Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Bayi yang Menangis di Gerumbul Semak

author = Muhammad Abdul Hadi

Juara 2 Lomba Cipta Cerpen Festival Sastra UGM 2020

Tubuh Siman meluncur deras dari ketinggian 20 meter. Pelepah pohon dan daun aren melibas kulitnya seiring lesat bobot badan yang kian cepat. Kedua tangan Siman menggapai-gapai apa saja yang sekiranya bisa ia pegang. Tentu sangat sulit sekali. Jika pun ada cabang pohon bisa ia capai, tubuhnya akan terbentur keras. Tubuh yang menghantam cabang pohon akan menjadikan badannya sakit berlipat-lipat. Belum lagi jika ada tunggul kayu. Bisa dipastikan, ia akan akan terluka parah, patah tulang, atau lebih buruk lagi; cacat seumur hidup.

Siman tak pernah membayangkan nasibnya berakhir malang, jatuh dari pohon aren. Ketika kakinya tergelincir dari penyangga sadapannya, ia menyumpahi raungan tangis bayi itu. Pasti anak iblis, pikirnya. Di kedalaman hutan seperti ini, tidak mungkin ada orang yang membawa bayi. Tiba-tiba saja ia teringat Ayi Sani, istrinya yang ditinggalkannya dalam keadaan sakit dan hamil besar. Apakah ini tanda-tanda bahwa istrinya akan segera melahirkan? 

Beberapa jenak sebelumnya, angin tenggara berhembus cukup kuat menggoyang-goyang pelepah aren. Kesiur angin bertambah kencang. Siman yang menyadap nira, bergegas mengganti tabung bambu yang sudah penuh. Sari nira yang tertampung pasti sudah asam karena tiga hari sadapannya tak sempat ia ambil. Biarlah, pikir Siman. “Aku akan mengolahnya jadi tuak,” bisiknya sambil menepuk tabung bambu.

Ia harus segera mengiris tangkai nira sebelum bergegas turun. Tangis bayi tiba-tiba terdengar, mencuat dari gerumbul semak. Siman seketika tercenung. Hatinya kini dirayapi takut dan rasa khawatir. Saat itu desir angin kembali berembus. Tak dinyana, satu gigitan kecil semut di lengannya membuat Siman terkejut. Tangan kanannya seketika menepuk semut itu. Siman baru sadar, ia telah luput mengamankan pegangannya. Saat itu, keseimbangannya sudah goyah. 

Di matanya, ia terbayang Ayi Sani. 

Dan memang, Ayi Sani sedang teringat suaminya. Sudah dua minggu Ayi Sani mendekam di tempat tidur. Dahinya panas tak terkira. Padahal mertuanya memberi tahu bahwa perempuan hamil rentan diguna-guna. Bisa jadi, demam tinggi yang ia rasakan adalah kiriman penyakit dari orang lain. Ia tak bisa membayangkan akan melahirkan, sedang tubuhnya masih payah didera sakit berkepanjangan. 

Ayi Sani teringat dengan kejadian beberapa waktu sejak ia diboyong Siman ke Loa Kayan. Sejak lelaki Dayak Dalam itu jatuh cinta dan meminangnya, Ayi Sani sudah membayangkan bahwa ia akan segera pergi dari kampungnya. 

Selama ini, ia memang tidak betah dengan tindak tanduk ibu-bapaknya. Keduanya seolah mengabdikan diri pada ilmu hitam. Ia tahu, ada satu gudang di rumahnya yang yang penuh dengan benda-benda mistis. Setanggi yang terus dibakar, aneka kembang yang tak ia hafal namanya, mandau-mandau dengan motif ukiran antik, beras merah berbau busuk, hingga kulit ular yang dikeringkan.

Selepas menamatkan SLTA, Ayi Sani mendengar kasak-kusuk bahwa ayahnya adalah penggalung, dukun yang terkenal sakti itu. Sementara, diam-diam ia menyadari ibunya melakukan pesugihan memalukan, memelihara roh jahat di dalam tubuhnya sehingga ia selalu awet muda. Sebagai gantinya, dari bisik-bisik yang ia dengar, ibunya menjadi kuyang[1]Bentuk pesugihan dan aji awet muda yang menjadikan penuntutnya sesosok “hantu” di waktu-waktu tertentu. Berwujud kepala manusia dengan isi tubuh yang menempel tanpa kulit dan anggota badan yang … Continue reading. Di waktu-waktu tertentu, ibunya akan menghisap darah bayi sebagai tumbal. Pantas saja, ibunya kerap mengenakan jubah hitam di malam hari dan mendekam di gudang rumah mereka. Satu-dua hari kemudian, ia mendengar kabar ada bayi yang meninggal di kampung sebelah. 

Kendati sangat jarang ada bayi yang mati tak wajar di kampungnya, ia merasa sangat malu. Dari riwayat yang ia dengar, kuyang akan menandai ibu yang hamil besar dan menyambanginya kala bersalin. Itulah, Ayi Sani selalu merasakan tatapan-tatapan tidak menyenangkan dari orang-orang kampungnya. Hanya mungkin karena wibawa di pundak ayahnya, mereka tak berani mengolok-oloknya. Atau mungkin bukan wibawa, namun rasa takut hingga para penduduk tak ada yang berani mengusiknya.

Akan tetapi, tentu saja tatapan-tatapan menyudutkan itu membuat Ayi Sani tidak nyaman. Untung saja ia terlahir sebagai perempuan, pikirnya. Jika ia laki-laki, tentu ayahnya akan mewariskan aji dan ilmu saktinya kepadanya. Dan di saat bersamaan, ia juga tak berminat sedikit pun pada tindak-tanduk ibunya.

Itulah, selepas pernikahannya dengan Siman, ia segera meminta suaminya memboyongnya pergi dari kampung. Akhirnya, Ayi Sani merasa terbebas dari kungkungan keluarganya.

Namun, kini ia kembali terjebak dengan adat-istiadat keluarga suaminya. Atau lebih tepatnya, pikiran kuno mertuanya, ibu Siman itu.

Ketika kandungannya semakin tua, ia mendadak saja menderita sakit. Tubuhnya meriang. Ayi Sani mengkhawatirkan jabang bayi yang ia kandung.

Padahal ia sadar bahwa hitungan bulannya sudah dekat. Jika menilik waktunya, beberapa saat lagi bayinya akan menyundul rahim meminta dikeluarkan. Ayi Sani menyumpahi sakit yang membuatnya meriang seperti ini.

Meskipun ia sudah menelan beberapa butir pil dari resep mantri yang setiap minggu berkunjung ke Loa Kayan, panas di badannya tak kunjung pergi. Dilanda kebingungan, Siman segera memanggil ibunya. Dan ketika datang, perempuan tua itu lantas menyiapkan beragam ramuan yang harus ia minum. Bisa jadi, sakitmu ini sakit kiriman, ujarnya. Tak lupa, sore itu, mertuanya juga memanggil Damang Mate, dukun beranak sekaligus tabib yang terkenal sakti di Loa Kayan.

Padahal semenjak awal, Ayi Sani menyampaikan kepada Siman bahwa ia tidak ingin melahirkan dengan bantuan dukun kampung. Ia ingin persalinannya ditangani bidan kecamatan. Namun, ketika mertuanya datang, suaminya tak berkutik sama sekali dan bulat-bulat menaati perintah ibunya. Ruang kamarnya lantas juga digantungi kerang-kerang yang diikat dengan benang tenun. Untung mengusir roh jahat, ujar mertuanya ketika Ayi Sani bertanya.

Maka saat Damang Mate datang, Siman lantas diminta keluar dari kamar Ayi Sani. Siman merasa sedikit lega karena bantuan ibu dan dukun beranak itu. Ia tak lagi mengkhawatirkan Ayi Sani, karena istrinya kini sudah berada di tangan orang yang tepat, pikirnya. Oleh sebab itulah, Siman kemudian meminta izin untuk melihat sadapan niranya. 

“Sudah tiga hari sadapan aku tinggal gara-gara mengurus sakit Ayi Sani,” ujar Siman kepada ibunya. “Sementara kalian urus istriku, aku akan mengambil sadapan sari nira barang sebentar,” tambahnya.

Ibunya yang tidak menyangka kejadian buruk yang akan terjadi beberapa menit selanjutnya mengiyakan. “Jangan lama-lama. Dari tanda-tandanya, bayimu mungkin akan lahir malam ini,” jawabnya pada Siman. 

“Jika kau pulang nanti, jangan lupa bawa potongan ijuk!” perintahnya. Perempuan tua itu juga sudah menyiapkan beberapa butir bawang merah dan putih, yang nantinya akan dibungkus ijuk sebagai pengusir hantu Atut Hinu yang dipercaya menyambangi perempuan bersalin.

Dan beberapa saat selepas Siman pergi, seusai memeriksa Ayi Sani, Damang Mate menolak menyembuhkan sakitnya, apalagi membantu persalinannya.

“Perempuan ini pendosa. Saya tidak mau menyembuhkan pendosa. Sakitnya ini disebabkan karena ia telah mengkhianati leluhur. Bayi yang dikandungnya juga hasil hubungan terlarangnya dengan iblis,” ujar Damang Mate.

Ayi Sani yang mendengar ucapan dukun sok tahu itu tersinggung. “Aku tidak pernah melanggar lali [2]Larangan-larangan adat dari suku Dayak. ataupun menuntut ilmu hitam,” jawab Ayi Sani terisak-isak. Perutnya mulai bertingkah. Rupanya perasaan kesalnya menjadikannya mulas. Rahimnya mengalami kontraksi. Ia memekik dan mengejan.

Ayi Sani seharusnya menyadari bahwa ajian yang dianut ibu-bapaknya diturunkan melalui garis keturunan. Meskipun ia tidak memelihara sirep dan menghafalkan mantra, roh penunggu keluarganya diwariskan dari hubungan darah.

Damang Mate melangkah ke arah jendela yang terbuka. Ia melepahkan sirih dan irisan jambe yang ia kunyah. Tanpa berkata apa-apa, ia meninggalkan Ayi Sani yang mengap-mengap memegangi perutnya. Dukun itu pergi dan tak kembali lagi.

Mertua Ayi Sani kelabakan melihat menantunya yang akan melahirkan tanpa bantuan dukun beranak. Padahal Damang Mate adalah satu-satunya orang yang selama ini diandalkan di Loa Kayan. Ia tidak tahu meminta bantuan ke siapa lagi.

Berbekal dari pengalamannya melahirkan, mertua Ayi Sani segera menyiapkan kain batik dan bantal. Ia meminta menantunya berjongkok. Ayi Sani yang menahan sakit menurut seperti kerbau dicocok hidungnya. Ia menumpu tubuh dengan kedua kaki. Ayi Sani mengejan. Butiran peluh sebesar biji jagung berleleran. Perutnya terasa keras dan kaku. Air ketuban telah pecah. Cairan meleleri paha dan betisnya. Rahimnya berkedut kuat. Ia meringis kesakitan.

Mertuanya lantas mengambil pisau dapur, bersiap-siap memotong tali pusar jika bayi telah sempurna keluar. Ia tidak menyangka, rupanya posisi bayi Ayi Sani sungsang. Cairan merah seketika meruah. Ayi Sani mengalami pendarahan.

Sementara itu, di puncak pohon aren, Siman yang sedang mengiris tangkai nira mendengar raungan tangis bayi. Bulu kuduknya berdiri. Bayi siapakah itu, pikirnya. Angin tenggara yang bertiup seolah-olah mengusap-usap tengkuknya.

Tentu saja Siman tak menyangka bahwa istrinya di rumah telah bersimbah darah berjuang melahirkan anaknya yang keluar dengan posisi sungsang. Tanpa bantuan dukun beranak, mertua dan istrinya yang awam menangani dunia persalinan hanya bisa panik kebingungan. Ayi Sani sedang bertarung melawan maut. Sementara itu, bayi yang menyundul rahim Ayi Sani kian tak sabar. Apakah bayi itu tersedak darah hingga ia meninggal sebelum sempat menyaksikan dunia di luar rahim ibunya? Entahlah. Yang pasti, Ayi Sani yang mengalami pendarahan bertahan mati-matian di ujung hayatnya. 

Dan akhirnya bayi itu menyembul tanpa mengoek. Nafasnya telah putus, bahkan sebelum ia bisa bernafas sempurna di luar rahim ibunya.

Sebagaimana yang kita tahu, roh bayi akan selalu penasaran sebelum berjumpa dengan ayahnya. Arwah bayi itu lantas terbang mencari Siman, yang kebetulan sedang menyadap nira. Maka di sanalah, di bawah pohon aren, di antara gerumbul semak, roh bayi itu mengeluarkan tangisnya. Siman yang khusyuk mengiris tangkai nira terperanjat, hilang keseimbangan, dan tergelincir jatuh dari ketinggian 20 meter.

Kaliurang, 2019

References

References
1 Bentuk pesugihan dan aji awet muda yang menjadikan penuntutnya sesosok “hantu” di waktu-waktu tertentu. Berwujud kepala manusia dengan isi tubuh yang menempel tanpa kulit dan anggota badan yang dapat terbang untuk mencari darah bayi atau darah wanita setelah melahirkan.
2 Larangan-larangan adat dari suku Dayak.