Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Bambang Widyonarko
Abaikan semua harapan dan kenangan, wahai semua yang masuk di sini, selamat datang di Inferno. Begitulah kalimat pembuka kidung Inferno karya Dante Alighieri.
Dante adalah orang yang dengan gamblang menggambarkan neraka lebih dari Yesus sang pekabar Injil. Berkat Dante, Salvador Dali dapat melukiskan neraka dengan gambar yang “sesungguhnya”. Batas antara Mundus (dunia) dengan Inferno digariskan dengan sesuatu yang tegas. Antara nasib, pengharapan, dan kegilaan manusia.
“Yang kaya melindungi yang miskin, agar hidup dengan wajar. Yang miskin melindungi yang kaya agar tidak menularkan penyakit,” adalah satu dari sekian sabda kontroversial yang dikemukakan Achmad Yurianto, pejabat yang ditunjuk pemerintah untuk berbicara di depan publik mengenai penanganan Covid-19. Di balik carut marut pemerintah dalam menangani wabah ini, ucapan Achmad Yurianto tentu memperparah keadaan. Ucapan bias kelas ini bisa jadi merepresentasikan negara sesungguhnya. Bagi negara kapitalis cum patriarkis, orang miskin ialah momok mematikan yang harus dibasmi. Terlebih si miskin yang sakit, yang akan menyusahkan si kaya. Sungguh paripurna bebalnya negara!
Beberapa kota dan wilayah perdesaan dengan inisiatif pribadi melakukan lockdown demi mengurangi laju penyebaran wabah ini. Langkah ini lebih jelas dibandingkan langkah negara yang menggelontorkan dana Rp. 72 milyar untuk influencer demi mendongkrak pertumbuhan wisata di tengah pandemi korona.
Beberapa rumah sakit bahkan dikabarkan kewalahan ketika menangani pasien dengan indikasi klinis mengarah ke Covid-19. Dante mengintip dari jendela kayu di seberang jalan seraya berkeluh, “Oh kasihan Indonesia, kini ia menjadi Inferno.”
Sore, di Jum’at, 27 Maret 2020. Pintu kamarku diketuk oleh omku. Raut wajahnya cemas menyiratkan ada sesuatu yang tak wajar. Saat membuka obrolan, ia mengawali dengan suara berat. Hasil uji laboratorium Dinas Kesehatan menyatakan aku positif terjangkit virus Covid-19. Aku mendengar dari balik tembok, mereka menangis tersedu-sedu. Aku tetap tersenyum dan mengatakan kepada mereka bahwa, “I’m okay, everything gonna be alright.” Pintu kamar kututup dengan senyum menyeringai. Brengsek!
Dante mengintipku dari balik pintu. Sepertinya ia tak sabar untuk mengajakku ke langkah selanjutnya setelah Inferno. Ia mengajakku menuju Purgatorio, sebuah tempat yang berisi api penyucian dosa. Tempat paling menyakitkan, lebih sakit dari neraka..
Aku menjadi satu dari sekian ribu orang yang terpapar Covid-19. Bagiku ini adalah bagian dari sebuah pengakuan dosa. Layaknya salah satu liturgi Katolik Roma, seperti itu pula Purgatorio berjalan. Penyakit ini bukan aib yang harus ditutupi.
Bagi negara mungkin aku hanya angka statistika belaka. Toh, apa gunanya manusia miskin sakit pula? Tak mampu membayar BPJS kelas satu, lantas sekarang sakitnya juga nomor satu.
Setelah menyandang status positif, keluargaku harus menjalani karantina pribadi di rumah. Malam itu seorang tetangga mengetuk pintu seraya memberikan beras dan beberapa kebutuhan pokok lainnya. Ia adalah seorang Protestan yang taat. Sebagaimana pembaca Alkitab yang lain, ia mengimani ucapan Kristus dalam Galatia 6:2, “Bertolong-tolonglah dalam menanggung bebanmu. Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus”.
Saat terberat seperti ini teringat sekali lagi akan ketabahan Nabi Ayyub dalam menjalani hidup. Sebagai pesakitan, ia hanya ditemani oleh Tuhan. Dominus vobiscum.
Minggu malam, ambulan menjemputku menuju rumah sakit pemerintah yang difungsikan sebagai rujukan dalam penanganan wabah. Jalanan terasa lengang dengan sirine ambulan yang meraung memecah keheningan malam.
Di sebuah ruang isolasi, aku ditempatkan bersama lima pasien positif lainnya. Pukul 12 malam, seorang kakek yang berbaring layu di sebelah kasurku dipanggil Sang Pemilik Kehidupan.
Dalam lima jam terakhir, sudah dua jenazah terbungkus plastik kami lihat hilir mudik keluar dari ruang isolasi yang lain. Bagi kami para pasien positif, hal ini hanya masalah waktu, bisa jadi dalam jam selanjutnya kami yang dibungkus plastik itu. Berharap-harap cemas sembari menunggu undian hidup. Bagi malaikat maut , ia sedang memanen nyawa.
Sorak-sorai semangat membanjiri pesan di gawaiku. Sanak saudara dan kawan baik silih berganti memberi dukungan. Mereka suporter terbaik saat ini. Ada sedikit harapan berkat mereka dalam menjalani Purgatorio ini.
Sungguh benar Dante yang akhir-akhir ini datang untuk menengokku. Ia sudah mengajak aku melalui api penyucian yang mana ini merupakan fase terberat dalam perjalanan melihat neraka. Di sinilah semua hal tak menyenangkan terjadi. Dante selalu tersenyum di balik pintu itu. Ia menahan malaikat maut masuk untuk mengambil nyawaku. Bila Dante sudah tak lagi menahannya, aku akan berkata pada malaikat, “Izinkan aku menulis satu kalimat lagi.”
Jakarta, 31 Maret 2020