Author: Tobma

  • Casem

    author = Zahara NF

    “Bagiku ini bukan cuma proyek, Sem. Lebih dari itu, ini adalah pengabdian kepada leluhur, sebuah penghormatan yang perlu kulakukan. Kelak, aku akan mati dalam keadaan bahagia karena telah menjadi bagian dari proses penemuan ini,” Kasim berbicara sambil menunduk setelah habis-habisan dimarahi Casem, istrinya.

    “Tapi leluhur gak bisa kasih uang, Mas. Siapa yang mau bertanggung jawab atas sekolah Ahmad yang berantakan? Sudah tiga hari dia berangkat sekolah tanpa sangu. Persediaan beras juga semakin menipis. Kalau sudah begitu, siapa yang mau bertanggung jawab? Mantan lurah itu?”

    “Casem, jaga mulutmu!”

    Keheningan menyelimuti buritan rumah mereka yang hanya beralaskan tanah. Casem duduk di kursi kecil yang menghadap ke arah pawon, memunggungi suaminya yang tengah berdiri sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding berbatu bata.

    “Aku tidak mau tahu, Mas. Aku butuh uang, kecuali kalo kamu tega melihat kami mati kelaparan demi ambisi gilamu itu.” Casem bangkit, ia berjalan serampangan ke arah ruang tengah melalui pintu kayu yang membatasi buritan dan ruangan beralas beton. Ia melewati suaminya dan membuang muka. Kepergiannya disusul suara bantingan pintu yang melengking.

    Kasim menarik nafas panjang. Proyek penggalian situs Gagang Golok [1]Situs peninggalan kerajaan Majapahit, baru-baru ini ditemukan di Desa Galuh Timur, Kecamatan Tonjong, Kabupaten Brebes. Saat ini sedang dalam proses penggalian. memang dilakukan secara swadaya, ia tidak mendapat bayaran barang sepeser pun karena proyek ini memang tidak didanai oleh siapa-siapa. Warga bekerja secara sukarela atas dasar kesadaran meruwat peninggalan sejarah. Proyek penggalian ini dipimpin Pak Anwar, tokoh masyarakat setempat yang dulunya pernah menjabat sebagai lurah selama dua periode.

    Di satu sisi, Kasim sadar kondisi keuangan keluarganya semakin memburuk semenjak ia berhenti berjualan siomay. Tetapi kepercayaan Pak Anwar yang telah memilihnya sebagai bagian dari proses ini membuat ia tidak ingin meninggalkan proyek ini atas alasan apapun.

    Merasa pusing memikirkan posisinya yang serba salah, Kasim memutuskan untuk keluar melalui pintu belakang. Ia berjalan ke utara, ke arah proyek penggalian situs Gagang Golok.

    ***

    Proyek itu dilakukan di tengah-tengah perkebunan jati, tempat situs tersebut ditemukan untuk pertama kali setelah melalui proses yang cukup panjang, termasuk di dalamnya proses tirakat dan ritual-ritual lain. Tiga minggu berlalu, perkembangan penggalian baru menunjukan sekitar 4% dari perkiraan bentuk bangunan secara keseluruhan.

    Situs dengan luas 80m2 tersebut diperkirakan adalah sebuah tempat bersuci dengan sebuah sumur di bagian tengahnya. Orang-orang proyek sudah berhasil menggali sumur tersebut sedalam tujuh meter.

    Kedatangan Kasim disambut teman-temannya dengan ajakan minum kopi. Mereka seperti mampu memahami kondisi Kasim hanya dengan melihat air muka lelaki itu. 

    Diminum disit kopine, Man Kasim,” seorang laki-laki yang kira-kira lima tahun lebih muda darinya menyodorkan sebuah gelas yang terbuat dari bambu, gelas tersebut berisi kopi dengan kepul menguar. Kasim duduk sambil meluruskan kakinya, sebuah kaus dengan sablonan logo salah satu partai tersampir di bahunya, pandangannya menerawang jauh ke arah langit.

    “Sebenarnya, desa memberi tawaran untuk mendanai proyek ini,” Pak Anwar yang ada dalam lingkaran pekerja tiba-tiba membuka percakapan, para pekerja sontak memandang ke arahnya. Isu soal pendanaan dari desa seketika menjadi isu yang menarik diperbincangkan.

    “Berapa, Pak?”

    “Ini bukan soal nominal, saya cuma takut kalau mereka sudah terlibat mereka akan menuntut banyak hal,” ada getar dalam nada bicara Pak Anwar, seperti perasaan tidak rela menyerahkan proyek ini kepada desa sekaligus perasaan tidak tega melihat pekerjanya terus menerus lelah tanpa dibayar seumpama tawaran ini ia tolak.

    “Saya takut mereka menyalahgunakan. Tapi di sisi lain saya ingin kalian sejahtera, saya tidak tega melihat—“

    “Pak, kami semua senang terlibat dalam proyek ini. kami benar-benar tidak mengharap imbalan secara materi,” salah satu pekerja berusaha membesarkan hati Pak Anwar. Pak Anwar tersenyum, sedikit sekali tapi, sebab setelah itu air mukanya kembali gelisah.

    Salah satu dari pekerja mengeluarkan sebungkus kretek, yang kemudian digilir. Perbincangan di waktu istirahat kali ini terasa lebih berat dari biasanya, menyulut kretek sepertinya solusi yang tepat, pikir mereka.

    “Keberhasilan proyek ini jauh lebih penting dari apapun, Pak. Soal makan, kami masih bisa makan dari hasil berkebun,” timpal pekerja yang lain.

    Kasim hanya menunduk. Tentu saja ia minoritas dalam lingkaran ini mengingat hanya ia yang berkeluarga, sementara pekerja-pekerja lain adalah seorang bujang, jika pun ada pekerja seumurannya maka pekerja itu adalah seorang duda yang sudah lama tinggal sendiri. Mereka jelas tidak memiliki beban sebab mereka masih bisa makan dari orang tua mereka, atau makan apapun yang tersedia di lokasi penggalian. Sedangkan Kasim, ia memiliki Casem –istrinya dan Ahmad yang baru duduk di bangku kelas tiga SD. Betapapun, ia memiliki tanggungan menafkahi anak istri.

    Di kepalanya, ingatan tentang hari-hari bersama Pak Anwar berkelebat. Entah bagaimana, Pak Anwar begitu mempercayainya, sejak dulu, sejak ia masih seorang lurah. Menjadi seseorang yang sangat dipercaya oleh mantan lurah dengan wibawa seperti Pak Anwar adalah kebanggan tersendiri baginya, itulah kenapa ia selalu bersikeras mematuhi segala arahan Pak Anwar.

    Di tengah slowmotion kenangannya bersama Pak Anwar, terlintas wajah Casem, gadis desa sebelah yang dipersuntingnya 9 tahun lalu, disusul wajah Ahmad yang ia saksikan pertumbuhannya semenjak masih bayi merah.

    Posisinya adalah posisi yang sulit, ia terjebak di dua kepentingan. Ia bingung harus memilih jalan mana sebab keduanya sama-sama penting.

    “Pak tenang saja, kami semua senang melakukan ini. Ayo, semua bangkit kita lanjut menggali!” salah seorang pekerja bangkit dari duduknya kemudian berjalan ke tempat penggalian, disusul pekerja-pekerja lain setelah menandaskan kopi dan mematikan batang rokok yang sudah tidak bisa dihisap. Kepergian mereka menyisakan Kasim yang kini tengah berhadapan dengan Pak Anwar.

    Pak Anwar seperti sudah paham dengan gerak-gerik Kasim, ia mendekat ke arah lelaki berusia hampir empat puluh tahun itu sambil tersenyum.

    “Bagaimana, Sim? Ada masalah?” tanyanya, pertanyaan yang sebetulnya tidak perlu dilontarkan sebab semuanya sudah jelas.

    “Kira-kira masih berapa lama lagi ya, Pak, sampai proyek ini selesai?”

    “Tentu saja masih sangat lama, Sim.”

    “Saya cuma—“

    “Saya mengerti, Sim. Tidak apa-apa kalau kamu ingin mengundurkan diri.” Pak Anwar tersenyum seraya menepuk bahu Kasim. Tepukan bahu Pak Anwar mengalirkan semacam perasaan haru, membuat Kasim semakin bungkam.

    “Saya tidak ingin mengundurkan diri dari proyek ini, Pak…”

    “Saya tahu, kamu penuh pengabdian. Tapi tidak banyak yang bisa saya janjikan. Saya khawatir, saya dengar Casem sudah sering mengeluh.”

    “Dia tidak memahami posisi saya,”

    “Kadang-kadang, kita perlu mengoreksi diri sendiri alih-alih menyalahkan orang lain.”

    Kasim menunduk, apakah dalam kasus ini, dia yang paling bersalah?

    “Di hadapan sebuah masalah, seorang lelaki harus bijak dan mampu menempatkan dirinya. Kamu adalah seorang suami sekaligus ayah. Saya tau kamu mampu mengambil keputusan terbaik. Mari,” setelah tersenyum sekali lagi, Pak Anwar bangkit lalu bergabung dengan para pekerja yang sibuk menggali sumur.

    ***

    Kasim baru pulang keesokan harinya setelah semalaman menginap di rumah seorang pekerja lain. Ia terlalu malas bertemu Casem terlebih sejak perempuan itu memberinya bantingan pintu kemarin siang.

    Dengan gusar dan perasaan sungkan (sebab ia yakin Casem pasti akan marah-marah), ia menarik engsel pintu, namun betapa terkejutnya ketika tidak ada yang ia temukan di rumah itu kecuali keheningan dan kesiur angin yang melambai pelan di dekat daun telinganya. Ini hari Minggu, biasanya Casem akan sangat sibuk menyiapkan sarapan dan Ahmad akan berlari-lari di halaman rumah.

    Rasa terkejutnya memuncak ketika ia menemukan seorang laki-laki kecil terbujur kaku dengan mulut dipenuhi busa di dekat bangku ruang tengah, di sampingnya sebuah botol Paracetamol terlihat kopong. Kasim berteriak-teriak memanggil istrinya, tidak ada sahutan apaun kecuali suara berdebum dari arah kamar mandi, Kasim segera berlari ke arah sumber suara. 

    Di kamar mandi, Casem terkulai dengan mata mendelik dan seutas tali mencekik lehernya.

    Kalijurang, 17 Juli 2019

    References

    References
    1 Situs peninggalan kerajaan Majapahit, baru-baru ini ditemukan di Desa Galuh Timur, Kecamatan Tonjong, Kabupaten Brebes. Saat ini sedang dalam proses penggalian.
  • Candramawa dan Langit-Langit Doa

    author = Riqko Nur Ardi Windayanto

    Sasandara manjer kawuryan.

    Malam ini sudah genap setahun sejak hari kematian Mbah Kasmaun. Tetua dusun yang tiada dengan cara-cara yang tidak biasa. Entah apa yang menjadi dosanya, entah dengan cara apa pula malaikat maut mengetuk pintu kematiannya. Tubuhnya menguning, kurus kering seperti lidi, dan tulang-tulangnya mulai rapuh. Napasnya sudah tersengal, bahkan untuk bernapas saja seperti harus mengemis pada udara. Tidak ada satupun warga dusun yang mampu menolongnya. Jangankan menolong, menghitung berapa kali Mbah Kasmaun menghirup dan mengembuskan napas saja tidak ada yang mampu. Benar-benar kematian yang membuatnya harus merasakan penderitaan, bahkan lebih buruk dari seorang gelandangan.

    Malaikat maut benar-benar sedang bercanda dan warga dusun kebingungan dibuatnya. Saat kematian telah tiba dan kehidupan Mbah Kasmaun telah purna, tiba-tiba kehidupan datang seenaknya saja. Seperti tamu tak diundang, pergi pun tak minta diantar. 

    Pernah ia dinyatakan sudah mati, warga dusun mendatangi gubuknya. Seperti anak-anak meratapi kematian ibunya, seperti itu lah para warga benar-benar menaruh hormat pada sang tetua. Saat akan dibopong dari dipan jatinya, Mbah Kasmaun hidup lagi. Jari-jarinya bergerak. Hari-hari berikutnya, warga sudah mantab kalau tetua dusun mereka ini benar-benar mati. Tiba-tiba matanya membelalak. Mengejutkan udara dan bola mata menatap tajam. Aneh memang. Padahal tanda-tanda kematian sudah benar-benar nyata. Daun telinganya sudah lemah, pepleh, seperti orang Jawa menandai kematian seseorang.

    “Kenapa, ya, Kang? Kok Mbah Kasmaun iki angel tenan anggone nemu pati?”

    “Mungkin ini penebusan dosa-dosanya sewaktu jadi bromocorah, Kang!” 

    “Tapi, dia sudah tobat sejak lama. Sudah tobat, nggak mungkin seperti ini matinya. . .”

    “Duh, Gusti. . .padhangna dalane, jembarna kubure. . .”

    Begitu lah hari demi hari, malam berganti malam, tiap beberapa warga dusun menunggui tetua mereka di rumah tuanya itu. Barangkali supaya ada yang menjaganya jika saja kematian benar-benar telah tiba. 

    Kali ini malam Selasa Kliwon. Tiba-tiba matanya menatap tajam ke langit-langit. Tangannya kaku. Tubuhnya dingin. Telinganya benar-benar ngelantur. Entah apa yang dilihat oleh mantan bromocorah itu. Napasnya seperti ketakutan. Tiada. 

    Mbah Kasmaun benar-benar tiada. Kali ini warga dusun yang berjaga benar-benar yakin. Bahkan, sudah siap mengikhlaskan jika memang sudah dipundhut. Begitu yakinnya mereka karena ada sesuatu yang ditinggalkan dan tidak terjadi pada hari-hari sebelumnya ketika Mbah Kasmaun akan meninggal.

    “Lintang kem’kus. . . . . .cing. . .,” katanya amat lirih bahkan sebelum ia tiada. Itu yang diingat warga dusun yang saat itu berjaga.

    Seseorang mengatupkan kedua mata Mbah Kasmaun yang tengah menyaksikan kepergian arwahnya. Sebagai peresmian sebuah kematian yang seolah lama dinanti. 

    Hari-hari sesudah kematian Mbah Kasmaun, pertanyaan-pertanyaan mulai timbul pada warga dusun. Kalimat lirih dari mendiang Mbah Kasmaun membuat orang-orang mempertanyakan dan menafsirkannya. Apalagi, ucapan apapun dari seorang tetua bisa jadi adalah peringatan, pesan, amanat, wasiat, dan sejenisnya. Lamat-lamat mendiang Mbah Kasmaun mengucapkan lintang kemukus. Demikian lah yang ditangkap pendengaran warga dusun yang waktu itu berjaga. Lalu, kata lirih “cing” yang sampai saat ini menjadi pertanyaan.

    “Lintang kemukus, ya, Kang, yang waktu itu diucapkan Mbah Kasmaun sebelum nggak ada?”

    “Iya, bener. Itu pasti bukan sembarang pesan. Ada yang akan terjadi pada dusun kita. Wong seperti kita, nggak bisa memandang remeh pesan itu. Ya, meskipun, saya sendiri juga takut. Kan bisa jadi kabar baik atau kabar buruk, ya tho?”

    “Lintang kemukus. . .lintang kemukus. . .berarti. . . . .” 

    “Atau itu mimpinya Mbah Kasmaun sebelum nemoni pati? Intinya itu bukan omongan ngelantur, tho. Kok saya jadi nggak bisa mikir baik ya. Saya takut.”

    “Bener, Mbakyu. Ini omongane lintang kemukus, tapi ada ‘cing’, ini apa ya?”

    “Lintang kemukus, pratanda ora apik. Kita kudu siap.”

    “Tapi, lintang kemukus itu nggak selalu buruk. Kemana lintang kemukus itu mengarah, itu lah yang kita pikirkan. Ingat, dulu Mbah Kasmaun diangkat jadi tetua dusun karena mbah buyut kita melihat beliau kejatuhan pulung, lintang kemukus yang mengarah ke barat. Tepat di atas rumahnya.”

    “Bener. Meskipun Mbah Kasmaun mantan bromocorah, karena lintang kemukus arah barat itu lah kita semua mengangkatnya sebagai tetua dusun. Sejak ada pulung itu, beras melimpah, panen nggak pernah gagal, hanya keberuntungan demi keberuntungan yang kita dapatkan.”

    “Lalu, siapa yang tau kalau ada lintang kemukus sebelum kematian Mbah Kasmaun? Bukankah hanya dengan arah itu kita tahu artinya?”

    “Saya, Kang!!!!” sahut Sangkrah seperti benar-benar meyakinkan. “Yang bener?”

    “Waktu itu saya dan simbok duduk di luar rumah. Simbok menceritakan kalau mendiang Mbah Kasmaun, sekalipun mantan berandalan, dia seperti orang yang mendapat wahyu keprabon untuk menjadi tetua dusun. Ya, gara-gara pulung itu. Lintang kemukus barat itu membuat desa kita jadi makmur. ‘Kita ini kan percaya lintang kemukus itu’, begitu simbok saya bilang.”

    “Terus???” 

    “Tiba-tiba, Simbok bilang kalau mendiang Mbah Kasmaun sudah mau mati, keprabon itu akan mati. Redup pelan-pelan. Hanya ada dua kemungkinan, akan ada hal baik atau buruk. Sayangnya, waktu itu Simbok melihat ada lintang kemukus ke arah kidul wetan. Jadi. . . .”

    “Kidul wetan atau tenggara! Jadi. . . . . .”

    Jadi, begitu lah jalang ringkas kematian Mbah Kasmaun yang berujung menimbulkan pertanyaan dan kebingungan bagi warga dusun. Seperti yang dikatakan Sangkrah bahwa simboknya melihat lintang kemukus ngidul ngetan atau tenggara, berita itu cepat menyebar ke telinga warga. Bukan karena berita ini menarik, tapi karena kejatuhan lintang kemukus ke arah tenggara tidak seperti kejatuhan pulung.

    Begitu lah para warga dusun kecil menanggapi omongan Sangkrah. Mereka percaya bahwa ini adalah pertanda bahwa selain pemimpin mereka tiada, lintang kemukus tenggara mengabarkan duka bahwa akan terjadi paceklik, pagebluk, kekurangan air, hujan menjadi jarang, orang sakit-sakitan, ternak mati, dan keburukan lainnya. Mereka mengenalnya sebagai kalabendu. Zaman yang penuh bebendu atau mala. Tapi, ini semua tentu akan berakhir. Dan, omongan lirih ‘cing’ itu lah yang dipercayai warga dusun sebagai penawar. Meskipun, belum ada satupun orang yang mampu menafsirkannya.

    Seperti kepercayaan yang benar adanya, kabar buruk itu seolah menjadi kenyataan. Mula-mula, seperti mereka memercayai pranata mangsa, sotya murca saking embanan. Sementara yang lain memercayai bantala rengka. Hawa dusun begitu panas, angin-angin datang menerbangkan debu ke pelataran-pelataran rumah. Tonggeret makin nyaring memekikkan telinga sebagai pertanda musim mareng. Daun-daun laras dari dari rerantingnya. Sumber air dan belik-belik sebagian besar mengering. Hutan-hutan jati di ujung dusun meranggas, menyisakan tubuhnya yang tegak mengabdi pada langit. 

    Hujan tak lagi datang menari-nari di atas dusun itu. Anak-anak dusun yang polos dan lugu mulai kehilangan satu pekerjaannya, yaitu bersenggama bersama hujan yang membuat mereka disatru oleh emak-emaknya. Emak-emak hanya mampu merebus singkong, berlaukkan sayur kenikir yang pahit bagi lidah anak-anak. Dan, bapak-bapak yang sebelumnya tidak pernah melankolis selagi ada segelas kopi, kini mereka dilema. Bertani tidak mungkin, sedangkan beternak pun akan diberi minum apa hewan-hewan mereka. Untuk minum saja mereka harus berbagi, bahkan mandi cukup sekali saban hari. Dusun kecil itu benar-benar dilanda paceklik. Kalabendu.

    Tapi, mereka masih beruntung. Seberuntung kehidupan yang terus diratapi dengan seceret kopi hari demi hari, malam demi malam, yang disajikan di gardu ronda, dengan sesuatu yang mereka tunggu. Seperti malam itu.

    “Ini sudah setahun, pendhakane Mbah Kasmaun, Kang. Paceklik seperti ndak ada jluntrungnya. Kita masih bisa bertahan tidak lain karena umbulan tidak mengering,” kata Sadikin sembari menuang kopi. Mungkin bentuk penghormatannya pada sumber air umbulan, satu-satunya mata air yang tidak mengering dan masih memberinya kesempatan untuk menyeruput kopi. 

    “Benar. Sudah setahun ini kita seperti mengemis pada sumber mata air itu. Satu-satunya sumber air, kalau tidak, sedusun ini bisa jadi mayat,” tandas Darsono.

    “Kata simbok saya, ini paceklik paling nggak karuan sejak dia hidup di sini. Belum pernah kejadian. Saya jadi lupa rasa beras seperti apa kalau lama-lama harus menindas lidah dengan singkong terus-terusan,” begitu lah Sangkrah menggumam dengan selalu menyertakan simboknya dalam setiap adegan pembicaraan.

    “Kita semua bisa bertahan sampai malam ini pun, pasti juga karena cawe-cawenya Mbah Kasmaun. Tentu dia yang menyambung lidah kita kepada Gusti Ingkang Murbeng Dumadi, sehingga masih diberi welas asih. Dalam kekurangan pun kita masih bisa bertahan. Urip iki pancen dasare mangan ra mangan penting kumpul, yo tho? Berkat beliau, umbulan tidak akan mengering. Itu mata air keramat! Sudah lama Mbah Kasmaun dulu ngangsu kawruh di situ,” kali ini giliran Saryono yang berkilah. 

    “Tapi bukan berarti nrima ing pandum, Kang. Kita harus mencari pungkasan dari persoalan ini. Paceklik apapun, kalau hanya diikhlaskan, lama lama kita yang jadi wong edan. Makanya kita tiap hari bermalam di gardu ini. Bukan tanpa alasan. Kita sedang menunggu pulung atau lintang kemukus arah barat!” Darsono menyumbang percakapan begitu serius.

    “Krah, sementara kamu yang dipercaya warga dusun untuk menjaga pesarean Mbah Kasmaun. Tiap minggu jangan lupa nyekar dan bawakan air umbulan untuknya. Supaya kita diparingi keslametan.” Sadikin menuturi Sangkrah. Mungkin mencairkan keseriusan Darsono. “Baik, Kang.”

    Semua benar-benar terdiam dan angin tiba berembus kencang. Malam itu semakin lengang menyambut setahun peringatan kematian Mbah Kasmaun. Api unggun berkobar-kobar dan anjing hutan makin melolong, entah menyerukan soal malam, atau mereka juga letih kehausan. Malam demi malam itu dilalui dengan berjaga menunggu sesuatu yang teramat penting bagi mereka. Cahaya pulung yang begitu didamba sebagai pertanda bahwa paceklik akan berakhir, namun tak kunjung tiba. 

    Tapi, kali ini. . . .Sangkrah yang bermain-main dengan api unggun depan gardu sontak terkejut. 

    “Kang! Kang!!!! Li. . .lin. . .lintang kemukus, Kang! Ke arah barat! Cepat lihat, Kang!

    Orang-orang terbelalak mendengar kesaksian Sangkrah. Cepat-cepat mereka menghentikan seruputan kopi dan keluar dari gardu ronda memalingkan kepala ke arah tangan Sangkrah menunjuk. Benar-benar seperti melihat hal baru dan sesuatu yang telah lama mereka tunggu. Cahaya itu berputar-putar tepat di sebuah rumah yang dihuni oleh orang-orang baru. Benar-benar orang baru karena segalanya tak biasa bagi orang-orang dusun. Cepat-cepat pula orang-orang itu masuk kembali ke gardu ronda.

    “Ini pertanda baik, kita semua akan bebas dari paceklik ini. Seperti pulung yang tepat mengitari rumah mendiang Mbah Kasmaun, pulung yang baru saja kita saksikan pasti berkaitan dengan orang baru di rumah itu.” Begitulah Darto yang malam ini harus menggantikan Darsono berjaga.

    “Tapi. . . . .dengar-dengar salah satu dari mereka adalah kyai. Mereka tidak seperti kita. Lagipula, tahu apa orang baru itu dengan permasalahan dan mingkar mingkuring urip yang selama ini kita dan warga dusun alami sejak lama,” tandas Sadikin yang sedikit meragukan lintang kemukus merayu-rayu udara di atas rumah orang baru.

    “Apa iya, dia dan anak buahnya itu menjadi sosok pengganti Mbah Kasmaun, Kang?”  kali ini Sangkrah bertanya seperti bocah lugu.

    “Gini saja, Krah, besok pagi kamu undang orang baru itu kemari. Kita tidak tau apa yang akan terjadi,” Saryono menengahi.

    ***

    “Assalamualaikum, ” seorang kyai, orang baru itu, datang. Mengenakan pakaian serba putih seperti menantang jelaga malam.

    “Wilujeng, kyai?”

    “Pengestunipun. . .Tadi pagi, Dik Sangkrah bertandang ke rumah, panjenengan sekalian bisa memanggil saya Khalil. Saya dan anak-anak adalah orang baru di sini. Sekiranya hal penting apa yang membuat Bapak-Bapak mengundang saya kemari?”

    “Mmmmmm. . .begini kyai. . . . .” Sangkrah hendak menerangkan.

    “Begini, kyai. Kami telah lama mengalami masa paceklik. Ini bermula semenjak tetua dusun kami telah tiada. Lintang kemukus ke arah tenggara yang setahun lalu, bahkan lebih, yang dilihat oleh Sangkrah, menjadi pertanda bahwa akan terjadi mala. Dan sekarang kami menanggungnya sekian waktu. Kami sudah lama menunggu akan datangnya pulung, lintang kemukus ke arah barat. Pulung itu adalah tanda bahwa paceklik ini akan segera berakhir. Kemarin malam kami semua melihat pulung itu, mengarah ke barat, melintasi rumah kyai,” Darto berbicara sambil membenarkan ikat kepalanya yang berwarna merah darah itu. Abang mbranang. 

    “Apakah saudara sekalian memercayai cahaya lintang itu?” tanya Kyai Khalil.

    “Ya, tentu. Itu kepercayaan juga ajaran nenek moyang kami dalam menaruh tetenger terhadap alam.”

    “Lalu, apa gerangan yang membuat saudara mengundang saya? Apakah ada suatu hal yang dapat saya lakukan?”

    “Seperti kepercayaan kami, orang yang rumahnya dilintasi atau dihinggapi pulung, maka orang itu akan mengeluarkan kami dari jerat penderitaan ini, kyai. Orang itu adalah kyai sendiri. Maka bantu lah kami mengembalikan sawah-sawah kami, sumber-sumber air kami, beras, dan semuanya.”

    “Saya mendengar bahwa desa ini memang dilanda paceklik, bahkan sejak kedatangan saya beberapa bulan lalu. Tapi, kedatangan saya dan anak-anak saya, santri-santri saya, tidak ada niat atau kaitannya dengan paceklik ini.”

    “Emmm, sebenarnya kyai ini dari mana? Dan apa tujuan kyai masuk ke dusun kami? Apa yang kyai dapatkan dari dusun kecil yang dilanda paceklik seperti ini?” Sangkrah bertanya dengan kegamangan dan kebingungannya.

    “Saya berasal dari utara Jawa. Guru kami, yang memerintahkan saya dan santri-santri untuk masuk memperdalam ilmu agama di pedalaman Sengguruh ini. Supaya agama kami menjangkau penjuru tempat. Kami telah mencapai utara Jawa, dan kini saatnya wilayah selatan, termasuk Sengguruh ini. Tentu saja, hanya Allah semata yang membimbing langkah kami untuk sampai di dusun ini.”

    “Maaf, kyai. Apakah kyai bisa menolong kami? Lintang kemukus arah barat telah hinggap di rumah yang kyai dan para santri tempati. Itu artinya Gusti Pangeran kami adalah kyai. Kyai adalah tetua desa kami berikutnya setelah Mbah Kasmaun, tetua kami, yang mati setahun lalu,” Darto memotong pembicaraan kyai itu dengan Sangkrah. 

    “Tidak. Saya tidak bisa demikian. Saya juga tidak bisa memercayai lintang kemukus dan pernujuman itu. Semua sudah digariskan oleh Allah. Apalagi saya juga tidak pantas menjadi tetua dusun ini. Lagipula, saya juga bukan siapa-siapa.”

    “Mengapa kyai menolak? Apakah Tuhan kyai tidak pernah mengajarkan bagaimana berlaku welas asih pada manusia? Atau justru Tuhan kyai itu senang membuat manusia menderita? Lalu untuk apa kyai harus ke dusun kami untuk belajar ilmu agama, yang entah akan berakhir seperti apa itu jluntrungnya?” seperti Darsono, Darto juga ahlinya membuat percakapan makin serius.

    “Masya Allah, tidak lah demikian. Bapak meminta saya membantu dari jalan kejawen yang Bapak lakoni. Bagaimana bisa sementara saya sama sekali tidak meyakini, juga tidak mengetahui lakon itu.”

    “Jangan sombong kau, kyai!”

    “Saya tidak menyombongkan apa-apa.”

    “Berarti Tuhan kyai itu, entah siapa yang tadi kyai sebutkan, tidak memberikan ilmu yang cukup pada kyai untuk memahami lakon kehidupan. Kyai saja tidak mampu memahami kami yang sedang membutuhkan pertolongan yang selama ini kami nantikan, bahkan setahun lebih lamanya.”

    “Tidak demikian yang saya maksud, Pak. Kita menempuh jalan yang berbeda. Seperti dua jalan yang tidak bisa didekatkan, itu lah keadaan kita saat ini. Kepercayaan Bapak terhadap lintang kemukus tidak akan mengurangi juga tidak menambah kepercayaan saya pada Tuhan saya. Begitu juga sebaliknya. Kita selesaikan paceklik ini lewat dua jalan yang berbeda pula. Kita mengadu pada Tuhan masing-masing.”

    “Tunggu, Kang. Lalu, bagaimana maksud kyai dengan dua jalan itu?” Sangkrah menengahi sambil memegang punggung Darto di sebelahnya. Angin-angin bergelayut, dan pekik malam semakin kencang bersama rembulan yang benderang memanjar kawuryan. Kyai Khalil berjalan ke arah barat dari gardu, sementara yang lain berjalan ke arah timur dari gardu. Dua jalan yang berbeda, kembali ke rumah masing-masing.

    ***

    Malam Jumat tepat di suatu siang, Sangkrah pergi ke pesarean Mbah Kasmaun. Membawa seterumbu bunga kenikir. Seperti mata air umbulan, kenikir adalah bunga-bunga yang sanggup mekar menghiasi penderitaan warga dusun. Daunnya diolah jadi sayuran, atau obat ketika warga dusun terkena gondongan. Juga bunga-bunganya yang meskipun tak wangi, masih bisa digunakan untuk menaburi dan menghiasi pesarean Mbah Kasmaun. Ini lebih manusiawi ketimbang pesarean mantan bromocorah itu sepi oleh bunga-bunga dan mengemis pada melati yang tak sudi hidup di tengah paceklik.

    Sangkrah juga membawa sekendi air untuk membasahi nisannya yang terbuat dari batu layaknya prasasti. Tentu aja, air umbulan yang diperolehnya beberapa hari lalu. Dari rumahnya, Sangkrah berjalan ke arah barat, melewati gardu ronda, dan saat ini tepat mendekati rumah Kyai Khalil. Kali ini pemandangan berbeda.

    “Sedang apa Kyai Khalil dan santri-santrinya, Mbakyu?”

    “Tidak tahu, Krah. Aku juga bingung. Kemarin Mas Darto bilang kyai itu dihinggapi lintang kemukus. Tapi diminta bantu mengatasi paceklik kita nggak mau. Entah nggak mau atau nggak bisa, ya. Sepertinya mereka hendak mendoa pada Gustinya.”

    Di sebuah tanah lapang tepi rumah mereka itu, santri-santri Kyai Khalil membentuk barisan berjejer seperti langit-langit yang berarak menghadap barat. Kyai Khalil sendiri berada di depan mereka seperti halnya seorang tetua dusun. Sangkrah malah memikirkan untuk apa mereka menghadap ke barat. Mungkin kah mereka sedang mendoa pada langit-langit agar lintang kemukus arah barat hadir kedua kalinya? Ada apa dengan arah barat? 

    Sangkrah melewati mereka menyusuri jalan dusun yang sederhana bersama hawa panas yang sederhana, seolah menciptakan derita tanpa merasa dosa. Sangkrah ingat betul ritual apa yang dijalankan oleh Kyai dan anak-anak santrinya itu. Mereka mengangat tangan lalu mensejajarkannya dengan telinga. Mata-matanya menghadap bumi. Entah mantra-mantra apa yang mereka baca. Pada siapa mereka berbicara itu? Pada Tuhan mereka-kah yang waktu itu disebut Kyai Khalil pada pembicarannya menanggapi si Darto? Mungkin mereka mendoa pada Tuhannya agar paceklik ini segera diraibkan dan hujan didatangkan. Sangkrah yang lugu itu hanya bertanya-tanya. Dilihatnya mereka membungkukkan badan, cukup lama. Lebih-lebih, Kyai Khalil melebihi keperkasaaan Mbah Kasmaun. Pasalnya, apa yang dilakukannya diikuti oleh santri-santrinya itu. Sementara warga dusun, bahkan tidak pernah mengikuti gerakan Mbah Kasmaun sedikitpun. 

    Sangkrah tiba di pesarean Mbah Kasmaun tepat di dekat hutan jati. Tetapi ada yang membuat pandangannya terasa ganjil. Dari kejauhan Sangkrah melihat dua ekor kucing mengais-ngais di gundukan kuburan itu. Dengan rupa yang sama, berwarna hitam dan putih pada bulu-bulunya, juga jantan dan betina.

    Hari ini benar-benar membuat Sangkrah heran. Belum usai mendapat jawaban atas tindakan Kyai Khalil dan santri-santrinya, ia kembali heran untuk apa ada dua kucing berbulu sama, hitam dan putih, juga sepasang layaknya temanten, berada di makam ini. Tapi hawa panas mengaburkan keheranannya. Sangkrah cepat-cepat menaburkan bunga dan memeranjatkan doa kepada Gusti Ingkang Murbeng Dumadi agar Mbah Kasmaun diterangkan arwahnya. Kali ini, hawa panas turut membuat Sangkrah ingin menikmati air sungai umbulan. 

    Lagi-lagi, Sangkrah keheranan. Kedua kucing itu terus mengikutinya. Kucing apa ini? Apakah mereka kucing jadi-jadian? Hari macam apa ini?

    Hawa panas mengaburkan keheranannya untuk ketiga kali. Dan Sangkrah sudah siap jika ia akan menemui keheranan-keheranan berikutnya. Air umbulan begitu bening memancar seperti seorang ibu memancarkan asinya. Seperti itu pula lah Sangkrah seakan-akan menjadi bayi kembali yang begitu lahap meminum asi. Memang sudah setahun lebih, air umbulan menjadi asi bagi para warga yang mengalami paceklik. Kekeringan yang tiada henti.

    Seperti Sangkrah yang senang menemui air umbulan dan leluasa meminumnya, kedua kucing itu malah menyeburkan diri, membasah-basahi bulunya. Keduanya bermain-main air seperi temanten yang berbulan madu di sumber mata air. Tapi, bukankah kucing biasanya takut air? Apa mereka juga benar-benar merasakan penderitaan paceklik sampai-sampai mereka tidak lagi menakuti air? Selepas bermain-main dengan air, kedua kucing berbulu hitam dan putih itu pergi. Berlari-lari entah kemana. Tanpa meninggalkan isyarat, hanya kernyitan dahi terukir di wajah Sangkrah.

    ***

    “Kamu tahu, ngger, kyai dan santri-santrinya itu, orang baru itu, mereka seperti ritual entah apa. Beribadat pada Gustinya mungkin. Mereka tampaknya memeranjatkan doa bagi dusun kita agar paceklik segera berakhir.”

    “Betul, Mbok. . ., ” Sangkrah masih bertanya-tanya dalam hati.

    “Siapa orang itu, dan siapa juga sesembahannya, dia adalah pewaris wahyu keprabon. Pulung telah nggumantung di atas rumahnya, bukan? Kita percaya lintang kemukus itu.”

    “Tapi kyai itu tidak seperti kita. Ajarannya entah dari mana, sepertinya utara Jawa, berbeda dengan kita. Dia tidak memercayai lintang kemukus seperti kita. Makanya, saat Kang Darto menggertaknya, dia mengatakan kalau paceklik ini kita selesaikan dengan dua jalan, dengan jalannya dengan jalan warga dusun kita sendiri.”

    “Lah, ya itu. Dia punya kepercayaannya, begitu juga dengan orang-orang dusun kita yang percaya pulung itu. Mungkin ini dua jalan itu, ngger. . .”

    “Ngomong-ngomong, Mbok, selain kyai itu seperti beribadat dan mendoa, saya juga menemukan keanehan. Di makam Mbah Kasmaun, dua ekor kucing jantan dan betina, berbulu hitam putih. Kedua kucing itu bahkan ikut saya menuju air mata umbulan, mereka seperti bermain-main di padusan. Mereka seperti temanten. Itu pratanda apa ya?” kata Sangkrah menceritakan keheranan ini pada simboknya.

    “Kucing hitam putih?”

    “Emmmm. . .tunggu, Mbok. Cing. . .cing. . .cing, itu yang diucapkan lirih oleh Mbah Kasmaun sebelum dia nemu pati. Jadi. . .Lintang kemukus dan kucing. Apa itu, Mbok? Kucing dua warna itu kucing apa? Pratanda apa?”

    “Itu Candramawa, kucing hitam putih! Pratanda keberuntungan. Paceklik akan raib!”

    Sore itu hujan benar-benar ranggas dari langit yang selama ini telah mengabadikan duka. Anak-anak kembali bermain-main di tengah hujan setelah sekian lama bahkan mereka lupa bagaimana rasanya air hujan. Ibu-ibu dan bapak-bapak seperti orang edan yang menyambut hujan ini dengan tangisan. Akar-akar dilahirkan kembali dari persenggamaan air dan tanah. Langit-langit benar-benar menyusui pedukuhan kecil itu. Dan, Sangkrah masih memikirkan, ibadat Kyai Khalil dan persolan dua kucing itu. Lantas, ini kah dua jalan yang berbeda itu?

    Keduanya terus melebur sebagai ritus. Terlahir dalam hujan.

    Salam untuk “Ritual Manten Kucing”
    Malang, 10.5.2020., 09.16

    Keterangan:
    [1] Sengguruh: nama lain dari Malang ketika menjadi daerah pelarian Majapahit dan dipimpin Adipati Ronggo Toh Jiwo.
    [2] Ritual Manten Kucing merupakan ritual masyarakat Sumberrejo, Kabupaten Malang untuk memohon turun hujan saat paceklik. Ritual ini berarti ‘menikahkan’ sepasang kucing di sungai umbulan dengan warna tertentu dengan keyakinan bahwa paceklik akan berakhir. Ritual ini menjadi ruang pertemuan antara Islam abangan dan Islam santri yang diwujudkan melalui pelbagai konfigurasi kebudayaannya.

  • Bulu Hidung

    author = Agus Geisha

    Persoalan terbesar manusia adalah perut, isi kancut, lubang kentut, mulut, lutut, dan sikut. Lain dari itu biasanya remeh-temeh belaka. Dan perasaan hanya istilah untuk menerjemahkan persoalan-persoalan tadi. Biasanya seperti itu, kecuali bagi Mali hari ini. Baginya, sejak malam ada masalah lain, yang begitu mengganggu, hingga pagi dia terbangun dalam keadaan marah yang terpendam. Perihal selembar bulu hidungnya yang menimbulkan rasa gatal tak terselesaikan. Semalam sudah dia cari gunting untuk memotongnya, tak dia temukan. Sudah juga dia lakukan banyak hal untuk paling tidak meredakan rasa gatal yang ditimbulkan oleh rambut lembut yang tumbuh di dalam lubang hidungnya itu. Biasanya tidak.

    Semalaman, dia mencari gunting di atas kulkas, tempat biasa barang-barang bergeletakan begitu saja. Tak ia temukan. Juga dia mencarinya ke dapur, tak juga ia temukan. Anak dan bininya sudah tidur. Dia mencoba mengabaikan rasa gatal di hidungnya. Tak bisa dan tak mungkin. Hampir gila dia dibuatnya. Awalnya dia hendak membakar bulu hidung itu, tapi bayangan kengerian akan rasa panas yang bisa saja timbul menggantikan rasa gatal membuatnya mengurungkan niat. Dia hanya memendam kesal semalaman hingga tidur dalam keadaan memendam dendam.

    Oleh sebabnya, pagi ini Mali memulai hari dengan gerutu di dalam hati. Tak pernah ia memulai pagi bukan dengan motivasi atau berita pagi di layar televisi, kecuali hari ini. Persoalan bulu hidung belum juga usai.

    “Di mana gunting?” tanyanya.

    “Biasa ada di atas kulkas.” jawab Marni, istrinya.

    “Tak ada, sudah kucari sejak semalam.”

    “Untuk apa?”

    “Ada persoalan.”

    “Persoalan apa?”

    “Bulu hidung.”

    “Persoalan itu bukan bulu hidung. Persoalan itu tagihan rentenir dan bayar kontrakan.”

    “Bising!”

    Sarapannya dia tinggalkan separuh, cangkir kopi masih setengah terisi. Mali berangkat menyusuri debu jalanan pagi hari dengan sepeda motor. Bunyi klakson, bau knalpot.

    “Ada gunting?” tanyanya pada Office Boy begitu dia sampai di ruang kerjanya.

    “Tidak ada, Pak”

    “Masa kantor sebesar ini tak punya gunting. Aneh!”

    “Ya gunting ada. Tapi saya tak punya, Pak.”

    “Carikan. Penting.”

    “Untuk apa, Pak?”

    “Persoalan.”

    “Persoalan?”

    “Bulu hidung.”

    “Bulu hidung?”

    “Carikan! Bising!”

    Dia menaruh tas punggungnya. Berisi berkas dan hal-hal yang hari ini, atau paling tidak pagi ini begitu tak penting baginya. Apalagi perihal Wati, rekan kerjanya yang selalu berbau minyak wangi yang tak sedap. Mungkin minyak wangi murahan, pikirnya. Tapi itu tentu bukan masalah besar, sebab lain hari, selain hari ini, persoalan adalah target penjualan yang tinggi, atasan yang senang menekan, pelanggan yang banyak permintaan, agenda kegiatan yang begitu padat dan angka upah bulanan yang jarang bertambah.

    Hari ini persoalan begitu lain.

    “Tidak ada, Pak. Ada cutter.”

    “Bulu hidung mau kau cutter? Kau bilang tadi ada.”

    “Maaf, Pak.”

    Mungkin di kantin ada, tak mungkin di dunia ini tak ada gunting sama sekali. Mustahil.

    “Ada gunting, Bu?” tanyanya pada penjaga kantin.

    “Biasanya tanya kopi. Mau dibikinkan kopi, Pak Mali?”

    “Pagi ini sedang butuh gunting, Bu. Ada?”

    Enggak ada, Pak Mali. Untuk apa?”

    “Bulu hidung!”

    Hari itu mungkin terasa begitu terasa tak biasa. Tak ada gunting di setiap tempat yang didatanginya. Mungkin ini entah konspirasi atau suatu hal yang lain. Sekedar gunting, dunia tak memilikinya. Mali sempat berpikir, apa sebenarnya bulu hidungnya itu. Benda yang begitu mengganggu. Tak mungkin seharian dia tak kerja dan hanya mengurusi selembar bulu hidung. Ada banyak hal yang harus dikerjakan daripada terus mengurusi bulu hidung. Pimpinannya berharap dia bekerja sesuai dengan kebutuhan perusahaan, meraih target penjualan dengan tenggat waktu yang sudah ditentukan. Tak ada pimpinan perusahaan yang peduli dengan selembar bulu hidung karyawannya. Istrinya, berharap dia selalu sebagai suami di awal bulan. Memiliki uang untuk membayar tagihan rentenir dan kontrakan. Tak ada pentingnya bulu hidung bagi satu ikatan pernikahan. Tetangga-tetangganya, Mali tak pernah mengenal tetangganya. Rekan kerjanya, siapa pula mereka. Bulu hidung bukan persoalan bagi siapa pun, kecuali baginya.

    Sampai siang, tak ada gunting atau pinset. Tak ada kantor yang menyediakan pinset bagi karyawan. Untuk apa ada pinset di kantor sebesar ini. Benda aneh. Tapi gunting, kenapa bisa sampai benda sepenting gunting tak ada? Sedang dalam pengiriman katanya. Baru dibeli. Sudah rusak. Hari ini selalu ada alasan baginya untuk tidak menemukan gunting.

    “Ada bulu hidung yang menggangguku sejak semalam. Biasanya kau apakan bulu hidungmu?” tanya Mali pada rekan kerjanya.

    “Gunting. Rasa gatalnya akan hilang. Gatal kan?”

    “Cari gunting, Mali. Potong saja. Atau kau bakar pakai korek.”

    “Tak ada gunting.”

    “Di mana? Kantor sebesar ini tak ada gunting? Di rumahmu tak ada gunting?”

    “Beli gunting, Mali.”

    “Murah itu.”

    “Aku beli gunting, kupakai potong selembar bulu hidung, lalu tak kupakai lagi. Mubazir.”

    “Bisa kau pakai untuk hal lain, atau kau bawa ke rumahmu. Di rumahmu tak ada gunting, kan?”

    “Ada gunting di rumahku, tapi entah di mana.”

    “Artinya tak ada, Mali.”

    “Ada, hanya saja entah di mana. Mungkin di bawah bantal atau di balik pintu lemari. Atau bisa di mana saja. Tapi di rumahku ada gunting.”

    “Tapi gunting yang ada di rumahmu itu tidak menyelesaikan persoalan bulu hidungmu. Sebab gunting di rumahmu entah di mana. Artinya tak ada gunting.”

    “Di rumahku ada gunting! Bising!”

    Hari itu, yang menemani waktu kerjanya adalah kekesalan dan dongkol. Sejak pagi hingga petang menjelang waktu pulang. Bulu hidung. Dia menimbang, apa perlu dia membeli gunting. Bagaimana bila gunting sudah dibelinya, lalu dibawa ke rumah, gunting yang ada di rumah sudah ada dan diam di atas kulkas seperti biasanya. Apa gunting ada di rumah? Jadi sebetulnya di rumah ada gunting apa tidak. Gunting. Beberapa saat sebelum dia membenahi kembali meja kerjanya, dia masih menimbang perihal gunting. Harganya kan tak seberapa dan masih bisa dipakai setelah persoalan bulu hidung selesai, pikirnya. Tapi untuk apa ada dua gunting di rumah. Pikirannya saling berdebat. Satu pikiran dengan pikiran yang lain.

    “Ada gunting?”

    “Sedang habis, Pak. Coba di swalayan depan sana. Mungkin ada.”

    “Untuk gunting saja harus ke swalayan? Alamak!”

    Hanya gunting yang dibawanya ke meja kasir swalayan. Tak ada yang lain. Tak ada susu atau gula atau kopi atau biskuit. Dia hanya butuh gunting dan sebenarnya hanya untuk satu kali pemakaian. Tapi swalayan tak mungkin mengizinkan siapa pun memakai barang yang dijualnya dipakai satu kali lalu dipajang lagi. Swalayan bukan tempat peminjaman barang. Terlebih jika yang dipinjam adalah gunting yang akan dipakai untuk memotong selembar bulu hidung. Setelahnya tak akan ada yang menginginkan gunting tersebut. Untuk dipakai apalagi dibeli. Tak pernah ada dalam pikiran siapa pun.

    Akhirnya dia bisa pulang dengan perasaan yang sedikit agak lega sebab gunting sudah dia miliki. Dia sudah tak peduli lagi seandainya gunting di rumah akan menjadi dua atau hanya akan ada satu. Itu bukan persoalan.

    “Ini gunting yang kau cari tadi pagi.” Sambut istrinya dari teras rumah.

    “Bising! Bikinkan aku kopi.”

    Dia mengambil gunting yang masih terbungkus rapi dari tas punggungnya. Membuka plastik pembungkus dengan segera. Ada perasaan yang tiba-tiba hadir. Sesuatu yang mungkin belum pernah dia rasakan sebelumnya, perasaan yang tak bisa disampaikan oleh sekadar kata-kata saja. Dia merasa akan kehilangan sesuatu yang dalam sehari ini sudah begitu dekat dengan dirinya, sesuatu yang sebetulnya memberi masalah baru baginya. Dia berpikir, barangkali ada sesuatu yang bisa direnungkannya dari sekedar bulu hidung. Atau gunting. Perasaan yang lahir dari bulu hidung, yang sejak kemarin malam menemaninya. Mengganggu dan membuatnya kesal. Selembar bulu hidung saja.

    “Maafkan aku.” katanya sebelum benar-benar memotong bulu hidung itu. Persoalan itu.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Bulan Merah

    author = Yudo Suryo Hapsoro

    Samar-samar terdengar bunyi kentongan dipukul tiga kali. Warga mulai menutup jendela dan pintu rapat-rapat. Tidak ada lagi warga yang bertamu. Tidak ada lagi warga yang berkeluyuran di luar. Beberapa pemuda yang biasanya bermain kartu hingga larut malam pun memutuskan untuk menunda kegiatan mereka dan bergegas pulang.

    “Tok.. Tok.. Tok..” terdengar kembali suara kentongan dipukul 3 kali. Pukul 9 malam, suasana kampung sudah sunyi. Hanya suara angin dan jangkrik yang menjadi latar belakang malam itu. Terkadang anjing dan burung hantu bersautan. Kembali kentongan dipukul tiga kali, “tok.. tok.. tok..”. Para warga tahu, bahwa ini sudah pukul 9 malam pas dan mereka tahu bahwa jendela dan pintu mereka sudah harus terkunci rapat serta lampu dimatikan.

    = = = = = = = = =

    “Bangsat!! Ayo balik!!” teriak Maman mendengar suara kentongan dari kejauhan. Efek dari minuman oplosan tiba-tiba hilang begitu saja karena bunyi sayup kentongan. Maman kembali waras, tapi sayang teman-temannya sudah terlanjur terbuai minuman murahan. Maman segera menarik dan menyuruh mereka kembali ke rumah. “Heh!! Ayo pulang!!”

    “Apalah Maaaan. Masih percaya gitu aja.” Beberapa pemuda lain tertawa dan melanjutkan minum mereka. Mereka mencemooh Maman sebagai pengecut, banci, kalong, anjing, apa pun yang masih dapat dikatakan dari mulut mereka. Maman meradang. Menatap mereka satu per satu dengan dingin dan sebal.

    “Aaaaaaaargh!! Mati saja kalian semua!! Ini bulan merah bangsat!!” teriak Maman kembali memperingatkan. Dalam mabuknya, beberapa pemuda mulai bimbang. Mereka teringat kalimat-kalimat orang tua dan guru mereka yang sering menceritakan tentang legenda bulan merah. Selama sebulan penuh mereka tidak boleh keluar rumah di atas pukul 9 malam hingga matahari muncul atau arwah mereka akan ikut dalam rombongan arwah penasaran yang digiring oleh seorang dukun sakti ke alam baka.

    Tak ada harapan. Maman sendiri. Tak ada satupun temannya beranjak. Maman menggeber dan memacu motornya menembus lorong gelap malam jalanan desa. Jarak dari tempat mereka minum-minum sampai desanya cukup jauh. Malam dingin tersebut mulai terasa panas bagi Maman. Keringat mulai bercucuran. Jalanan desa berbatu juga tak membantunya untuk bergegas sampai rumahnya. Angin kencang turut memeriahkan suasana mencekam malam itu. Rumah-rumah pun juga mulai menutup rapat jendela dan pintunya.

    “Man, ngapain masih di luar?! Pulaaaaang!!” teriak salah seorang warga. Suara tersebut selintas saja didengar Maman. Lamat-lamat terdengar suara anjing-anjing hutan mulai melolong atau mungkin itu teriakan para arwah yang digiring oleh si Dukun Sakti. Tak ada bedanya bagi Maman. Semuanya hanya selintas saja. Baginya sekarang adalah sampai RUMAH.

    Jalanan kosong serasa tak ada ujung. Pohon-pohon bambu di kanan kiri jalan melengkung seolah hidup membentuk barikade untuk menangkap Maman dan motornya. Lampu tak bisa menembus gelapnya jalanan malam itu. Tanah yang lembab membuat rodanya sempat selip beberapa kali. Sayangnya, motor Maman belum berhasil dijatuhkan. Semua terasa berbeda. Semua terasa sunyi dan mencekik.

    Matanya sempat mengintip beberapa rumah yang sudah mematikan seluruh lampunya. Warung tempatnya nongkrong dan beberapa kawannya hingga tengah malam pun sudah tertutup rapi, mungkin sejak tadi selepas magrib atau memang tidak buka sejak awal. Maman tak begitu memerhatikan karena sebagian waktunya dihabiskan di kota menarik beberapa utang untuk bosnya.

    Konsentrasinya sedikit buyar oleh getaran dalam jaketnya. Telepon genggamnya bergetar kuat diiringi sebuah lagu dangdut tentang seorang istri yang tetap setia pada suaminya yang galak. “Brengseeeek!! Siapa ini yang menelpon saat seperti ini?!” Maman menggerutu dalam pikirannya. Mungkin istrinya. Ya, pasti istrinya yang panik karena suaminya belum pulang atau mungkin simpanannya karena dia tak datang malam ini. Pertanyaan tersebut tak pernah terjawab karena Maman sama sekali tak mengangkat telepon tersebut walaupun berbunyi terus. Suaranya hilang tiba-tiba. Seolah dimatikan paksa. Angin menyambut Maman dengan tiupan kencangnya. Membuat bulu kuduk Maman berdiri. Dari kaca spion Maman mengintip. Jalanan yang dilewatinya sudah hilang. Ditelan bayangan gelap, hitam, besar yang mengejar. Kegelapan ingin menelannya.

    Dalam kepanikan, Maman mulai mendapat penglihatan akan sosok orang yang dikenalnya berdiri di samping jalan. Menatap dingin Maman. Maman mengenal wajah itu, yaitu pamannya. Dia ingat betul ketika pagi hari Maman kecil menemukan tubuh pamannya telah kaku dan kering selepas bulan merah. Dia menjadi saksi pamannya dipaksa menjadi bagian dari parade arwah yang dipimpin oleh Si Dukun Sakti saat malam bulan merah. Dari celah tembok rumah kayu, Maman kecil melihat Sang Dukun menarik bayangan dari tubuh pamannya yang ambruk perlahan.

    Maman tak memedulikannya. Dia menggeber motornya lebih kencang hingga akhirnya sebuah gapura tua dengan tanggal kemerdekaan di kanan dan simbol-simbol kenegaraan di kiri sudah terlihat. Itu adalah gerbang kampungnya. Rumahnya hanya beberapa meter lagi. Maman sempat menengok dan ketika kembali menghadap jalan suara jeritan menciutkan nyalinya. Suara yang cukup membuat Maman kehilangan kotrol dirinya. Maman yang tadi berusaha tenang akhirnya panik. Motornya tak dapat diatur. Maman jatuh. Tubuhnya terseret motornya beberapa meter. Suara-suara jeritan itu, apakah milik teman-temannya? Apakah mereka ditelan oleh bayangan gelap itu? Pikiran Maman mulai kacau. Seolah tak merasakan sakit, Maman bangkit. Kali ini dia berlari ke arah rumahnya yang sudah terlihat di depan mata. Sebuah rumah kecil tanpa pagar.

    Maman berlari pincang. Dia berteriak, “Bukaaaaa!! Bukaaaa pintunya. Ini aku, Maman, suamimu. Bukaaaaa!!” Sejenak dia merasakan sentuhan dingin di lehernya. Maman semakin kencang berlari. “Bukaaa pintunya!! Brengseeeek!! Buka pintunya!!”. Maman mengetuk pintunya dengan keras. Dia berusaha memaksa membuka pintunya. Terkunci rapat. “Bukaaaa pintunya!! Bukaaaa!!”. Suara langkah terdengar. Dalam hati Maman bersyukur, hari ini dia akan selamat. Tapi… Langkah itu lenyap. Tak ada suara lagi. Langkah itu hilang. Pintu rumahnya tak jadi terbuka. Maman mendengar ada suara dari dalam. Suara istri dan anaknya. Maman kembali meledak. Kegelapan mulai menelan rumah tetangganya satu persatu. “Sayaaaang.. Tolong bukakan pintu sayaaaang..” pintanya memohon. Putus asa tergambar jelas dalam raut mukanya. Ketakutan lebih tergambar jelas dari keringat dingin yang mengucur deras. “Sayaaaaaang.. Brengseeeek!! Buka pintunya!!” teriakannya membelah kegelapan malam itu dan satu teriakan lagi dari Maman, “Bukaaaaaaaaaaaaa!!” dan malam itu pun menjadi sunyi menyisakan purnama kemerahan menerangi malam itu.

    Lampung, 20 Mei 2019

  • Bingkai Kehidupan

    author = Denaner Nuzula Arya Pratama

    Semula aku berada di dalam taksi. Aku mengangguk-angguk mendengarkan racauan supir taksi itu mengenai selingkuhannya tanpa tahu malu. Ia pikir, perjaka liberal macam diriku ini bisa mafhum pada ceritanya dan bersungguh-sungguh saat aku bilang, “Nikmat dong, Pak, bisa digilir.”

    Kami terkekeh sewaktu lampu lalu lintas berwarna merah. Semenit kemudian lampu menjadi kuning, lalu hijau. Mobil taksi itu bergerak maju, tapi berhenti lagi. Alur itu terus berulang sampai-sampai si supir taksi sengaja tidak menginjak pedal gas buru-buru. Padatnya lalu lintas membuat kami kerap membicarakan berbagai hal untuk membuang waktu. Sejujurnya, aku lebih suka diam saja dan memandangi kendaraan lain di sekitar, atau anak jalanan yang menawarkan kemoceng, atau banci yang bersolek demi memasukkan receh ke dalam kopek.

    Aku masih terkekeh saat detik ke sepuluh yang menghitung mundur agar merah berganti kuning, lalu hijau. Semua yang supir taksi itu ceritakan bukan topik yang kugemari, tapi agar tidak melukai hati supir taksi yang botak plontos itu mengenai kisah hidup yang ia anggap amat menarik untuk diceritakan—tentang selingkuhannya, tentang istrinya yang juga belum beranak, atau tentang dirinya yang masih menumpang di rumah mertua—aku menyimak dan meladeni kelakarnya.

    Walau aku tidak sungguh-sungguh mendengarkan racauan Subagyo, nama supir taksi itu, aku tetap menanggapi dan membuat Subagyo bercerita lebih banyak. Terus. Hingga merah menjadi kuning. Terus. Hingga kuning menjadi hijau. Terus. Hingga mobil itu berhenti dengan paksa.

    ***

    Kurasa aku baru saja kehilangan nyawa. Aku tidak bisa melihat apa-apa atau mendengar Subagyo bertutur soal Shinta—itu nama selingkuhannya. Tapi, ini aneh. Katanya kalau mati rasanya akan sakit sekali ibarat ditusuk ribuan pedang. Namun, yang aku rasakan kini jauh dari rasa sakit. Malah, ada sosok bertudung hitam yang tiba-tiba muncul di sampingku. Aku berjingkrak dan hampir kencing di celana karena di bawah tudung itu bersembunyi wajah yang dilapisi topeng dengan dua lobang mata.

    Aku meragu. Kalau aku bertanya, bagaimana dia bisa bersuara dengan topeng yang tidak punya lubang mulut. Mungkin tetap bisa, tapi dalam imajinasiku yang meliar sejak pertemuan pertama tadi, aku membayangkan sosok bertudung ini cacat dan hanya punya mata untuk melihat, tidak ada hidung, tidak pula mulut. Tapi, aku tetap mencoba bertanya sebab aku sungguh penasaran.

    “Halo,” sapaku, “boleh tahu ini dimana?”

    Sosok itu tidak menanggapi. Begitu dingin dan menakutkan, penghuni alam baka ini. Tahu-tahu dia memutar poros tubuhnya, lalu melangkah. Aku diam saja dan malah bersyukur sosok itu pergi. Namun, pada langkah ke delapan, sosok itu berbalik seolah menunggu aku untuk berjalan menyusulnya.

    Aku mulai sadar setelah beberapa langkah kalau kami sedang berjalan di sebuah lorong. Lorong itu tidak sempit, bisa untuk berjalan bersisian. Aku sebenarnya ingin berjalan bersisian agar bisa mengamati sosok bertudung hitam itu lebih jelas. Tapi, setiap kali aku melangkah lebar untuk berada di sisi sosok bertudung itu, sosok bertudung itu malah mempercepat langkahnya. Kulakukan hal yang sama sebanyak tiga kali, tapi nihil tak ada hasil.  

    Sosok di hadapanku kini berhenti. Dalam hati aku bertanya, ‘Apa lagi?’ karena berbeda jauh dengan Subagyo, sosok ini amat pendiam. Ia hanya menjulurkan tangannya yang berlapis sarung tangan hitam pada sebuah pintu kayu—jati, sepertinya—dengan ukiran kembang dan daun mawar. Walau tidak mengutarakan perintah dengan kata-kata. Kedua lobang hitam di topeng itu seolah tengah membelalakkan mata, menyuruh aku untuk masuk ke dalam sana.

    Aku menurut saja dan mendorong pintu megah itu. tidak kusangka, rupanya pintu itu tidak sulit untuk dibuka. Ketika langkahku bertambah dua dari ambang pintu, pintu tersebut tertutup sendiri. Aku tersentak dan mencoba untuk meraih kenop pintu. Jangankan kenop, pintunya saja sekarang sudah menghilang entah kemana. Lorong itu menjadi buntu, kecuali ia berjalan ke arah sebaliknya.

    Tidak ada pilihan lain, pikirku. Aku pun berbalik arah dan mulai menyusuri ruangan dengan cat putih. Baru tiga langkah, aku menyadari di sisi kiri terdapat foto yang nampak familiar dan diberi bingkai kayu. Tidak, bukan hanya sisi itu saja yang memajang foto-foto familiar tersebut. ruangan putih itu laksana museum dan menjadikan aku—ya, aku mulai ingat kalau yang digambar itu adalah aku—sebagai objeknya.

    Aku pun mulai menjelajahi ruangan itu dan mencoba mengapresiasi foto-foto yang ada laiknya kurator. Lalu, aku berhenti di sebuah foto dimana diriku masih berusia batita. Aku mengenakan kaos kuning dan juga popok. Aku perhatikan rambutku yang tipis dan warnanya cokelat terang seperti sabut kelapa. Aku ingat cerita ibuku saat aku iseng membuka album foto dan menemukan foto ini. Kata ibuku apapun yang aku lakukan akan membuat semua orang tersenyum dan mengatakan tingkahku lucu. Di sebelah foto itu aku melihat foto lainnya di usia yang sama. Aku tersenyum konyol saat melihat diriku menjilati pasta gigi seperti permen. Krisis moneter tidak luput ku rasakan—pikirku.

    Selanjutnya adalah aku dengan baju putih dan celana merah sedengkul. Aku mengenakan dasi karet dan topi merah. Foto kali ini kuingat samar-samar. Aku ingat bagaimana ibuku menyisiri rambutku, lalu mengecup dahiku sehabis aku menyalimi tangannya untuk berangkat ke sekolah. Aku juga melihat fotoku yang sedang memakan makanan berbentuk lidi yang dibaluri bubuk cabe, garam, dan pewarna bersama teman sekolahku. Bibirku kelihatan merah di sana.

    Tubuhku di foto sebelahnya bertambah tinggi meski aku masih menggunakan seragam yang sama. Wajahku saat ini sama gusarnya dengan wajah di foto itu. aku ingat foto ini diambil untuk ijazah SD. Aku benci sekali dengan fotografernya sehingga bibirku menekuk dan mataku menatap kamera seolah mengatai si tukang foto lewat tatap mata. Yah, tentu saja itu tidak ada gunanya, tapi aku merasa puas dan seperti menjadi pemenang saat giliranku selesai.

    Selanjutnya adalah fotoku dengan celana biru, masih kemeja putih. Aku melihat potret diriku dengan kantung mata. Aku melipat tangan di depan dada sambil mengingat-ingat apa alasannya.

    “Oh!” seruanku disambut gema ruangan itu.

    Aku ingat mengapa aku memiliki kantung mata. Tempatku bersekolah saat itu memiliki standar yang tinggi. Waktu lolos seleksi, ibuku menangis haru di depan papan pengumuman—yang sudah pasti ada banyak orang—dan membuatku memeluk ibuku, lalu menggandengnya berjalan ke tempat yang lebih sepi agar tidak menarik perhatian orang lain. Walau sudah berusaha menyembunyikan ibuku yang menangis dengan buru-buru, ada saja seseorang di kelasku yang ingat kejadian itu. Dia mengatai ibuku cengeng, jadi kutinju saja wajahnya dan kami berdua dibawa ke ruang BK. Ibuku kelihatan sekali kecewa, jadi sejak saat itu aku belajar lebih keras dan lupa untuk bergaul—tepatnya aku tidak suka dengan anak-anak sekelasku atau malah aku tidak menyukai satu sekolah itu kecuali para guru yang mendidikku dengan benar.

    Sehabis foto semasa SMP, aku tidak melihat fotoku saat SMA. Aku bukan anak yang menonjol. Tidak ada yang menarik dariku dan untuk seleksi olimpiade matematika saja aku gagal. Aku juga tidak aktif di klub. Masa-masa SMA, kalau kuingat lagi memang membosankan. Aku hanya belajar dan belajar. Tapi, rupanya ada satu foto dimana aku dengan baju formal. Aku menggunakan setelah hitam, rambutku yang tebal—jauh dari sabut kelapa—disisir rapih. Di sana aku memegangi bingkai foto dengan wajah ibuku yang tersenyum lebar. Sayangnya, saat melihat itu air mataku tumpah seketika.

    Tidak lama setelah UN, aku mendapati ibuku berbaring di ranjang. Kupikir ibuku hanya ingin beristirahat sebentar sehabis membuat sarapan. Selama tiga jam, ibuku tidak bangun dari tidurnya. Aku pun menghampiri kamarnya dan mendapati tubuh ibuku membiru. Aku panik. Aku gedor pintu tetanggaku. Habis itu aku tahu ibuku rupanya telah meninggal dunia.

    Setelah foto itu, aku melihat foto kelulusanku. Tidak ada ibuku. Wanita yang berada di sebelahku adalah ibu tiriku, pria dengan rambut tipis dan memiliki jidat lebar itu adalah ayah kandungku—yang sewaktu aku batita selingkuh dan memilih wanita yang menjadi ibu tiriku ini alih-alih ibu kandungku. Selama tinggal dengan mereka, aku merasa nestapa. Apalagi anak perempuan berusia SMP itu, adik tiriku, yang selalu ingin tahu apa yang kulakukan. Mereka keluarga yang baik, tapi setiap ingat ibuku yang berjuang sendiri untuk mengurusku karena pria ini—ayah kandungku—aku selalu merasa sedih.

    Aku melangkah kembali. Kali ini bingkai yang ada di hadapanku kosong tanpa foto. Malah, bingkai ini rupanya sebuah cermin yang merefleksikan wajahku saat ini. Alisku tebal, jidatku berkerut, mataku sayu karena lelah, kantung mata selalu ada di bawah kedua mataku, hidungku agak pesek, kumis kucukur sampai gundul—begitu pula dengan jenggot—dan daguku cenderung lancip.

    Aku menyentuh bingkai itu, lalu tersedot ke dalamnya. Waktu aku membuka mata, aku berada di ruangan yang serba putih, namun bau rumah sakit. Aku rasakan selang pada hidungku, juga kepalaku yang terasa berat untuk diangkat. Aku melirik ke sebelah kanan untuk melihat adik tiriku yang terkesiap dan segera berdiri dan menekan tombol untuk memanggil perawat kemari.

    Ah, aku rasa aku masih hidup entah berapa tahun lagi.

  • Benarkah Pak Jon Menulis Surat Wasiat?

    author = Adhi Pandoyo

    “Bukankah Pak Jon nggak pernah bercinta?!” tanyamu padaku. Wajahmu tampak indah kalau sedang penasaran. Sambil menikmati pandang manjamu, kucoba ceritakan kisah nyata itu:

    Kala itu umur Pak Jon baru saja menginjak setengah abad dengan pengalamannya yang beraneka ragam sebagai fotografer cum travel agent handal yang piawai gonta-ganti visa buat menemani pelancong ke berbagai negara, khususnya Eropa. Benua yang selalu dipuja para pelancong dari negerinya berasal. Negeri kita juga. Dan di negeri kita inilah, Pak Jon kini memilih menghabiskan waktunya hanya di rumah. Menata tanaman di beberapa pot dan sedikit-sedikit belajar bercocok tanam di sepetak kecil tanah di belakang rumah bercitra joglo. Di rumah berlantai tegel lawas bermotif kembang itu, yang sudah sejak muda, persis waktu masih berumur seperempat abad, telah ia dirikan sendiri dengan uang tabungannya.

    Kali ini di depan foto-foto yang terpampang di dinding ruang tengahnya, di depan laptop terbaru hadiah muridnya, dan di samping deretan rak buku-buku berbagai bahasa, Pak Jon merenung. Renungannya ke mana-mana, sampai-sampai sudah genap lima jam sejak dia terbangun. Diam saja. Sesekali hanya suara lamat-lamat kicau burung tetangga atau yang mungkin bertengger di pohon talok di sudut halaman belakang rumahnya, persis di tepian irigasi menuju sawah sekitar setengah mil. Lingkup wilayah itulah yang dahulu sengaja Pak Jon pilih. Sebab ingin sekali ia bisa jadi petani. Walau tak sanggup, paling tidak rumahnya yang kini bagian dari kompleks perumahan itu demikian dekat dengan wilayah pertanian. Namun, entah untuk apa, mungkin sekadar ingin meniru pemilik perumahan yang masih kenalannya, kudengar Pak Jon baru saja membeli sawah.

    Pak Jon masih melamun, dan kali ini suara getaran kaca mengagetkannya. “Drrrrrrrrrrrrrrrrrrrr.” Kereta jurusan ibukota memang selalu melewati rel yang berjarak sepelemparan batu orang dewasa dari halaman belakang rumahnya. Barangkali Pak Jon nggak pernah takut kesambet setan atau sebangsa jin yang katanya bisa merasuki orang ketika melamun. Sebab Pak Jon seakan seperti sudah tahu bakal gemar melamun ketika memilih tanah di dekat rel, dan keretalah pemutus lamunannya. Tetapi entah kenapa kian hari kian parah lamunan beliau, bahkan pernah suatu malam ia bermimpi hanya terduduk seperti halnya kali ini. Dan persis di saat terbebas dari lamunan siang inilah, Pak Jon terperanjat, seperti muncul ide. Dia menggoyangkan penebah pada sebuah bungkusan kulit. Kau tahu isinya, sebuah mesin tik warisan kakeknya. Agaknya dia bosan memakai laptop terbaru yang kadang ia sendiri tak paham cara pengoperasiannya. Dia teringat kakeknya. Kakeknya yang masih berdarah biru dari seorang raja yang mati kala melarikan diri itu, dahulu dituntun takdir menjadi seorang juru tulis di kantor kabupaten. Kakeknyalah yang mewariskan mesin ketik buatan jerman itu pada ibunya. Dan sebagai anak tunggal, segala warisan orangtuanya telah dialihwahanakan menjadi bahan bakar untuknya berkelana sampai menjadi profesional di bidangnya. Tetapi mengapa seorang profesional sepertinya harus melamun? Apa yang dia gelisahkan? Lalu kenapa tiba-tiba ingin menulis?

    Aku mulai bertanya-tanya, apa yang sebenarnya ada di pikiran Pak Jon selama hampir setahun terakhir? Apalagi sejak profesi guide kaliber internasional dan dunia fotografinya dicampakkannya untuk kemudian memilih tinggal di rumah. Pak Jon cuma menagih jatah bulanan dari saham bisnis travelnya pada para bawahan dan junior-juniornya yang dipercaya mengembangkan bisnis pariwisata itu. Dan kamera-kameranya, kini hanya tertidur di lemari suhu, tepat di belakang tempat dia duduk di kursi kecil kali ini. Dia ambil meja kecil dan meletakkan mesin ketik. Meniup debu dan meletakkan secarik kertas. “Kret-kret kret”, dan “ting”, “trek-trek-trek” berhenti. Pak Jon memastikan tintanya. Rupanya masih bisa. Pak Jon sendiri tak yakin kapan gulungan tinta dipasang. Pak Jon mengingat-ingat. “Pasti ini ulah Bunda”, katanya. Pak Jon ingat, tak lama setelah ayahnya meninggal, ibunya sempat mencoba menulis. Ah benar, waktu itu ibunya menulis surat untuk Pak Jon yang sedang di Pegunungan Alpen bersama temannya. Surat itu, didapatnya baru setelah mendapat email meninggalnya ibu dari keponakannya. Keterlambatannya menemu dua nisan marmer berdampingan di makam. Kemudian Pak Jon meminta tukang jaga kubur agar menanam foto ibunya di batu nisan, agar sesiapa yang melihat akan tahu wajah cantik ibunya. Dan di hadapan makam itu, dibacakan surat wasiat dalam tulisan yang diketik sangat teratur dan rapi, sama sekali tanpa kesalahan. Pak Jon membacakannya seolah seluruh penghuni pemakaman bangkit dari kubur dan mengelilinginya, untuk mendengarkannya membacakan surat ibunya. Mirip sebuah deklamasi namun tanpa nada menghentak dan meninggi, datar saja, sesekali lirih dan pelan, sepelan bulir air mata di pipinya. Dan dengan ingatan siang itu, Pak Jon ingin memuntahkan hidupnya.

    Pak Jon melanjutkan langkah tulisannya. Jangan bertanya itu untuk siapa. Dia hanya ingin menyaingi ibunya. “Lihat saja, aku bisa menulis surat lebih panjang dan lebih bagus dari Bunda”. Pak Jon berbicara sendiri. Dan terdengarlah “trek-trek-trek-tek-tek, ctak-trek, tingngng.” Demikian berulang-ulang. Sesekali berhenti. Menyulut rokok. Lanjut lagi. Menit demi menit. Jam demi jam. Dan menjelang sore dijemput senja, Pak Jon berhenti. Bangkit meluruskan pinggangnya dan bergerak membuang tumpukan puntung dari asbak ke keranjang sampah. “cklek” menyalalah lampu. “Drrrrrrrrrrrrt,” goyangan ular besi mulai mendebarkan kaca dan jantung hatinya. Pak Jon duduk lagi dan menyaksikan tulisannya telah lebih dari dua puluh halaman penuh. Pak Jon membacanya sekali di awal, dan dia melemparkannya ke meja. “ahh, belum cukup bagus,” keluhnya disusul desah. “Tetapi biarlah, kelak pasti ada yang membaca.” Ucapnya sendiri menenangkan diri. Pak Jon yakin, setiap surat akan menemu pembacanya. Pak Jon lalu berdiri, ditendangnya pelan kursi kecil yang sedari tadi menopang pantatnya. Pak Jon melangkah keluar ke halaman belakang. Dia menghidupkan lampu kebun yang membuat tanaman hidroponiknya temaram kuning. Pak Jon melunasi hutangnya menyirami tanaman untuk hari ini. Dia berdiri bersedekap di hadapan tanaman-tanaman basah. “teeeeet…teeeeeeet”. Mendengar Suara Bel, Pak Jon bergegas menjemput pintu.  

    “Woi,“ Pak Jon memanggil. Tengok ke kanan dan ke kiri, matanya menjelajahi teras. Dia heran tak ada orang. Siapa yang memencet bel? Pikirnya. Pak Jon mencoba tak ambil pusing. “Blam”, sedikit kesal pintu setengah dibanting. Kejengkelan ini membuatnya ingin mandi. Pak Jon ingin me-refresh tubuhnya dengan siraman air hangat. Diputarnya kompor listrik, maka teko cukup besar telah mejeng di atas bantalan besi bundar. “teeet, teeeet”. Mendadak bel teriak kembali. Pak Jon ingin pura-pura tidak dengar, tetapi suara bel ketiga memaksanya menggerutu dan berjalan cepat untuk segera menemukan siapa yang iseng, setan atau tamu nakal? Dibukanya pintu dengan cepat dan dadanya melebar siap melontarkan umpatan. Tetapi mendadak berhenti. Kekesalan bisa saja mendadak reda. Di hadapannya tukang pos dengan helm jingga terang, sambil tersenyum menjelaskan bahwa ia kembali ke mobil untuk mengambil yang terlupa. “Ini suratnya Pak, benar dengan Pak Jon?” tanya tukang pos. “Iya..” jawab Pak Jon sedikit penasaran. “Dan ini paketnya yang tadi saya terlupa, silahkan tanda tangan dulu.” jelas tukang pos singkat. Pak Jon menurut dan segera terjadi perpisahan. Pak Jon memegangi dan mengamati paket itu, agak berat rupanya. Dia melangkah ke ruang belakang tempatnya mengetik tadi.

    Sebuah paket agak berat dengan sebuah surat. Dia terlalu penasaran dengan paket yang agak berat dengan tulisan: Anne, Amsterdam. Pak Jon meletakkan pantatnya di kursi kecil tempatnya mengetik. Mendadak dirinya seperti kesulitan mengingat nama itu. Dibukanya paket pelan-pelan, dan bungkusan dilemparkan. Sebuah kotak kayu, dipikirnya cara membukanya, rupanya ada lubang kunci. Sebuah amplop kecil dia temukan tertempel dengan selotip di punggung kotak. Dibukanya amplop, isinya sebuah kunci, dan lipatan kertas. Diletakkannya kotak di atas mesin ketik. Mulailah lipatan empat bidang itu dibukanya. Dia sedikit menahan senyum seperti mengingat surat semasa dirinya berkirim surat cinta saat sekolah dahulu. Tetapi senyumnya segera dijemput kernyit dahi, sebab Pak Jon masih gagal mengingat-ingat siapa Anne dan tetap membaca, begini tulisannya:

     

    Jangan kau salah sangka, aku berikan sebuah kotak yang lama disembunyikan ibuku kepadamu. Aku tidak terlalu mementingkan siapa dan bagaimana hidupmu hingga bertemu ibuku, pun bagaimana hidupmu sekarang. Yang kutahu, kau masih hidup, begitu terang ibuku. Ibuku baru saja meninggal minggu lalu dan kotak ini kukirim, karena kurasa kau paling berhak memilikinya ketimbang aku. Bukan aku tak mau, tetapi ini permintaan terakhir ibuku. Semua yang menurutnya harus dimilikimu sudah kumasukkan ke dalamnya, semoga tak ada yang terluput. Aku tak memaksakan untuk berjumpa denganmu, tetapi jika waktu menghendaki, ada baiknya aku menemuimu liburan semester nanti. Aku mulai bosan hidup di sini. Tak perlu khawatir, aku sudah belajar bahasa negerimu, surat ini buktinya.

    Anne-Maarlijke Harjono, bagaimanapun anakmu.

     

    Kukutip surat dari Anne itu utuh, agar para pembaca mengerti bagaimana tersentak dan demikian kagetnya, hingga Pak Jon seperti membeku seketika, “Anakku?” ccapnya. Beberapa saat kemudian, jarinya ragu-ragu mencomot kunci kecil berwarna chrom. Dibukanya perlahan. Tampaklah pigura-pigura kecil, berisi foto. Ingatlah kini Pak Jon. Sungguh ia ingat bahwa seingatnya, ia tidak pernah bercinta. Benar jikalau jatuh cinta, itu pun berkali-kali dan tentunya telah lama sekali. Tetapi benarkah wanita yang ada di dalam foto itu salah satunya? “Omong kosong ini” ucapnya. Pak Jon masih penasaran. Dipungutnya pigura lainnya berisi foto seorang bayi. Lalu ada yang berisi foto seorang anak manis dan cantik berhidung mancung tetapi berambut hitam, duduk di pangkuan seorang wanita berambut pirang. Pak Jon bertahan dan rasa penasaran menemu bagian dasar kotak, sebuah buku kecil. Dibukanya pengikat buku kecil, dan dijatuhkannya kotak itu kembali persis ke muka mesin ketik. Pak Jon seakan telah lupa jika pernah menulis dengan mesin ketik itu. Dia seperti lupa dengan tulisan yang baru saja dirampungkan sore tadi.

    Pak Jon berdiri dan melangkah demikian pelan. Berjalan mendekat ke ranjang. Dia ingin meletakkan punggung, dia ingin merebah dengan segala bingkisan yang sulit ia percaya. Ia demikian lemas seketika seperti mendapati fakta sejarah yang sulit diterima negara. Dibukanya buku kecil itu dan mulailah dibacanya, terselip di celah sampul kulit, sebuah fotonya, fotonya saat muda dahulu. Yak itu wajahnya, berpose sedang membidik dengan kamera. Dibacanya buku kecil itu lambat-lambat penuh perhatian, sambil tiduran dan kepalanya disandarkan pada bantal yang sudah ditumpuk-tumpuk. Pak Jon membacanya hingga selesai, benar-benar hingga tak menggubris suara teko yang telah panas menyemburkan uap putih dari lubang kecil, “fuuuuuuuuuuuuuuuuuu”, dan di saat bersamaan “drrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr,” suara kaca bergetar kembali oleh deru langkah ular besi. Mungkin kombinasi itu, layaknya suasana peluit kereta di stasiun dahulu, saat kakeknya masih menggandeng ibunya yang masih kecil. “Apa hubungannya?” katamu. “Ah sudahlah,” kataku.

    Selesailah kisah ini. Mungkin pembaca masih penasaran. Misalnya tentang surat yang satunya yang belum dibuka.

    “Kamu juga kan?” tanyaku.

    Iiiy, apa sih isinya?” tanyamu manja.

    “Aku ndak tahu persis isinya, kecuali kop suratnya yang bertuliskan kapital: KLINIK RADIOLOGI.”

    “Masih kamu penasaran lagi?” tanyaku. Kamu pasang mimik mikir sambil manyun, tapi yang tampak padaku hanya bahasa anggun. Rasanya para pembaca yang justru penasaran sama kamu.

     

    Akhir September 2017

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Bayi yang Menangis di Gerumbul Semak

    author = Muhammad Abdul Hadi

    Juara 2 Lomba Cipta Cerpen Festival Sastra UGM 2020

    Tubuh Siman meluncur deras dari ketinggian 20 meter. Pelepah pohon dan daun aren melibas kulitnya seiring lesat bobot badan yang kian cepat. Kedua tangan Siman menggapai-gapai apa saja yang sekiranya bisa ia pegang. Tentu sangat sulit sekali. Jika pun ada cabang pohon bisa ia capai, tubuhnya akan terbentur keras. Tubuh yang menghantam cabang pohon akan menjadikan badannya sakit berlipat-lipat. Belum lagi jika ada tunggul kayu. Bisa dipastikan, ia akan akan terluka parah, patah tulang, atau lebih buruk lagi; cacat seumur hidup.

    Siman tak pernah membayangkan nasibnya berakhir malang, jatuh dari pohon aren. Ketika kakinya tergelincir dari penyangga sadapannya, ia menyumpahi raungan tangis bayi itu. Pasti anak iblis, pikirnya. Di kedalaman hutan seperti ini, tidak mungkin ada orang yang membawa bayi. Tiba-tiba saja ia teringat Ayi Sani, istrinya yang ditinggalkannya dalam keadaan sakit dan hamil besar. Apakah ini tanda-tanda bahwa istrinya akan segera melahirkan? 

    Beberapa jenak sebelumnya, angin tenggara berhembus cukup kuat menggoyang-goyang pelepah aren. Kesiur angin bertambah kencang. Siman yang menyadap nira, bergegas mengganti tabung bambu yang sudah penuh. Sari nira yang tertampung pasti sudah asam karena tiga hari sadapannya tak sempat ia ambil. Biarlah, pikir Siman. “Aku akan mengolahnya jadi tuak,” bisiknya sambil menepuk tabung bambu.

    Ia harus segera mengiris tangkai nira sebelum bergegas turun. Tangis bayi tiba-tiba terdengar, mencuat dari gerumbul semak. Siman seketika tercenung. Hatinya kini dirayapi takut dan rasa khawatir. Saat itu desir angin kembali berembus. Tak dinyana, satu gigitan kecil semut di lengannya membuat Siman terkejut. Tangan kanannya seketika menepuk semut itu. Siman baru sadar, ia telah luput mengamankan pegangannya. Saat itu, keseimbangannya sudah goyah. 

    Di matanya, ia terbayang Ayi Sani. 

    Dan memang, Ayi Sani sedang teringat suaminya. Sudah dua minggu Ayi Sani mendekam di tempat tidur. Dahinya panas tak terkira. Padahal mertuanya memberi tahu bahwa perempuan hamil rentan diguna-guna. Bisa jadi, demam tinggi yang ia rasakan adalah kiriman penyakit dari orang lain. Ia tak bisa membayangkan akan melahirkan, sedang tubuhnya masih payah didera sakit berkepanjangan. 

    Ayi Sani teringat dengan kejadian beberapa waktu sejak ia diboyong Siman ke Loa Kayan. Sejak lelaki Dayak Dalam itu jatuh cinta dan meminangnya, Ayi Sani sudah membayangkan bahwa ia akan segera pergi dari kampungnya. 

    Selama ini, ia memang tidak betah dengan tindak tanduk ibu-bapaknya. Keduanya seolah mengabdikan diri pada ilmu hitam. Ia tahu, ada satu gudang di rumahnya yang yang penuh dengan benda-benda mistis. Setanggi yang terus dibakar, aneka kembang yang tak ia hafal namanya, mandau-mandau dengan motif ukiran antik, beras merah berbau busuk, hingga kulit ular yang dikeringkan.

    Selepas menamatkan SLTA, Ayi Sani mendengar kasak-kusuk bahwa ayahnya adalah penggalung, dukun yang terkenal sakti itu. Sementara, diam-diam ia menyadari ibunya melakukan pesugihan memalukan, memelihara roh jahat di dalam tubuhnya sehingga ia selalu awet muda. Sebagai gantinya, dari bisik-bisik yang ia dengar, ibunya menjadi kuyang[1]Bentuk pesugihan dan aji awet muda yang menjadikan penuntutnya sesosok “hantu” di waktu-waktu tertentu. Berwujud kepala manusia dengan isi tubuh yang menempel tanpa kulit dan anggota badan yang … Continue reading. Di waktu-waktu tertentu, ibunya akan menghisap darah bayi sebagai tumbal. Pantas saja, ibunya kerap mengenakan jubah hitam di malam hari dan mendekam di gudang rumah mereka. Satu-dua hari kemudian, ia mendengar kabar ada bayi yang meninggal di kampung sebelah. 

    Kendati sangat jarang ada bayi yang mati tak wajar di kampungnya, ia merasa sangat malu. Dari riwayat yang ia dengar, kuyang akan menandai ibu yang hamil besar dan menyambanginya kala bersalin. Itulah, Ayi Sani selalu merasakan tatapan-tatapan tidak menyenangkan dari orang-orang kampungnya. Hanya mungkin karena wibawa di pundak ayahnya, mereka tak berani mengolok-oloknya. Atau mungkin bukan wibawa, namun rasa takut hingga para penduduk tak ada yang berani mengusiknya.

    Akan tetapi, tentu saja tatapan-tatapan menyudutkan itu membuat Ayi Sani tidak nyaman. Untung saja ia terlahir sebagai perempuan, pikirnya. Jika ia laki-laki, tentu ayahnya akan mewariskan aji dan ilmu saktinya kepadanya. Dan di saat bersamaan, ia juga tak berminat sedikit pun pada tindak-tanduk ibunya.

    Itulah, selepas pernikahannya dengan Siman, ia segera meminta suaminya memboyongnya pergi dari kampung. Akhirnya, Ayi Sani merasa terbebas dari kungkungan keluarganya.

    Namun, kini ia kembali terjebak dengan adat-istiadat keluarga suaminya. Atau lebih tepatnya, pikiran kuno mertuanya, ibu Siman itu.

    Ketika kandungannya semakin tua, ia mendadak saja menderita sakit. Tubuhnya meriang. Ayi Sani mengkhawatirkan jabang bayi yang ia kandung.

    Padahal ia sadar bahwa hitungan bulannya sudah dekat. Jika menilik waktunya, beberapa saat lagi bayinya akan menyundul rahim meminta dikeluarkan. Ayi Sani menyumpahi sakit yang membuatnya meriang seperti ini.

    Meskipun ia sudah menelan beberapa butir pil dari resep mantri yang setiap minggu berkunjung ke Loa Kayan, panas di badannya tak kunjung pergi. Dilanda kebingungan, Siman segera memanggil ibunya. Dan ketika datang, perempuan tua itu lantas menyiapkan beragam ramuan yang harus ia minum. Bisa jadi, sakitmu ini sakit kiriman, ujarnya. Tak lupa, sore itu, mertuanya juga memanggil Damang Mate, dukun beranak sekaligus tabib yang terkenal sakti di Loa Kayan.

    Padahal semenjak awal, Ayi Sani menyampaikan kepada Siman bahwa ia tidak ingin melahirkan dengan bantuan dukun kampung. Ia ingin persalinannya ditangani bidan kecamatan. Namun, ketika mertuanya datang, suaminya tak berkutik sama sekali dan bulat-bulat menaati perintah ibunya. Ruang kamarnya lantas juga digantungi kerang-kerang yang diikat dengan benang tenun. Untung mengusir roh jahat, ujar mertuanya ketika Ayi Sani bertanya.

    Maka saat Damang Mate datang, Siman lantas diminta keluar dari kamar Ayi Sani. Siman merasa sedikit lega karena bantuan ibu dan dukun beranak itu. Ia tak lagi mengkhawatirkan Ayi Sani, karena istrinya kini sudah berada di tangan orang yang tepat, pikirnya. Oleh sebab itulah, Siman kemudian meminta izin untuk melihat sadapan niranya. 

    “Sudah tiga hari sadapan aku tinggal gara-gara mengurus sakit Ayi Sani,” ujar Siman kepada ibunya. “Sementara kalian urus istriku, aku akan mengambil sadapan sari nira barang sebentar,” tambahnya.

    Ibunya yang tidak menyangka kejadian buruk yang akan terjadi beberapa menit selanjutnya mengiyakan. “Jangan lama-lama. Dari tanda-tandanya, bayimu mungkin akan lahir malam ini,” jawabnya pada Siman. 

    “Jika kau pulang nanti, jangan lupa bawa potongan ijuk!” perintahnya. Perempuan tua itu juga sudah menyiapkan beberapa butir bawang merah dan putih, yang nantinya akan dibungkus ijuk sebagai pengusir hantu Atut Hinu yang dipercaya menyambangi perempuan bersalin.

    Dan beberapa saat selepas Siman pergi, seusai memeriksa Ayi Sani, Damang Mate menolak menyembuhkan sakitnya, apalagi membantu persalinannya.

    “Perempuan ini pendosa. Saya tidak mau menyembuhkan pendosa. Sakitnya ini disebabkan karena ia telah mengkhianati leluhur. Bayi yang dikandungnya juga hasil hubungan terlarangnya dengan iblis,” ujar Damang Mate.

    Ayi Sani yang mendengar ucapan dukun sok tahu itu tersinggung. “Aku tidak pernah melanggar lali [2]Larangan-larangan adat dari suku Dayak. ataupun menuntut ilmu hitam,” jawab Ayi Sani terisak-isak. Perutnya mulai bertingkah. Rupanya perasaan kesalnya menjadikannya mulas. Rahimnya mengalami kontraksi. Ia memekik dan mengejan.

    Ayi Sani seharusnya menyadari bahwa ajian yang dianut ibu-bapaknya diturunkan melalui garis keturunan. Meskipun ia tidak memelihara sirep dan menghafalkan mantra, roh penunggu keluarganya diwariskan dari hubungan darah.

    Damang Mate melangkah ke arah jendela yang terbuka. Ia melepahkan sirih dan irisan jambe yang ia kunyah. Tanpa berkata apa-apa, ia meninggalkan Ayi Sani yang mengap-mengap memegangi perutnya. Dukun itu pergi dan tak kembali lagi.

    Mertua Ayi Sani kelabakan melihat menantunya yang akan melahirkan tanpa bantuan dukun beranak. Padahal Damang Mate adalah satu-satunya orang yang selama ini diandalkan di Loa Kayan. Ia tidak tahu meminta bantuan ke siapa lagi.

    Berbekal dari pengalamannya melahirkan, mertua Ayi Sani segera menyiapkan kain batik dan bantal. Ia meminta menantunya berjongkok. Ayi Sani yang menahan sakit menurut seperti kerbau dicocok hidungnya. Ia menumpu tubuh dengan kedua kaki. Ayi Sani mengejan. Butiran peluh sebesar biji jagung berleleran. Perutnya terasa keras dan kaku. Air ketuban telah pecah. Cairan meleleri paha dan betisnya. Rahimnya berkedut kuat. Ia meringis kesakitan.

    Mertuanya lantas mengambil pisau dapur, bersiap-siap memotong tali pusar jika bayi telah sempurna keluar. Ia tidak menyangka, rupanya posisi bayi Ayi Sani sungsang. Cairan merah seketika meruah. Ayi Sani mengalami pendarahan.

    Sementara itu, di puncak pohon aren, Siman yang sedang mengiris tangkai nira mendengar raungan tangis bayi. Bulu kuduknya berdiri. Bayi siapakah itu, pikirnya. Angin tenggara yang bertiup seolah-olah mengusap-usap tengkuknya.

    Tentu saja Siman tak menyangka bahwa istrinya di rumah telah bersimbah darah berjuang melahirkan anaknya yang keluar dengan posisi sungsang. Tanpa bantuan dukun beranak, mertua dan istrinya yang awam menangani dunia persalinan hanya bisa panik kebingungan. Ayi Sani sedang bertarung melawan maut. Sementara itu, bayi yang menyundul rahim Ayi Sani kian tak sabar. Apakah bayi itu tersedak darah hingga ia meninggal sebelum sempat menyaksikan dunia di luar rahim ibunya? Entahlah. Yang pasti, Ayi Sani yang mengalami pendarahan bertahan mati-matian di ujung hayatnya. 

    Dan akhirnya bayi itu menyembul tanpa mengoek. Nafasnya telah putus, bahkan sebelum ia bisa bernafas sempurna di luar rahim ibunya.

    Sebagaimana yang kita tahu, roh bayi akan selalu penasaran sebelum berjumpa dengan ayahnya. Arwah bayi itu lantas terbang mencari Siman, yang kebetulan sedang menyadap nira. Maka di sanalah, di bawah pohon aren, di antara gerumbul semak, roh bayi itu mengeluarkan tangisnya. Siman yang khusyuk mengiris tangkai nira terperanjat, hilang keseimbangan, dan tergelincir jatuh dari ketinggian 20 meter.

    Kaliurang, 2019

    References

    References
    1 Bentuk pesugihan dan aji awet muda yang menjadikan penuntutnya sesosok “hantu” di waktu-waktu tertentu. Berwujud kepala manusia dengan isi tubuh yang menempel tanpa kulit dan anggota badan yang dapat terbang untuk mencari darah bayi atau darah wanita setelah melahirkan.
    2 Larangan-larangan adat dari suku Dayak.
  • Barangkali

    author = Suci Wulandari

    Barangkali, percakapan absurd mereka mengingatkan tentang bau daun Johar yang direndam air hangat. Barangkali juga, badan Raba yang merianglah, yang membuatnya mengingat bau ramuan penyembuh masuk angin buatan ayahnya itu.

    Mereka, Raba Bara dan Haryono Suwage, masih terus bercakap-cakap sembari mendengarkan sepasang suami istri menyanyikan lagu jazz lawas di atas panggung. Mereka duduk lesehan di pojok, agak menyandar ke tembok gang.

    “Kenapa mereka nggak demo aja?” tanya Yono.

    “Bosan. Lagi pula, mereka ingin protesnya terlihat lebih berpendidikan. Kata Ana sih, gitu,” jawab Raba.

    “Ana siapa?”

    Kebetulan, saat Raba akan menjelaskan, tepuk tangan bergemuruh. Sepasang suami istri yang tadi menyanyikan lagu jazz sudah selesai, disusul seorang perempuan menaiki panggung mengenakan baju hitam.

    “Itu Ana. Yang baru naik ke panggung. Dia salah satu otak acara ini, juga penggagas seluruh rangkaian tuntutan tolak pembangunan apartemen di Karangwuni,” kata Raba.

    Yono mendongak ke arah panggung. Perempuan yang mengenakan baju hitam, Anastasia Gloria, sedang berdiri tersenyum mengedarkan pandangan pada penonton. Ia mulai berorasi, mengucapkan kata-kata penyemangat, agar tidak berhenti melawan.

    “Cantik. Tapi agak gila, ya?”

    Semua orang akan disebut gila oleh Yono karena ia merasa tidak ada yang lebih waras dari dirinya sendiri. Raba hanya mengangguk kemudian menanyakan tentang pendakian. Yono sering mendaki gunung untuk memenuhi kebutuhan spiritualnya, dan dia baru saja turun dari Semeru.

    Suatu hari, Yono bercerita mengenai asal-usulnya saat mereka masih mahasiswa baru. Ia tinggal di lereng gungung Kelud dan mengaku sebagai keturunan putri Dewi Kilisuci. Diceritakan olehnya, Kelud menyimpan amarah. Dewi Kilisuci mengingkari janjinya untuk mau dinikahi oleh Lembu Suro. Setelah memenuhi syarat membuat sumur di puncak gunung dalam waktu semalam, Dewi Kilisuci menyuruh Lembu Suro masuk ke dalam sumur untuk mengecek ulang kemudian meminta pasukannya menutup sumur dengan batu-batu besar. Lembu Suro mati, tapi sebelum mati ia sempat mengucap sumpah, bahwa Kelud akan menjadi malapetaka bagi tanah Jawa Timur.

    Untuk mencegah hal-hal buruk terjadi, Yono serta masyarakat lereng gunung Kelud menggelar Larung Sesaji sebagai ritual tolak bala setiap tanggal 23 bulan Suro. Tapi hal itu belum cukup. Secara turun temurun, anak lelaki pertama dalam satu generasi keluarganya harus melakukan tapa ke gunung-gunung lain, untuk membersihkan jiwa dan memurnikan diri, agar tidak mengulang tragedi yang sama. Yono menjalankan amanah leluhurnya dengan sangat baik. Ia naik turun gunung setiap kali ada kesempatan, untuk bertapa di atas sana.

    Akan tetapi, Yono adalah seorang pelukis. Ia tentu saja, membawa buku sketsanya setiap kali mendaki, juga satu set cat air kecil yang bisa ia selipkan di kantong. Setiap pulang mendaki, ia akan membawa turun cerita serta sebuah sketsa.

    “Ada satu kisah yang aku dapatkan selama pendakian Semeru. Saat itu aku sedang berhenti di pos dua. Aku tiduran di tanah, sambil memikirkan seperti apa rasanya mati.”

    Raba mendengarkan Yono bercerita sambil sesekali batuk.

    “Tiba-tiba, ada seekor burung berwarna kuning terbang rendah di atas kepalaku. Jangan tanya itu burung apa. Aku bahkan yakin sebenarnya itu bukan burung, melainkan dewa yang menyamar. Tapi tapi…,” Yono membuat jeda pada ceritanya, seperti biasa.

    “Tapi apa?” tanya Raba tak sabar.

    “Tapi burung itu memberi pesan. Katanya, aku belum boleh mati.” Yono mengucapkannya penuh penghayatan. Raba tidak sanggup menahan tawa, ia terbatuk-batuk sambil tertawa.

    “Duh, Yon..Yon. Kapan kamu waras, sih?” ejek Raba.

    “Kamu tahu aku akan melakukan apa setelah ini?” tanya Yono tidak menggubris ejekan Raba.

    “Apa?” tanya Raba pura-pura memasang muka serius.

    “Aku akan menjual si Handoko Suwage dan membeli seekor burung.”

    Handoko Suwage adalah ayam jago peliharaan Yono, sumber keberuntungannya.

    “Kamu nggak takut sial, Yon?” tanya Raba masih bertahan dengan muka serius.

    “Kita harus jadi burung. Kita selama ini hanya jadi ayam. Ayam punya sayap, tapi mereka nggak terbang ke mana-mana. Keberuntunganku jadi seret. Kamu juga..”

    “Kamu memang luar biasa, Yon. Hahahahaha.”

    Kali ini Raba sudah tidak sanggup menahan tawanya. Ia kadang kagum dengan cara berpikir Yono.

    “Aku serius, Raba. Kita harus berhenti jadi ayam.”

    Raba kembali memasang muka serius, lalu mengangguk yakin.

    “Siap, yang mulia kanjeng Haryono Suwage. Aku akan berhenti menjadi ayam. Aku akan menjadi manusia aja. Kalau bisa, sih, yang punya banyak uang.”

    “Jadi burung! Manusia lebih parah daripada ayam. Mereka nggak punya sayap.”

    Masih dengan muka serius, Raba menepuk bahu Yono. “Aku mendukungmu jadi burung, Yon. Tapi aku harus jadi manusia. Manusia memang nggak punya sayap, tapi mereka bisa terbang kemana-mana, kok.”
    Setelahnya Raba terpingkal-pingkal karena Yono memasang raut kecewa. Mereka mendadak menghentikan pembicaraan dan memandang ke arah panggung karena mendengar suara teriakan.

    Ana masih berdiri di sana, kali ini memegang dua lembar kertas. Dia berteriak lagi. Ana memang selalu berteriak sebelum membaca puisi sebagai sebuah mantra pembuka.

    “Sajak Seonggok Jagung.” Ana mengelilingkan pandangannya.

    “Seonggok jagung di kamar. Dan seorang pemuda. Yang kurang sekolahan. Memandang jagung itu. Ia melihat petani. Ia melihat panen.”

    Ana melanjutkan puisinya, tentu saja sambil mengedarkan pandangan. Tenggorokan Raba gatal sekali rasanya. Raba ingin batuk, tapi ditahannya. Ia tidak ingin merusak suasana magis yang terlanjur terbangun.

    “Seonggok jagung di kamar. Dan seorang pemuda. Ia siap menggarap jagung. Ia melihat menggarap jagung. Ia melihat kemungkinan. Otak dan tangan. Siap bekerja.”

    Ana memberi jeda. Tatapannya jatuh pada Raba, tanpa disengaja.

    “Tetapi ini….” suara Ana melirih. Tatapannya masih belum berpindah. Mata mereka beradu pandang. Tiba-tiba, Raba merinding. Bukan karena badannya yang sedang meriang. Ia merinding karena lengang yang muncul, serta mata Ana yang seolah menusuk milik Raba. Ia semakin ingin batuk, tapi tetap ditahannya setengah mati.

    “Tetapi ini: seonggok jagung di kamar. Dan seorang pemuda tamat S.L.A. Tak ada uang, tak bisa jadi mahasiswa. Hanya ada seonggok jagung di kamarnya. Ia memandang jagung itu. Dan ia melihat dirinya terlunta-lunta.”

    Ana masih bertahan menatap Raba. Begitu pun sebaliknya. Ana melanjutkan puisinya. Raba masih menahan batuknya. Lebih parah lagi, jantungnya kini berdebar makin cepat. Mendadak, semesta Raba lenyap, hanya tinggal mereka berdua, berhadap-hadapan begitu dekat sekaligus berjarak begitu jauh.

    “Seonggok jagung di kamar. Tidak menyangkut pada akal. Tidak akan menolongnya. Seonggok jagung di kamar. Tak akan menolong seorang pemuda. Yang pandangan hidupnya berasal dari buku. Dan tidak dari kehidupan. Yang tidak terlatih dalam metode. Dan hanya penuh hafalan kesimpulan. Yang hanya terlatih sebagai pemakai. Tetapi kurang latihan bebas berkarya. Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.”

    Ana berjalan turun dari panggung. Perlahan menghampiri Raba, masih dengan tatapan yang sama. Hanya saja kini suaranya meninggi. Amarah terbaca jelas di matanya.

    “Aku bertanya? Apalah gunanya pendidikan. Bila hanya akan membuat seorang menjadi asing di tengah kenyataan persoalannya? Apakah gunanya pendidikan? Bila hanya mendorong seseorang menjadi layang-layang di ibu kota. Kikuk pulang ke daerahnya sendiri?”

    Ana makin mendekat ke arah Raba. Tatapannya sama sekali tidak berpindah. Ia melanjutkan puisinya. Kini dengan suara tenang nan lantang, suara penuh kesedihan yang tidak bisa dijelaskan, membuat Raba sungguh-sungguh semakin ingin batuk.

    “Apakah gunanya seseorang belajar filsafat, teknologi, ilmu kedokteran, atau apa saja. Ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata: di sini aku merasa asing dan sepi.”

    Ana masih menatap Raba.

    “WS Rendra. 1975.” Ana mengalihkan tatapannya ke arah Yono. Lalu Yono meringis, dan bertepuk tangan. Semua orang kemudian ikut bertepuk tangan. Bersamaan dengan itu, Raba melepaskan batuk yang sedari tadi ia tahan. Semestanya kembali ramai.

    Masih terbatuk-batuk, Raba kemudian berdiri. Ia berjalan menuju rumah kontrakannya, tanpa memedulikan hal lain, termasuk teriakan Yono yang kebingungan ditinggal sendirian. Raba terus berjalan menyusuri gang, melewati orang-orang yang duduk lesehan menghadap panggung. Dalam perjalanannya, Raba mengutuk Rendra dan puisinya. Raba mengutuk Ana dan mata coklatnya. Raba mengutuk dirinya sendiri.

    Sesungguhnya, dengan jelas Raba tahu apa yang dia mau. Ia ingin menculik Ana ke luar angkasa, tidak membaginya dengan orang-orang. Raba jatuh cinta pada Ana. Ia juga ingin sekali pulang dan meminta ayahnya menggosokkan daun Johar yang sudah direndam air hangat ke sekujur punggungnya. Ia ingin tidur nyenyak dengan badan hangat, lalu bangun dengan sehat keesokan harinya. Sialnya, meski Raba tahu dengan jelas apa yang ia mau, ia hanya terus berjalan sambil terbatuk-batuk menuju rumah kontrakannya.

    Raba masuk ke rumah, secepatnya mencoba untuk tidur. Namun yang terjadi di luar rencananya. Ia terjaga sepanjang malam untuk melukis ditemani dengkuran Yono serta suara Ana membacakan Sajak Seonggok Jagung yang terngiang-ngiang di kepalanya. Setelah sekian lama Raba tidak menghasilkan apa pun di atas kanvas, malam itu ia melukis lagi. Raba melukis seekor ayam sedang berenang di lautan penuh jagung. Dikemudian hari, lukisan itu memenangkan kompetisi bergengsi. Raba mendapatkan 100 juta serta ketenaran sesaat.

    Tanpa sadar, Raba tertidur di depan lukisannya. Saat ia bangun, ia menemukan selembar pesan dari Yono. Isinya: Aku akan menjual Handoko secepatnya, dan mencari seekor burung untuk keberuntungan yang baru. Terima kasih tumpangan tidurnya. Pendakianku selanjutnya, kamu dan Ana harus ikut. Dan yang ini serius, Raba. Kamu harus berhenti menjadi seekor ayam NB: Simpan catatan ini. Kalau nanti kita jadi seniman besar, tulisan ini akan berharga ratusan juta. Haha. HS.

    Sebulan kemudian, Bara berkesempatan bertemu Ana. Bahkan mereka berbincang lama. Bara sedang membeli  sebutir apel merah. Ia memang selalu melakukannya, setiap hari antara jam setengah tujuh pagi hingga jam delapan pagi.

    “Mau coba buah mangga, mungkin? Mumpung lagi musim Mangga. Buahnya sedang manis,” Ana menawarkan.

    Raba menggeleng. Ia tidak mau mangga, ia hanya mau apel merah atau Ana.

    “Aku cuma mau apel merah,” ujar Raba lirih. Ia belum gosok gigi, belum cuci muka, sedangkan Ana berdiri di hadapannya begitu wangi dan memesona.

    Raba cepat merogoh kantongnya untuk mengambil uang.

    “Yang ini gratis. Tapi…,” kata Ana sambil mengambilkan sebutir apel merah, “Kamu harus cerita kenapa kamu selalu beli apel merah.”

    Raba tetap mengambil selembar uang lima ribu dan memberikannya pada kasir.

    “Aku tetap bayar. Ceritaku tidak akan menarik untuk didengarkan olehmu,” jawab Raba masih dengan suara yang lirih. Takut bau napasnya tercium Ana.

    Gadis yang berdiri di belakang mesin kasir tidak menerima uang yang diulurkan oleh Raba. Ia memandang Ana, menunggu perintah. Ana hanya menggeleng pada si gadis kasir.

    “Aku sungguh-sungguh sedang ingin mendengarkan kisah sebutir apel dari seorang seniman. Proses kreatif selalu menarik, Raba. Nanti aku barter satu cerita juga, deh,” Ana mendesak.

    Raba memasukan kembali lembaran lima ribu ke dalam dompetnya.

    “Baiklah. Tapi aku belum gosok gigi,” jawab Raba sekenanya. Sebenarnya, Raba tahu tidak ada gunanya mendebat Ana. Setiap kali mereka saling berargumen, Ana akan selalu menang. Raba sengaja menyerah bahkan sebelum benar-benar mulai.

    Mereka duduk di depan toko, di samping tumpukan buah mangga dan tulisan Musim Mangga sudah tiba, Mangga Madu diskon 10% perkilo. Mereka memandangi jalananan yang mulai sepi. Jam berangkat kantor sudah lewat.

    Raba mulai menceritakan tentang rutinitas apel merahnya. Ia ingin bercerita ringkas dan cepat, tapi Ana selalu menambahkan pertanyaan-pertanyaan yang membuat ceritanya menjadi panjang lebar. Bahkan, gadis kasir sempat menyela obrolan membawakan dua cangkir kopi yang sempat diminta Ana.

    “Jadi, kamu sekedar mengikuti apa yang dilakukan oleh seniman besar?” tanya Ana memancing argumen.

    Raba meniup-niup kopinya sebentar.

    “Ya memang apa salahnya mengikuti. Toh, kerja-kerja kreatif yang dilakukan oleh Yoko Ono cukup efektif untuk membuat tangan jadi luwes. Bayangkan, jika setiap hari secara sadar, Ono menggambar mukanya sendiri, tentu saja gambarnya akan semakin baik.”

    Raba mulai menyeruput kopinya.

    “Ya, ya. Bisa karena terbiasa. Tapi kenapa kamu nggak menggambar mukamu sendiri, seperti Yoko Ono? Kenapa malah menggambar sebutir apel? Kan tingkat kesulitannya jauh beda.”  Ana seperti biasanya, jeli dan detail.

    “Soal tingkat kesulitan, tidak jadi masalah. Poinnya adalah menjaga kerja kreatif yang sama berulang-ulang. Selain supaya luwes, juga untuk menjaga performa. Jadi meski api semangat untuk berkarya atau ide sedang padam, baranya tetap nyala dan panas.”

    Kopi Raba sudah berkurang separo sedangkan milik Ana belum tersentuh sama sekali. Seolah kopi ditangannya tak lebih menarik dibandingkan cerita Raba. Raba berulang kali menyeruput kopinya seperti sedang haus karena gelisah. Ia tidak membawa rokoknya.

    “Kamu belum menjawab satu pun pertanyaanku, Raba.”

    Raba mengumpat dalam hati. Ia ingin sekali merokok untuk mengalihkan perhatiannya dari wajah Ana yang menggemaskan.

    “Apa ya, tadi?”

    “Kenapa kamu malah menggambar apel dan bukan mukamu sendiri?”

    Raba menyeruput kopinya lagi.

    “Aku nggak tahan menggambar mukaku sendiri. Kalau bisa sih, maunya menggambar mukamu, kan cantik. Tapi ya, susah. Mana mau kamu tiap pagi ketemu aku cuma untuk kugambar. Jadi, ya, aku gambar apel aja, yang merah. Habis selesai digambar bisa dimakan, biar sarapannya agak borjuis dikit.”

    Tapi Raba memiliki alasan sebenarnya, kenapa ia menggambar sebutir apel merah setiap hari. Alasan yang enggan ia bagi pada Ana atau pada siapa saja. Ia jelas lebih memilih sarapan sepiring nasi goreng dari pada sebutir apel. Namun sebutir apel merah setiap pagi menghadirkan ayahnya. Raba tidak bisa pulang. Bak Patih Gadjah Mada yang bersumpah tidak akan istirahat sebelum menaklukkan seluruh nusantara di bawah Majapahit, Raba juga melakukannya. Ia berikrar tidak akan pulang, sebelum ia benar-benar jadi seorang pelukis besar. Semua bermula lewat perbedaan pendapat.

    Ayahnya, Gunawan Bara adalah seorang yang berpendidikan. Meski begitu, ia mendedikasikan hidupnya untuk mengajar di SLB di Mojokerto. Letaknya tak jauh dari pabrik bir terbesar se-Indonesia. Pak Gun, begitu ia biasa disapa, naik sepeda dari rumah menuju sekolah tempatnya mengajar. Bukan karena miskin, tapi ia memang suka naik sepeda. Gunawan anak tunggal dari seorang pengusaha perkebunan. Tanahnya berhektar-hektar tersebar di segala penjuru Jawa Timur. Jika ia mau, tanpa perlu bekerja, penghasilannya cukup untuk sekedar membeli sebuah sepeda motor setiap bulan. Tetapi Gunawan lebih suka mengajar. Kebun tebu seluas hampir satu hektar di Malang diurus istrinya. Gunawan menikah dengan Rumini, seorang penulis cantik asal Surabaya yang terheran-heran dengan kehidupan desa. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki, Raba Bara.

    Seperti namanya, Raba tumbuh menjadi anak yang unik dan tak tertebak. Selepas SMP, ia minta melanjutkan ke Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) di Surabaya. Padahal sebelumnya, Raba terlihat sangat tertarik dengan mikologi. Gunawan kira Raba ingin menjadi ilmuan. Meski sedikit cemas, akhirnya mereka mengizinkan Raba ke Surabaya. Ia dititipkan pada saudara Rumini. Meski tidak pernah diucapkan langsung, Gunawan lebih merasa kehilangan Raba ketimbang Rumini. Raba biasa menemani Gunawan berkebun di belakang rumah. Setia membantunya mencoba menanam apel merah di dalam pot.

    Sedikit demi sedikit, Raba mulai berubah. Ia mulai mempertanyakan apa yang sebenarnya dilakukan oleh ayahnya. Seperti nama lengkapnya, Raba Bara, senantiasa mengandung panas yang seolah abadi. Baginya aneh, Gunawan yang berpendiidikan tinggi, berpenghasilan banyak, tidak menyumbangkan apa-apa bagi zamannya.

    “Profesi yang meninggalkan jejak sejarah, mampu mengubah dunia, hanyalah profesi-profesi pencipta, Yah. Penulis adalah salah satunya, seperti Ibu. Ilmuan seperti Albert Einsten. Juga seniman sepertiku,” kata Raba yakin.

    Gunawan hanya menggumam. Ia mengerti ke mana arah pembicaraan anaknya. Yang ia tidak mengerti adalah, sejak kapan, Raba yang ia didik sebagai anak bertoleransi tinggi tiba-tiba meributkan pilihan hidupnya.

    “Ayah sebenarnya bisa lebih dari sekarang ini.”

    Gunawan mengangguk-angguk lalu menjawab setengah bercanda.

    “Betul, betul. Ayah sedang mencoba menumbuhkan apel merah di dalam pot supaya bisa jadi pencipta.”

    “Maksudku bukan itu. Ayah bisa lebih dari sekedar menjadi seorang guru SLB. Ayah bisa saja membuat sekolah sendiri. Jadi, ayah bisa meninggalkan jejak pada sejarah. Memberi manfaat lebih besar dan lebih luas.”

    Tapi Gunawan tidak sependapat dengan anaknya yang mendadak pandai bicara setelah lulus SMSR. Baginya, besar atau kecil, sedikit atau banyak, paling baik adalah memberi tanpa ambisi. Ia melakukannya selama hampir dua puluh tahun, bekerja sebagai guru SLB. Dari situ, Gunawan telah memperoleh banyak hal, yang tidak sebanding dengan meninggalkan jejak sejarah seperti yang diangankan Raba.

    Raba mungkin lupa, orang-orang luhur dan besar zaman dulu adalah orang-orang yang paling rendah hati. Mereka seringkali menyembunyikan namanya, supaya tidak perlu ikut tertuliskan dalam sejarah. Mereka memberi tanpa ambisi, dan itulah panutan Gunawan.

    Tak disangka, pertengkaran yang Gunawan anggap sepele itu seperti perang tiada akhir yang hanya nyala dalam diri Raba seorang.  Raba berikrar akan membuktikan diri sebagai pengubah peradaban lewat karya seni. Ia bahkan berjanji tidak akan pulang sebelum benar-benar menjadi seniman besar, sebuah janji yang menurut Gunawan tidak perlu. Ia sesungguhnya tidak membutuhkan pembuktian apa-apa dari anak semata wayangnya itu.

    Dan dari situlah cerita bermula. Raba melanjutkan studinya ke Institut Seni Indonesia (ISI) di Yogyakarta. Kini, setelah hampir enam tahun terlalui, Raba tetap belum menjadi apa yang ia ingini. Bahkan ujian akhirnya tak kunjung ia kerjakan.

    Entah apa yang mengawali Raba memilih apel merah untuk menggantikan wajahnya sendiri. Mungkin kerinduannya yang tumpah ruah. Ibunya yang sesekali mengunjungi Raba, selalu bercerita tentang Gunawan.

    “Akhirnya pohon apel merah ayahmu tumbuh, di dalam pot,” ujarnya.

    Raba senang bukan main meski raut mukanya tetap datar. Ia ingat betul bagaimana dulu ia bertanya dengan polosnya pada guru biologi, apa yang membuat sebuah pohon apel tidak bisa tumbuh. Gurunya hanya menjawab, mungkin karena jamur. Raba menganggap itulah jawabannya: jamur. Maka dengan tekad ingin membantu ayahnya menumbuhkan pohon apel merah, ia mencari tahu sebanyak-banyaknya tentang jamur. Ia minta dibelikan buku ini itu, ensiklopedia, serta mencari informasi apa pun mengenai jamur. Pada akhirnya Raba tahu, bahwa guru biologinya dulu tidak serius menanggapinya.

    “Bahkan pohon apel yang kecil itu sempat berbuah, merah darah warnanya. Buahnya bagus-bagus, tapi rasanya asam.”

    Gunawan berkebun seserius Raba mengaduk catnya. Bagi Gunawan, berkebun adalah metode paling efektif untuk menghilangkan stres.

    “Jadi sampai sekarang, Ayahmu sedang mencari cara supaya apelnya jadi manis. Padahal, lho, bibit awalnya itu manis tapi kok setelah ditanam tidak seperti induknya. Aneh. Tapi, ya, ayahmu bilang hal macam gitu biasa. Induk dan anak memang sering beda rasa.”

    Rumini sedikit menyindir Raba. Kemudian seperti biasanya, ia akan membujuk Raba untuk pulang. Dan seperti biasanya pula, Raba akan menolak. Gunawan sendiri meski begitu sabar, tetap seorang lelaki. Ia tidak mau mengunjungi Raba. Baginya, anaknyalah yang harusnya berkunjung. Tapi Raba tidak mau kalah dari pertaruhannya sendiri. Rindunya yang meluap-luap masih bisa ia bendung.

    Ana menyenggol bahu Raba, mengembalikannya dari lamunan

    “Maaf, maaf. Sampai mana tadi?”

    Lalu Ana gantian bercerita. Ia ternyata meminta pamit pada Raba untuk melanjutkan studi S3nya di Skotlandia, berangkat minggu depan. Sebulan terakhir ini Ana ternyata menghilang karena sibuk mempersiapkan keberangkatannya.

    “Sekolahnya cepet banget, nanti bingung, lho, mau ngapain habis itu,” celetuk Raba.

    Tanpa disangka, Ana menatapnya tajam. Dan kata-kata itu terucap lagi dari mulut Ana. Kata-kata yang membuat Raba tidak bisa menculik Ana ke luar angkasa.

    “Kamu ngapain sekolah lama-lama? Padahal kita kan seumuran, tapi sarjana pun kamu belum. Dan bagiku, selamanya tidak akan berubah, impianmu membuat peradaban menjadi lebih baik itu hanya seperti mimpi siang bolong, Raba. Pendidikan seharusnya menolong masyarakat mengatasi permasalahan nyata di sekitarnya.”

    Ana berkata dengan tegas. Entah ini yang keberapa, Raba selalu lupa bahwa Ana membenci sikap hidupnya. Bagi Ana, Raba hanyalah orang yang buang-buang waktu. Bagi Raba, Ana terlalu keras kepala memaksa semua orang untuk jadi aktivis seperti dirinya. Mungkin, hanya mungkin, karena itulah mereka tidak pernah bisa bersama. Setidaknya begitulah kesimpulan Raba.

    “Apa kabar tuntutan tolak pembangunan apartemen di gang sebelah? Sukses?”

    Raba mengalihkan pembicaraan.

    “Kalah. Apartemen itu akan mulai dibangun awal bulan depan.”

    Dalam hati Raba berujar pada dirinya sendiri: ya, kan memang selalu begitu. Sia-sia. Buang waktu, tenaga, uang, tapi selalu saja rakyat kecil kalah dengan yang punya kuasa. Dan seolah bisa membaca apa yang dipikirkan Raba, Ana menjawab.

    “Tapi meski begitu, seperti kata Pramoedya, setidaknya kita sudah melawan, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Cuma orang-orang pemberani yang tetap melawan meski sejak awal sudah tau akan kalah.”

    Detik itu juga, perut Raba bergejolak ingin buang hajat ke kamar mandi. Apalagi ketika mendengar Ana mengucapkan kata ‘kita’, padahal yang Raba lakukan hanya ikut minum teh dan makan camilan setiap kali aksi massa digelar.

    Setelah keberangkatan Ana, Raba mulai mengikuti kompetisi-kompetisi melukis. Ia memenangkan salah satunya, sebuah kompetisi lukis di Singapura, disponsori sebuah Bank berskala internasional. Lukisannya berjudul “Ayam Terbang” menjadi pemenang pertama. Namanya melambung. Beberapa bulan kemudian, Raba menggelar pameran tunggal di Taman Budaya. Banyak orang datang, seniman, kalangan umum, juga para kolektor. Mereka menaruh ekspektasi yang berbeda-beda.

    Sialnya, semua orang seakan sependapat bahwa lukisan-lukisan Raba tidak ada yang sekuat lukisan “Ayam Terbang”. Dari 25 karya yang terpajang, hanya satu  yang laku, dibeli pengusaha tekstil asal Boyolali. Namanya tetap melambung, bahkan makin santer jadi pembicaraan di kalangan seni rupa. Tapi kini, desas-desus mengatakan bahwa karya-karyanya biasa saja. Dan lukisan “Ayam Terbang” hanya sebuah keberuntungan.

    Tekanan dalam diri Raba makin menjadi-jadi, saat ia menerima dua surat bersamaan. Satu dari universitas, peringatan drop out. Satunya lagi dari Rumini, yang memang hobi menulis surat. Isinya membuat Raba meriang tiba-tiba. Dalam tulisannya yang indah, Rumini mengatakan bahwa Gunawan terkena serangan stroke ringan. Gunawan ingin anaknya pulang. Surat ketiga yang ia harapkan datang dari Skotlandia, tidak pernah hadir.

    Tengah malam, Raba sudah hampir merasa kalah. Rokoknya tinggal tiga perempat batang dan dipeganginya dengan tangan kiri. Tangan kanannya memegang kuas. Lingkaran hitam di bawah matanya cukup membuat orang tahu bahwa ia jarang tidur, terutama saat hari gelap dan sunyi seperti ini.

    Namun, Raba belum kalah. Sudah hampir, memang. Dihembuskannya satu tarikan napas menjadi asap-asap racun yang berkeliling mengitari kanvas kosong di hadapannya, juga lembaran surat di sampingnya. Di dalam ruangan sempit yang tidak simetris itu, Raba bertanya pada asap-asap racun yang tak kunjung hilang. Ia menannyakan tentang rumah, tentang kepulangan, tentang Ayah. Tapi mereka tidak mau menjawab.

    Raba menghisap lagi rokoknya. Sunyi. Tak ada suara lain kecuali detak jam dinding. Meski begitu, Raba sudah merasa sangat riuh. Ada suara-suara dalam kepalanya yang enggan berhenti gaduh. Rokoknya tinggal separo batang namun malam masih panjang. Badannya meriang lagi, dan bau daun Johar yang direbus terbayang hingga membuat matanya sembab.

    Raba ingat pulang. Ia melamunkan kereta malam ke arah timur. Oleh-oleh yang hanya dua bungkus brem kesukaan ayahnya. Lalu sebuah subuh yang membawanya pada kampung halaman.

    Yogyakarta, Agustus 2016.

     

    Foto oleh Olav Iban

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

  • Bara Dupa

    author = Achmad Rofii

    Di tengah badai hujan yang tak kunjung reda, sambil menangis Ibu mengipasi bara dupa. Sesekali ia taburkan garam kasar. Gemeretak bunyinya seolah sedang berusaha menenangkan hujan yang terus-menerus menghujam desa. Kepulan asapnya dengan cepat tertiup angin, bersamanya ikut serta harapan Ibu satu-satunya: keselamatan bagi Bapak yang tengah berlayar menuju Kumai.

    Penghujung tahun seperti sekarang ini, hujan memang kerap datang bersama angin kencang. Akibatnya tak sedikit langgar di depan rumah warga runtuh berhamburan. Sebelum hujan benar-benar berhenti, kami lebih memilih berdiam diri di dalam rumah dan tak henti-hentinya mengucap istighfar dan shalawat. Sebagaimana perintah Ibu, kami harus membaca segala puji dan doa demi keselamatan Bapak.

    Dari balik jendela rumah, diam-diam kuperhatikan Ibu yang meski menggigil kedinginan, tetap mengipasi bara dupa. Dengan polos, kusarankan beliau untuk mengipasi dupa dari dalam rumah.

    “Nak, mungkin Ibu hanya akan sakit karena kedinginan. Tapi Bapakmu, selain kedinginan, ia juga harus menjaga keseimbangan kapal yang terombang-ambing oleh badai, sebagaimana ia harus menjaga nyawanya agar tak hilang ditelan lautan.”

    Dupa semakin membara. Kepulan asap hilang seketika. Panjatan doa Ibu menembus batas cakrawala. Aku tak kuasa membayangkan kemungkinan Bapak tiada.

    Di desa kami, membakar batu dupa adalah cara setiap isteri dan ibu mendoakan suami dan anak lelakinya yang melaut di musim hujan. Jika di daratan hujan lebat datang bersamaan dengan badai angin topan, maka di tengah laut kondisinya jauh lebih mengerikan. Arus ombak bisa mencapai ketinggian lima sampai sepuluh meter, siap menggulung dan menelan segalanya di permukaan. Tak terkecuali kapal kayu yang ditumpangi para pelaut dari desa kami, mereka yang nekat tetap berlayar meski sadar bahwa alam lautan bisa merenggut nyawa seketika.

    Dalam histori celakanya kapal di tengah badai musim hujan, terkadang sebagian besar ABK selamat dan sisanya menghilang. Tak jarang pula yang terjadi justru sebaliknya. Kakek Amin pernah mengalaminya. Ia berhasil bertahan hidup selama tiga hari di tengah lautan, kemudian berhasil dipulangkan bersama dua dari lima belas ABK lainnya yang tenggelam dan tak dapat ditemukan. Bapak juga pernah mengalaminya, dua kali bahkan. Tetapi kami tak pernah sekalipun membanggakan ketangguhan Bapak bertahan hidup di tengah lautan. Apalagi membayangkan hal yang sama terulang ketiga kalinya.

    Hujan akhirnya reda setelah tiga jam lebih menerjang desa. Banyak tetangga kehilangan. Beberapa di antaranya harus merelakan antena televisi dan radio tumbang. Sampah dan rerongsokan berserakan di mana-mana. Ibu agak sedikit lega, meski kecemasan masih amat jelas tergambar di raut wajahnya yang ayu.

    Jam telah menunjukkan pukul 20.00 WIB. Derik jangkrik kini tergantikan oleh sahut-sahut kodok yang tinggal di bangunan kosong sebelah rumah kami. Sebelum terlelap, beberapa kali kudengar Ibu menghela nafas panjang, “Ya Allah.”

    Keesokan harinya kami semua ke belakang, menyiapkan diri untuk berkumpul. Ibu dengan pisau di tangannya meneriaki kami yang tak menyegerakan diri untuk bergabung. Adik kami yang sebenarnya tak sudi melewatkan serial cartoon favorit, dan kami berdua yang masih enggan bangkit dari tempat tidur.

    Setelah semua berkumpul, Ibu mulai memainkan pisaunya, memotong kecil-kecil tomat sebelum kemudian ia ulek bersama cabai dan bumbu fundamen lainnya. Berbeda dengan menu sarapan pada hari aktif sekolah seperti nasi goreng plus telor dadar, menu sarapan kali ini cukup spesial dan merupakan lauk favorit kami sekeluarga, yakni cumi-cumi yang dipepes bersama bumbu rempah-rempah pilihan. Ibu membuka bungkusan daun yang terlihat gosong di permukaan dan seketika aroma lezatnya mengemuka. Selamat makan.

    Ketika suapan kedua kami sedang berlangsung, Ibu memperingatkan agar tidak lupa berdoa sebelum makan. Tapi tidak satu pun dari kami yang menghiraukannya. Peringatan itu justru disambut dengan pernyataan adik kami tentang mitos cumi-cumi yang didengarnya dari seorang tetangga.

    “Kata Mbok Anik, bukan ikan hiu bukan pula ikan paus, tapi cumi-cumi hewan pemakan jasad para pelaut yang tewas karena tenggelam melawan badai di musim hujan.”

    Sambil mengunyah, Ibu menjawab, “kata orang-orang dulu sih begitu. Tapi itu cuma mitos.”

    “Kalau itu mitos, kenapa semua orang di desa ini, selain menziarahi pantai, juga berhenti mengolah dan mengonsumsi cumi-cumi selama 40 hari ketika salah seorang lelaki di keluarganya hilang atau mati tenggelam?”

    Ibu tak lagi menghiraukan pertanyaan kami. Ibu sedang berusaha menangkap sayup-sayup suara yang memanggil namanya dari kejauhan. Suara itu semakin mendekat dan mudah bagi kami untuk mengenalinya.

    Rupanya memang Kakek Amin, kepalanya kini tiba di pintu samping rumah. Sambil mengatur nafas, ia sampaikan kabar tentang Bapak yang tenggelam tadi malam. Entah mengapa tiba-tiba kami berhenti mengunyah cumi-cumi dan langsung menelannya cuma-cuma. Kami semua panik setelah Ibu tak sadarkan diri.

    ***

    Setelah seminggu tanpa kepastian apakah Bapak selamat, hilang, atau mati tenggelam, Ibu mengumpulkan kami. Sebelumnya kami tak pernah mengira, bahwa Ibu akan setegar ini. Kata beliau, hidup harus terus berlanjut dan mulai besok kami harus sekolah kembali!

    Kakak sempat meminta izin untuk berhenti sekolah. Ia ingin bekerja supaya bisa membantu membiayai kebutuhan keluarga, tetapi Ibu melarangnya. Suatu kali Kakek Amin pun sempat meminta Ibu agar mengizinkannya merawat dan menanggung biaya sekolahku, tapi juga Ibu tolak. Ibu selalu ragu jika kami diasuh oleh orang lain, meski sadar bahwa mengasuh tiga orang anak yang kehilangan seorang ayah bukanlah pekerjaan mudah.

    Kini pekerjaan rumah menjadi tugas kami, mulai dari menyapu, mencuci, sampai pergi ke pasar. Sedangkan Ibu sejak pagi masih gelap menyiapkan jajanan yang akan beliau titipkan ke hampir semua warung yang ada di desa. Setelah itu, bersamaan dengan kami berangkat sekolah, Ibu pergi ke rumah Haji Suraji: menjadi pembantu. Ibu juga membuka jasa penatu yang baru akan beliau kerjakan sore hari sepulang dari rumah Haji Suraji.

    Malamnya Ibu tidak langsung tidur. Di atas kasur sambil membelakangi kami, Ibu selalu memeluk baju kotor terakhir yang Bapak tinggalkan. Baunya melekat di setiap tarikan nafas. Ibu akan pura-pura terlelap jika tahu salah satu dari kami sedang memerhatikan air matanya.

    ***

    Tahun demi tahun berlalu. Kabar tentang Bapak pun tak jua tiba. Pelan-pelan kami mulai bisa merelakan kepergiannya. Kenyataan hidup benar-benar telah mendewasakan kami sekeluarga.

    Kakak perempuan kami telah berhasil dengan pekerjaannya yang mapan, karenanya pun Ibu tak perlu lagi bekerja. Sebentar lagi Adik juga akan melanjutkan studi di Kairo setelah lulus seleksi beasiswa pesantren.

    Sementara aku… Aku justru sedang ditahan dan harus mengikuti tahapan persidangan yang sungguh menyebalkan.

    Semuanya bermula ketika aku dengan beberapa kawan berupaya menghasut warga desa agar golput pada pemilihan Kepala Desa beberapa bulan lalu. Isu korupsi dan politik uang menjadi alasan mengapa aku melakukannya. Gerakan itupun setidaknya berhasil memengaruhi lebih dari seperempat jumlah pemilih tetap.

    Menyadari bahwa apa yang telah kulakukan nyaris membuat calon petahana kalah, mereka kemudian membayar aparat kepolisian untuk merekayasa perkara dengan menyeretku pada kasus pengedaran narkotika berjenis shabu. Atas kasus tersebut, aku diancam hukuman seumur hidup.

    Ibu yang sejak awal tak setuju dengan apa yang kulakukan selama pemilihan, akhirnya tiba di persidangan pertama dengan air mata kebencian. Sebelum dimulai, bersama Kakek Amin, Ibu menghampiriku dan menceritakan kenyataan yang sungguh tak kusangka betapa teganya beliau menyembunyikan misteri kematian Bapak.

    Sambil menyeka air mata, Ibu melanjutkan, “dan yang kamu hadapi sekarang adalah ia yang telah menyingkirkan Bapakmu. Ibu tak mau, Nak…” suaranya semakin lirih, “Ibu tak mau kehilangan kedua kalinya.”

  • Banu Sadikin Penyair Hebat

    author = Kusharditya Albi

    Banu Sadikin sekarang berdiri di atas panggung yang megah. Panggung yang diimpikan para seniman kroco dimanapun mereka berada. Panggung tempat berbagi keangkuhan kaum seniman dan intelektual. Di hadapannya kini, berjajar kritikus-kritikus sastra, para seniman maupun sastrawan ternama, tak lupa seniman-seniman muda kroco yang ngiler dan menatap khayal dirinya berada di panggung itu. Panggung apresiasi sastra kota pelajar.

    Banu pun mengaum lantang dengan puisinya :

    Tak ada yang lebih jujur dari coretan di tembok kota
    ‘Pemerintah anjing !’ itu bukan kataku
    Tembok kota bersuara
    Tak ada yang lebih kasih daripada tembok kota
    Nafas senggal rakyat miskin hilang setelah bersandar

    Kira-kira begitu bunyi penggalan puisi  Banu Sadikin, yang akhir-akhir ini karya-karyanya menjadi perbincangan para seniman di kota Jogja. Usai puisi dibacakan, penonton yang hadir serempak tepuk tangan dengan meriah. Sangat meriah seolah-olah ini adalah sebuah kontes tepuk tangan. Di depan sudut kiri Banu, terlihat Emon Supriyadi, kritikus sastra terkenal itu melongo melihatnya. Banu jadi bangga hati. Senyumnya melambung memenuhi mata penonton.

    “Sungguh hebat ! Benar-benar karya monumental bung ! Lebih kena kalau saya mendengar bung Banu membacanya !” Karno Bujel menyalaminya seusai Banu turun dari panggung.

    “Ah bukan apa-apa, sudah tugas penyair menyampaikan keresahan di negeri ini bukan ?” Jawab Banu dengan nada rendah.

    “Tidak Bung tidak ! Menurut saya. Ehem. Ini bukan sekedar puisi bung ! Ini  adalah semangat yang menggugah, persis seperti Chairil dengan puisi Karawang-Bekasinya yang membangkitkan semangat kemerdekaan, tapi kali ini Chairil tak ada apa-apanya bung ! Betul ! Dia cuma jiplak puisi orang, bung Banu kan tidak” kata Emon Supriyadi mendekat.

    “Ehem, Sastra Indonesia hari ini begitu lembek bung, hanya mengejar estetika saja, tidak ada yang mau menyuarakan keadaan rakyat kita” tambah Emon dengan tenang sambil sesekali batuk. Ia bukan pengidap penyakit TBC, cuma begitulah cara bicara yang intelek dari seorang kritikus ternama ini.

    “Saya sepakat bung! Ya, ya, seniman-seniman hari ini hanya mencari nama saja, munafik semua! Betul bung, siapa yang tidak saya kenal?” Karno menanggapi sambil menyulut sebatang Lucky Strike yang terselip di mulutnya.

    “Anda termasuk bukan ?” Balas Emon ketus.

    “Ya bisa jadi, saya ini cuma bohemian bung!” Kata Karno sambil tertawa lebar.

    Dan ketiga orang itu pun tertawa sejadinya.

    “Sudah Bung sudah, karya saya hanyalah kegelisahan saya saja, tidak usah dilebih-lebihkan!” Banu menutup tawa mereka serupa volume radio yang diputar perlahan.

    Malam itu, Banu Sadikin  dibanjiri pujian dari para seniman.

    *

    Ini malam kesepuluh aku berjalan mengelilingi kota Jakarta. Kemana pun itu aku harus tetap melangkah. Punggungku lemah namun aku tetap tak mau bersetubuh dengan lantai. Jakarta malam hari adalah jam akrobat para kriminal kota rendahan. Wajah kemewahan ibu kota sedang dipaksa tidur. Aku yang memaksakan diri untuk berjalan akhirnya kalah juga oleh haus yang menghantam kerongkonganku dan memaksa kaki untuk berhenti. Maka aku pun bersandar pada tembok rumah yang penghuninya lelap.

    Seorang bapak yang terjaga, terlihat cemas menggendong anak balita yang menangis. Aku yang duduk setengah sadar merasa sakit juga mendengar tangisan itu. Setan macam apa yang mengganggu bocah pada tengah malam begini.

    Setelah aku minum setengah botol air yang kuambil dari kran masjid tadi. Mataku sedikit demi sedikit mulai jelas terbuka. Aku mendekati bapak-bapak itu.

    “Kenapa anak bapak ?”

    “Eh, Mas, nganu lapar kayaknya Mas… Sssstt cup cup Nang” jawab bapak itu sambil terus menenangkan anaknya.

    “Kenapa tidak disuruh makan ?”

    “Lha wong saya juga gak ada uang Mas, mudah-mudahan besok saya bisa dapat uang”

    Bapak-bapak itu menjawab sambil memelas. Setelah bertanya apa pekerjaannya, kenapa ia tak punya uang, dimana ibu anak ini. Bapak ini malah ikutan menangis. Sialan! Setan macam apa yang mengganggu bapak ini sampai menangis di tengah malam begini. Meskipun menangis ia cukup murah hati untuk membagi ceritanya.Ternyata, bapak ini seorang tukang sapu jalanan. Namun hari ini sedang tidak ada kerjaan. Karena upahnya harian, kalau ia tidak bekerja ya tidak ada upah. Apesnya, upah kerja kemarin ia habiskan begitu saja. Ibu anak ini katanya minggat balik ke kampung. Nasib memang menyerupai setan batinku. Karena merasa iba aku menyerahkan uang sepuluh ribu yang aku punya. Satu-satunya. Dan arlojiku yang mungkin bisa dijual untuk bekal makan dua hari.

    “Lho Mas, terima kasih Mas, beruntung masih ada orang baik seperti mas.” Bapak itu tak henti-hentinya berterima kasih, seumpama ucapan terimakasih itu adalah kebahagiaan, maka langit Jakarta akan dipenuhi kebahagiaan dari bapak ini. Aku hanya tersenyum melihat bapak ini, namun anaknya masih menangis. Satu setan sudah kutumpas. Aku seperti dukun saja jadinya.

    “Mas, kelihatannya mas baru di Jakarta, mari ke tempat saya sebentar,kita makan sama-sama” ajak bapak itu.

    “Maaf Pak tapi saya harus pergi,” kataku.

    “Pergi kemana? Ini sudah malam, tolong bantu menggendong anak saya, supaya saya bisa masak, nanti kita makan sama-sama,”

    Karena bapak itu meminta tolong, aku tak bisa menolak dengan argumen apapun lagi. Maka aku pun memasuki tempatnya yang hanya rumah kardus dan kayu, mirip seperti sinetron di televisi yang menjajakan kemiskinan. Aku tak tahu apa nama tempat dimana aku berada sekarang, sejak kedatanganku kemari aku hanya berjalan di Jakarta, dimana sengsara menjejali sudut kota. Aku pun menggendong anak bapak itu, ia sudah tak begitu rewel, anak ini tahu ayahnya akan membuatkan makanan. Maka diriku yang tak pernah punya jabang bayi ini tak kerepotan menghadapi bocah rewel, tak ada setan lagi mengganggunya. Ia diam saja duduk dekat denganku.

    Ayahnya kembali setelah membeli beberapa bungkus mie instan, ia memasaknya sambil bercerita tentang keadaannya, dan keadaan kota Jakarta. Setelah mie untuk kami bertiga matang bapak dan anak itu memakannya. Aku tidak memakannya, aku bilang aku.sudah makan, nanti akan aku makan kalau sudah lapar lagi.

    “Nama mas siapa? Saya Suwandi” tanya bapak itu.

    “Saya Banu pak, Banu Sadikin”.

    *

    Kafe Aksara, adalah kafe tempat para seniman biasanya berkumpul. Biasanya kafe itu sering digunakan untuk seniman Jogja untuk mengadakan pertunjukan atau membuat pameran tunggal kecil-kecilan. Kalau untuk pameran dan pertunjukan besar biasanya pengunjung kafe sepi dan migrasi ke tempat dimana perhelatan seni digelar.

    Banu Sadikin, dan Robby Kusuma  sedang berbincang di kafe sambil mabuk dan membicarakan apapun yang bakal keluar dari kepala mereka. Mereka adalah seniman-seniman yang baru punya nama di kota Jogja. Sudah resmi mendapat label penyair dari seniman lain.

    “Bulan ini kan bukumu meledak tuh, susul karya yang lain dong supaya gak keenakan,” ujar Robby kepada Banu.

    “Ah, santai lah! Karya harus ada esensinya dong, berkarya itu kan proses pikiran dan perasaan,” jawab Banu sambil mengempaskan asap rokok.

    “Kawanku bilang sastra juga bisnis, Ban, ya macam kerja kantoran itu lah kalau sudah ada koneksi gampang masuknya! Kawanku itu, yang karyanya sering terbit di Koran Matahari kamu pikir karyanya bagus? Biasa! Klise! Tapi dia kan punya orang dalam di Koran jadi ya bisa, paham maksudku? Karyaku aja baru dilirik setelah dapat ulasan dari pak Sasono, brengsek kan?” Kata Robby dengan wajah serius.

    “Hahaha, ya, ya aku tahu ini kesempatan,” jawab Banu sekenanya, ia sedang mabuk.

    Di sebelah kiri Banu dan Robby duduk segerombolan orang yang mabuk, mereka membaca puisi bergantian. Kafe ini memang membolehkan pengunjungnya mabuk, karena kafe ini juga menjualnya. Sudah jadi hal biasa, tiap malam ada pembacaan puisi dari orang-orang mabuk.

    Biasanya seniman-seniman muda atau mahasiswa yang gandrung dengan buku-buku sastra berkumpul di kafe sambil melihat seniman yang punya nama dalam satu ruangan. Mereka berharap tertular kepopulerannya serupa santri yang berharap mendapat berkah ketika sering bertemu kyainya.

    Salah satu gerombolan itu melihat Banu, Banu tertawa melihatnya karena salah satu pemabuk itu benar-benar tolol tingkahnya. Kemudian pemuda yang tolol itu mendekati Banu. Banu dan Robby menanggapinya dan sedikit mengerjainya. Kawan-kawan pemuda itu tertawa melihat tingkah pemuda yang mabuk parah.

    “Ba… nu… Ndak salah saya, Banu Sadiiiikin hahaha hebat-hebat.. lihat ini, ini buku puisi-puisimu, tak baca ya Mas Banu, boleh? Pasti boleh!” Kata pemuda itu sambil memegang buku Banu Sadikin, Ayat Perlawanan sebuah kumpulan puisi dengan gambar api di seluruh sampulnya.

    Banu terkekeh saja melihatnya, karena ia juga sedang mabuk.

    “Baca puisi Banu kesukaanmu, dia bakal bayar minumanmu ! Cepat ayo hahaha !” Robby menanggapinya.

    “Sabar mas sabar hmmm…. nah  iki aku suka iki!”

    Pemuda itu akhirnya membaca puisi.

    : “Di sepoi angin malam bulan menangis tiada juntrungnya

    “Di sepoi angin malam bulan menangis tiada juntrungnya
    Perempuanku sendu dipeluk tangan-tangan para jahanam
    Kemiskinan adalah tubuh telanjang perempuan itu
    Perempuan yang berbaju kebinalan!”

    “Haha… Bagus-bagus terima kasih!” Kata Banu.

    “Nggg… Hehe mas, saya pikir ini tentang pelacur ya mas Banu, mas nyeritain diri sendiri to ?” Kata pemuda mabuk itu.

    “Apa maksudmu?” Tubuh Banu mendadak panas, bukan karena efek alkohol tapi kata-kata pemuda itu.

    “Ban, sudah dia mabuk!” Robby menyela.

    “Ya benar mas, karya-karyamu ini saya pikir cuma jualan idealisme saja to, miskin-miskin sekarang menjual lho mas Banu! Ehehe….” kata-kata pemuda itu kali ini membuat meledak Banu. Banu mengambil gelas besar yang dipakainya minum, dihantam juga kepala pemuda itu.

    Pyaaaarrr!  Gelas yang pecah di kepala pemuda itu berhamburan ke lantai serupa musik. Darah keluar dari kepala pemuda itu mengalir dan menetes ke lantai seperti merindukan serpihan kaca yang membuatnya keluar.

    “Aduuuuh! Bajingan!” Pemuda itu menjerit kesakitan dan sempoyongan lalu jatuh. Belum puas Banu meluapkan amarahnya diinjak pula muka pemuda itu dengan sepatu Doc.Mart kesayangannya.

    “Anjing! Woy sudah!” Robby mencoba menghentikan Banu yang kerasukan setan.

    Kawan-kawan pemuda itu membantunya yang kesakitan dihajar Banu. Seluruh pengunjung kafe berusaha menghentikannya. Kata-kata pemuda mabuk itu benar-benar menancap di hati Banu. Ia pun resah.

    *

    Aku meninggalkan bapak dan anak itu setelah mereka tertidur, mie instan yang disediakan untukku tak kumakan. Biar saja mereka yang makan, lagipula aku benar-benar tidak ingin makan. Nafsu makanku hilang bersama gairahku yang juga hilang di hingar bingar dunia kesenian. Aku sedang kacau. Sudah dua hari aku tidak makan paling-paling jika rasanya ingin mati aku hanya membeli roti di warung kecil.

    Aku berjalan melewati tepi sungai menuju ke arah keramaian pemuda-pemuda malam kota Jakarta. Sepuluh hari ini aku tidak pernah mandi, aku sengaja meninggalkan kota Jogja, meninggalkan rumah yang berupa bangunan maupun manusia. Tak ada niatku pulang ke Surabaya. Kenapa aku ke Jakarta. Entah. Aku ingin merasakan keadaan yang paling sengsara. Kalaupun aku mati di sini, semoga saja aku mati serupa filsuf yang dimakan anjingnya. Diriku sudah terhina.

    Dua pemuda dari gerombolan yang kulewati mendekatiku, mereka sedang mabuk. Sudah kukatakan malam di Jakarta adalah waktu akrobat bagi para kriminal kelas bawah. Aku pasrah jika mereka memukulku atau membunuhku saat ini juga. Dan benar mereka memukulku, mencoba mengambil barang berharga milikku, ambillah, bahkan harga diriku pun sudah tak ada.

    Aku Banu Sadikin sedang menghukum diri dalam kesengsaraan.

    Yogyakarta, 2018