Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Adenar Dirham
Merapi dalam kenangan yang menerbitkan mimpi
Aku selalu bersahaja padamu juga wajahmu
Kaulahirkan setiap sumpah di bumi Yogyakarta
Bersama setangkup doa yang kita lambungkan
Pada semesta dalam jalan kesetiaan purnama
Merapi, dendangkanlah keheningan pada malam
Saat kakiku perlahan-lahan mendaki tubuhmu
Kubawa bunga amaryllis ke dalam dadaku
Hingga kuncup kembang itu pada akhirnya
Memekarkan diri menjadi doa yang purna
Kenangan selalu mahir memainkan cinta
Pada peristiwa demi peristiwa tak terhingga
Juga kesetiaan yang menggelora dalam dada
Tresnoku saban wayah wengi eling rupamu
Neng kuto sing iso ngawe uripku semringah
Aku kudu eling karo Sing Mbaurekso Urip
(Yogyakarta, 2020)
Aku tak tahu mengapa, harus kujatuhkan cinta
Padamu Yogyakarta, kota yang menyimpan rindu
Juga segala candu dan kenangan yang kian berkobar
Di mataku juga perihal air mata, kita peras bersama
Di sebuah jalan terhampar bak sajadah doa menuju
Nol Kilometer dengan setangkup rasa bahagia
Ribuan tetes keringat terasa benar mengucuri tubuh
Saat kita menjajakan sebungkus gudeg di keramaian
Menuju rumahmu khas dengan gaya bangsal kencana
Aku tak tahu mengapa, harus selalu kujatuhkan cinta
Dengan kata-kata yang kini dapat berbicara padamu
Begitu ranum hingga teringat wajahmu yang kuyu
Di Yogyakarta, kujatuhkan cinta dengan setulus doa
Sembari kuberjalan menuju rumahmu yang dulu
Bermukim segala cinta padamu dalam setiap jiwa
Khusyuk bersemadi pada jiwa yang kian terasa
Sempurna di dalam sebuah batin puisi terbawa mimpi
(Yogyakarta, 2020)
Mengapa pagi ini, burung tampak murung?
Sebab kini, tak lagi kau jumpai bunga bangsa
Sang Pangeran Diponegoro telah rebah
Setelah berkali-kali tubuhmu ditikam peluru
Mengiris dan mengoyak-ngoyak sukma
Darah telah bersimbah di dadamu itu
Menyisakan seribu luka yang bersarang
Di mata para jelata yang kini termangu
Pada mendung langit membungkamku
Dalam ratapan menjerat mata sanubari
Kian ringkih tubuhmu tak bisa lagi berlari
Kau menggelepar di rahim tanah sendiri
Tak ada yang bisa membangunkanmu
Kecuali, iman terpancar dari sukmamu
Menembus malam yang menggoncang
Kota Yogyakarta, hingga Merapi di sana
Selalu terjaga untuk selalu menatapmu
(Yogyakarta, 2020)
Di sebuah taman sunyi ini, terasa benar
Teduh jiwaku dapat membaca, lalu
Kurangkai kata-kata menjadi sebuah
Cinta dalam sebidang galeri mahakarya
Kubaca, kutulis, kurangkai, kucermati
Hingga suaraku menerbitkan bahasa
Yang dapat kaucerna dari rintihan musim
Di belukar taman ini yang menghijau
Ada telaga di matamu begitu membiru
Begitu purna dengan sebait sajakku
Menggelora di dalam batin hingga
Membahana di setiap waktu ketika
Kau mantrai kata-kata menjelma puisi
Selalu abadi ketika kau maknai
Meski bahang meremukkan tulang
Atau hujan mengiris-ngiris tubuhmu
“Neng kene, aku tresno awakmu!”
(Yogyakarta, 2020)
Di sebuah taman, aku menunggumu
Meski sesekali jengah menggodaku
Tetapi tak pernah aku abai padamu
Tetap kutunggu dirimu meski guntur
Sekejap membusur percik hujan
Dengan dingin yang mengiris tulangku
Di sini, di Taman Bunga Amarylis
Aku berdiri sendiri memukuli waktu
Kadang, tak terasa batang usiaku
Menyisakan uban di pusar otakku
Meski begitu, tubuhku selalu mencoba
Merasai setiap dingin yang kadang
Memaksaku untuk beranjak dari sini
Namun, barangkali, tak pernah lagi
Kau ingkari setiap pertemuan kita
Telah melahirkan doa yang sunyata
Bahwa kita pernah mengikat janji di sini
(Yogyakarta, 2020)