Category: opini

  • Siapkah Kita Kehilangan Taman Sriwedari? Ah, Mungkin Sudah

    author = Tyassanti Kusumo

    Menawi malem Jumuwah sarta malem Ngahad mawi tetingalan gambar sorot, ringgit tiyang, manawi Ngahad siyang, ringgit tiyang inggih main. Ingkang dhateng ningali boten ngemungaken bangsa Jawi kemawon, bangsa Cina, Koja, Jepan, Kaji, Arab, Wlanda punapadene bangsa sabrang sanesipun” –Yasahardjana, Babad Sriwedari, 1926.

    “Ketika Malam Jumat dan Malam Minggu, ada pemutaran film (kain putih yang disorot gambar), wayang orang; pun di Minggu Siang wayang orang juga main. Yang datang menonton bukan hanya orang Jawa, ada orang Cina, Koja, Jepang, Haji, Arab, Belanda dan bangsa-bangsa asing lainnya”

    Sumber: KITLV

    Siapa warga Solo yang tak tahu Sriwedari? Tentu hampir semua tahu, terlebih dengan ramainya kawasan ini beberapa minggu terakhir, baik di media cetak, daring maupun di lokasi karena isu pembangunan Masjid Taman Sriwedari. Alih-alih membahas sengketa lahan yang tak jelas juntrungnya atau pihak mana saja yang terlibat dan berkepentingan dalam pemanfaatan dan pembangunan yang ada di kawasan ini, akan lebih baik jika kita coba mulai mengenal lebih dekat Taman Sriwedari. Bicara mengenai tahu, boleh jadi hampir semua tahu, bahkan dari berbagai kalangan usia dan status yang disandang, tetapi, bicara masalah kenal, siapa yang begitu kenal? Padahal, tak kenal maka tak sayang. Nah! Tamat sudah!

    Terletak di daerah yang dulunya bernama Desa Talawangi, Sriwedari menjadi pusat hiburan dan plesir seluruh masyarakat kala itu. Bahkan beberapa tahun belakangan, masih cukup ramai dipadati dengan berbagai keluarga yang mengajak anaknya menjajal seluruh wahana permainan di Taman Hiburan Rakyat (THR) Sriwedari atau sekadar menonton Orkes Melayu dan Koes Plus-an. Sanggar-sanggar seni yang ada di kawasan inipun masih ramai dan aktif digunakan, pun pertunjukan Wayang Wong yang rutin digelar tiap harinya dengan harga tiket sangat terjangkau, antara Rp 5.000,00 – Rp 10.000,00. Percik keramaian yang kita lihat sekarang hanya sekelumit dari keramaian tahun-tahun awal dan masa kejayaan Taman Sriwedari.

    Dibangun pada masa pemerintahan Paku Buwana X (PB X) di tahun 1899 dan diresmikan pada 1901, penggagas Taman Sriwedari sebenarnya adalah  Pepatih dalem Kanjeng Raden Adipati Sosrodiningrat atau yang lebih dikenal dengan Kanjeng Ageng atau Sosrodiningrat I, sosok kepercayaan kerajaan yang juga ahli kebudayaan (Koran Mekar Sari, 15 Juli 1986). Kompleks taman yakni meliputi Museum Radya Pustaka hingga yang kini direncanakan menjadi Masjid. Taman ini sengaja dibangun di luar dinding keraton sebagai tempat plesir keluarga raja dan juga masyarakat Surakarta kala itu, sehingga kerap disebut sebagai Bonrojo (akronim dari Kebon Rojo alias Kebunnya Raja). Dalam Babad Sriwedari digambarkan tentang kondisi Taman yang sejuk, penuh pepohonan dengan jalan berkelok di tengahnya

    ing nglebet cinithak margi menggak-menggok malengkung.. adamel lam-laming para ingkang sami lalangen, dening wasising pangrukti, pantes sinudarsana. Urut pinggiring margi kataneman wit camara sineling palem lan trembesi punapadene kenari” (Yasahardjana, 1926:7)

    Selain tetumbuhan rindang dan udara yang sejuk, sebuah taman tentu memiliki unsur air. Unsur air bisa kita temui di Segaran yang letaknya di sebelah selatan taman dan juga di kebun binatang, yakni di tempat kandang Buaya, belibis, angsa, bangau dan penyu. Segaran merupakan kolam buatan yang berbentuk lingkaran dengan sebuah ‘pulau’ kecil di tengah-tengahnya. Di pulau ini dibangunlah Panti Pangaksi, tempat peristirahatan sekaligus tempat raja dan keluarga melihat-lihat pemandangan yang ada di Sriwedari. Di bawah Panti Pangaksi juga ada bangunan lain, yakni Gua Swara yang dipergunakan untuk menyimpan gamelan Santiswara milik Keraton. Gamelan ini diletakkan di sana untuk mengiringi acara-acara yang diadakan di Sriwedari, seperti Malam Selikuran dan perayaan ulang tahun naik tahta seorang raja. Meski Panti Pangaksi lebih banyak diakses oleh keluarga raja, tetapi pada tahun 1950, tempat ini pernah dijadikan tempat pentas Keroncong PERSOB (Persatuan Orang Buta), pun area sekitarnya juga bisa digunakan masyarakat untuk bersenang-senang. Dalam Babad Sriwedari halaman 9, tertulis bahwa tersedia wahana berperahu mengelilingi Segaran, dan banyak pula yang berjalan kaki di sekelilingnya. Coba kita bayangkan betapa menyenangkannya kondisi Taman Sriwedari di kala itu!

    Fasilitas-fasilitas di Sriwedari memang diperuntukkan sebagai sarana plesir dan hiburan, bahkan Raja membuat kebun binatang agar masyarakat bisa menikmati dan berinteraksi dengan hewan-hewan tersebut. Jenis binatang yang ditaruh di sana beraneka ragam. Ada kancil, babi, sapi, banteng, ayam emas, ayam tembagi, macan gembong, macan tutul, macan kumbang, kera, landak, monyet, anjing, aneka burung warna-warni, bajing, burung kuntul, buaya, bangau, kambing dan gajah. Namun sayang, di tahun 1983, para hewan akhirnya dipindah ke Taman Satwa Taru Jurug, daerah Kentingan, agar perawatan dan pengelolaannya lebih baik. Kemudian di tahun 1909, Raja memberi palilah pada seorang pangeran yang pandai menari untuk menari di Sriwedari sampai kemudian dibukalah Gedung Wayang Orang di sana1. Ada pula fasilitas gedung bioskop yang bisa dinikmati semua kalangan hanya dengan membayar lima sampai sepuluh sen saja. Budaya menonton film ini tak lain dan tak bukan juga turut berkembang karena para masyarakat asing yang tinggal di Surakarta.

    Selain mengampu fungsi sebagai taman hiburan, Sriwedari juga menjadi pusat tontonan budaya dengan pertunjukan Wayang Orangnya. Surat Kabar Darmo Kondo tanggal 29 Januari 1935 memberitakan tentang persiapan pegawai Sriwedari untuk menyambut para turis asing dari Amerika yang akan merekam pertunjukan wayang orang. Para turis ini datang berduyun-duyun menaiki auto lalu merekam pertunjukan yang sedang dimainkan saat itu. Jelas fenomena ini perlu kita jadikan refleksi bahwa Sriwedari sudah benar-benar kawentar di masa tersebut, dengan fungsi publik sebagai tempat hiburan dan budaya. Fungsi lain taman Sriwedari bisa kita temukan di pembahasan Skripsi Umaira Fambayun, alumni prodi Arkeologi UGM. Dalam skripsinya yang berjudul Taman-taman Kota (Taman Sriwedari, Taman Balekambang, dan Villapark): Elemen Penting Pembentuk Keindahan Kota Surakarta Awal Abad ke-20, Umaira membahas tentang Taman Sriwedari yang memiliki fungsi politik, yakni sebagai perwujudan kuasa dan kebesaran lewat pendirian (wujud) sebuah taman sebagai fasilitas umum masyarakat Surakarta pada masa kolonial. Disebut masa kolonial karena memang saat itu Belanda menguasai wilayah di area Benteng Vastenburg serta Banjarsari (daerah sekitar Monumen 45 dahulu adalah wilayah yang bernama Villapark, milik Belanda)  dan bisa mengatur kebijakan dalam kerajaan. PB X ingin menunjukkan kemampuannya untuk memperindah kota dan menyejahterakan rakyatnya melalui hiburan-hiburan yang disajikan di Taman Sriwedari. Tidak hanya itu saja, taman hiburan rakyat ini juga berhasil menarik masyarakat dari berbagai etnis untuk datang kesana (Fambayun, 2016:84), bahkan pernah digunakan sebagai tempat merayakan lahirnya putri di negeri Belanda (Prinses van Oranje). Taman Sriwedari riuh dipenuhi semua kalangan masyarakat yang turut menyemarakkan kelahiran Prinses van Oranje. Selama sehari semalam, Taman dipenuhi dengan orang yang mencari hiburan dan berjualan. Banyak lapak dan kios makanan yang turut berjualan di sana2.

    Namun itu dulu. Setelah PB X meninggal, keberadaan Taman Sriwedari dan unsur-unsur di dalamnya, baik unsur tanaman, air, hewan dan bangunan mulai tergusur keberadaan dan nilainya. Yang masih bisa kita jumpai hingga sekarang mungkin hanya museum Radya Pustaka yang ada di sebelah barat kompleks, kemudian Gedung Wayang Orang. Gedung kesenian yang dahulu juga difungsikan sebagai tempat menonton film sudah dibongkar pada 2016 silam. Sedang bangunan yang sudah lama tidak ada ialah Panti Pangaksi, Gua Swara dan Kandang Binatang. Sejak tahun 1980-an, keberadaan Panti Pangaksi memang telah lama tak ada, bahkan kemudian menjadi restoran Wisma Boga yang sekarang pun telah dibongkar. Keberadaan Gua Swara di bawahnya pun entah tak ada kabar. Perahu-perahu yang dulu pernah mengelilingi segaran kini entah ke mana; Segaran telah berubah menjadi kolam dangkal yang kotor dan tak terawat. Ada pula bangunan yang nyempil di tengah-tengah antara taman dan museum, yakni Graha Wisata Niaga yang entah mengapa ada di sana. Sriwedari berubah terlalu cepat, kita tidak menyadarinya. Keindahan dan keramaian yang dulu pernah ada sekarang bagai tak bersisa. Transformasi budaya, fisik dan nilai tidak bisa dihindari, bahkan sejak dulu. Penataan kawasan ini seperti bergeser dari nilai utama yang melandasi pembangunannya dahulu sebagai taman dan tempat hiburan masyarakat. Meski Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta berdalih bahwa akan merevitalisasi kawasan ini, nyatanya yang justru ditonjolkan dan jadi proyek awal adalah pembangunan Masjid Taman Sriwedari. Sekarang pertanyaan yang muncul, di mana nilai Bonrojo yang akan direvitalisasi jika pembangunan yang mengokupasi lahan seluas 17,200 meter persegi dengan lima menara, termasuk di antaranya mencapai tinggi 114 meter ini benar-benar terwujud? Tidakkah ini menjadi cerminan bahwa value atau nilai penting Bonrojo justru dikikis dan dikalahkan dengan wacana baru tentang pembangunan masjid? Siapa bisa menjamin Taman yang telah berstatus Cagar Budaya dengan SK Walikota no 646/1-2/1/2013 ini bisa ‘hidup kembali’ dengan revitalisasi yang tercerabut dari nilai awalnya? Sejak awal Bonrojo difungsikan sebagai tempat plesir, melepas penat serta bersukaria dengan unsur-unsur yang ada di dalamnya, tetapi bukan unsur tempat ibadah seperti yang sedang dalam proses pembangunan sekarang. Selain Masjid, proyek selanjutnya yang masuk dalam proses penataan adalah Gedung Wayang Orang (GWO). Pemkot akan membangun ulang GWO dan membangun museum Wayang Orang. Namun pembangunan seperti ini tidak akan efektif bila belum didukung dengan upaya membangun budaya apresiasi pada pertunjukan ini. Justru seperti sia-sia saja jika gedung telah terbangun bagus tetapi tidak ada upaya untuk menggenjot minat warga pada pertunjukan ini. Pembangunan akan terasa kering kerontang tanpa adanya ruh yang menyertai kesadaran pada pentingnya substansi yang ditampilkan, yakni pertunjukan wayang wong tersebut.

    Sriwedari berubah, banyak. Kita yang berdinamika di area sekitarnya terbuai tanpa sadar. Nilai pentingnya tak pernah diwacanakan. Sadarkah kita akan kehilangan tersebut? siapkah kita menyongsongnya? Barangkali benar, kita tak begitu sayang, sehingga sudah sedari dulu kita bertemu kehilangan tersebut.

     

    Catatan
    1: Masjid dan Memori tentang Bon Raja, Hijriyah Al Wakhidah. Solopos, 24 Januari 2018
    2: Kebon Raja Menggugat, Heri Priyatmoko. Solopos, 18 Januari 2018

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Setelah Inferno, Dante Mengajak Ke Purgatorio.

    author = Bambang Widyonarko

    Abaikan semua harapan dan kenangan, wahai semua yang masuk di sini, selamat datang di Inferno. Begitulah kalimat pembuka kidung Inferno karya Dante Alighieri. 

    Dante adalah orang yang dengan gamblang menggambarkan neraka lebih dari Yesus sang pekabar Injil. Berkat Dante, Salvador Dali dapat melukiskan neraka dengan gambar yang “sesungguhnya”. Batas antara Mundus (dunia) dengan Inferno digariskan dengan sesuatu yang tegas. Antara nasib, pengharapan, dan kegilaan manusia.

    “Yang kaya melindungi yang miskin, agar hidup dengan wajar. Yang miskin melindungi yang kaya agar tidak menularkan penyakit,” adalah satu dari sekian sabda kontroversial yang dikemukakan Achmad Yurianto, pejabat yang ditunjuk pemerintah untuk berbicara di depan publik mengenai penanganan Covid-19. Di balik carut marut pemerintah dalam menangani wabah ini, ucapan Achmad Yurianto tentu memperparah keadaan. Ucapan bias kelas ini bisa jadi merepresentasikan negara sesungguhnya. Bagi negara kapitalis cum patriarkis, orang miskin ialah momok mematikan yang harus dibasmi. Terlebih si miskin yang sakit, yang akan menyusahkan si kaya. Sungguh paripurna bebalnya negara!

    Beberapa kota dan wilayah perdesaan dengan inisiatif pribadi melakukan lockdown demi mengurangi laju penyebaran wabah ini. Langkah ini lebih jelas dibandingkan langkah negara yang menggelontorkan dana Rp. 72 milyar untuk influencer demi mendongkrak pertumbuhan wisata di tengah pandemi korona. 

    Beberapa rumah sakit bahkan dikabarkan kewalahan ketika menangani pasien dengan indikasi klinis mengarah ke Covid-19. Dante mengintip dari jendela kayu di seberang jalan seraya berkeluh, “Oh kasihan Indonesia, kini ia menjadi Inferno.”


    Sore, di Jum’at, 27 Maret 2020. Pintu kamarku diketuk oleh omku. Raut wajahnya cemas menyiratkan ada sesuatu yang tak wajar. Saat membuka obrolan, ia mengawali dengan suara berat. Hasil uji laboratorium Dinas Kesehatan menyatakan aku positif terjangkit virus Covid-19. Aku mendengar dari balik tembok, mereka menangis tersedu-sedu. Aku tetap tersenyum dan mengatakan kepada mereka bahwa, “I’m okay, everything gonna be alright.” Pintu kamar kututup dengan senyum menyeringai. Brengsek!

    Dante mengintipku dari balik pintu. Sepertinya ia tak sabar untuk mengajakku ke langkah selanjutnya setelah Inferno. Ia mengajakku menuju Purgatorio, sebuah tempat yang berisi api penyucian dosa. Tempat paling menyakitkan, lebih sakit dari neraka..

    Aku menjadi satu dari sekian ribu orang yang terpapar Covid-19. Bagiku ini adalah bagian dari sebuah pengakuan dosa. Layaknya salah satu liturgi Katolik Roma, seperti itu pula Purgatorio berjalan. Penyakit ini bukan aib yang harus ditutupi. 

    Bagi negara mungkin aku hanya angka statistika belaka. Toh, apa gunanya manusia miskin sakit pula? Tak mampu membayar BPJS kelas satu, lantas sekarang sakitnya juga nomor satu.


    Setelah menyandang status positif, keluargaku harus menjalani karantina pribadi di rumah. Malam itu seorang tetangga mengetuk pintu seraya memberikan beras dan beberapa kebutuhan pokok lainnya. Ia adalah seorang Protestan yang taat. Sebagaimana pembaca Alkitab yang lain, ia mengimani ucapan Kristus dalam Galatia 6:2, Bertolong-tolonglah dalam menanggung bebanmu. Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus”. 

    Saat terberat seperti ini teringat sekali lagi akan ketabahan Nabi Ayyub dalam menjalani hidup. Sebagai pesakitan, ia hanya ditemani oleh Tuhan. Dominus vobiscum.

    Minggu malam, ambulan menjemputku menuju rumah sakit pemerintah yang difungsikan sebagai rujukan dalam penanganan wabah. Jalanan terasa lengang dengan sirine ambulan yang meraung memecah keheningan malam. 

    Di sebuah ruang isolasi, aku ditempatkan bersama lima pasien positif lainnya. Pukul 12 malam, seorang kakek yang berbaring layu di sebelah kasurku dipanggil Sang Pemilik Kehidupan. 

    Dalam lima jam terakhir, sudah dua jenazah terbungkus plastik kami lihat hilir mudik keluar dari ruang isolasi yang lain. Bagi kami para pasien positif, hal ini hanya masalah waktu, bisa jadi dalam jam selanjutnya kami yang dibungkus plastik itu. Berharap-harap cemas sembari menunggu undian hidup. Bagi malaikat maut , ia sedang memanen nyawa.

    Sorak-sorai semangat membanjiri pesan di gawaiku. Sanak saudara dan kawan baik silih berganti memberi dukungan. Mereka suporter terbaik saat ini. Ada sedikit harapan berkat mereka dalam menjalani Purgatorio ini.

    Sungguh benar Dante yang akhir-akhir ini datang untuk menengokku. Ia sudah mengajak aku melalui api penyucian yang mana ini merupakan fase terberat dalam perjalanan melihat neraka. Di sinilah semua hal tak menyenangkan terjadi. Dante selalu tersenyum di balik pintu itu. Ia menahan malaikat maut masuk untuk mengambil nyawaku. Bila Dante sudah tak lagi menahannya, aku akan berkata pada malaikat, “Izinkan aku menulis satu kalimat lagi.”

    Jakarta, 31 Maret 2020

  • Seperempat Abad Mencerca Dunia

    author = Bambang Widyonarko

    Penghujung malam Jum’at Pahing, aku mengayuh sepeda menuju suatu tempat di kaki Gunung Halimun untuk menyepi. Malam yang pekat itu, kuhabiskan waktu bersama gemericik air diselingi suara satwa penghuni hutan. Menuju sepertiga malam, aku bermunajat pada Tuhan, “terima kasih Tuhan atas segala karunia-Mu pada hidup yang bangsat ini”.

    Kala itu persis lima puluh tahun sesudah United Nations (UN) berdiri, aku dilahirkan. Ibu kandungku wafat manakala aku mulai beranjak bisa mengucapkan kata pertamaku. Sejak itu, aku diasuh dan dibesarkan oleh eyangkung (kakek) dan eyanguti (nenek). Besar di bawah pengaruh aristokrasi Jawa yang kental, membuat aku merasa diriku anomali dalam pergaulan di tepian ibukota paling keras, Jakarta Utara.  Priok, begitu daerah ini sohor dikenal adalah miniatur Sparta dalam masa kiwari. Siapapun yang kuat, mereka bertahan, selama air laut belum surut, pantang uang juga akan habis begitulah kredonya. Masa remaja yang penuh pembuktian diri bagi sebagian besar remaja laki-laki Priok, dibuktikan dengan menyetop truk peti kemas, naik di belakangnya, dan kalau bisa kau ambil besi yang ada disana. Maskulinitas laki-laki yang baru akil baligh dinilai dari tindakan BM (berani mati) ini. Tentu saja aku tak memilih prosesi mengerikan itu, disamping sebuah sekolah dasar Katolik yang membuat jarak aku dengan “mereka” semakin jauh. Pertama kali dalam hidup, aku memilih sebagai penonton dalam ketakutan.

    Saat aku mengutarakan niat mengambil Ilmu Sejarah sebagai pilihan studi, lamat-lamat eyangkungku menatapku dengan tajam. Tatapan interogatif khas birokrat zaman Orde Baru ini menjangkau sanubarinya paling dalam mengenai nasib cucu kesayangannya ini. Ia weruh sak durunge winarah bahwa menjadi sejarawan adalah sama halnya menjadi pastor paroki yang mengucapkan kaul kemiskinan sepanjang hidupnya. Ia lebih menghendaki aku menjadi seorang penyuluh agama ataupun penghulu dengan mendaftarkanku ke IAIN Ciputat. Namun tekadku bulat yang akhirnya menghantarkanku pada gelar sarjana sejarah di akhir namaku. 

    Persis 15 hari setelah wisuda, eyangkungku wangsul ke swargaloka. Sepuluh purnama berselang, giliran eyangutiku yang menyusul belahan jiwanya. Belum selesai aku bertanya tentang hidup, Tuhan menyematkan padaku nomor urut 147 dalam kasus Covid-19 di Indonesia. Bertarung dalam sunyi, keluar gelanggang masih diliputi sepi. Bagaimana tidak? Tuhan panggil orang-orang yang kusayangi, lantas Ia memberikanku prank kematian yang sudah aku songsong dengan hati yang bahagia sembari berharap berjumpa dengan mereka, tapi ternyata Tuhan pula yang memberikanku izin memasuki usia seperempat abad. Sial. Lalu apa gunanya usia dua puluh lima?

    Konstruksi Numerik Nir Konklusi

    Tatkala dr. Zhivago keluar dari Kremlin, ia menyaksikan bahwa pemuda-pemuda Soviet mengais-ngais remah gandum dan menyimpannya dalam saku. Pemuda Soviet yang lapar, tak punya banyak pilihan untuk menentukan apa yang akan mereka santap. Bagi mereka, pilihan hidup hanya dua; mati dalam keadaan berperang atau mati kelaparan. Dokter muda lainnya kisaran usia 25 tahun yang mengendarai motornya keliling Amerika Latin, Guevara juga menemukan sisi lain hidupnya. Perjalanan itu memengaruhi dunia Guevara, berkat Lepra dan Kusta, dirinya menjadi simbol perlawanan arogansi Amerika.

    Hal retrospektif yang ditemukan dalam hidup adalah melihat hidup orang lain, setidaknya orang-orang yang kita kenal selama ini. Tentu banyak dari orang-orang itu yang memengaruhi hidup kita dan kadang kita mengimitasinya atau bahkan terobsesi karenanya. Wajar saja, aku menatap bagaimana ‘sewajarnya’ usia 25 tahun harus dilakoni dari orang sekelilingku. 

    Orang pertama itu adalah sahabat yang kukenal semenjak 10 tahun lalu. Orang yang ‘membagi’ orangtuanya dengan diriku serta orang yang menghabiskan ribuan kilometer bersama, mulai dari keliling Jakarta hingga Pattaya. Memang dirinya belum beranjak mencapai usia 25, tapi hidupku banyak berubah karenanya. Satu hal yang pasti, aku tak mungkin hidup ala punk-rock atau ala grunge yang dijalaninya. Toh, saat ini ia sedang berbahagia dengan pasangannya, sedangkan aku masih ingin menghitung kinderjoy di etalase minimarket. 25-ku tak seperti itu.

    Seorang yang kupanggil ‘mentor’ adalah orang kedua dalam pelajaranku melihat hidup. Dua kali dalam waktu berdekatan, ia mengambil master pada bidang yang ia tekuninya. Dua tahun menetap di Singapura, saat ini menggenapkan tahun keduanya di Belanda.  Seorang pembelajar yang perfekt untuk dijadikan panutan dan segala macam kedigdayaan intelektual lainnya. Tapi aku sadar, langkah kaki kami berbeda. Sang mentor telah melewati 25-nya, aku masih harus mengejarnya.

    Komparasi hidup yang asik kulihat dari kedua temanku selanjutnya. Entah mengapa di mataku, keduanya memiliki banyak kesamaan. Selain keduanya bernama Bagus, mereka berasal dari desa yang sama-sama tertinggal. Keduanya adalah contoh “kesuksesan” ala zaman Soeharto, berawal dari pemuda kampung lalu mengalami social-climbing menjadi kelas menengah-intelektual. Bagus yang lebih tua, sepintas bila pertama melihatnya adalah tipikal koko-koko penjaga toko elektronik di Glodok. Siapa sangka, pemuda miskin yang hampir saja dikeluarkan dari kampus karena menginap di rumah rektor, kini bermukim di Marseille melanjutkan studinya. Ia adalah duplikasi sempurna dari cerita dosen Gadjah Mada tahun 80-an, beranjak dari pemuda miskin di pelosok kampung kemudian kuliah keluar negeri. Bagus yang kedua adalah seorang peneliti dan surveyor politik yang pada waktu kuliah adalah mahasiswa idealis dengan segudang ide cemerlang yang mengimitasi dari Pram. Ia mendaku dirinya adalah Generasi Pasca-Indonesia. Kiranya, desk redaktur Kompas lebih cocok untuk dirinya. Apabila sebelumnya ia hanya tahu Kroya, tahun lalu ia menjejakan kaki di Korea, harapanku ia mengunjungi Pyongyang, tapi ahjussi ini malah terdampar di Pulau Jeju. Bagus kedua memang belum melanjutkan studinya, seingatku ia ingin sekali kuliah di Sorbonne. Kalau hal itu terjadi, maka kedua Bagus adalah indikator keberhasilan Ganjar Pranowo memimpin Jawa Tengah, berhasil mengirimkan dua Bagus ke Prancis! Bagus pertama melewatkan usia 25-nya berbarengan dengan Sumpah Pemuda, sedangkan Bagus kedua nampaknya awal tahun depan baru memasukinya. Ahh tapi kupikir tak mungkin aku mengganti namaku menjadi Bagus Widyonarko seperti mereka, toh 25-ku bahagia saja menatapi menara sutet dibanding Eiffel.

     Bagi orang Jawa, usia 25 tahun adalah jenjang tahap selanjutnya setelah gerbang kehidupan pertama dilewati, usia 21. Saat pelafalan numerik  Jawa menghitung angka satuan di belakang dengan menyebut angkanya contoh 19 akan dibaca sangawelas, 21 dan 25 akan dibaca berbeda. Selikur dan Selawe, 21 dan 25. Usia 21, selikur adalah distorsi awal  penafsiran awal hidup sebagai seneng-senenge lingguh ning kursi dalam artian harfiah, seseorang di usia 21 baru merasakan awal-awal bekerja setelah sekolah maka selawe ditafsikran sebagai seneng-senenge le nyambut gawe. Kata itu mengasosiasikan bahwa seseorang di usia 25 sudah menempati jabatan tertentu di tempat kerjanya. Namun seorang teman menafsirkan bahwa selawe adalah seneng-senenge ngeloni wedok, dalam artian jelas bahwa usia 25 adalah usia yang ideal untuk berumah tangga. Jelasnya, usia 25 adalah puncak birahi manusia, baik birahi seksual maupun birahi ambisi untuk menggapai sesuatu. Pernikahan adalah benteng terbaik untuk ambisi itu, ciiih kadang aku tertawa mendengarnya.

    Sebagian besar orang memandang indikator pencapaian kesuksesan hidup dari usia. Si A sudah pada posisi ini, si B masih begitu-begitu saja. Bagiku, usia hanyalah deretan numerik tanpa konklusi. Ia bebas dan bias makna. Yesus saat usia 25 tahun belum banyak mengeluarkan nubuat keillahian-Nya, pun begitu juga dengan Siddharta Gautama yang masih hidup dalam lingkungan istana. Kurt Cobain bahkan sudah terkenal dan punya banyak pengikut melebihi tiga sosok manusia luhur yang kusebutkan di atas. Saat Bill Gates mulai mencoba mengubah dunia dengan temuannya, Elon Musk di usia yang sama memberangkatkan manusia ke bulan. Tentu ini bukan apologi bahwa usia 25 adalah semena-mena tapi usia adalah tahapan formal numerikal yang datang setiap tahun. Kalau saja itu tak datang, berarti proses hidup menjadi sabatikal.

    Tanpa sadar, reformasi yang menggulingkan Soeharto telah bergulir cukup lama. Bagi manusia-manusia yang lahir pasca tahun 1990-an, nyatanya digit numerikal semakin terasa tinggi begitupun dengan apa yang telah dilewati dan tantangan zaman yang berbeda. Usia 25, 26, 27, 28, 29, hingga 30 saat ini, adalah orang-orang yang pada saat itu hafal mati program Indosiar di Minggu pagi. Setelah Beyblade, Crush Gear, lalu Power Ranger. Namun saat ini, banyak dari kita yang bangga berkalung nametag sebagai karyawan start-up, pekerja milenial, atau bahkan PNS dan pengusaha. Dunia (kita) sudah berubah, seraya masih mencaci dosa boomers di sekeliling kita. Tak apa kawan, kuingatkan kembali, 25 yang bedebah itu bisa kita lewati, lantas sudah siap menyongsong 35? 45? 55? Atau bahkan 85?

    Betul kata Gie, mati muda terkadang merupakan peruntungan paling baik. Tapi kalau bisa hidup kaya raya dan abadi seperti Ratu Elizabeth, kenapa tidak?

  • Sentuhan Batin Puitis pada Dimensi Prosa dalam Cerpen “Barangkali” Karya Suci Wulandari

    author = Riska S N

    Kegiatan atau langkah yang harus dilakukan dalam memahami karya sastra paling tidak meliputi tiga hal yaitu interpretasi atau penafsiran, analisis atau penguraian, dan evaluasi atau penilaian (Simatupang, 1980; Pradopo, 1982). Ketiga langkah tersebutlah yang digunakan penulis dalam mengapresiasi batin puitis dalam dimensi prosa pada cerpen “Barangkali” karya Suci Wulandari. Membahas mengenai puitis dan prosais memang selalu bersinggungan meski keduanya memiliki makna dan ruang yang berbeda. Puitis yang kita tahu selama ini selalu berkenaan dengan bahasa yang bersifat puisi, sedangkan prosa lebih kepada karangan yang bersifat bebas, memaparkan secara gamblang. Namun, dalam kesempatan kali ini penulis membatasi diri mengenai puitis dan prosais sebagai makna pemadatan/pendalaman dan pemekaran.

    Bicara mengenai puisi dan prosa dalam satu buku, pengarang menyajikan idenya dengan cukup menarik. Letak kemenarikan tersebut, misalnya dapat ditemui dengan membandingkan puisi dan prosa yang ditulis Dewi Lestari, khususnya karya Supernova. Puisi dalam Supernova hadir sebagai prolog bahkan bisa dikatakan garis besar cerita. Sedangkan cerpen “Barangkali” menuliskan puisi sebagai prosa itu sendiri. Hal tersebut terpaparkan pada halaman 27 sampai 29, seperti berikut.

    “Sajak Seonggok Jagung.” Ana mengelilingkan pandangannya.

    “Seonggok jagung di kamar. Dan seorang pemuda. Yang kurang sekolahan. Memandang jagung itu. Ia melihat petani. Ia melihat panen.”

    Ana melanjutkan puisinya, tentu saja sambil mengedarkan pandangan. Tenggorokan Raba gatal sekali rasanya. Raba ingin batuk, tapi ditahannya. Ia tidak ingin merusak suasana magis yang terlanjur terbangun.

    “Seonggok jagung di kamar. Dan seorang pemuda. Ia siap menggarap jagung. Ia melihat menggarap jagung. Ia melihat kemungkinan. Otak dan tangan. Siap bekerja.”

    Ana memberi jeda. Tatapannya jatuh pada Raba, tanpa disengaja.

    “Tetapi ini….” suara Ana melirih. Tatapannya masih belum berpindah. Mata mereka beradu pandang. Tiba-tiba, Raba merinding. Bukan karena badannya yang sedang meriang. Ia merinding karena lengang yang muncul, serta mata Ana yang seolah menusuk milik Raba. Ia semakin ingin batuk, tapi tetap ditahannya setengah mati.

    “Tetapi ini: seonggok jagung di kamar. Dan seorang pemuda tamat S.L.A. Tak ada uang, tak bisa jadi mahasiswa. Hanya ada seonggok jagung di kamarnya. Ia memandang jagung itu. Dan ia melihat dirinya terlunta-lunta.”

    Ana masih bertahan menatap Raba. Begitu pun sebaliknya. Ana melanjutkan puisinya. Raba masih menahan batuknya. Lebih parah lagi, jantungnya kini berdebar makin cepat. Mendadak, semesta Raba lenyap, hanya tinggal mereka berdua, berhadap-hadapan begitu dekat sekaligus berjarak begitu jauh.

    “Seonggok jagung di kamar. Tidak menyangkut pada akal. Tidak akan menolongnya. Seonggok jagung di kamar. Tak akan menolong seorang pemuda. Yang pandangan hidupnya berasal dari buku. Dan tidak dari kehidupan. Yang tidak terlatih dalam metode. Dan hanya penuh hafalan kesimpulan. Yang hanya terlatih sebagai pemakai. Tetapi kurang latihan bebas berkarya. Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.”

    Ana berjalan turun dari panggung. Perlahan menghampiri Raba, masih dengan tatapan yang sama. Hanya saja kini suaranya meninggi. Amarah terbaca jelas di matanya.

    “Aku bertanya? Apalah gunanya pendidikan. Bila hanya akan membuat seorang menjadi asing di tengah kenyataan persoalannya? Apakah gunanya pendidikan? Bila hanya mendorong seseorang menjadi layang-layang di ibu kota. Kikuk pulang ke daerahnya sendiri?” Ana makin mendekat ke arah Raba. Tatapannya sama sekali tidak berpindah. Ia melanjutkan puisinya. Kini dengan suara tenang nan lantang, suara penuh kesedihan yang tidak bisa dijelaskan, membuat Raba sungguh-sungguh semakin ingin batuk.

    “Apakah gunanya seseorang belajar filsafat, teknologi, ilmu kedokteran, atau apa saja. Ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata: di sini aku merasa asing dan sepi.”

    Ana masih menatap Raba.

    “WS Rendra. 1975.” Ana mengalihkan tatapannya ke arah Yono. Lalu Yono meringis, dan bertepuk tangan. Semua orang kemudian ikut bertepuk tangan. Bersamaan dengan itu, Raba melepaskan batuk yang sedari tadi ia tahan. Semestanya kembali ramai

    Pada kutipan tersebut terdapat puisi WS Rendra yang berjudul Sajak Seonggok Jangung. Puisi tersebut tidak hanya hadir sebagai kutipan maupun penggalan dialog, akan tetapi menjadi bagian prosa itu sendiri. Selain penafsiran terhadap prosa, mau tak mau pembaca juga dibawa untuk memahami bait-bait puisi tersebut. Hal ini berkenaan dengan sentuhan puitis yang tidak hanya dihadirkan oleh bahasa yang digunakan, akan tetapi juga berkenaan dengan unsur peembangun cerita dalam hal ini tokoh. Tokoh dalam cerpen “Barangkali” menawarkan dua peran sekaligus yaitu yang memberi dan yang dikenai sentuhan puitis. Berikut yang dialami oleh tokoh Raba, dalam kutipan berikut.

    Masih terbatuk-batuk, Raba kemudian berdiri. Ia berjalan menuju rumah kontrakannya, tanpa memedulikan hal lain, termasuk teriakan Yono yang kebingungan ditinggal sendirian. Raba terus berjalan menyusuri gang, melewati orang-orang yang duduk lesehan menghadap panggung. Dalam perjalanannya, Raba mengutuk Rendra dan puisinya. Raba mengutuk Ana dan mata coklatnya. Raba mengutuk dirinya sendiri.

    Dalam kutipan di atas, melalui penarasian terhadap tokoh dikatakan bahwa pembacaan puisi yang dilakukan oleh tokoh Ana telah menusuk batin puitisnya. Bagaimana pun kalimat-kalimat dalam puisi Rendra tersebut telah membuatnya tidak nyaman, gelisah, tidak lagi hanya mengenai hal lahiriah tokoh namun telah sampai pada hal batiniah.

    Ternyata, setuhan puitis dan prosa dapat ditemukan tidak hanya pada penggambaran sikap tokoh. Setelah pembacaan berulang, pengarang juga menghadirkan kedalaman terhadap unsur pembangun cerita yang lain, seperti penamaan tokoh, setting, plot dan penanda-penanda yang ada. Seperti halnya penamaan tokoh Raba yang memiliki nama lengkap Raba Bara, seperti berikut.

    Sedikit demi sedikit, Raba mulai berubah. Ia mulai mempertanyakan apa yang sebenarnya dilakukan oleh ayahnya. Seperti nama lengkapnya, Raba Bara, senantiasa mengandung panas yang seolah abadi.

    Dari penarasian makna satu nama yang ada, akhirnya membuat pembaca pun meraba-raba pemaknaan nama-nama yang lain. Yang pada akhirnya membuat berpikir tentang kedalaman. Selain Raba, di sana ada tokoh Ana, Haryono Suwage, Gunawan, dan Rumini, yang membawakan kesan puitis masing-masing. Seperti Ana dengan karakternya, Haryono Suwage dengan kedalaman pikirannya, Gunawan dengan idealisnya, dan Rumini yang memang puitis melalui hobinya menulis surat.

    Selanjutnya, memasuki sentuhan puitis dalam dimensi prosais bila dilihat dari segi setting, plot, dan penanda-penanda yang ada. Dari segi setting, pembaca melihat bagaimana keakraban pengarang memiih tempat cukup linier dengan wacana-wacana yang di bawa. Dalam cerpen tersebut terdapat empat icon yang dapat dikatakan memiliki andil besar untuk menjadi keutuhan cerita yaitu Kota Malang, Apel, Yogyakarta, dan Lukisan Apel serta sosok Ayah.

    Kota Malang dihadirkan sebagai kota asal tokoh Raba Bara, kota yang secara universal sudah diketahui sebagai Kota Apel. Dalam hal ini, apel menjadi mengambil peranan penting mengenai hubungan seorang anak dan ayahnya. Akan tetapi, sebelum jauh membahas pohon apel dan lukisan apel, ada hal yang cukup mengganjal akan keberadaan apel di sini, seperti berikut.

    Namun sebutir apel merah setiap pagi menghadirkan ayahnya. Raba tidak bisa pulang. Bak Patih Gadjah Mada yang bersumpah tidak akan istirahat sebelum menaklukkan seluruh nusantara di bawah Majapahit, Raba juga melakukannya. Ia berikrar tidak akan pulang, sebelum ia benar-benar jadi seorang pelukis besar. Semua bermula lewat perbedaan pendapat.

    Dalam kutipan di atas, secara tersirat bahwa tokoh Raba memiliki pengalaman batin dengan sang ayah yaitu mengenai kebersamaan dalam perkebunan apel sebelum Raba memutuskan memilih jalan hidupnya sendiri dengan menekuni seni di Yogyakarta. Akan tetapi, kehadiran Apel di sini tidak lagi menjadi sakral dan mengena dengan kehadiran daun johar di situ. Sebab, daun johar tersebut juga menjadi sesuatu ingatan tentang ayahnya.

    Selanjutnya, setting tempat di Yogyakarta kaitannya dengan puitis dan prosais membawakan ingatan saya pada artikel yang pernah ditulis Latief S. Nugraha dengan judul Yogya yang Puitis dan Yogya yang Prosais. Dalam artikel tersebut secara garis besar berbicara mengeni peran prosa dalam hal ini cerpen dengan puisi dalam membaca kota Yogya. Setidaknya dari situ, Yogya dirasa tepat untuk menjadi setting peristiwa mengingat keberadaan puitis dan prosaisnya cerpen “Barangkali” karya Suci Wulandari.

    Menjadi puitis atau prosais adalah pilihan, pun ketika memadukan keduanya. Barangkali yang terpenting tanggung jawab atas keduanya. Barangkali pula inilah mengapa judul cerpen ini Barangkali, jangan-jangan pengarang pun bimbang akan meletakan dirinya.

  • Selayang Pandang Wacana Industrialisasi Daging Vegan

    author = Agung Wicaksana

    Rabu, 29 April 2020, mantan CEO Jawa Pos Group, Azrul Ananda, mengunggah sebuah tulisan berjudul “Resolusi Pasca-Corona: Kurangi Daging” di www.happywednesday.id/. Bagi saya, tulisan Azrul tidak lain dan tidak bukan merupakan upayanya dalam menyadarkan masyarakat agar mengurangi konsumsi daging dan mengalihkannya ke daging vegan. Pada dasarnya, vegan dan vegetarian adalah dua hal berbeda, walaupun sama-sama menghindari daging hewan dalam menu makanan karena alasan lingkungan, Vegetarian masih mentoleransi beberapa produk yang dihasilkan oleh hewan seperti susu dan madu, sementara Vegan memilih untuk menghindari produk-produk itu. 

    Lebih lanjut, Azrul menuangkan kesedihannya mengenai belum adanya pemikiran serius yang memperjuangkan daging vegan ke arah industri. Nyatanya, Indonesia masih bergantung dan berharap banyak pada impor dari teknologi negara lain, bahkan kebijakan impor daging sapi sempat (mungkin masih) menjelma lahan basah bagi elit politik demi meraup sebanyak mungkin pundi-pundi. Berdasarkan tulisan Azrul pula, Azrul yang sempat singgah di sebuah negara maju ketika meniti bangku pendidikan, melihat sekaligus merasa bahwa negara yang ia singgahi itu telah menyadari potensi daging vegan, lalu perlahan mengarahkannya ke arah industri berskala besar.  

    Lahan-lahan di Indonesia marak dialihfungsikan menjadi peternakan, toko acap kali membanderol produk sayur-mayur seperti brokoli dan paprika, terjangkau tinggi dibanding olahan daging ayam. Padahal di tengah kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, banyak peneliti yang mengemukakan bahwa berbagai jenis tanaman ternyata mengandung protein. Buktinya, hewan-hewan yang dikata ‘berprotein’ itu pun memakan tanaman, misalnya ayam yang memakan jagung, sapi memakan rumput gajah. Lalu, mengapa kita tidak mengindustrialisasi daging vegan  ketimbang terus berkutat pada ayam, telur, dan sapi?

    Di Surabaya, tempat saya dilahirkan dan dibesarkan, saya pernah mengunjungi beberapa restoran vege. Di tiap restoran yang saya datangi itu, pada dindingnya disemati foto-foto atlet maupun tokoh dunia yang secara spesifik menjauhi konsumsi daging hewan. Sebut saja bintang basket Amerika Chris Paul, juara dunia Formula 1 Lewis Hamilton, bintang tenis Novak Djokovic, hingga sutradara kawakan macam James Cameron. Penyematan foto-foto tersebut merupakan propaganda yang cerdas. Selain ‘mengukuhkan’ gaya hidup ini sebagai resep yang diakui dan diadopsi oleh orang-orang penting, restoran-restoran ini secara tidak langsung memengaruhi pengunjung agar ikut bergaya hidup vegetarian, lebih-lebih agar berpuguh untuk mengonsumsi daging vegan agar setidaknya bisa ‘sukses’ seperti mereka.    

    Pemahaman saya terhadap kegusaran Azrul yang dituangkan dalam tulisannya, menggiring saya untuk memikirkan perihal kemungkinan daging vegan menjadi salah satu produk industri di negara ini. Satu, jika bertolak dari propaganda yang dilakukan oleh restoran-restoran vegetarian itu, memang benar, banyak atlet maupun tokoh dunia yang ber-vegan. Namun, bukankah setiap atlet terkemuka membutuhkan asupan yang lebih dari sekadar asal kenyang? Mereka tentu memerlukan suplemen, kalsium, vitamin, dan minuman berenergi yang kesemuanya itu tidaklah murah serta terkandung di alga merah, ganggang hijau, ataupun ginseng. Dua, bertolak dari logika makin banyak hewan dikonsumsi, makin sempit lahan hijau. Singkatnya, bila tanaman kelak dikonsumsi oleh manusia secara massal dan lahan-lahan ditanami sayur-mayur untuk diolah menjadi daging vegan, lantas di mana hewan-hewan dapat mencari pakan? 

    Selanjutnya, pemulihan daerah ternak menjadi lahan tanam memerlukan dana yang tidak sedikit. Jika produk vegan kemudian diindustrialisasi, sebenarnya bisa saja dilakukan walaupun dengan waktu tunggu yang cukup panjang, melingkupi pengaturan regulasi benih  tanaman olahan, limbah tanaman pasca ekstraksi, hingga aturan dagang di tingkat konstitusional. Kerjasama internasional yang tertuang dalam kesepakatan impor-ekspor juga harus diubah. Tentunya peninjauan-peninjaun tersebut cukup sulit bila dilakukan dalam waktu dekat, bahkan bisa jadi masih saja sulit bila digulirkan lima sampai sepuluh tahun ke depan. Teknologi yang berjalan di tempat pun seolah menjadi persoalan klise yang membelit Indonesia. Di saat negara-negara maju berhasil menemukan formula agar daging vegan memiliki citarasa serta tekstur yang mirip dengan daging hewan, menu yang ditawarkan restoran-restoran vege di Indonesia masih mengandalkan bahan dasar tepung atau ragi. Selebihnya, sebatas menyubtitusi daging ayam atau sapi dengan tempe atau tahu untuk sajian steak

    Sebenarnya, gaya hidup vegetarian menawarkan dampak positif dari segi kesehatan. Mengonsumsi daging vegan secara berkelanjutan juga memberi ‘kesembuhan’ bagi lingkungan. Namun, hingga detik ini, saya masih memegang teguh prinsip bila industri adalah salah satu cara terselubung untuk menyikut tradisi dan budaya. Saya memikirkan orang-orang Tionghoa ataupun Bali yang tetap rajin memanggang babi untuk bersantap malam bersama keluarga, saya memikirkan kawan-kawan Minahasa yang tidak menggantikan daging ular dan tikus hutan tatkala kerabatnya melangsungkan pesta pernikahan, maupun kawan-kawan Batak yang mengolah daging kerbau ketika sanaknya berpulang ke sisi Tuhan, atau semangkuk sayur kol daging anjing di meja makan tiap waktu makan siang.

    Industri daging vegan di Indonesia dapat amat menjanjikan dan berpeluang besar mendatangkan keuntungan, asalkan daging vegan itu bisa mengakomodasi pula citarasa berikut tekstur dari daging-daging hewan selain ayam juga sapi__ yang nyatanya masih menjadi makanan yang sukar tergantikan di beberapa daerah di Nusantara. Rasanya cukup rumit ya. Pada akhirnya, saya setuju dengan pendapat Mark Twain, “Part of the secret of success in the life is to eat what you like and let the food fight it out inside.” Gaya hidup semata pilihan.

  • Sastra Anak: Kekosongan di Usia Sekolah Menengah Pertama

    author = Apri Damai Sagita Krissandi

    Pengantar

    Seorang sahabat yang kebetulan berprofesi sebagai seorang guru pernah bertanya kepada saya perihal karya sastra yang tepat untuk usia sekolah menengah pertama (SMP). Awalnya saya tidak begitu berpikir panjang tentang hal tersebut. Sambil lalu saya meminta waktu untuk sekedar mencari referensi. Setelah saya mencoba menjawab, saya begitu kewalahan mencari karya sastra yang khas SMP. Saya memulai mencari puisi yang cocok untuk anak SMP. Saya menemui karya-karya Chairil Anwar dan WS Rendra. Kawan saya pun menanyakan perihal karya lain Chairil dan Rendra, dia mengatakan kesulitan jika harus menjelaskan makna di balik diksi-diksi “liar” nan “garang” karya penyair tersebut, menyerahlah saya. Kemudian bertanya lagi kawan guru terkait novel. Saya semakin bingung, karena tidak satu pun saya menemukan novel dengan latar dunia SMP. Hanya beberapa karya Hilman, yakni Lupus ketika usia SD dan SMP. Saya kesulitan mencari yang lain. Kehadiran sastra untuk usia SMP menjadi saya pertanyakan.

    Sebagai manusia dewasa sudah menjadi tugas kita untuk membimbing adik atau anak-anak dan memberikan informasi tentang dunia ini. Salah satu cara menyampaikan informasi adalah melalui cerita. Semua orang menyukai cerita, jika direfeksikan banyak hal yang mempengaruhi kehidupan kita sekarang yang berasal dari cerita. Pendampingan bacaan anak harus dilakukan secara berkelanjutan sesuai kebutuhan dan tahap perkembangan anak.

    Selama ini sastra anak banyak dibahas dalam tataran usia dini hingga usia sekolah dasar. Sejatinya masa sekolah menengah pertama yakni masa remaja awal juga merupakan usia yang rentan dan butuh bimbingan. Kajian sastra untuk usia remaja awal inilah yang mengalami kekosongan. Kekosongan tersebut dapat dilihat dari tidak tersedianya bacaan khas untuk usia siswa sekolah menengah pertama. Saya mempunyai gagasan untuk memasukkan usia remaja awal dalam naungan sastra anak.

    Kekosongan bacaan sastra masa remaja awal (masa transisi)

    Sastra anak adalah karya sastra yang dibuat oleh orang dewasa atau oleh anak-anak dengan konteks dunia anak, bahasa anak, dan minat anak. Sepemahaman saya sastra anak mempertimbangkan sisi pendidikan dan pesan dalam setiap karyanya. Bahasanya pun sederhana. Sastra anak memiliki dimensi mulai dari usia yang belum begitu jelas.

    Selama ini batasan usia sastra anak berhenti pada usia 12 tahun yakni usia SD kelas 6. Hal ini didasari teori Piaget tentang tahap perkembangan anak, dimulai dari pra-operasional, operasional konkret, dan operasional formal. Usia 12 tahun ke atas dianggap masuk dalam wilayah operasional formal. Pembagian usia sastra anak mengikuti alur berpikir tersebut sehingga usia siswa kelas 6 SD hingga usia dewasa digolongkan dalam zona “sastra formal”. Tentunya hal ini tidak sesuai dengan realitas yang terjadi. Sastra dewasa, sebut saja demikian, memiliki kompleksitas ide yang kadang tidak sesuai, misalnya, untuk anak SD kelas 6 ataupun SMP kelas 7 dan kelas 8. Penggolongan usia dalam sastra anak perlu memiliki kekhasan dengan melihat situasi dalam konteks Indonesia. Saxby (1991:4) mengatakan bahwa sastra pada hakikatnya adalah citra kehidupan, gambaran kehidupan. Citra kehidupan (image of life) dapat dipahami sebagai penggambaran secara konkret tentang model-model kehidupan sebagaimana yang dijumpai dalam kehidupan faktual sehingga mudah diimajinasikan sewaktu dibaca. Begitu pula dengan sastra anak, sastra anak perlu menggambarkan konteks mereka sesuai tahap perkembangannya. Jika usia 12 tahun ke atas dianggap telah dewasa, maka diberikan kebebasan bagi mereka untuk memilih bacaannya. Tentunya hal ini tidak dapat diterima begitu saja. Usia remaja awal masih sangat memerlukan bimbingan orang dewasa, khususnya dalam memilih karya sastra.

    Pemahaman tentang tahap perkembangan anak sangat penting untuk memilih karya sastra yang sesuai. Pilihan bacaan anak untuk usia sekolah dasar sangatlah melimpah. Secara garis besar, Lukens (1999:14-30) mengelompokkan genre sastra anak ke dalam enam macam, yaitu realisme, fiksi formula, fantasi, sastra tradisional, puisi, dan nonfiksi dengan masing-masing mempunyai beberapa Jenis lagi. Genre drama sengaja tidak dimasukkan arena menurutnya, drama baru lengkap setelah dipertunjukkan dan ditonton, dan bukan semata-mata urusan bahasa-sastra. Genre sastra anak tersebut memberikan batasan yang sangat luas terhadap semua buku anak, dengan kata lain semua buku anak adalah sastra anak. Misalnya, pada usia dini (2-4 tahun) seorang anak belum dapat mengenali huruf dan belum dapat membaca, tetapi anak sudah dapat memahami bahwa ada buku yang berisi sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya. Hal itu terjadi karena anak biasa melihat aktivitas dewasa yang sering memegang buku dan membaca serta membacakan isi buku itu kepadanya. Lewat buku-buku tersebut anak dapat melihat berbagai gambar -gambar-gambar yang sengaja dirancang untuk diberikan. Oleh karena itu, dalam rentang usia dini buku bergambar, pengenalan warna, hewan, huruf-huruf (alfabet) pun dapat dikategorikan sebagai sastra anak.

    Sastra anak untuk usia sekolah dasar juga memiliki banyak ragam, misalnya: dongeng, cerita rakyat, buku cerita bergambar, puisi, pantun, cerita pendek, maupun novel. Novel untuk siswa sekolah dasar yang saat ini populer adalah Kecil-Kecil Punya Karya (KKPK), siswa sekolah dasar yang menjadi pembaca sekaligus penulis karya novel tersebut. Gairah menulis dan perkembangan sastra anak khususnya di usia sekolah dasar menunjukkan arah positf. Karya sastra tulisan anak-anak mulai banyak diterbitkan. Dengan ditulis oleh anak, maka gambaran dunia anak akan lebih orisinal, termasuk ekspresi bahasa yang digunakan. Di samping itu, tokoh anak dalam novel tersebut, akan memberikan contoh kepada pembaca, anak, bagaimana menjadi seorang anak yang berkualitas secara intelektual, moral, dan spiritual sebagai ciri pribadi yang berkarakter.

    Fenomena ironis terjadi pada sastra untuk usia sekolah menengah atau dapat kita sebut usia SMP, jika kita menelisik lebih jauh, tidak dapat kita temukan karya sastra yang khas usia SMP. Perpustakaan SMP dipenuhi buku-buku novel remaja percintaan, novel sastra dewasa, atau justru cerita-cerita anak-anak SD. Seolah tidak ada pengarang sastra yang ingin mendalami permasalahan usia SMP. Sastra tidak memberikan perannya secara maksimal sebagai sarana pendidikan karakter untuk anak usia SMP. Dapat dilihat pula jarang ditemukan prosa mupun karya lain yang tokoh utamanya berusia SMP. Sebut saja kisah Dilan yang saat ini sedang booming, latar ceritanya adalah usia SMA. Tidak hanya Dilan, kita mengenal Lupus, Olga Sepatu Roda, dan sebagainya merupakan novel dengan setting SMA. Sejauh pengetahuan saya, belum ada novel dengan tokoh utama anak SMP. Selain itu, jika melihat buku paket SMP kita akan menemukan contoh-contoh puisi dan prosa dewasa. Tidak salah mengajarkan sastra dewasa dengan nilai-nilai luhur tetapi perlu dikaji tentang minat siswa terhadap isu terkait, kompleksitas alur dan permasalahannya, kompeksitas gramatikal bahasa, kompleksitas tokoh, dan sebagainya.

    Alternatif Penggolongan Sastra Anak berdasarkan Usia

    Sub bab ini diberikan judul alternatif sebab pada dasarnya pembahasan tahap perkembangan anak khususnya dalam sastra anak telah banyak dibahas. Perkembangan kognitif berpedoman pada teori Piaget, perkembangan moral berpedoman pada teori Kohlberg. Bapak Burhan Nurgiantoro dalam banyak tulisannya pun banyak membahas secara detail hal ini. Tahap perkembangan tersebut dibahas dalam rangka memilih karya sastra yang sesuai dengan tingkat usia anak. Pemilihan karya sastra untuk anak adalah tanggung jawab orang dewasa. Pengetahuan tentang tahapan perkembangan anak akan memberikan gambaran pada sifat, karakter, dan kebutuhan anak kemudian dicocokan dengan karya sastra yang sesuai.

    Motivasi saya di sini menggolongkan sastra anak adalah memberi usulan untuk merangkul secara pasti, jelas, dan mantab bahwa usia SMP adalah termasuk zona tanggung jawab sastra anak. Maka penggelut dunia sastra anak memiliki tanggung jawab untuk meluaskan target sasaran ke jenjang SMP. Hal ini diharapkan akan menggelorakan sastra di jenjang SMP.

    Penggolongan sastra anak berdasarkan usia yang diusulkan adalah: (1) Sastra anak usia awal (0-7 tahun); (2) Sastra anak usia menengah (8-11 tahun); dan (3) Sastra anak usia lanjut (13-15 tahun).

    1. Sastra Anak Usia Awal (0-7 tahun)

    Tahap ini berdasar pada tahap sensorial dan pra-operasional menurut Piaget. Bacaan yang bersifat dasar dan pengenalan huruf, kalimat dan cara membaca tepat. Karena dalam tahapan ini masih baru mengenal bacaan sehingga perlu bimbingan khusus dari guru dan orangtua dalam membaca bacaannya yang mungkin memang masih belum lancar dalam membaca. Bentuk bacaan dapat berupa gambar, pengenalan huruf, pengenalan warna, hewan, sayuran, pengenalan bunyi, pengenalan emosi, pengenalan kalimat sederhana, membaca-menulis permulaan, dll.

    2. Sastra Anak Usia Menengah (7-11 tahun)

    Tahap ini berdasar pada tahap operasional konkret menurut Piaget. Bacaan narasi atau eksplanasi yang mengandung urutan logis dari yang sederhana ke yang  lebih kompleks. Bacaan yang menampilkan cerita yang sederhana baik yang menyangkut masalah yang dikisahkan, cara pengisahan, maupun jumlah tokoh yang dilibatkan. Bacaan yang menampilkan berbagai objek gambar secara bervariasi, bahkan mungkin yang dalam bentuk diagram dan model sederhana. Bacaan narasi yang menampilkan narator yang mengisahkan cerita, atau cerita yang dapat membawa anak untuk memproyeksikan dirinya ke waktu atau tempat lain. Dalam masa ini anak sudah dapat terlibat memikirkan dan memecahkan persoalan yang dihadapi tokoh protagonis atau memprediksikan kelanjutan cerita.

    3. Sastra Anak Usia Lanjut (11-15 tahun)

    Tahap ini sesuai dengan tahapan operasional formal menurut Piaget. Anak telah memiliki pengetahuan abstrak. Topik/tema yang sesuai dengan lingkungan dan usia siswa, misalnya tema persahabatan, petualangan, informasi tentang trend kegiatan positif di zaman yang sedang berkembang, semangat kebangsaan, cinta tanah air, kerja keras, jujur dan bertanggung jawab, serta pilihan hidup yang sesuai dengan keyakinannya. Tingkat kerumitan gramatika yang tidak begitu kompleks, bahasa yang mudah dipahami, bahasa perlu mempertimbangkan aspek kesopanan dan kesantunan. Panjang pendek karya sastra yang tidak banyak memerlukan waktu untuk memahaminya. Kerumitan konflik atau alur cerita yang tidak begitu kompleks dan absurd. Kerumitan perwatakan, termasuk jumlah tokoh, yang tidak begitu panyak penafsiran; dan Tingkat pemicu imajinasi yang dapat cepat menggerakan pikiran siswa pada hal-hal yang dihadapinya sehari-hari.

    Penutup

    Kekosongan sastra usia SMP perlu mendapatkan perhatian penggiat sastra. Usia sekolah menengah adalah usia kompleks, masa transisi dari anak-anak ke remaja. Dalam dirinya masih terdapat jiwa anak-anak yang belum dapat lepas begitu saja. Usia SMP sangat memerlukan pendampingan orang dewasa. Karya sastra dapat menjadi sarana pendampingan karakter. Karya sastra dapat secara efektif merasuk dalam pribadi usia SMP dikarenakan sifatnya yang tidak menggurui. Pembaca akan larut dan dapat bersentuhan dengan pesan moral serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Sebagai usaha merangkul kembali sastra untuk usia SMP, diusulkan untuk memasukkan rentang usia SMP ke dalam kajian sastra anak. Dengan demikian diharapkan pengkajian sastra anak dengan rentang usia sekolah menengah pertama dapat semakin banyak diminati.

     

    Daftar Pustaka

    Huck, Charlotte S, Susan Hepler, dan Janet Hickman. 1987. Children’s Literature in The Elementary School. New York: Holt, Rinehart and Winston.
    Lukens, Rebecca J. 1999. A Critical Handbook of Children Literature. New York: Longman.
    Nurgiantoro, Burhan. Tahapan Perkembangan Anak dan Pemilihan Bacaan Sastra Anak. Cakrawala Pendidikan, Th. XXIV, No. 2, Juni 2005
    Nurgiantoro, Burhan. Sastra Anak di Usia Awal dan Literasi. DIKSI, Vol 12, No 1, Januari 2005
    Nurgiantoro, Burhan. Sastra Anak: Persoalan Genre. Humaniora Volume 16, No. 2, Jun/ 2004: 107-122
    Saxby, Maurice dan Gordon Winch (eds). 1991. Give Them Wings, The Experience of Children’s Literature. Melbourne: The Mac- millan Company.

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Risalah Keindonesiaan

    author = About Olav Iban
    Lulus UGM dua kali. Saat ini bekerja sebagai pegawai negeri sihir dan dosen seni partikelir. Setahun sekali menulis opini di koran lokal.

    View all posts by Olav Iban →

    Selalu ada yang menarik tentang Indonesia. Sejak pertama kali Cornelius de Houtman melintasi selat Malaka, menepi di Banten, dan kemudian tewas di pantai Aceh tahun 1599, begitu banyak kekaguman bangsa asing terhadap kehebatan bangsa kita. Silakan cek sendiri di tiap-tiap bibliotek negeri Belanda jika mental inferior Anda menyangsikannya.

    Sebagai suatu misal, sehingga bisa Anda bayangkan kehebatan Indonesia di mata luar, adalah bagaimana merindingnya bulu kuduk para anak buah Stamford Raffles melihat gundukan tanah raksasa yang rimbun semak belukar berserakkan batu-batu candi dan stupa-stupa di desa Borobudur. Kekaguman yang tidak mengada-ada jika Anda membaca data bahwa delapan cikar penuh arca (tentunya arca yang paling bagus tak bercacat) diberikan sebagai hadiah dari pemerintah kolonial kepada Raja Chulalangkon dari Thailand tahun 1896. Atau bagaimana suatu hari kepala patung Bodhisatwa dari Candi Plaosan hilang dipenggal orang tak dikenal, dan dua tahun kemudian kepala tersebut sudah berada di Kopenhagen. Menakjubkan, bukan? Itu Indonesia.

    Candi dalam konteks ini serupa dengan karya sastra, adat istiadat, ritual, maupun bahasa. Mereka (tanpa mengurangi substansi di dalamnya) hanyalah suatu bentuk atau ekspresi yang merepresentasikan kebijaksanaan tertinggi manusia penciptanya. Jika begitu tingginya nilai sebongkah batu candi, sudah tentu tak disangsikan lagi begitu-lebih-tingginya penilaian bangsa asing terhadap manusia yang menciptakannya, manusia Indonesia.

     

    Manusia Sentralis yang Jauh dari Raja

    Kita, manusia Indonesia masa kini, tidak dapat lepas dari keterikatan historis dengan manusia penghuni Kepulauan Nusantara di masa-masa sebelumnya. Menurut Armijn Pane, di tahun 140 M sudah ada perhubungan antara India dan Nusantara yang kemudian berkembang pesat hingga menumbuhkan dua kerajaan besar, Sriwijaya dan Majapahit, pada masanya sendiri.

    Menarik untuk diamati bagaimana pengaruh dua kerajaan besar ini bagi manusia Indonesia modern. Secara teoritis mudah dibedakan yaitu Sriwijaya sebagai kerajaan maritim dan Majapahit sebagai kerajaan agraris, dan dalam perkembangannya sejarah kerajaan Majapahit lebih menonjol. Menurut Ridwan Saidi, sedikit banyak pengaruh dari kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Nusantara ikut membentuk warna kehidupan politik kita sekarang. Pada kerajaan agraris terdapat kecenderungan sentralisasi kekuasaan, yang berbeda dengan kerajaan maritim yang cenderung dekonsentrasi. Hal ini karena secara teoritis, pada kerajaan yang agraris, seluruh yang berada di bawah raja: rakyat, ternak, tanaman serta segala bentuk kekayaan berada pada suatu wilayah yang sama, tidak terpencar-pencar, sehingga dapat dipahami bila kecenderungan wataknya sentralistis.

    Para founding father kita memilih untuk menerapkan sistem sentralisasi bukan tanpa alasan serta pertimbangan. Maraknya perkumpulan pemuda, organisasi masa dan kelompok intelektual pada kurun itu dirasa perlu dipersatukan. Suatu pergerakan kemerdekaan yang separatis tidak mungkin mencapai tujuan kemerdekaan itu sendiri, harus ada rasa kebangsaan di atas hasrat kedaerahan. Kongres Pemuda II 1928 membuktikan kebenarannya. Tujuan asalinya adalah mendekatkan yang tercerai, dan merekatkan yang dekat.

    Menurut Niccolo Machiavelli, sistem pemerintahan yang terpusat akan sangat menyulitkan kerajaan lain menyerang. Jika ingin merebut kerajaan seperti itu diperlukan suatu kekuatan masif dari pasukannya sendiri, dan tidak berharap kekacauan di pihak lawan. Keuntungan dari keterpusatan seperti ini adalah jika saja kerajaan itu berhasil dikalahkan dengan kekuatan senjata yang besar, maka selanjutnya akan mudah mempertahankan wilayah kekuasaan baru tersebut dalam jangka waktu yang sangat lama. Berkebalikan dengan pemerintahan yang bersifat dekonsentratif yang sangat mudah ditaklukan sekaligus sangat susah dipertahankan. Menurutnya, dua fenomena ini terjadi berdasar pada kedekatan fisik antara raja dan rakyat. Semakin dekat rakyat dengan rajanya (secara fisik maksudnya mudah ditemui, tidak jauh jaraknya dan tidak sulit syaratnya), semakin rakyat merasa aman. Semakin rakyat merasa aman, semakin cinta rakyat itu kepada rajanya. Semakin cinta rakyat itu kepada rajanya, semakin setialah mereka, dan semakin sulitlah musuh menghasut pemberontakan untuk merontokkan kerajaan itu dari dalam.

    Terdapat satu kekurangan vital saat sistem sentralisasi kekuasaan diterapkan di Indonesia yang republik: yaitu, bilamana jangkauan raja tidak sepanjang yang diharapkan? Sungguh memalukan sebenarnya mengingat gagasan sentralisasi kekuasaan di masa pra-kemerdekaan dipakai untuk mendekatkan rakyat kepada raja justru sekarang malah mejauhkan raja dari rakyatnya. Penjelasan mengenai hal ini nanti akan saya jabarkan lebih lanjut.

    Para negarawan pemikir telah menutupi kekurangan ini dengan suatu jejaring pemerintahan yang disebut birokrasi. Ketika jangkauan raja (dalam hal ini Presiden Republik Indonesia) tidak cukup jauh merangkul rakyatnya, ia harus memanfaatkan sistem birokrasi itu untuk menjangkau hingga lapisan rakyat terendah, sehingga boleh dikata semua aktivitas dari sektor yang tradisionil hingga yang sangat modern tak dapat dilakukan tanpa melintasi jalur birokrasi. Namun, apakah gagasan tentang birokrasi akan sejajar dengan kebutuhan rakyat untuk dekat pada pemimpinnya?

    Birokrasi hingga detik ini bukanlah jawaban sempurna dalam rangka menambal kesalahan-pakai sebuah sistem pemerintahan. Mari seksama kita cek definisi birokrasi menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Anda akan temukan dua makna yang berbeda walau tidak berseberangan. Pertama adalah: sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan, dan yang kedua adalah: cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dsb) yang banyak liku-likunya. Definisi pertama menggambarkan makna universal dari birokrasi, sementara definisi berikutnya lebih pada pemaknaan personal-kolektif sebagai tanggapan ketidakpuasan atasnya. Dari sini saja sebenarnya sudah cukup sahih bagi siapa saja termasuk Presiden Indonesia (yang memahami rakyat) untuk sepakat ketidakefektifan sistem tersebut. Jika Anda berpikiran pragmatis, pengebirian jalan birokrasi guna mempermudah bukan solusi bijak mengingat di dalam jalan birokrasi digantungkan banyak nasib manusia-manusia pegawai negeri sipil, sehingga hanya akan menghasilkan pemecatan besar-besaran di Indonesia raya yang mungkin saja berujung coup d’etat dadakan versi KORPRI.

     

    Jalan ke-Indonesia-an

    Lantas demikian, apa solusi efektif untuk menutupi kekurangan dalam sistem sentralisasi kekuasaan di bangsa ini? Menurut saya, terdapat empat jalan untuk menghasilkan satu bangsa Indonesia yang benar madani di kemudian hari. Jalan pertama adalah kembali kepada kearifan lokal nusantara: gotong royong. Gotong royong sebagai pegangan berbangsa erat kaitannya dengan Dekrit Presiden 1959. Walau di sini saya sengaja melepasnya dari nafas NASAKOM, tetapi perlu dijabarkan bagaimana Soekarno memeras Pancasila menjadi Trisila, yaitu sosionasionalisme (kebangsaan dan peri kemanusiaan), sosiodemokrasi (demokrasi dan kesejahteraan sosial), dan ke-Tuhan-an. Trisila ini diperas lagi menjadi Ekasila, yang tidak lain ialah gotong royong. Dari sini ternyatalah bahwa konsepsi gotong royong adalah intisari ke-Indonesia-an.

    Dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, Soekarno mencetuskan demikian: “Sebagai tadi telah saya katakan, kita mendirikan negara Indonesia yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia! Semua buat semua! Alangkah hebatnya. Negara Gotong Royong!”

    Menurut Soekarno, gotong royong adalah paham yang dinamis, lebih dinamis daripada kekeluargaan. Kekeluargaan adalah satu paham yang statis, tetapi gotong royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan. Gotong royong ialah soekardjo dalam istilah Soekarno, yaitu satu karyo satu gawe. Gotong royong adalah pembanting tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua untuk kepentingan semua, keringat semua bagi kebahagiaan semua. Gotong royong adalah holopis-kuntul-baris untuk kepentingan bersama.

    Semangat gotong royong dalam suatu sistem budaya atau adat istiadat tidak selalu ada di setiap kebudayaan dunia. Menurut Kluckhorn via Koentjaraningrat, setiap kebudayaan mengenal lima masalah dasar manusia, yaitu: (1) hakekat hidup, (2) hakekat karya, (3) persepsi tentang waktu, (4) persepsi tentang alam, dan (5) hakekat hubungan antarmanusia. Mengenai masalah kelima, terdapat kebudayaan-kebudayaan yang sangat mementingkan hubungan vertikal di sosial masyarakatnya: yang dalam tingkah-lakunya sangat berpedoman pada tokoh-tokoh pemimpin, atasan, atau senior. Sedang di kebudayaan lain yang lebih mengedepankan hubungan horizontal: yang sangat bergantung pada sesamanya, dan berpikiran bahwa usaha untuk memelihara hubungan baik dengan tetangganya merupakan suatu hal yang dianggap sangat penting dalam hidup. Kecuali itu, ada pula kebudayaan yang tidak membenarkan anggapan bahwa manusia bergantung pada orang lain dalam hidupnya. Kebudayaan seperti itu menjunjung tinggi individualisme, dan sedapat mungkin mencapai tujuan hidup dengan bantuan manusia lain sedikit mungkin.

    Penjabaran di atas memilah kebudayaan menjadi tiga dilihat dari hakekat hubungan antarmanusia. Tipe terakhir, sangat tidak Indonesia. Tipe pertama, setengah Indonesia. Dan tipe kedua, sangat Indonesia. Inilah yang saya maksudkan gotong royong sebagai pengganti kegagalan seorang pemimpin merangkul rakyatnya. Gotong royong secara progresif dapat membuat kondisi ‘lupa-kekurangan-pemimpin’. Setiap masalah di intra masyarakat (terlepas dari masalah eksternal seperti serangan negara asing) tidak perlu lagi diselesaikan dengan jalan birokratis. Cukup dengan mengubah peranan pemerintah daerah yang semula melapor ke atas menjadi wadah pelaksanaan gotong royong masyarakatnya.

    Dalam wadah ke-gotong-royong-an terdapat musyawarah, dialog (yang bukan monolog ataupun duolog) untuk menemukan satu kemufakatan. Jalur gotong royong yang membawa rembug, musyawarah, dan kemudian mufakat, sudah cukup untuk menghindari rumitnya jalan birokrasi. Tak perlu lagi di situasi desa (misalnya pencuri ayam) didahulukan proses ketimbang esensi. Proses yang terlalu panjang hanya akan menyebabkan khilaf akal terhadap tujuan pertama, sehingga menghasilkan tujuan-tujuan turunan yang belum tentu seirama dengan tujuan utama.

    Indoktrinasi tentang “berproses” selama ini menggelikan. Dalam forum-forum mahasiswa sekarang selalu terdengar selentingan ‘yang penting prosesnya, terserah baik jelek hasilnya’. Paham ini benar, tapi sedikit. Sama halnya seperti ajakan untuk bersholat, yang penting sholat lima waktu, cukup. Tetapi lupa bahwa itu sekadar kulit ari. Tugas sesungguhnya adalah menemukan makna sholat itu sendiri, dan menyempurnakannya di setiap lelaku. Sama, proses itu sungguhlah penting. Lupakan dulu tujuan sehingga berpusat pada pengerjaan. Namun selepas itu akan terjadilah penemuan makna tujuan sesungguhnya sehingga penting untuk mengedepankan kesempurnaan hasil ketimbang cacat. Maka ambillah kesimpulan bahwa proses tidak untuk diidolakan, birokrasi sebagai proses tak perlu dikedepankan, pakailah hati dan otak untuk menggantikannya. Masa Anda membiarkan seorang nenek antri berdiri berjam-jam dan mendahulukan pemuda tanggung hanya karena pemuda itu duluan datang. Jangan sampai harta kearifan lokal nusantara yang horizontal dan gotong royong membusuk tertutup kosmetik civilization.

    Mudahnya Rakyat Bertemu Pemimpin

    Jalan Kedua, selain penanaman jiwa gotong royong sebagai solusi efektif membangun kembali Indonesia, adalah: keberadaan pemimpin yang mudah dijangkau rakyatnya. Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, betapa kontradiktif peranan raja atau pemimpin atau presiden Indonesia aktual. Satu sistem besar kenegaraan yang telah dibentuk jauh hari sejak Hayam Muruk diangkat sumpah (bahkan sebelumnya), sejak gerakan tahun 20-an mencetuskan persatuan nusantara, memilih kekuasaan terpusat sebagai jalan paling harmonis bagi rakyat dan pemimpin. Namun lihat keadaannya sekarang, sangat berkebalikkan.

    Impresi yang saya tangkap pada presiden Indonesia sekarang, Susilo Bambang Yudhoyono, adalah pemimpin yang susah ditemui rakyatnya. Kehadirannya di publik hanya sebatas press release, pidato-pidato kenegaraan, kunjungan-kunjungan rutin yang protokoler.

    Saya sebenarnya ingin menggunakan istilah ‘sarang persembunyian’ untuk Puri Cikeas, tetapi sepertinya tidak etis. Mungkin akan lebih tepat jika disebut sebagai tempat nyaman presiden untuk menerima tamu-tamunya. Kehadiran Puri Cikeas seakan merepresentasikan dualisme dalam diri SBY, yaitu sebagai pemimpin Partai Demokrat selain sebagai Presiden Republik Indonesia. Sadar tidak sadar, rakyat memahami adanya dikotomi Istana Merdeka dan Puri Cikeas, sehingga berakibat SBY memiliki dua wajah yang berarti: rakyat berpikir (secara bias) bahwa terdapat tendensi perbuatan saling menguntungkan di antara kedua Istana tersebut, di bawah meja maupun di atas meja.

    Kendatipun memiliki dua Istana, bukan berarti mudah untuk menemui seorang SBY, apalagi jika Anda hanya kelas medioker. Bisa jadi pernyataan ini hanya karena saya yang terlalu bodoh (atau memang banyak orang yang) tidak tahu bagaimana caranya berjumpa dengan presiden. Apakah jika saya datang ke Istana Negara, kulo nuwun, dipersilakan masuk, diberi suguhan teh hangat lalu tunggu sebentar, barulah presiden mendatangi? Atau seperti bertemu Sultan di masa lalu yang haruslah duduk bersila di Alun-alun Selatan menunggu sampai Sinuwun merestui kedatangan saya? Entahlah, saya sendiri belum pernah bertemu seorang presiden.

    Terlepas dari itu semua, bukanlah hal bijak jika pemimpin Indonesia yang hakekat masyarakatnya horizontal menjadi susah ditemui oleh rakyatnya sendiri. Contoh baik dapat ditemukan dalam model kepemimpinan Soekarno yang membangun banyak istana di berbagai wilayah Indonesia sebagai simbol kedekatannya dengan rakyat di mana saja. Berpidato di tengah keramaian berjarak centimeter dengan audience sebagai simbol kedekatannya dengan rakyat kelas mana saja. Selain itu ada Sutan Sjahrir memperlihatkan model kepemimpinannya yang bersepeda ke kantor saat menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia sembari menyapa pedagang-pedagang yang hendak ke pasar. Atau mungkin model kepemimpinan Soeharto yang sering melakukan perjalan incognito (bersembunyi-sembunyi) ke desa-desa pelosok, bercengkrama dan menginap bahkan ikut macul (mencangkul) bersama rakyat kecil sekadar memastikan bahwa rakyatnya baik-baik saja. Model kepemimpinan seperti inilah yang paling nyata sangat dibutuhkan rakyat Indonesia.

     

    Iklim Berpikir Kritis

    Jalan Ketiga adalah: menciptakan iklim berpikir kritis di kalangan rakyat manapun. Berpikir kritis bukan berarti berdiri di sudut negatif dalam memandang segala hal. Berpikir kritis tidak selalu melontarkan kritik, opini tandingan, atau pikiran ekstrim. Berpikir kritis di sini adalah gaya berpikir yang selalu menyajikan dua atau lebih points of view, mampu menjadi neraca dialektika, dan tidak menerima mentah-mentah segala bentuk opini.

    Pembentukkan iklim kritis berpikir di kalangan rakyat mampu mengurangi ketergantungan bernalar pada kaum intelektual (yang hanya ada di pusat-pusat kekuasaan). Selama ini rakyat kelas bawah menaruh kepercayaan terlalu besar kepada kaum intelektual yang berkuasa di negeri ini. Bagaimana jika sesungguhnya mereka tidak pantas diberi kepercayaan berpikir dan bekerja? Bagaimana jika mereka itu anjing? Ketergantungan rakyat seperti ini mengakibatkan banyak peluang-peluang kemajuan sirna begitu saja, dimanfaatkan oleh mereka demi kesejahteraan kaum-kaum tertentu. Bayangkan saja jika seorang tukang becak menarik kembali hak berpikirnya dari tangan intelektual yang berkuasa. Bayangkan tukang becak itu berada di iklim berpikir yang kritis. Setiap siang ia berkumpul bersama tukang-tukang becak lainnya di depan Taman Sriwedari untuk bermain catur sambil berdiskusi tentang kemajuan negeri. Maka, saya sangat yakin, ia akan menemukan titik sejati bahwa kemajuan negeri juga adalah kemajuan dirinya dan keluarga. Bahwa untuk memajukan negeri ini, ia harus memajukan pula dirinya dan keluarga. Iklim seperti itu dapat mengubah tukang becak yang hanya tahu nama jalan menjadi juga tahu sejarah tiap area yang dilewati sebagai modal peningkatan pariwisata setempat sekaligus peningkatan nilai jasanya dalam rupiah.

    Saya beri contoh lain yang lebih membumi terhadap penerapan iklim berpikir kritis, yaitu bagaimana mengubah Universitas Palangka Raya (misalnya) menjadi universitas sekelas Universitas Gadjah Mada. Pertanyaan ini sering saya lontarkan dalam diskusi-diskusi kecil tentang kemajuan bangsa yang sifatnya merata. Apakah dengan mengubah tenaga pengajarnya? Mengubah sarana belajarnya? Mengubah silabus kuliahnya? Mengubah iklim belajarnya? Atau semua pilihan benar? Kebanyakan peserta diskusi memilih yang terakhir. Perlu ada perubahan menyeluruh di tiap sisi. Tapi, andaikanlah ini: bagaimana jika seluruh tenaga pengajar dari UGM sekaligus tenaga administratifnya termasuk jajaran rektorat kita pindahkan ke Universitas Palangka Raya. Bentuk gedung tiap fakultas, tata ruang, pohon-pohon penghijau, hingga letak bak sampahnya kita samakan dengan kondisi di UGM. Silabus serta metode belajar kita buat sama persis. Bahkan kita ubah suasana kota Palangkaraya serupa dengan Yogyakarta. Kita pindahkan penduduk Yogyakarta ditukar dengan penduduk Palangka Raya untuk menciptakan iklim belajar yang sama. Pertanyaannya, andai semua itu sudah dilakukan, apakah Universitas Palangka Raya mampu, minimal, menyamai ranking UGM di tingkat nasional dan internasional? Semua menjawab: tentu tidak. Lalu perubahan seperti apa sebenarnya yang diperlukan?

    Tidak ada sangkalan UGM adalah universitas ranking atas di Indonesia. Berbeda dengan Universitas Palangka Raya yang kelasnya jauh di bawah. Maka tentunya mereka memiliki input mahasiswa yang berbeda pula. Pada prinsip pukul-rata, mahasiswa yang diterima di UGM adalah siswa lulusan SMA-SMA terbaik dari seluruh penjuru Indonesia. Siswa SMA-SMA terbaik tersebut berasal dari SMP-SMP terbaik, dari SD-SD terbaik, dan dari TK-TK terbaik, hingga dari keluarga-keluarga terbaik. Syahdan, terjawablah sudah bahwa perubahan yang diperlukan untuk membangun Universitas Palangka Raya menjadi sekelas UGM adalah dengan satu perubahan subtantif, seratus perubahan kolektif, dan seribu perubahan organitatif. Selain dengan perubahan yang sifatnya internal (tenaga pengajar, silabus, struktur rektorat, fisik bangunan, dll.), perlu adanya perbaikan pedagogi massal (dari cara mengajar sampai bahan ajaran) di TK, SD, SMP, SMA di kota Palangka Raya sehingga mampu menelurkan output berkualitas yang nantinya menjadi bibit Universitas Palangka Raya baru—mungkin bahkan Indonesia baru.

     

    Sampah Masyarakat

    Hingga Jalan Ketiga, semua terlihat mudah dileweati dan (yang terpenting) tidak terlalu utopis. Dari kacamata ini, penguasa di Indonesia melakukan tiga pokok kesalahan, yaitu: (1) tidak terciptanya kondisi sosial-politik-ekonomi yang gotong royong di negara kita, (2) posisi pemimpin negara yang sulit dijangkau serta tidak manusiawi, dan (3) semakin maraknya ketumpulan berpikir rakyat akibat ketergantungan intelektual. Namun, kesalahan tersebut tidak sampai mencelakakan bangsa seandainya penguasa Indonesia tidak membuat kesalahan yang keempat, yakni: membiarkan sampah masyarakat bertebaran di segala golongan.

    Tidak perlu panjang lebar apa dan siapa sampah masyarakat itu. Anda seharusnya sadar hanya dengan melihat media cetak ataupun elektronik akhir-akhir ini. Mana yang sampah, mana yang tidak. Mana yang berpikir untuk sesama, mana yang untuk pribadi. Mana yang menabur kebaikan, mana yang menabur kebencian.

    Dan, selama Anda membiarkan dikotomi itu ada, dan tanpa sadar ikut pula masuk ke posisi sampah itu, maka ketiga jalan yang telah saya kemukakan di atas tidak akan mekar berbunga. Hama perusak menyebar di semua sudut taman—takkan ada satu bunga pun yang mekar. Maka dari itu, dengan singkat saya katakan: Maknai benar-benar apa maksud adagium: pemuda penerus bangsa, harapan bangsa, masa depan bangsa. Itu saja untuk sub-bab ini.

     

    Manusia dan Indonesia Idaman

    Jelas posisi saya di sini bukan sebagai pendukung pemerintah maupun oposisi. Sehingga jika sekarang kita membicarakan kemajuan bangsa, saya tidak menaruh harapan besar kepada orang-orang yang berkuasa di negeri ini. Pula saya tidak berharap mereka akan peka terhadap apa yang seharusnya mereka perbuat demi mengembalikan tujuan dasar berdirinya Republik Indonesia. Dan tentu saja, saya sangsi bahwa mereka tahu cita-cita sejati berdirinya bangsa ini.

    Cita-cita Indonesia berdasar apa yang tertuang dalam Pancasila dan UUD’45 menurut Soekarno adalah: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Proklamasi, sesuai dengan fungsinya, hanya sebagai pengantar ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Salah satu contohnya terdapat di UUD’45 khususnya pasal 33 yang berbunyi: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Itulah cita-cita dan tujuan berdirinya negara Indonesia, suatu keadilan mutlak, ya sosialnya, ya ekonominya, ya politiknya. Perlu saya kutipan perkataan Moh. Hatta yang demikian, “Tumpahkanlah pikiran sepenuh-penuhnya kepada Pasal 33 UUD ’45, yang sebenarnya menjadi dasar pembangunan perekonomian negara kita.” Dan mengutip Sindhunata, “Visi keadilan sosial adalah visi pembentukan negara. Sampai kini kita terus tertatih-tatih membentuk negara ini, mungkin karena kita selalu melalaikan visi keadilan sosial dalam Pasal 33 UUD ’45 itu.”

    Bagi Soekarno, menurut Ruslan Abdulgani, penjabaran cita-cita politik, ekonomi dan sosial Indonesia sebagai berikut: Keadilan politik Indonesia ideal ialah Indonesia yang panjang punjung—panjang pocapane punjung kawibawane, yang berarti negeri yang begitu masyur sehingga diceritakan orang panjang lebar bahwa negeri itu berwibawa tinggi.  Sedangkan keadilan ekonominya digambarkan serupa: Hapasir hawukir ngadep segara kang babandaran, hanengake pasabinan. Bebek ayam rajakaya, enjang medal ing pangonan, surup bali ing kandange dewe-dewe. Wong kang lumaku dagang rinten dalu tan wonten pedote, lebet saking tan wonten sangsayaning margi, yang berarti: Suatu negeri yang penuh dengan bandar-bandar sawah, begitu makmur hingga tak ada pencuri itik, ayam. Ternak pagi-pagi keluar sendiri ke tempat merumput, saat magrib pulang sendiri ke kandangnya. Orang berjalan berdagang siang malam tak ada putusnya karena tak ada gangguan di jalan. Dan terakhir, keadilan sosial Indonesia ideal adalah tata tentrem, kerta raharja, gemah ripah loh jinawi, yang berarti: Negeri yang teratur, tenteram, orang bekerja dengan aman, penduduknya ramah-ramah, berjiwa kekeluargaan, dan subur tanahnya.

    Demikianlah telah terjabar cita-cita berdirinya negeri kita. Namun dalam hidup selalu saja ada das sollen (seharusnya) dan das sein (senyatanya). Seharusnya kita menuju kemerdekaan sosial dan keadilan rakyat, tetapi senyatanya kita dikekang oleh bangsa sendiri dengan ketidakadilan. Menghadirkan kembali exploitation l’homme par l’homme dalam rupa berbeda. Bukan menjajah dengan membentuk koloni, tetapi menjajah dengan membentuk opini. Opini tak terpatahkan yang monoton digaunkan berulang bahwa Indonesia itu terbagi dari pemerintah dan rakyat. Ini salah besar. Janganlah lupa bahwa dalam sebuah republik rakyatlah yang memerintah. Pemerintah adalah bagian dari rakyat. Golongan elit, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, ketiganya adalah rakyat itu sendiri.

    Pemimpin suatu republik adalah rakyatnya sendiri. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah ketika tambang emas di tanah Nusa Tenggara Barat tetap milik orang Sumbawa, bukan orang Jawa yang mengaku pemerintah, bukan orang Batak yang mengaku pengadilan, apalagi orang kulit putih yang mengaku pemilik bumi ini. Kita memang bangsa yang kaget merdeka, dan sedikit bodoh, tapi bukan bangsa yang melakukan exploitation de l’homme par l’homme antarsaudara.

    Exploitation di sini telah dibenturkan dengan dominasi kedaerahan (suku atau agama) sehingga sangat memungkinkan munculnya tindakan-tindakan tidak wajar seperti menjajah bangsa sendiri. Berdasar data sensus tahun 2000 di situs CIA, negeri ini dipenuhi Javanese 40.6%, Sundanese 15%, Madurese 3.3%, Minangkabau 2.7%, Betawi 2.4%, Bugis 2.4%, Banten 2%, Banjar 1.7%, other or unspecified 29.9%. Jika Anda orang Indonesia dan bukan dari suku yang disebut di atas, saya yakin Anda mengerti apa yang saya maksud dengan “dominasi” tersebut. Walau tidak menutup kemungkinan adanya aspek lain seperti kontak lama di organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan, jaringan alumni perguruan tinggi, keanggotaan ormas dan keagamaan, tetap saja jaringan kekerabatan dan kedaerahan sangat kuat pengaruhnya bagi tiap-tiap kaum yang berkuasa di Indonesia. Bukan berarti yang mendominasi lebih pintar daripada yang terdominasi. Bukan berarti di Indonesia ada masyarakat pintar dan masyarakat bodoh, namun, bangsa kita ini seakan haus kuasa. Mungkin setelah lama kita dipimpin orang lain sehingga menjadi habitus kita untuk bernafsu sedemikian hingga.

    Jika rakyat dalam suatu negeri adalah bodoh kesemuanya, hukum alam akan melahirkan pemimpin-pemimpin natural dan gifted. Menurut Rosihan Anwar, terdapat suatu masa di mana terdapat kelompok orang yang disebut men of words, manusia kata-kata, yang memperdengarkan suara mereka untuk membela golongan lemah dan tertindas.

    Pada Abad ke-8 SM, bangsa dari Ibrani Purba di pantai timur Laut Tengah mengalami penggabungan keadaan yang kurang begitu jelas memperlihatkan penyimpangan aneh dibanding dengan bangsa-bangsa lain di masanya. Di sana muncul serangkaian manusia luar biasa yang melawan elit pemerintah serta melawan tertib sosial pada masa itu. Manusia-manusia ini dinamakan the prohets, nabi-nabi, yang dalam banyak hal adalah prototype intelektual modern dan militan. Manusia-manusia ini juga disebut open-air journalist yang membacakan pendapat-pendapatnya di jalan, di pasar, dan di pintu gerbang kota. Mereka diidentifikasikan tidak bersekutu dengan golongan manapun, baik pemerintah maupun sistem hirarki agama. Kedudukan mereka tidak jelas.

    Dalam tatanan sosial sekarang, kekuasaan dan pengaruh sebagian besar orang berada dalam tangan kaum industrialis, orang bisnis, bankir, tuan tanah, militer. Sementara kaum  open-air journalist berada (dan berasa) di luar semua itu. Kehadiran mereka di masa sekarang pastilah senantiasa mengusahakan apakah borjuis, petani, proletar, penjahat, pedagang, dokter, atau kaum pribumi negara kolonial menjadi bersatu kekuatan demi kebaikan bersama. Bergabungnnya sang intelektual dengan massa rakyat merupakan kombinasi hebat, dan tidak dapat disangkal dia akan (telah) menyebabkan kemajuan zaman tiada taranya.

    Bukannya saya mengharapkan akan lahirnya seorang nabi di tanah nusantara, tetapi kita memang membutuhkan kehadiran men of words yang berjuang membawa pemikiran-pemikiran baru sebagai pembentukan tatanan kekuasaan yang lebih baik, sekaligus membawa suatu eksistensi material keadilan sosial yang nyata. Akui saja rakyat kita sekarang butuh sesuatu yang nyata, tak sebatas ide. Indonesia membutuhkan men of words yang tidak berusaha jelas menyatakan posisi dan keberpihakan tanpa kepentingan. Men of words yang tidak memperjuangkan satu kelas. Men of words yang dapat menjadi bapak bangsa Indonesia baru.

    Bagi saya, men of words pernah lahir sebagai manusia nusantara. Kelahiran mereka di pada kohort yang sama mengakibatkan Indonesia memiliki satu generasi gemilang yang belum pernah ada sebelumnya. Dan pada kurun itulah diproklamirkan nusantara sebagai suatu negara merdeka.

    Soekarno, di usia 25 tahun, terlepas setuju atau tidak terhadap aliran politik yang diyakininya, telah mencoba meramu ideologi-ideologi besar yang menjadi paham berbagai golongan yang hidup subur saat itu. Soekarno mencoba persatukan pikiran para tokoh pergerakan untuk menjadi penghantar sebuah semangat, mendirikan sebuah negeri bernama Indonesia. Di sudut lain terdapat Mohammad Hatta yang di usia 25 tahun telah menjadi kampiun kalangannya. Pada usia semuda itu, Hatta bersama teman-temannya seperti Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojodiningrat berjuang merealisasikan apa yang terbaik untuk bangsanya. Hal ini dibuktikannya dalam salah satu pidatonya di Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan di Gland, Swiss, 1927, berjudul L’Indonesie et son Probleme de I’ Independence (Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan).

    Pada sudut yang lain lagi, Sutan Sjahrir, di umur 18 tahun telah termasuk dalam sepuluh orang penggagas pendirian himpunan pemuda nasionalis, Jong Indonesië. Perhimpunan itu kemudian berubah nama jadi Pemuda Indonesia yang di tahun berikutnya menelurkan kongres paling monumental Indonesia, Konger Pemuda Indonesia dengan Sumpah Pemuda-nya. Atau lihat sudut Tan Malaka yang di umur 28 tahun telah menulis Naar de Republik  Indonesia (Menuju Republik Indonesia) kemudian mendirikan Partai Republik Indonesia di Bangkok, pada tahun 1927, demi memperjuangkan kemerdekaan internasional Indonesia. Di usia 25 tahun, Tan Malaka sudah berani tampil di depan Kongres Komunis Internasional ke-4 tahun 1922. Tidak main-main, pidatonya tentang Komunis dan Pan-Islamisme menentang tesis yang didraf oleh Lenin pada Kongres sebelumnya.

    Mereka yang tersebut di atas hanya secuil dari banyak pemuda generasi gemilang Indonesia. Pemuda Indonesia yang tidak asal berani melawan dan berteriak, tetapi juga cerdas tiada tara dan mendukung kerakyatan. Untuk membangun bangsa yang besar dan bermartabat bangsa ini tak hanya butuh politikus, tetapi juga sastrawan, agamawan dan budayawan. Manusia-manusia seperti Hamka (44 tahun saat 1945), Armijn Pane (44), Marah Roesli (56), Nur Sutan Iskandar (52), Sutan Takdir Alisjahbana (44), Chairil Anwar (23),  Mohammad Yamin (42), A.A. Maramis (48), Achmad Soebardjo Djojoadisurjo (49), Abikoesno Tjokrosoejoso (48), Mohammad Natsir (37), Sutan Syahrir (36), Mr. Mohammad Roem (37), dan KH. Wahid Hasyim (31 tahun), dll. Merekalah generasi gemilang, pintar, rendah diri, banyak akal, tahu rakyat, pemikir dan pemberani. Dari hasil kerja keras orang-orang seperti mereka, pagi hari di bulan puasa, Jumat Legi, 17 Agustus 1945, Republik Indonesia menjadi senyata matahari yang tak akan mau tenggelam. Akankah generasi ini berulang? Wallahualam. Mari kita mulai membangun Indonesia baru, setidaknya dari jalan pertama: Gotong Royong.

     

    Juni 2011

     

    Referensi

    Djalan Sedjarah Dunia. Armijn Pane, 1954.

    Kepala Negara. Niccolo Machiavelli, 1959.

    Menulis Dalam Air. Rosihan Anwar, 1983.

    Pak Harto: The Untold Stories, 2011.

    Pengantar Ilmu Antropologi. Koentjaraningrat, 1989.

    Perkisahan Nusa. Rosihan Anwar, 1986.

    Sosialisme Indonesia. Ruslan Abdulgani, 1961.

    Tokoh-Tokoh Muda Diperlukan. Imam B. Prasodjo dalam Garuda Inflight Magazine.

    Zamrud Khatulistiwa. Ridwan Saidi, 1993.

    Masalalu Selalu Aktual. P. Swantoro, 2007

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribus

    https://kibul.in/opini/risalah-keindonesiaan/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/08/featolav14.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/08/featolav14-150×150.jpgOlav IbanOpiniBudaya,Indonesia,kibul,Olav Iban,OpiniSelalu ada yang menarik tentang Indonesia. Sejak pertama kali Cornelius de Houtman melintasi selat Malaka, menepi di Banten, dan kemudian tewas di pantai Aceh tahun 1599, begitu banyak kekaguman bangsa asing terhadap kehebatan bangsa kita. Silakan cek sendiri di tiap-tiap bibliotek negeri Belanda jika mental inferior Anda menyangsikannya.
    Sebagai suatu…
    Bicara Sastra dan Sekitarnya

  • Refleksi Penelitian Etnografi: “Membaca” Ambivalensi

    author = Franceline Anggia

    Imagine yourself suddenly set down surrounded by all your gear, alone on a tropical beach close to a native village, while the launch or dinghy which has brought you sails away out of sight

    Malinowski, 1987:4

    Ungkapan tersebut merupakan deskripsi awal Malinowski, seorang etnografer Eropa yang melakukan kerja penelitian etnografi di kalangan masyarakat Kepulauan Trobriand, kira-kira satu abad yang lalu. Bagi saya, deskripsi Malinowski yang terlewat lampau itu tetap menghadirkan sensasi rasa yang relevan, paling tidak sampai terakhir kali saya melakukan penelitian etnografi setahun lalu. Dari deskripsi singkat itu, Malinowski berhasil melahirkan nuansa reflektif yang personal untuk saya. Dari ungkapannya, hadir suatu pengalaman ‘keterasingan’ yang bangkit dari jarak terbentang: antara realitas yang biasa peneliti hayati sehari-hari dengan realitas berbeda yang dihidupi oleh subjek yang diteliti.

    Deskripsi singkat Malinowski juga menghadirkan rasa ‘berjarak’ (sense of detachment) yang lazim dari kerja penelitian etnografi yang pernah saya tempuh maupun yang pernah saya alami melalui proses membaca. Baik disadari atau tidak, ke-berjarak-an kerap melahirkan frustrasi, kegelisahan, bahkan kesepian yang menyeruak, seiring “perahu yang membawamu pergi perlahan sirna dari pandangan matamu”, ungkap Malinowski. Secara pribadi, saya menganalogikan perahu Malinowski sebagai realitas sehari-hari peneliti yang sudah dikenal akrab: memberi rasa aman dan stabil, kemudian perlahan dibenturkan oleh kompleksitas realitas subjek peneliti yang amat berbeda.

    Menyoal Isu Buruh Perempuan

    Sebagai mahasiswa jenjang S1 pada awal tahun 2019 lalu, saya memperoleh kesempatan penelitian mengenai perempuan buruh industri tekstil dan produk tekstil di Yogyakarta. Penelitian ini merupakan bentuk kerja sama riset Departemen Antropologi UGM bersama Department of Development Studies, University of Agder, Norwegia. Pengalaman ini merupakan pengalaman penelitian pertama saya mengenai buruh perempuan. Tema buruh langsung membuka laci-laci pikiran saya yang diisi oleh lembar-lembar narasi ‘besar’ mengenai buruh perempuan. Layaknya mesin, sekejap saya langsung ingat wajah bapak berkumis tebal bernama Marx selain mengingat pula ketimpangan struktural yang kerap mewarnai relasi buruh dengan si pemberi kerja. Narasi mengenai stereotip gender, ketidakadilan sistem upah, ‘beban’ ganda perempuan, hanya sebagian dari tema-tema besar lain yang telah mengisi rentetan kajian mengenai buruh perempuan. Dalam benak saya saat itu, buruh perempuan merupakan subjek rentan: terutama dalam relasi industrial maupun relasi patriarkis yang melingkupi kehidupan sehari-hari buruh perempuan. Dengan kata lain, segala pengetahuan yang terakumulasi dalam benak saya membangun suatu cara pandang yang menempatkan buruh perempuan sebagai subjek yang amat problematis pada awalnya. 

    Ketika perjalanan penelitian etnografi saya lakoni, saya sempat berjumpa dengan dua buruh perempuan: Ibu Rifka (37) dan Ibu Irawati (38) (bukan nama sebenarnya) yang sama- sama berkecimpung dalam industri produk tekstil. Ibu Rifka merupakan buruh jahit borongan di sebuah pabrik garmen di Berbah, Kabupaten Sleman. Sebagai buruh borongan, upah yang diperoleh ditentukan menurut jumlah satuan hasil pakaian yang diproduksi. Dalam sehari, Ibu Rifka mampu memproduksi 50 hingga 70 potong pakaian kaos. Kaos dihargai sebesar Rp3.000,00-Rp8.000,00 sementara kemeja jatuh pada kisaran Rp13.000,00-Rp22.500,00 dengan waktu produksi lebih lama. Berbeda dengan Ibu Rifka, Ibu Irawati merupakan buruh jahit tetap di sebuah pabrik sarung tangan. Setiap bulannya, ia mendapat gaji setara dengan UMK Kabupaten Sleman. 

    Sebagai perempuan yang sudah menikah dan memiliki anak, Ibu Rifka dan Ibu Irawati sama-sama menjalankan dualitas peran yang amat strategis: menjadi perempuan pekerja berbayar sekaligus bergelut dengan kerja-kerja reproduktif dalam domain domestik. Meskipun dalam tataran ideologis (de jure), keduanya sama-sama mengakui bahwa laki-laki/suami merupakan kepala rumah tangga utama yang menjadi garda terdepan mencari nafkah. Persinggungan perempuan dengan domain privat (domestik) dan domain pasar (market) acapkali dinarasikan sebagai realitas yang juga problematis: perempuan dihadapkan pada keterbatasan ruang gerak karena dualitas peran itu. Cara pandang ini pula yang tanpa sadar saya bawa, setidaknya sebelum saya berjumpa langsung secara personal dengan buruh perempuan. Dengan perlahan saya mencoba mengetahui, apa sebenarnya harapan di balik jalan kerja menjadi buruh? Ibu Rifka, contohnya, mengekspresikan harapan kerja dengan demikian:

    “Lumayan Mbak, (penghasilan pabrik) bisa buat jajan anak-anak. Jadi, nggak minta suami terus. Kan malu kalau minta melulu. Lagipula, jahit sudah jadi hobi saya. Saya bingung dan bosan kalau di rumah, mending kerja aja” (wawancara 8 Februari 2019). 

    “Kalau bisa saya pengen punya mesin jahit sendiri di rumah. Bisa kerjain kerjaan pabrik sambil urus anak” (wawancara 17 Februari 2019)

    Sementara itu, Ibu Irawati menerjemahkan harapan kerja dengan senada sekaligus berbeda pada saat yang sama:

    “Kan perempuan ya suka beli make up, (dan) sepatu. (Saya) malu kalau minta uang suami. Minimal saya kerja lah, Mbak, untuk jajan anak-anak juga” (wawancara 10 Maret 2019). 

    “Saya pengennya jadi ibu rumah tangga aja. Tinggal melayani suami kalau dia pulang kerja. Pengen bisa antar-jemput anak sekolah. Nggak perlu kerja seharian di pabrik jadi kuli…” (wawancara 10 Maret 2019)

    Rasa malu merupakan ekspresi yang sangat dominan ketika Ibu Rifka dan Ibu Irawati menerjemahkan kepentingan kerjanya. Bagi saya, ungkapan keduanya sama-sama menunjukkan suatu sikap mendua: Ibu Rifka maupun Ibu Irawati mengamini bahwa laki-laki- yang diwakili suami-merupakan penanggung jawab utama mencari nafkah. Namun, keduanya toh sama-sama merasa malu apabila tidak menghasilkan upah. Pada akhirnya, persetujuan ideologis itu tidak sejalan dengan praktek sehari-hari (de facto). Kerja produktif, yang kerap diasosiasikan dengan pencarian upah, tidak semata-mata jatuh di tangan laki-laki. 

    Tentu saja, tantangan ekonomi rumah tangga merupakan salah satu alasan di mana kerja menjadi buruh ditempuh dengan sadar. Tak hanya itu, saya mengamati bagaimana jalan kerja sebagai buruh justru memperoleh makna melalui keterhubungan eratnya dengan kerja reproduktif yang dianggap inheren bagi perempuan. Kerja reproduktif yang diekspresikan itu adalah memenuhi kebutuhan anak dalam rumah tangga. Dalam konteks ini, jalan kerja menjadi buruh turut tampak menjadi suatu mekanisme untuk bertahan hidup secara sosial: sebagai jalan pengayaan identitas perempuan yang sudah menikah dan memiliki anak yang harus dipenuhi kebutuhannya. 

    Dengan status gender, latar belakang ekonomi, status kerja, serta latar belakang rumah tangga yang serupa, Ibu Rifka dan Ibu Irawati ternyata memberi nilai yang sungguh berbeda atas status kerja mereka sebagai buruh. Ibu Rifka tetap ingin kerja jahit sembari mengurus anak di rumah. Kesempatan bekerja dianggap sebagai sebuah keistimewaan: hitung-hitung bisa menjadikan hobi jahit sebagai kegiatan yang mendatangkan upah. Lain halnya dengan Ibu Irawati yang ingin menjadi ibu rumah tangga tanpa perlu bekerja menjadi buruh. Dari ungkapannya, terasa ada devaluasi terhadap status kerjanya sendiri yang diekspresikan melalui kata ‘kuli’. Ekspresi ini merupakan buah kesadaran terhadap suatu otoritas yang lebih besar di luar dirinya sendiri: suatu otoritas yang membatasi dirinya untuk menuntaskan tanggung jawab domestik yang dianggap inheren. Kesadaran ini ternyata turut dibentuk oleh modal sosial yang Ibu Irawati miliki melalui sepak terjangnya dalam serikat pekerja. Sementara bentuk modal sosial semacam ini tidak dialami Ibu Rifka. 

    Kepingan kisah tersebut hanya sebagian kecil saja dari lembaran kisah lain yang justru menghantam bangunan pengetahuan saya sebelumnya. Pada akhirnya, dengan perlahan saya menyadari bahwa jalan kerja menjadi buruh tidak pernah cukup dipandang secara hitam dan putih. Buruh perempuan bukan merupakan kelompok sosial yang homogen: di sepanjang jalan kerja yang ditempuh, terdapat interkoneksi kompleks antara status gender, latar belakang rumah tangga, kelas ekonomi, hingga pengalaman sosiologis serta proses mental yang berbeda di balik status kerja yang sama. Melalui pengalaman penelitian ini, saya menjumpai kisah- kisah personal yang kerap terhimpit di antara narasi-narasi besar mengenai buruh perempuan. 

    Baru kemudian saya tersadar bahwa bingkai problematis yang selama ini saya bawa mengenai buruh perlu ditempatkan dengan amat hati-hati. Tanpa disadari, akumulasi pengetahuan serta posisi saya sebagai peneliti acap kali menciptakan ‘ke-berjarak-an’ yang membuat saya merasa begitu asing. Mungkin, ini pula yang turut dirasakan Malinowski saat itu: sebagai seorang etnografer Eropa dengan segala pengalaman serta bayangan akan ‘kemajuan’, dihadapkan pada realitas orang-orang Trobriand yang amat berbeda. Ketika keterasingan itu tercipta,

    “you cannot help but compare all you see, hear and feel against the accumulated total of your previous experiences. Like all humans, you make sense of what you learn through contrast and comparison”

    Blasco dan Wardle, 2007:13

    Proses membandingkan, menimbang-nimbang, juga rasa gelisah adalah perjalanan yang ‘valid’ ketika proses penelitian etnografi dilakukan. Dari pengalaman itu pula, lahir sebuah inspirasi penelitian baru kemudian, saya menghadirkan suatu penelitian yang seimbang sekaligus adil bagi buruh perempuan? Dengan tidak semata menegaskan kerentanan buruh melainkan pertama-tama memandang buruh perempuan sebagai subjek aktif atas hidupnya sendiri. Sebagai buruh perempuan yang tidak lepas dari jerat relasi industrial maupun relasi sosio-kultural yang berkelindan, saya tak ingin mengabaikan kemampuan buruh perempuan membaca peluang, kemampuan membahasakan sendiri peran kerja yang dijalani, atau mungkin kemampuan bermain-main di antara celah-celah sistem yang telah mapan. 

    Kajian-kajian terhadap buruh perempuan yang berorientasi pada subjek tentu bukan tidak ada. Salah satunya, jalan kajian itu dilebarkan oleh Suryomenggolo (2012) yang menganalisis pembelaan Ida Irianti: seorang buruh perempuan sekaligus kepala serikat pekerja PT Sinar Sosro. Lebih dari sekadar naskah politik, pembelaan Irianti merupakan cara buruh perempuan menerjemahkan pengalaman kerjanya sendiri. Konteks pembelaan Irianti ini luar biasa bukan saja karena dilakukan di tengah kebijakan ekonomi Orde Baru yang korporatif namun juga, keterlibatan perempuan dalam serikat masih merupakan sebuah kelangkaan saat itu. Corak karya Saptari (2008) yang membahas serangan buruh PT Mayora juga demikian adanya: terdapat kelompok buruh perempuan yang bahkan menjadi free rider. Mereka mampu membaca peluang keuntungan kerja tanpa perlu terlibat demonstrasi melawan korporasi yang menindas. 

    Tentu saja, segala pengetahuan dan pengalaman yang dibawa sebagai peneliti adalah realitas yang sah. Namun, saya menyadari perlunya suatu proses reflektif panjang untuk menyadari bahwa realitas itu pada akhirnya dapat pula menjadi bumerang. Dibutuhkan suatu proses belajar yang panjang untuk lagi-lagi memahami bahwa sebagai peneliti, kita pun dapat terjebak dalam sebuah menara gading yang tidak kita sadari ketinggiannya.

    Referensi
    Blasco, Paloma Gay Y. dan Huan Wardle. 2007. How to Read Ethnography. New York: Routledge
    Malinowski, Bronislaw. 1987. Agronauts of the Western Pacific: an account of native enterprise and adventure in the archipelagos of Melanesian New Guinea. London: Routledge
    Saptari, Ratna. 2008. The Politics of Workers’ Contention: The 1999 Mayora Strike in Tangerang, West Java dalam International Instituut voor Sociale Geschiedenis, pp. 1-35
    Suryomenggolo, Jafar. 2012. Factory Employment, Female Workers’ Activism, and Authoritarianism in Indonesia dalam Critical Asian Studies, 44:4, pp. 597-626

  • Realisme Najis dalam Lagu “Sang Juragan” Silampukau

    author = Raihan Robby

    Silampukau membuka lagu “Sang Juragan” dengan sebuah siulan, siulan yang merdu dan singkat seperti sedang menyiul burung peliharaan di beranda rumah. Lalu dengan karakter musik indie folk-nya, mereka membuka lagu dengan lirik yang tajam, apa adanya dan lugas, Hidup ini memang keras // Apa salahnya kujual miras? // Anggur, vodka, arak beras // Dijamin murni tanpa potas. Ketika pertama kali mendengarkan lagu ini, tanpa basa-basi Silampukau mengajak pendengar untuk langsung menyepakati bait pertama dari lirik lagu ini, Hidup ini memang keras, kita semua setuju bahwa memang kehidupan ini teramat keras. Tapi, keras yang seperti apa? Dan dalam kacamata siapa hidup ini begitu keras? Di bait lirik selanjutnya kita langsung diberikan jawaban dari semua itu. Apa salahnya kujual miras? Setelah menyepakati bahwa hidup ini memanglah keras, Silampukau mengambil sudut pandang penjual miras (minuman keras) dalam lagu ini yang menjual berbagai macam minuman keras, seperti Anggur, vodka, arak beras. Terdapat berbagai jenis minuman yang dijual oleh Si Penjual Miras ini, mulai dari buatan pabrik, import hingga lokalan. Seperti Anggur1, Vodka2 dan Arak Beras3. Seperti layaknya seorang pedagang yang menawarkan dagangannya, Si Penjual Miras ini langsung memberikan embel-embel penenang bahwa miras yang ia jual bukanlah miras oplosan, Dijamin murni tanpa potas4. Potas sendiri menjadi polemik dalam “fenomena” minum-minum di Indonesia. Pasalnya, potas merupakan zat kimia yang berbahaya untuk dikonsumsi, apalagi bersama dengan miras, efeknya luar biasa, mulai dari kebutaan hingga kematian. Silampukau di lirik-lirik awal dari lagu ini menggambarkan kenyataan yang hadir di masyarakat, dalam hal ini masyarakat Surabaya yang menjadi kebanyakan tema dari lagu-lagu mereka. Mereka pun menggunakan rima yang berakhiran -as, pada bait-bait lirik awal ini. Seperti; keras, miras, beras, potas, menjadikan pembuka lirik lagu yang sangat menarik bagi saya.

    Di lirik selanjutnya, Silampukau menggambarkan situasi kapan Si Penjual Miras ini beroperasi. Datang kapan saja silahkan // Siang-malam tak usah sungkan. Ini adalah realita yang hadir di tengah masyarakat kita, bahwa pedagang miras memang selalu beroperasi siang dan malam, tidak seperti pedagang-pedagang lain yang mempunyai batas waktu ketika berjualan, pedagang miras terkesan sangat flexible untuk menjajakan minuman kerasnya. Kenapa seperti itu? Mungkin karena minuman keras sendiri sudah bukan lagi dijadikan sebagai alat untuk mabuk-mabukan. Ada yang digunakan untuk minuman herbal menjadi jamu pegal-pegal, ada yang untuk relaksasi, bahkan untuk bahan makanan. Pada lirik selanjutnya ada semacam kode untuk para pelanggan yang ingin memesan minuman keras di tempatnya, Sekali siul dua ketukan // Biar ku tahu pasti itu pelanggan. Lalu terdengar siulan dan dua ketukan di lagu itu, ini bagian paling menarik sekaligus menggelikan bagi saya dari lagu ini. Seakan para pelanggan paham dari “kode etik” yang diberikan Si Penjual Miras ini, sekaligus sangat menggelitik karena di lirik sebelumnya, para pelanggan bebas untuk datang kapan saja dan tak usah sungkan, lalu di lirik ini para pelanggan harus paham “kode etik” untuk membeli miras, tanda bahwa Si Penjual Miras ini sembunyi-sembunyi dalam menjual mirasnya. Di lirik-lirik ini pun Silampukau menggunakan rima yang berakhiran -an. Seperti; silahkan, sungkan, ketukan, pelanggan, pengulangan rima yang berakhiran sama ini menjadi menarik, tetapi juga berbahaya bagi lirik lagu jika terlalu dipaksakan dengan tujuan mencari bunyi yang sama.

    Gambaran ironi hadir juga di lirik-lirik selanjutnya, Sekali waktu datang mereka yang berseragam // Turun dari mobil, pasang tampang sok seram // Sedikit bangkrut aku tiap mereka datang. Silampukau dengan berani menyindir rahasia umum di masyarakat tentang penarikan “jatah keamanan” yang dilakukan oleh oknum aparatur negara. “Jatah keamanan” ini cukup merugikan para penjual miras yang seringkali tidak mendapatkan untung yang cukup karena selalu ditagih oleh para oknum aparatur negara ini, jika kurang atau telat membayar “jatah keamanan” bisa dipastikan setelahnya toko miras itu akan digerebek dan diambil semua mirasnya sebagai barang bukti yang disita oleh negara. Lebih ironisnya lagi, baru-baru ini di Indonesia sedang ramai-ramai dibahas RUU Larangan Minuman Beralkohol (minol) yang terdiri dari tujuh bab dan dua puluh empat pasal. Yang isinya antara lain; definisi minuman beralkohol, tata laksana pelarangan, pengawasan, hingga tindak pidana bagi yang melanggar. Jika RUU ini sah menjadi UU, maka setiap orang yang memproduksi, menjual, menyimpan, mengkonsumsi alkohol bisa terancam pidana. Mulai dari golongan minuman beralkohol A,B, dan C (Anggur Merah, Vodka, Cap Tikus). Juga minuman oplosan hingga minuman alkohol tradisional (seperti Ciu Bekonang, Arak Beras) semua akan diatur oleh negara. Lagu ini pun akhirnya menjadi sangat relate dan dekat, karena seperti inilah realisme najis yang ada di masyarakat kita, negara terlalu mencampuri urusan setiap warganya, seperti hak untuk mengkonsumsi alkohol, misalnya. Dampak ini pun sangat dirasakan oleh para penjual miras, seperti di lirik selanjutnya, Yang penting bisnis aman. Begitulah gambaran realisme najis yang sadar atau tidak kita sadari hadir dan berkembang di tengah masyarakat kita.

    Realisme najis adalah istilah yang pertama kali dicetuskan oleh Bill Buford untuk mendefinisikan gerakan sastra Amerika Utara (bergerak pada karya fiksi), realisme najis adalah subgenre dari realisme, yang memandang kehidupan dengan apa adanya, tanpa metafora-metafora yang indah, kata-kata yang dihadirkan sangat menggangu, ironis, bahkan biadab. Tetapi selalu penuh kasih sayang. Saya mengkategorikan lagu “Sang Juragan” masuk ke dalam realisme najis dengan napas musik indie folk khas Silampukau. Menariknya Silampukau memang mengangkat berbagai macam tema permasalahan sosial, kerinduan seorang perantau, nostalgia masa kecil, hingga kritik terhadap media televisi hadir di dalam lagu-lagu Silampukau. Sehingga lagu-lagu Silampukau begitu dekat dan terasa hadir di tengah kita.

    Belum selesai ke-ironi-an itu dibahas, di lirik selanjutnya dijelaskan dimanakah tempat Si Penjual Miras itu menjual dagangannya, Dari sungai yang berkarat // Susuri arah menuju barat // Di seberang kantor wakil rakyat // Di sanalah aku bertempat. Kita bahas dari nalar lirik lagu Dari sungai yang berkarat, entah apa maksudnya “sungai yang berkarat” itu, apakah sungai yang dipenuhi zat besi yang korosif? Atau sungai yang tidak ada airnya? Sungai yang berkarat ini bagi saya tidak menggambarkan apa-apa, sekali lagi seperti yang saya bilang di awal tadi, penggunaan rima yang berakhiran sama, bisa saja bagus dan bisa saja menjadi senjata makan tuan jika hanya mencari bunyi yang sama. Seperti -at pada berkarat, barat, rakyat, bertempat. Nalar saya terputus pada “sungai yang berkarat” itu, apakah Silampukau ingin berfokus pada ironi Si Penjual Miras? Yang berjualan jauh dari jalanan sampai harus menyusuri “sungai yang berkarat” itu? bagi saya tidak perlu, “sungai yang berkarat” tidak mengartikan apa-apa, jika referensinya adalah sungai yang kotor, mungkin akan sesuai dengan nalar lagu, tapi sungai yang berkarat adalah metafora yang seharusnya tidak perlu dihadirkan, jika ingin mencari keironian dari penggambaran kenyataan tentang Si Penjual Miras dan tempat berjualannya. Tapi, lagi-lagi hal ini menjadi senjata makan tuan, karena terlalu memaksakan rima yang berakhiran sama, sehingga konstruksi nalar lagu yang telah dibangun dari awal lirik menjadi tidak nyambung.

    Tidak hanya ironi yang hadir di lagu “Sang Juragan” tetapi juga paradoks sosial, terdapat pada lirik, Kadang datang juga mereka yang terpinggirkan // Wajah kurang makan, ngotot beli minuman // Tak habis pikir aku tiap mereka datang. Mengapa ini saya mengatakan paradoks? Jika tadi Silampukau menampilkan oknum aparatur negara yang sering meminta jatah kepada Si Penjual Miras, di lirik ini ada sedikit kegetiran dan ditunjukan moral dari Si Penjual Miras yang ia pendam sendiri, ketika melihat ada “mereka yang terpinggirkan” atau yang saya artikan sebagai “kaum marjinal kota” seperti gelandangan, pengamen bahkan anak-anak punk, yang ingin berbahagia dengan menenggak minuman keras. Alih-alih melarang atau tidak mengizinkan untuk membeli minuman, moral Si Penjual Miras, hanya sebatas rasa getir di dalam diri, pada akhirnya Si Penjual Miras akan mengizinkan untuk membeli minumannya, seperti lirik Ya sudahlah silahkan! Bernada pasrah tanpa menghakimi si pelanggan.

    Di lirik-lirik terakhir dari lagu ini, Hidup ini tambah keras // Semenjak naiknya harga miras // Anggur, vodka, arak beras // Lebih hemat campur potas. Silampukau memberikan tawaran “jalan pintas” karena hidup yang semakin tambah keras dan harga miras yang terus melambung tinggi maka jalan keluarnya adalah miras yang dicampur dengan potas, sehingga menjadi minuman oplosan. Harga menjadi lebih murah, dengan tujuan mabuk yang instan.

    Barangkali seperti itulah seharusnya kita menyikapi kehidupan yang tidak pernah menguntungkan kita ini, kita dituntut untuk selalu beradaptasi dengan keadaan, sehingga menghasilkan “jalan pintas” yang cemerlang, atau sangat berbahaya bagi kehidupan. Silampukau bagi saya telah berhasil menggambarkan realisme najis yang terjadi di kota-kota besar, dalam hal ini Surabaya, Silampukau berhasil menggambarkan kondisi sosial Surabaya dengan kaum marjinal yang tersisihkan, bagi saya, seperti inilah percampuran antara realisme najis dengan spirit indie folk, menghadirkan musik-musik yang menyentil hingga mengganggu ketenangan para pendengarnya, karena kita dituntut untuk terus memperhatikan kenyataan di dalam diri dan di luar diri.

  • Puisi-puisi Hadiwinata: Jalan Keluar Sekaligus Jalan Masuk Menuju Kesedihan

    author = Ramayda Akmal

    I.

    Dalam perspektif klasik, puisi merupakan pernyataan moral dari penulis yang ditarik dari pengalaman empirik yang faktual dan dihadirkan dengan bentuk yang fiksional [1]Eagleton, Terry. 2007. How to Read a Poem. USA: Blackwell Publishing. P. 25.. Untuk menghadirkan bentuk yang demikian, tulisan harus diputus dari keberlangsungan atau hubungannya dengan konteks empirik dan diletakkan dalam ruang yang lebih general. Namun terdapat pula kemungkinan bahwa puisi-puisi menunjukkan kecenderungan yang sebaliknya seperti halnya puisi-puisi Hadiwinata dalam kumpulan berjudul Sepanjang Jalan Kesedihan ini. Dalam catatan pembukanya, Hadiwinata mengatakan bahwa:

    “Aku menulis sambil bekerja. sambil mencatat hasil produksi, diam-diam aku menulis di catatan kecil. aku menulis puisi-puisi pendek. bahkan terkadang di waktu aku kerja malam. barangkali hasilnya biasa saja, banyak kekurangan di sana-sini. juga masih banyak peristiwa-peristiwa yang tak tercatat di buku ini. aku sadar itu. namun, setidaknya buku ini mewakili cerita-cerita itu.”

    Dari kutipan di atas kita mengerti bahwa Hadiwinata justru mendekatkan puisi dengan konteksnya. Ia tidak memutus atau memisahkan tetapi menyatukannya. Puisi-puisinya diciptakan langsung sebagai bagian dari pengalaman-pengalaman yang ia lewati yang menjadi sumber penciptaannya. Seperti yang ia tekankan, puisinya pendek-pendek, ditulis di sela-sela mencatat hasil produksi. Jadi puisi dan catatan hasil produksi berada berdampingan. Seperti halnya catatan hasil produksi, puisi juga menjadi sumber catatan peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar aktivitas kerjanya. Secara bentuk, hal ini juga tersirat dalam keseluruhan presentasi puisi-puisinya yang tidak diawali dengan huruf besar dan tidak diakhiri dengan titik, cuma ada jeda dan spasi. Pilihan penyajian ini bisa diartikan tidak adanya pemisahan, tidak adanya awal dan akhir, baik di antara puisi satu dengan yang lain, maupun dari satu puisi ke satu pengalaman yang menjadi sumber penceritaanya.

    Sebagai contoh, saya kutipkan satu puisinya yang bisa dikatakan sangat performatif di bawah ini.

    permainan

    buat nelson

    di dalam kilang ini
    permainan apa yang kita lakukan

    adakah kejar-kejaran?
    kami yang berlari mencari-cari bahan

    di antara mesin-mesin besi nan berisik

    mencipta plywood
    yang berharga selangit itu
    lalu kau di belakang
    mengejari kami ke mana pun
    seraya berteriak dan memaki

    atau sembunyi-sembunyian?

    kami yang bersembunyi
    di balik mesin, toilet, plywood

    serta tiang penyangga

    karena pekerjaan yang tiada henti

    dan kau yang berjaga

    lalu sebagai hukumannya
    ketika kami tertangkap
    oleh mata dan mulutmu yang sampah

    cacian demi cacianlah
    yang mesti kami terima
    atau ludahan
    atau sesekali pukulan

    tetapi apabila hal itu terus terjadi
    takkan ada lagi hukuman yang akan kau berikan

    kecuali memberhentikan permainan ini
    dan menyuruh kami pulang
    ke kampung halaman

    bintulu, 2018

    Pada puisi di atas, kita menangkap suasana kerja, melihat barang-barang yang ada di pabrik, dan merasakan hubungan antara mandor dan pekerja. Semua objek dan situasi yang ditangkap pembaca hampir sama dengan yang dirasakan penulis dan pekerja yang lain. Pembaca disuguhi sebuah pertunjukkan kejar-kejaran, sembunyi-sembunyian, rasa khawatir dan muak atas cacian, dan seterusnya. Kalimat-kalimatnya yang lancar, jelas dan eksplanatif juga semakin menipiskan perbedaan antara puisi dan ungkapan perasaan sehari-hari Hadiwinata sebagai pekerja. 

    Puisi Hadiwinata, proses penciptaannya, dengan demikian dalam beberapa derajat tertentu melawan konvensi klasik penciptaan sebuah puisi, yang membutuhkan ketidaklangsungan, estrangement, defamiliarisasi dan deformasi dari bahasa sehari-hari [2]Beberapa doktrin Formalis Rusia terkait karakteristik bahasa puisi.

    Namun jika demikian, apakah puisi-puisi Hadiwinata bukan lagi puisi? Apakah puisi itu tidak lagi bisa dibedakan dari keluhan sehari-harinya di tempat kerja? Apakah puisi itu tidak lagi puitik? Menurut saya tidak sama sekali, yang terjadi justru berlawanan. Ada dua kemungkinan yang bisa kita andaikan terkait puisi-puisi Hadiwinata ini. Pertama, dunia empirik menjadi berkarakter puitik. Hadiwinata menarik dunia yang ada di sekitarnya dalam ruang yang keseluruhannya estetis dan memunculkan sesuatu dalam komunikasinya sehari-hari dalam formasi tertentu yang tidak bisa dihasilkan oleh pembicaraan biasa. Kedua, yang terjadi sesungguhnya adalah puisi muncul sebagai deotomatisasi yang sangat tiba-tiba, menghentikan gerak kerja, menjadi pause di keseluruhan aktivitas kerjanya. Pause dan kejutan tiba-tiba itu hanya bisa tercipta oleh sesuatu yang memang menjadi bagian dari dunia yang dikejutkan itu. Dengan kata lain, tercipta oleh penulisan puisi yang menjadi bagian dari aktivitas kerjanya.

    II.

    Hal ini akan menjadi semakin terang jika kita melihat perbincangan mengenai bentuk dan isi dalam puisi-puisi Hadiwinata. Isi adalah apa yang hendak puisi-puisinya katakan, sementara bentuk adalah cara yang dipilih Hadiwinata untuk mengungkapkannya. Asumsi sederhananya, bentuk tertentu dalam puisi Hadiwinata, membawa isi, membawa gagasan yang tidak bisa atau tidak mungkin disampaikan, dengan cara muncul sebagai pause, sebagai jeda. 

    Seperti sudah saya ungkapkan, terdapat satu aspek dalam puisi Hadiwinata yang sangat dekat dengan konteksnya. Aspek itu adalah proses penciptaan dan isi atau ceritanya. Ada kedekatan dan kelangsungan yang sangat jelas. Namun, isi itu diceritakan dengan bentuk yang—meskipun seperti saya katakan di awal, tersusun dari kata-kata yang sehari-hari—tetapi dihadirkan dengan sangat spesifik dan berbeda. Sebagai ilustrasi, saya kutipkan salah satu bagian dari puisinya berjudul “Pekerja Perempuan buat Nasmira” sebagai berikut: 

    di tanah ini
    perempuan bekerja serupa lelaki
    dari hari ke hari
    yang dimulai sejak terbit matahari 

    sampai ia telah jauh meninggalkan pergi 

    seperti perempuan sulawesi itu
    yang datang ke tanah ini
    hanya untuk mengakat dan menyeleksi beribu plywood 

    dan menerima upah yang terkadang
    tak sampai 1000 ringgit malaysia 

    hingga demam hampir tiap hari melanda 

    seluruh tubuh begitu kencang, keram 

    sakit di malam hari
    bahkan telat menstruasi 

    Bentuk dari kutipan puisi di atas, yang terdiri atas berbagai aspek seperti suasana (tone), ritma, rima, sintaksis, asonansi, dan bahkan tata bahasanya dihadirkan sedemikian rupa untuk ‘melengkapi’ isi yang hendak disampaikan. Misalnya, rima yang cukup rapi, yang memancing irama yang teratur dalam kutipan di atas, mengarahkan pembaca untuk menekankan informasi-informasi tertentu. Perempuan bekerja serupa lelaki/dari hari ke hari/yang dimulai sejak terbit matahari/sampai ia terlah jauh meninggalkan pergi, adalah larik-larik yang selain menyampaikan informasi juga menekankan suasana tertentu. Seperti juga larik-larik ini: seluruh tubuh begitu kencang/keram sakit di malam hari/bahkan telat menstruasi, yang pendek-pendek dalam susunannya namun tetap berima, seperti halnya menyampaikan sebuah kesedihan yang memang sulit digambarkan dengan kalimat panjang. Kesingkatan itu juga mengarahkan pada fungsi pause dan kejutan yang sudah saya ungkap di atas, yang membawa makna/suasana kesedihan dan penderitaan dalam situasi kerja yang ia ceritakan.

    Dari contoh di atas kita mengerti bahwa bentuk tidak sekadar refleksi atau mimesis dari makna, melainkan konstituennya. Bentuk adalah sesuatu yang harus ada, yang membangkitkan sebuah makna. Bisa dikatakan, modifikasi yang dilakukan terhadap bentuk di atas juga bisa memodifikasi maknanya.

    Dalam bahasa sehari-hari, manusia adalah pemburu konten. Setiap orang menjadi content-analysis. Yang paling utama dalam komunikasi akhirnya adalah makna dari isi tersebut, tanpa peduli dengan pertimbangan bahasanya. Namun melalui puisi-puisi Hadiwinata, kita membaca isi dan bentuknya secara bersamaan. Kita membaca sebuah proses di mana makna terbentuk melalui relasi antara bentuk dan isi tersebut. Proses inilah yang tidak kita tandai benar-benar dalam komunikasi sehari-hari, yang mungkin tidak Hadiwinata sadari dalam keseharian kerjanya, kecuali ketika menulis puisi. Melalui puisi, kita mau tidak mau harus mencermati kata-kata, mencermati bentuk, sebagai bagian untuk mendapatkan isi dan makna.  Kita benar-benar mengalami dan menyadari medium dari pengalaman kita. Dan dalam puisi Hadiwinata, bentuknya yang berbeda dengan misal obrolan di sela kerja atau catatan produksinya, membawa isi lengkap dengan maknanya. Membawa cerita tentang kerja lengkap dengan suasana kesedihannya. 

    Bagi Hadiwinata sendiri, secara praktis, dalam kejenuhan kerja, menulis puisi, menjadi sarana untuk menyadarkan dirinya akan kondisi di sekitarnya. Tulisan dan kata-kata dalam puisinya adalah medium untuk membawanya pada kesadaran makna, kesadaran akan kondisi yang dialaminya sebagai pekerja. Pikiran yang jenuh disegarkan dengan menulis puisi. Namun dengan menulis puisi juga, Hadiwinata seperti selalu menjaga kewaspadaan dan kesadaran bahwa yang dilewatinya bukan sesuatu yang mudah, ada penderitaan, ada kesedihan. Oleh karena itu, menulis puisi menjadi penyelamatnya akan kelarutan total akan kondisi kerja yang menyedihkan, yang juga berarti menyadarkannya atas kesedihan itu. Puisi menjadi jalan keluar sekaligus jalan masuk menuju kesedihan. 

    Meskipun tampak seperti paradoks yang tidak mudah bahkan penuh derita, kekuatan puisi-puisi Hadiwinata justru ada di sini. Puisi-puisi yang dihasilkannya bukan sekadar produk estetis di kamar kosong yang sunyi, tetapi juga bagian dari aksi yang menghubungkan secara langsung pengalaman dengan representasinya yang paling lengkap. Sebagai bagian dari aktivitas kerja, puisi muncul sebagai momen jeda di mana dirinya yang berada pada situasi yang otomatis dan dehumanis, dihayati dan dikontemplasikan untuk dikembalikan pada kemanusiaannya.***

    Hamburg, September 2020

    ditulis sebagai pengantar Buku Puisi karya Hadiwinata yang berjudul Sepanjang Jalan Kesedihan terbitan Penerbit Kabisat

    References

    References
    1 Eagleton, Terry. 2007. How to Read a Poem. USA: Blackwell Publishing. P. 25.
    2 Beberapa doktrin Formalis Rusia terkait karakteristik bahasa puisi.