Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Seperempat Abad Mencerca Dunia

author = Bambang Widyonarko

Penghujung malam Jum’at Pahing, aku mengayuh sepeda menuju suatu tempat di kaki Gunung Halimun untuk menyepi. Malam yang pekat itu, kuhabiskan waktu bersama gemericik air diselingi suara satwa penghuni hutan. Menuju sepertiga malam, aku bermunajat pada Tuhan, “terima kasih Tuhan atas segala karunia-Mu pada hidup yang bangsat ini”.

Kala itu persis lima puluh tahun sesudah United Nations (UN) berdiri, aku dilahirkan. Ibu kandungku wafat manakala aku mulai beranjak bisa mengucapkan kata pertamaku. Sejak itu, aku diasuh dan dibesarkan oleh eyangkung (kakek) dan eyanguti (nenek). Besar di bawah pengaruh aristokrasi Jawa yang kental, membuat aku merasa diriku anomali dalam pergaulan di tepian ibukota paling keras, Jakarta Utara.  Priok, begitu daerah ini sohor dikenal adalah miniatur Sparta dalam masa kiwari. Siapapun yang kuat, mereka bertahan, selama air laut belum surut, pantang uang juga akan habis begitulah kredonya. Masa remaja yang penuh pembuktian diri bagi sebagian besar remaja laki-laki Priok, dibuktikan dengan menyetop truk peti kemas, naik di belakangnya, dan kalau bisa kau ambil besi yang ada disana. Maskulinitas laki-laki yang baru akil baligh dinilai dari tindakan BM (berani mati) ini. Tentu saja aku tak memilih prosesi mengerikan itu, disamping sebuah sekolah dasar Katolik yang membuat jarak aku dengan “mereka” semakin jauh. Pertama kali dalam hidup, aku memilih sebagai penonton dalam ketakutan.

Saat aku mengutarakan niat mengambil Ilmu Sejarah sebagai pilihan studi, lamat-lamat eyangkungku menatapku dengan tajam. Tatapan interogatif khas birokrat zaman Orde Baru ini menjangkau sanubarinya paling dalam mengenai nasib cucu kesayangannya ini. Ia weruh sak durunge winarah bahwa menjadi sejarawan adalah sama halnya menjadi pastor paroki yang mengucapkan kaul kemiskinan sepanjang hidupnya. Ia lebih menghendaki aku menjadi seorang penyuluh agama ataupun penghulu dengan mendaftarkanku ke IAIN Ciputat. Namun tekadku bulat yang akhirnya menghantarkanku pada gelar sarjana sejarah di akhir namaku. 

Persis 15 hari setelah wisuda, eyangkungku wangsul ke swargaloka. Sepuluh purnama berselang, giliran eyangutiku yang menyusul belahan jiwanya. Belum selesai aku bertanya tentang hidup, Tuhan menyematkan padaku nomor urut 147 dalam kasus Covid-19 di Indonesia. Bertarung dalam sunyi, keluar gelanggang masih diliputi sepi. Bagaimana tidak? Tuhan panggil orang-orang yang kusayangi, lantas Ia memberikanku prank kematian yang sudah aku songsong dengan hati yang bahagia sembari berharap berjumpa dengan mereka, tapi ternyata Tuhan pula yang memberikanku izin memasuki usia seperempat abad. Sial. Lalu apa gunanya usia dua puluh lima?

Konstruksi Numerik Nir Konklusi

Tatkala dr. Zhivago keluar dari Kremlin, ia menyaksikan bahwa pemuda-pemuda Soviet mengais-ngais remah gandum dan menyimpannya dalam saku. Pemuda Soviet yang lapar, tak punya banyak pilihan untuk menentukan apa yang akan mereka santap. Bagi mereka, pilihan hidup hanya dua; mati dalam keadaan berperang atau mati kelaparan. Dokter muda lainnya kisaran usia 25 tahun yang mengendarai motornya keliling Amerika Latin, Guevara juga menemukan sisi lain hidupnya. Perjalanan itu memengaruhi dunia Guevara, berkat Lepra dan Kusta, dirinya menjadi simbol perlawanan arogansi Amerika.

Hal retrospektif yang ditemukan dalam hidup adalah melihat hidup orang lain, setidaknya orang-orang yang kita kenal selama ini. Tentu banyak dari orang-orang itu yang memengaruhi hidup kita dan kadang kita mengimitasinya atau bahkan terobsesi karenanya. Wajar saja, aku menatap bagaimana ‘sewajarnya’ usia 25 tahun harus dilakoni dari orang sekelilingku. 

Orang pertama itu adalah sahabat yang kukenal semenjak 10 tahun lalu. Orang yang ‘membagi’ orangtuanya dengan diriku serta orang yang menghabiskan ribuan kilometer bersama, mulai dari keliling Jakarta hingga Pattaya. Memang dirinya belum beranjak mencapai usia 25, tapi hidupku banyak berubah karenanya. Satu hal yang pasti, aku tak mungkin hidup ala punk-rock atau ala grunge yang dijalaninya. Toh, saat ini ia sedang berbahagia dengan pasangannya, sedangkan aku masih ingin menghitung kinderjoy di etalase minimarket. 25-ku tak seperti itu.

Seorang yang kupanggil ‘mentor’ adalah orang kedua dalam pelajaranku melihat hidup. Dua kali dalam waktu berdekatan, ia mengambil master pada bidang yang ia tekuninya. Dua tahun menetap di Singapura, saat ini menggenapkan tahun keduanya di Belanda.  Seorang pembelajar yang perfekt untuk dijadikan panutan dan segala macam kedigdayaan intelektual lainnya. Tapi aku sadar, langkah kaki kami berbeda. Sang mentor telah melewati 25-nya, aku masih harus mengejarnya.

Komparasi hidup yang asik kulihat dari kedua temanku selanjutnya. Entah mengapa di mataku, keduanya memiliki banyak kesamaan. Selain keduanya bernama Bagus, mereka berasal dari desa yang sama-sama tertinggal. Keduanya adalah contoh “kesuksesan” ala zaman Soeharto, berawal dari pemuda kampung lalu mengalami social-climbing menjadi kelas menengah-intelektual. Bagus yang lebih tua, sepintas bila pertama melihatnya adalah tipikal koko-koko penjaga toko elektronik di Glodok. Siapa sangka, pemuda miskin yang hampir saja dikeluarkan dari kampus karena menginap di rumah rektor, kini bermukim di Marseille melanjutkan studinya. Ia adalah duplikasi sempurna dari cerita dosen Gadjah Mada tahun 80-an, beranjak dari pemuda miskin di pelosok kampung kemudian kuliah keluar negeri. Bagus yang kedua adalah seorang peneliti dan surveyor politik yang pada waktu kuliah adalah mahasiswa idealis dengan segudang ide cemerlang yang mengimitasi dari Pram. Ia mendaku dirinya adalah Generasi Pasca-Indonesia. Kiranya, desk redaktur Kompas lebih cocok untuk dirinya. Apabila sebelumnya ia hanya tahu Kroya, tahun lalu ia menjejakan kaki di Korea, harapanku ia mengunjungi Pyongyang, tapi ahjussi ini malah terdampar di Pulau Jeju. Bagus kedua memang belum melanjutkan studinya, seingatku ia ingin sekali kuliah di Sorbonne. Kalau hal itu terjadi, maka kedua Bagus adalah indikator keberhasilan Ganjar Pranowo memimpin Jawa Tengah, berhasil mengirimkan dua Bagus ke Prancis! Bagus pertama melewatkan usia 25-nya berbarengan dengan Sumpah Pemuda, sedangkan Bagus kedua nampaknya awal tahun depan baru memasukinya. Ahh tapi kupikir tak mungkin aku mengganti namaku menjadi Bagus Widyonarko seperti mereka, toh 25-ku bahagia saja menatapi menara sutet dibanding Eiffel.

 Bagi orang Jawa, usia 25 tahun adalah jenjang tahap selanjutnya setelah gerbang kehidupan pertama dilewati, usia 21. Saat pelafalan numerik  Jawa menghitung angka satuan di belakang dengan menyebut angkanya contoh 19 akan dibaca sangawelas, 21 dan 25 akan dibaca berbeda. Selikur dan Selawe, 21 dan 25. Usia 21, selikur adalah distorsi awal  penafsiran awal hidup sebagai seneng-senenge lingguh ning kursi dalam artian harfiah, seseorang di usia 21 baru merasakan awal-awal bekerja setelah sekolah maka selawe ditafsikran sebagai seneng-senenge le nyambut gawe. Kata itu mengasosiasikan bahwa seseorang di usia 25 sudah menempati jabatan tertentu di tempat kerjanya. Namun seorang teman menafsirkan bahwa selawe adalah seneng-senenge ngeloni wedok, dalam artian jelas bahwa usia 25 adalah usia yang ideal untuk berumah tangga. Jelasnya, usia 25 adalah puncak birahi manusia, baik birahi seksual maupun birahi ambisi untuk menggapai sesuatu. Pernikahan adalah benteng terbaik untuk ambisi itu, ciiih kadang aku tertawa mendengarnya.

Sebagian besar orang memandang indikator pencapaian kesuksesan hidup dari usia. Si A sudah pada posisi ini, si B masih begitu-begitu saja. Bagiku, usia hanyalah deretan numerik tanpa konklusi. Ia bebas dan bias makna. Yesus saat usia 25 tahun belum banyak mengeluarkan nubuat keillahian-Nya, pun begitu juga dengan Siddharta Gautama yang masih hidup dalam lingkungan istana. Kurt Cobain bahkan sudah terkenal dan punya banyak pengikut melebihi tiga sosok manusia luhur yang kusebutkan di atas. Saat Bill Gates mulai mencoba mengubah dunia dengan temuannya, Elon Musk di usia yang sama memberangkatkan manusia ke bulan. Tentu ini bukan apologi bahwa usia 25 adalah semena-mena tapi usia adalah tahapan formal numerikal yang datang setiap tahun. Kalau saja itu tak datang, berarti proses hidup menjadi sabatikal.

Tanpa sadar, reformasi yang menggulingkan Soeharto telah bergulir cukup lama. Bagi manusia-manusia yang lahir pasca tahun 1990-an, nyatanya digit numerikal semakin terasa tinggi begitupun dengan apa yang telah dilewati dan tantangan zaman yang berbeda. Usia 25, 26, 27, 28, 29, hingga 30 saat ini, adalah orang-orang yang pada saat itu hafal mati program Indosiar di Minggu pagi. Setelah Beyblade, Crush Gear, lalu Power Ranger. Namun saat ini, banyak dari kita yang bangga berkalung nametag sebagai karyawan start-up, pekerja milenial, atau bahkan PNS dan pengusaha. Dunia (kita) sudah berubah, seraya masih mencaci dosa boomers di sekeliling kita. Tak apa kawan, kuingatkan kembali, 25 yang bedebah itu bisa kita lewati, lantas sudah siap menyongsong 35? 45? 55? Atau bahkan 85?

Betul kata Gie, mati muda terkadang merupakan peruntungan paling baik. Tapi kalau bisa hidup kaya raya dan abadi seperti Ratu Elizabeth, kenapa tidak?