    dan saat menatapmu
    bulan menetap di matamu

    Jakarta, (kenangan akan Jogjakarta) 2020.

    Akhirnya Kau Mengerti

    Akhirnya kau mengerti sekeras apapun usahamu
    memperjuangkan kebahagiaan orang-orang yang kau sayangi
    mereka bisa pergi kapan saja meski kau memohon berlutut menuntut masa lalu

    Akhirnya kau mengerti selama apapun cinta dipertahankan
    dibentuk oleh aturan-aturan atau paksaan-paksaan bersama
    kekasihmu bisa mencintai kekasih yang lain hilang dalam pengawasanmu

    Akhirnya kau mengerti semua usahamu untuk memahami kehidupan
    dapat dipatahkan dengan kedatangan kematian

    Hal-hal Kecil yang Aku Tunggu

    Aku menunggumu membalas pesanku;

     

    dan di belahan benua lain
    seorang diktator berusaha digulingkan

    dan di samudera lain
    roket antariksa baru saja diluncurkan

    di laut tempat segala rahasia bermuara
    seseorang percaya bahwa laut mengubur tanah leluhurnya

    di pasar seorang pencopet baru saja lolos dari kematian

    di facebook hoax lebur dalam informasi seputar mie ayam terenak di kota

    di kedai kopi seorang pelanggan jatuh cinta dengan seorang barista
    kopi yang mereka taruh di meja menjadi pertemuan awal dari kesepian yang pahit

    entah di bagian belahan bumi mana negara lain mencoba membuka portal dimensi ke dunia terbalik

     

    dan kau masih belum membalas pesanku

    Stasiun

    Seandainya aku bisa memesan takdir
    agar kau tetap di sini.
    Tapi, kita adalah sepasang udara yang asing
    dipertemukan oleh ketidaksengajaan yang indah.

    Di stasiun ini
    aku melepas kepergianmu
    kau dan kereta itu berangkat.
    Menuju ke arah matahari terbenam

    Seandainya aku bisa meninggalkan
    seluruh masa laluku
    dan menanggalkan pelukanku untukmu

    Di tapal batas ini
    kau membias dan menjauh
    jarak terhempas
    waktu berlabuh.
    Aku merindukanmu.

    Hatiku adalah stasiun
    menunggu kepulanganmu
    transit pelukanku

    Lempuyangan-Pasar Senen, 2018.

  • Mereka Adalah Maut bagi Diri Mereka Sendiri

    author = M. Royfan Ardian

    Mereka Adalah Maut bagi Diri Mereka Sendiri

    Sampailah pada saat, 

    liang lahat digali oleh rapalan yang pulang.

    Lalu mengubur diri mereka sendiri. 

    Terbebas dari semua yang berada di atas tanah.

    ***

    /201X/
    /09.00/

    Tepat ketika pohon kelapa di pantai 

    terlihat memanggul matahari.

    Seorang berkata

    “Lihatlah pohon-pohon yang berdiri gagah, 

    tanah yang basah dan subur berhasil menumbuhkan benih yang tertanam”

     

    Maka bagi mulut yang sedang mengantar pergi beberapa keinginan

    melalui sebuah rapalan yang dapat terbang serupa burung perancah

    lalu menuju langit, perkataan tersebut berhasil memperlihatkan pelangi

    setelah mendung bergelayut menutupi yang ada di bawahnya.

     

    /2018/

    /09.00/

    Tepat ketika hujan di bulan

    yang setiap paginya basah. 

    Orang itu berkata lagi

    “Kegagahan pohon yang berdiri melewati semua musim.

    Pada akhirnya akan lapuk,

    meninggalkan orang yang telah merawatnya”

     

    Maka bagi kepala yang selalu menakar keadaan lewat langit

    yang selalu mendapat kiriman berupa rapalan, 

    perkataan tersebut turun 

    serupa deras hujan di pagi hari 

    dan semua yang terkena derainya, menggigil olehnya.

     

    /2020/

    /17.30/

    Tepat ketika matahari tenggelam 

    di langit yang pada akhirnya memulangkan kembali semua rapalan.

    Tak ada orang yang sama dengan perkataanya.

    Tak ada lagi tanggal-tanggal yang menjadi tempat menaruh segala peruntungan.

    Tak ada lagi mulut merapal yang dikekang oleh satu keinginan.

    Tak ada lagi hitungan-hitungan rumit yang berputar di kepala.

     

    Hanya ada tempat bagi mereka yang pulang,

    bagi mereka adalah tempat paling bebas.

    Bicara Apa Saja Kecuali Cinta yang Indah

    /Temu/

    Barangkali berbicara tentang pertemuan, kita perlu menangkap saat tanggal-tanggal itu bermigrasi di dekat kita. Seperti suatu kawanan, dan kita akan memilih salah satu darinya. Lalu kita bawa pulang untuk perjamuan mata kita yang sedari dulu tak pernah bertemu.

     

    /Kalah/                                                  

    Barangkali berbicara tentang kekalahan harus menemukan siapa yang terkuat. Agar pasir di tanah itu tahu darah mana yang terkucur dan tubuh siapa yang terkubur. Setidaknya kita dapat berkata “Kalah tak berarti gagal” Walaupun kita pada akhirnya mengetahui, kegagalan selalu berdampingan dengan kekalahan.

     

    /Sendiri/

    Barangkali berbicara tentang kesendirian tidak melulu tentang sepi. Kesendirian juga sebuah penyadaran meneteskan air yang kemudian menguap dan hilang oleh sinar matahari. Dan akan turun kembali menjadi air yang lupa. Turun di sela-sela akar daripada terkapar di atas aspal

     

    /Sesal/

    Barangkali berbicara tentang penyesalan, lihatlah pohon di jalan itu. Sebuah pohon tidak menyesali akan kehilangan daun-daunnya. Walaupun pada nantinya kesendirian akan bertengger di atas rantingnya yang ranggas di musim gugur. Musim-musim terburuk akan datang begitu juga musim terbaiknya.

     

    //

    Barangkali berbicara apa saja itu menyenangkan. Bahkan rembulan dan bintang terkadang ikut mendengarkan walaupun raut mereka tampak samar. Kecuali cinta yang indah, kita selalu tergagap. Mulut, Hati, Keyakinan dan Perasaan. 

     

    /../

    Cinta yang indah bagai kupu-kupu cantik yang mengepakkan sayapnya terlalu tinggi, hanya mata yang bisa meningkap, bukan jaring yang menangkap. 

     

    /./

    Selebihnya, cinta yang indah, biarkan berlalu lalang. Walaupun diri kita mencoba untuk membuka pintu selebar-lebarnya.

    2020

    Sepasang Trauma yang Kembali

    Tanggal-tanggal mulai berteduh dari hujan 

    Setelah kabar dari timur yang dedar sudah tak menghangatkan kecemasan yang menggumpal pada bangku stasiun

    Derit roda yang tua seperti usia dedaunan di depan rumah yang mulai mencari tempat istirahat 

    Pintu-pintu pada kereta yang berhenti, menjelma pelayan yang menyajikan pesanan para pelanggan

    Sesuai dengan cinta mereka masing-masing juga kita, diantar pada pelukan yang ditempati

    Jalanan kota menjulur menuju hilir dan bermuara pada akuarium rumah

    Yang penuh dengan keinginan-keinginan yang mati tenggelam,lalu digantikan kabar-kabar

    Foto-foto menjuntai memberi salam tanda perkenalan kepada kedua tangan ini 

    Esok hari, tak sepasang kaki akan hilang menuju keterasingan,

    tetapi menyangga puing-puing rumah yang hilang

     

    2020

  • Merapi dalam Kenangan

    author = Adenar Dirham

    Merapi dalam Kenangan

    Merapi dalam kenangan yang menerbitkan mimpi

    Aku selalu bersahaja padamu juga wajahmu

    Kaulahirkan setiap sumpah di bumi Yogyakarta

    Bersama setangkup doa yang kita lambungkan 

    Pada semesta dalam jalan kesetiaan purnama

     

    Merapi, dendangkanlah keheningan pada malam

    Saat kakiku perlahan-lahan mendaki tubuhmu

    Kubawa bunga amaryllis ke dalam dadaku

    Hingga kuncup kembang itu pada akhirnya

    Memekarkan diri menjadi doa yang purna

     

    Kenangan selalu mahir memainkan cinta

    Pada peristiwa demi peristiwa tak terhingga

    Juga kesetiaan yang menggelora dalam dada

     

    Tresnoku saban wayah wengi eling rupamu

    Neng kuto sing iso ngawe uripku semringah

    Aku kudu eling karo Sing Mbaurekso Urip

     

    (Yogyakarta, 2020)

    Di Yogyakarta, Kujatuhkan Cinta

    Aku tak tahu mengapa, harus kujatuhkan cinta

    Padamu Yogyakarta, kota yang menyimpan rindu

    Juga segala candu dan kenangan yang kian berkobar 

    Di mataku juga perihal air mata, kita peras bersama

    Di sebuah jalan terhampar bak sajadah doa menuju 

    Nol Kilometer dengan setangkup rasa bahagia

     

    Ribuan tetes keringat terasa benar mengucuri tubuh

    Saat kita menjajakan sebungkus gudeg di keramaian

    Menuju rumahmu khas dengan gaya bangsal kencana

    Aku tak tahu mengapa, harus selalu kujatuhkan cinta

    Dengan kata-kata yang kini dapat berbicara padamu

    Begitu ranum hingga teringat wajahmu yang kuyu

     

    Di Yogyakarta, kujatuhkan cinta dengan setulus doa 

    Sembari kuberjalan menuju rumahmu yang dulu

    Bermukim segala cinta padamu dalam setiap jiwa

    Khusyuk bersemadi pada jiwa yang kian terasa 

    Sempurna di dalam sebuah batin puisi terbawa mimpi

     

    (Yogyakarta, 2020)

    Kepada Sang Pangeran Diponegoro

    Mengapa pagi ini, burung tampak murung?

    Sebab kini, tak lagi kau jumpai bunga bangsa

    Sang Pangeran Diponegoro telah rebah

    Setelah berkali-kali tubuhmu ditikam peluru 

    Mengiris dan mengoyak-ngoyak sukma 

     

    Darah telah bersimbah di dadamu itu

    Menyisakan seribu luka yang bersarang

    Di mata para jelata yang kini termangu

    Pada mendung langit membungkamku

    Dalam ratapan menjerat mata sanubari

     

    Kian ringkih tubuhmu tak bisa lagi berlari

    Kau menggelepar di rahim tanah sendiri

    Tak ada yang bisa membangunkanmu

    Kecuali, iman terpancar dari sukmamu

    Menembus malam yang menggoncang

    Kota Yogyakarta, hingga Merapi di sana

    Selalu terjaga untuk selalu menatapmu

     

    (Yogyakarta, 2020)

    Bersemadi di Taman Merapi

    Di sebuah taman sunyi ini, terasa benar

    Teduh jiwaku dapat membaca, lalu

    Kurangkai kata-kata menjadi sebuah 

    Cinta dalam sebidang galeri mahakarya

    Kubaca, kutulis, kurangkai, kucermati

    Hingga suaraku menerbitkan bahasa

    Yang dapat kaucerna dari rintihan musim

     

    Di belukar taman ini yang menghijau

    Ada telaga di matamu begitu membiru

    Begitu purna dengan sebait sajakku

    Menggelora di dalam batin hingga

    Membahana di setiap waktu ketika

    Kau mantrai kata-kata menjelma puisi

    Selalu abadi ketika kau maknai

    Meski bahang meremukkan tulang

    Atau hujan mengiris-ngiris tubuhmu

     

    “Neng kene, aku tresno awakmu!” 

     

    (Yogyakarta, 2020)

    Amarylis, Aku Menunggumu

    Di sebuah taman, aku menunggumu

    Meski sesekali jengah menggodaku 

    Tetapi tak pernah aku abai padamu

    Tetap kutunggu dirimu meski guntur 

    Sekejap membusur percik hujan 

    Dengan dingin yang mengiris tulangku

     

    Di sini, di Taman Bunga Amarylis

    Aku berdiri sendiri memukuli waktu

    Kadang, tak terasa batang usiaku

    Menyisakan uban di pusar otakku

    Meski begitu, tubuhku selalu mencoba

    Merasai setiap dingin yang kadang

    Memaksaku untuk beranjak dari sini

     

    Namun, barangkali, tak pernah lagi

    Kau ingkari setiap pertemuan kita

    Telah melahirkan doa yang sunyata

    Bahwa kita pernah mengikat janji di sini

     

    (Yogyakarta, 2020)