Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Selayang Pandang Wacana Industrialisasi Daging Vegan

author = Agung Wicaksana

Rabu, 29 April 2020, mantan CEO Jawa Pos Group, Azrul Ananda, mengunggah sebuah tulisan berjudul “Resolusi Pasca-Corona: Kurangi Daging” di www.happywednesday.id/. Bagi saya, tulisan Azrul tidak lain dan tidak bukan merupakan upayanya dalam menyadarkan masyarakat agar mengurangi konsumsi daging dan mengalihkannya ke daging vegan. Pada dasarnya, vegan dan vegetarian adalah dua hal berbeda, walaupun sama-sama menghindari daging hewan dalam menu makanan karena alasan lingkungan, Vegetarian masih mentoleransi beberapa produk yang dihasilkan oleh hewan seperti susu dan madu, sementara Vegan memilih untuk menghindari produk-produk itu. 

Lebih lanjut, Azrul menuangkan kesedihannya mengenai belum adanya pemikiran serius yang memperjuangkan daging vegan ke arah industri. Nyatanya, Indonesia masih bergantung dan berharap banyak pada impor dari teknologi negara lain, bahkan kebijakan impor daging sapi sempat (mungkin masih) menjelma lahan basah bagi elit politik demi meraup sebanyak mungkin pundi-pundi. Berdasarkan tulisan Azrul pula, Azrul yang sempat singgah di sebuah negara maju ketika meniti bangku pendidikan, melihat sekaligus merasa bahwa negara yang ia singgahi itu telah menyadari potensi daging vegan, lalu perlahan mengarahkannya ke arah industri berskala besar.  

Lahan-lahan di Indonesia marak dialihfungsikan menjadi peternakan, toko acap kali membanderol produk sayur-mayur seperti brokoli dan paprika, terjangkau tinggi dibanding olahan daging ayam. Padahal di tengah kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, banyak peneliti yang mengemukakan bahwa berbagai jenis tanaman ternyata mengandung protein. Buktinya, hewan-hewan yang dikata ‘berprotein’ itu pun memakan tanaman, misalnya ayam yang memakan jagung, sapi memakan rumput gajah. Lalu, mengapa kita tidak mengindustrialisasi daging vegan  ketimbang terus berkutat pada ayam, telur, dan sapi?

Di Surabaya, tempat saya dilahirkan dan dibesarkan, saya pernah mengunjungi beberapa restoran vege. Di tiap restoran yang saya datangi itu, pada dindingnya disemati foto-foto atlet maupun tokoh dunia yang secara spesifik menjauhi konsumsi daging hewan. Sebut saja bintang basket Amerika Chris Paul, juara dunia Formula 1 Lewis Hamilton, bintang tenis Novak Djokovic, hingga sutradara kawakan macam James Cameron. Penyematan foto-foto tersebut merupakan propaganda yang cerdas. Selain ‘mengukuhkan’ gaya hidup ini sebagai resep yang diakui dan diadopsi oleh orang-orang penting, restoran-restoran ini secara tidak langsung memengaruhi pengunjung agar ikut bergaya hidup vegetarian, lebih-lebih agar berpuguh untuk mengonsumsi daging vegan agar setidaknya bisa ‘sukses’ seperti mereka.    

Pemahaman saya terhadap kegusaran Azrul yang dituangkan dalam tulisannya, menggiring saya untuk memikirkan perihal kemungkinan daging vegan menjadi salah satu produk industri di negara ini. Satu, jika bertolak dari propaganda yang dilakukan oleh restoran-restoran vegetarian itu, memang benar, banyak atlet maupun tokoh dunia yang ber-vegan. Namun, bukankah setiap atlet terkemuka membutuhkan asupan yang lebih dari sekadar asal kenyang? Mereka tentu memerlukan suplemen, kalsium, vitamin, dan minuman berenergi yang kesemuanya itu tidaklah murah serta terkandung di alga merah, ganggang hijau, ataupun ginseng. Dua, bertolak dari logika makin banyak hewan dikonsumsi, makin sempit lahan hijau. Singkatnya, bila tanaman kelak dikonsumsi oleh manusia secara massal dan lahan-lahan ditanami sayur-mayur untuk diolah menjadi daging vegan, lantas di mana hewan-hewan dapat mencari pakan? 

Selanjutnya, pemulihan daerah ternak menjadi lahan tanam memerlukan dana yang tidak sedikit. Jika produk vegan kemudian diindustrialisasi, sebenarnya bisa saja dilakukan walaupun dengan waktu tunggu yang cukup panjang, melingkupi pengaturan regulasi benih  tanaman olahan, limbah tanaman pasca ekstraksi, hingga aturan dagang di tingkat konstitusional. Kerjasama internasional yang tertuang dalam kesepakatan impor-ekspor juga harus diubah. Tentunya peninjauan-peninjaun tersebut cukup sulit bila dilakukan dalam waktu dekat, bahkan bisa jadi masih saja sulit bila digulirkan lima sampai sepuluh tahun ke depan. Teknologi yang berjalan di tempat pun seolah menjadi persoalan klise yang membelit Indonesia. Di saat negara-negara maju berhasil menemukan formula agar daging vegan memiliki citarasa serta tekstur yang mirip dengan daging hewan, menu yang ditawarkan restoran-restoran vege di Indonesia masih mengandalkan bahan dasar tepung atau ragi. Selebihnya, sebatas menyubtitusi daging ayam atau sapi dengan tempe atau tahu untuk sajian steak

Sebenarnya, gaya hidup vegetarian menawarkan dampak positif dari segi kesehatan. Mengonsumsi daging vegan secara berkelanjutan juga memberi ‘kesembuhan’ bagi lingkungan. Namun, hingga detik ini, saya masih memegang teguh prinsip bila industri adalah salah satu cara terselubung untuk menyikut tradisi dan budaya. Saya memikirkan orang-orang Tionghoa ataupun Bali yang tetap rajin memanggang babi untuk bersantap malam bersama keluarga, saya memikirkan kawan-kawan Minahasa yang tidak menggantikan daging ular dan tikus hutan tatkala kerabatnya melangsungkan pesta pernikahan, maupun kawan-kawan Batak yang mengolah daging kerbau ketika sanaknya berpulang ke sisi Tuhan, atau semangkuk sayur kol daging anjing di meja makan tiap waktu makan siang.

Industri daging vegan di Indonesia dapat amat menjanjikan dan berpeluang besar mendatangkan keuntungan, asalkan daging vegan itu bisa mengakomodasi pula citarasa berikut tekstur dari daging-daging hewan selain ayam juga sapi__ yang nyatanya masih menjadi makanan yang sukar tergantikan di beberapa daerah di Nusantara. Rasanya cukup rumit ya. Pada akhirnya, saya setuju dengan pendapat Mark Twain, “Part of the secret of success in the life is to eat what you like and let the food fight it out inside.” Gaya hidup semata pilihan.