Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Mahfud RD
Catatan Redaksi:
Dengan mengambil tema kerinduan dan bayangan tentang Yogyakarta, puisi ini nampak mengulang apa yang sudah dinyatakan oleh KLA Project dalam Lagunya “Yogyakarta” atau ungkapan puitik Penyair Joko Pinurbo bahwa “Jogja terbuat dari rindu, pulang dan angkringan.” Puisi ini seolah mengulang perasaan yang sama dan hampir dialami oleh orang yang pernah tinggal dan menetap di Yogyakarta. Yang menarik, penyairnya juga menggambarkan kota lain (kota yang dituju selepas meninggalkan Yogyakarta). Lanskap dan suasana batin yang hadir sungguh berbeda. Jika Yogyakarta digambarkan sebagai kota yang damai, sederhana, tempat bersantai dan memperoleh ketenangan jiwa, berada di kota lain adalah sebaliknya, penuh keresahan, pertanyaan dan ketidakpastian. Tapi dalam puisi berjudul Pada Sebuah Perjalanan, aku lirik nampak bersikap bahwa ia harus meninggalkan semua kenangan tentang negeri damai dan ideal (baca:Yogyakarta) dan berani menjalani dunia barunya yang penuh tanda tanya. Sebegitu membuaikah kota yang dinamakan Yogyakarta itu sehingga ketika keluar mereka bagai anak kecil yang terdampar di jalan raya?
pada sepertiga siang
laju kereta membawaku terusir
dari hiruk pikuk
dan ingar bingar Kediri; yang kau bilang salah satu tempat pulang dan kembali.
lagi lagi di stasiun
tempat temu dan pisah berduyun duyun
hingga gesekan roda dengan rel kereta tak mampu menterjemahkan
mengapa aku menunggumu
di persinggahan yang jelas tiada.
terkadang
aku seperti musafir
pergi pulang hulu ke hilir
peduli apa pada jemari yang terkilir
atau pada padi yang dipanen
dan mengubahnya jadi nomaden.
jogja melambai jauh di mata
rindunya erat melekat
seperti gang gang di kotanya
yang penuh tulisan jam belajar masyarakat.
lagi lagi kadang di matamu;
ingatan ingatan yang memaksa dimakamkan.
2018
aku tiba pada ingar bingar kotamu
disambut tulisan jogja berhati nyaman
dan sepiring magelangan.
pada subuh yang terlelap di kelopak tukang becak
tukang ojek
dan sopir taksi.
jalan layang janti mengantarku
pada belantara angkringan dan kopi.
malioboro pun terjaga jua
dengan pejalan kaki atau hangat wedang ronde
atau pelantun tembang yang jatuh di telinga
atau para peminta
yang ditolak
dengan lambaian tangan dan guncangannya.
laron bertengger di bawah jembatan sorowajan
bercakap cakap lempar tulisan
dibumbui caci maki
pada setiap diksi
dan logika yang pergi.
sapa bosan menekan dada
laron terbang lagi
mencari cahaya lebih terang
atau di mana sayap mereka layak ditanggalkan.
pada sepertiga malam
sayup pantun menikam telinga
kalau ada sumur di ladang
bolehlah kita menumpang mandi
kalau ada umur panjang
hukum wajib bersua lagi.
dan aku pamit pada sebuah puisi
yang kuukir di lantai lantai kamar
di temaram lampu kota yang jatuh di retinamu
di meja meja kedai kopi
di kartu kartu poker yang ditertawai coretan gincu
di bulu romamu hingga pori menampakkan diri
di bangku ruang tunggu stasiun
dan di kaca jendela gerbong kereta yang bernoda.
burung gereja berkejaran
berburu makan
atau sekadar berpagut kemesraan
sedang kaca pecah pada kedua mataku
sebab pergi tak menunggu ketepatan waktu
dan datang tak selalu akrab dengan bimbang.
aku pamit pada sebuah puisi
yang kutulis
dan macet
dan ruwet di jaringan otak
lalu jatuh di tenggorokanku yang serak.
aku pamit pada sebuah puisi
yang kulahap bersama orak arik
dan dada sesak
sebab mimpi telah tercabik
di antara bangku taman
atau di mana segala kenangan ini bisa kumakamkan.
2018
sebelum resah melambai dimainkan angin dan dengung nyamuk melengking di kuping, berapa ratus bahagia
berapa ribu dukacita
yang kini jadi tanya dan jutaan terka?
mungkin besok
atau lusa
atau minggu depan
atau bulan depan
mungkin juga setiap saat
kau
atau aku
akan jadi terdakwa di antara yang tertawa.
suatu kala yang ramah jadi remah remah
yang sumringah ditikam gelisah
yang menjulang dipukul gelombang
dan tumbang tanpa pelampung.
di sini
bau bumbu masakan selalu jadi aroma kepulangan
sejauh langkah kaki merapuh
sedekat perih yang ringkih.
dan di langit
awan berarak teduh melambai
dan gulana belum tampak akan usai
menciptakan ingatan ingatan
yang memaksa dilupakan
dibuang
ditendang
dan ditanam dalam dalam.
2018
dulu
sebelum setapak ini melukis rekahan di punggungnya
kopi dan hujan sudah kerap mampir
dalam bait yang kemudian dibaiat jadi sajak dan puisi.
bening pekat bersandingan di setapak basah ini
bersinergi
mengadah letih yang tumpah
mendekap tasbih dalam segala serapah.
kini
pada bingar dan lalu lalang setapak ini
tanda tanya semburat
bertebaran jemu
menanti kematian pertama sopan bertamu.
2018