Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Barangkali

author = Suci Wulandari

Barangkali, percakapan absurd mereka mengingatkan tentang bau daun Johar yang direndam air hangat. Barangkali juga, badan Raba yang merianglah, yang membuatnya mengingat bau ramuan penyembuh masuk angin buatan ayahnya itu.

Mereka, Raba Bara dan Haryono Suwage, masih terus bercakap-cakap sembari mendengarkan sepasang suami istri menyanyikan lagu jazz lawas di atas panggung. Mereka duduk lesehan di pojok, agak menyandar ke tembok gang.

“Kenapa mereka nggak demo aja?” tanya Yono.

“Bosan. Lagi pula, mereka ingin protesnya terlihat lebih berpendidikan. Kata Ana sih, gitu,” jawab Raba.

“Ana siapa?”

Kebetulan, saat Raba akan menjelaskan, tepuk tangan bergemuruh. Sepasang suami istri yang tadi menyanyikan lagu jazz sudah selesai, disusul seorang perempuan menaiki panggung mengenakan baju hitam.

“Itu Ana. Yang baru naik ke panggung. Dia salah satu otak acara ini, juga penggagas seluruh rangkaian tuntutan tolak pembangunan apartemen di Karangwuni,” kata Raba.

Yono mendongak ke arah panggung. Perempuan yang mengenakan baju hitam, Anastasia Gloria, sedang berdiri tersenyum mengedarkan pandangan pada penonton. Ia mulai berorasi, mengucapkan kata-kata penyemangat, agar tidak berhenti melawan.

“Cantik. Tapi agak gila, ya?”

Semua orang akan disebut gila oleh Yono karena ia merasa tidak ada yang lebih waras dari dirinya sendiri. Raba hanya mengangguk kemudian menanyakan tentang pendakian. Yono sering mendaki gunung untuk memenuhi kebutuhan spiritualnya, dan dia baru saja turun dari Semeru.

Suatu hari, Yono bercerita mengenai asal-usulnya saat mereka masih mahasiswa baru. Ia tinggal di lereng gungung Kelud dan mengaku sebagai keturunan putri Dewi Kilisuci. Diceritakan olehnya, Kelud menyimpan amarah. Dewi Kilisuci mengingkari janjinya untuk mau dinikahi oleh Lembu Suro. Setelah memenuhi syarat membuat sumur di puncak gunung dalam waktu semalam, Dewi Kilisuci menyuruh Lembu Suro masuk ke dalam sumur untuk mengecek ulang kemudian meminta pasukannya menutup sumur dengan batu-batu besar. Lembu Suro mati, tapi sebelum mati ia sempat mengucap sumpah, bahwa Kelud akan menjadi malapetaka bagi tanah Jawa Timur.

Untuk mencegah hal-hal buruk terjadi, Yono serta masyarakat lereng gunung Kelud menggelar Larung Sesaji sebagai ritual tolak bala setiap tanggal 23 bulan Suro. Tapi hal itu belum cukup. Secara turun temurun, anak lelaki pertama dalam satu generasi keluarganya harus melakukan tapa ke gunung-gunung lain, untuk membersihkan jiwa dan memurnikan diri, agar tidak mengulang tragedi yang sama. Yono menjalankan amanah leluhurnya dengan sangat baik. Ia naik turun gunung setiap kali ada kesempatan, untuk bertapa di atas sana.

Akan tetapi, Yono adalah seorang pelukis. Ia tentu saja, membawa buku sketsanya setiap kali mendaki, juga satu set cat air kecil yang bisa ia selipkan di kantong. Setiap pulang mendaki, ia akan membawa turun cerita serta sebuah sketsa.

“Ada satu kisah yang aku dapatkan selama pendakian Semeru. Saat itu aku sedang berhenti di pos dua. Aku tiduran di tanah, sambil memikirkan seperti apa rasanya mati.”

Raba mendengarkan Yono bercerita sambil sesekali batuk.

“Tiba-tiba, ada seekor burung berwarna kuning terbang rendah di atas kepalaku. Jangan tanya itu burung apa. Aku bahkan yakin sebenarnya itu bukan burung, melainkan dewa yang menyamar. Tapi tapi…,” Yono membuat jeda pada ceritanya, seperti biasa.

“Tapi apa?” tanya Raba tak sabar.

“Tapi burung itu memberi pesan. Katanya, aku belum boleh mati.” Yono mengucapkannya penuh penghayatan. Raba tidak sanggup menahan tawa, ia terbatuk-batuk sambil tertawa.

“Duh, Yon..Yon. Kapan kamu waras, sih?” ejek Raba.

“Kamu tahu aku akan melakukan apa setelah ini?” tanya Yono tidak menggubris ejekan Raba.

“Apa?” tanya Raba pura-pura memasang muka serius.

“Aku akan menjual si Handoko Suwage dan membeli seekor burung.”

Handoko Suwage adalah ayam jago peliharaan Yono, sumber keberuntungannya.

“Kamu nggak takut sial, Yon?” tanya Raba masih bertahan dengan muka serius.

“Kita harus jadi burung. Kita selama ini hanya jadi ayam. Ayam punya sayap, tapi mereka nggak terbang ke mana-mana. Keberuntunganku jadi seret. Kamu juga..”

“Kamu memang luar biasa, Yon. Hahahahaha.”

Kali ini Raba sudah tidak sanggup menahan tawanya. Ia kadang kagum dengan cara berpikir Yono.

“Aku serius, Raba. Kita harus berhenti jadi ayam.”

Raba kembali memasang muka serius, lalu mengangguk yakin.

“Siap, yang mulia kanjeng Haryono Suwage. Aku akan berhenti menjadi ayam. Aku akan menjadi manusia aja. Kalau bisa, sih, yang punya banyak uang.”

“Jadi burung! Manusia lebih parah daripada ayam. Mereka nggak punya sayap.”

Masih dengan muka serius, Raba menepuk bahu Yono. “Aku mendukungmu jadi burung, Yon. Tapi aku harus jadi manusia. Manusia memang nggak punya sayap, tapi mereka bisa terbang kemana-mana, kok.”
Setelahnya Raba terpingkal-pingkal karena Yono memasang raut kecewa. Mereka mendadak menghentikan pembicaraan dan memandang ke arah panggung karena mendengar suara teriakan.

Ana masih berdiri di sana, kali ini memegang dua lembar kertas. Dia berteriak lagi. Ana memang selalu berteriak sebelum membaca puisi sebagai sebuah mantra pembuka.

“Sajak Seonggok Jagung.” Ana mengelilingkan pandangannya.

“Seonggok jagung di kamar. Dan seorang pemuda. Yang kurang sekolahan. Memandang jagung itu. Ia melihat petani. Ia melihat panen.”

Ana melanjutkan puisinya, tentu saja sambil mengedarkan pandangan. Tenggorokan Raba gatal sekali rasanya. Raba ingin batuk, tapi ditahannya. Ia tidak ingin merusak suasana magis yang terlanjur terbangun.

“Seonggok jagung di kamar. Dan seorang pemuda. Ia siap menggarap jagung. Ia melihat menggarap jagung. Ia melihat kemungkinan. Otak dan tangan. Siap bekerja.”

Ana memberi jeda. Tatapannya jatuh pada Raba, tanpa disengaja.

“Tetapi ini….” suara Ana melirih. Tatapannya masih belum berpindah. Mata mereka beradu pandang. Tiba-tiba, Raba merinding. Bukan karena badannya yang sedang meriang. Ia merinding karena lengang yang muncul, serta mata Ana yang seolah menusuk milik Raba. Ia semakin ingin batuk, tapi tetap ditahannya setengah mati.

“Tetapi ini: seonggok jagung di kamar. Dan seorang pemuda tamat S.L.A. Tak ada uang, tak bisa jadi mahasiswa. Hanya ada seonggok jagung di kamarnya. Ia memandang jagung itu. Dan ia melihat dirinya terlunta-lunta.”

Ana masih bertahan menatap Raba. Begitu pun sebaliknya. Ana melanjutkan puisinya. Raba masih menahan batuknya. Lebih parah lagi, jantungnya kini berdebar makin cepat. Mendadak, semesta Raba lenyap, hanya tinggal mereka berdua, berhadap-hadapan begitu dekat sekaligus berjarak begitu jauh.

“Seonggok jagung di kamar. Tidak menyangkut pada akal. Tidak akan menolongnya. Seonggok jagung di kamar. Tak akan menolong seorang pemuda. Yang pandangan hidupnya berasal dari buku. Dan tidak dari kehidupan. Yang tidak terlatih dalam metode. Dan hanya penuh hafalan kesimpulan. Yang hanya terlatih sebagai pemakai. Tetapi kurang latihan bebas berkarya. Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.”

Ana berjalan turun dari panggung. Perlahan menghampiri Raba, masih dengan tatapan yang sama. Hanya saja kini suaranya meninggi. Amarah terbaca jelas di matanya.

“Aku bertanya? Apalah gunanya pendidikan. Bila hanya akan membuat seorang menjadi asing di tengah kenyataan persoalannya? Apakah gunanya pendidikan? Bila hanya mendorong seseorang menjadi layang-layang di ibu kota. Kikuk pulang ke daerahnya sendiri?”

Ana makin mendekat ke arah Raba. Tatapannya sama sekali tidak berpindah. Ia melanjutkan puisinya. Kini dengan suara tenang nan lantang, suara penuh kesedihan yang tidak bisa dijelaskan, membuat Raba sungguh-sungguh semakin ingin batuk.

“Apakah gunanya seseorang belajar filsafat, teknologi, ilmu kedokteran, atau apa saja. Ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata: di sini aku merasa asing dan sepi.”

Ana masih menatap Raba.

“WS Rendra. 1975.” Ana mengalihkan tatapannya ke arah Yono. Lalu Yono meringis, dan bertepuk tangan. Semua orang kemudian ikut bertepuk tangan. Bersamaan dengan itu, Raba melepaskan batuk yang sedari tadi ia tahan. Semestanya kembali ramai.

Masih terbatuk-batuk, Raba kemudian berdiri. Ia berjalan menuju rumah kontrakannya, tanpa memedulikan hal lain, termasuk teriakan Yono yang kebingungan ditinggal sendirian. Raba terus berjalan menyusuri gang, melewati orang-orang yang duduk lesehan menghadap panggung. Dalam perjalanannya, Raba mengutuk Rendra dan puisinya. Raba mengutuk Ana dan mata coklatnya. Raba mengutuk dirinya sendiri.

Sesungguhnya, dengan jelas Raba tahu apa yang dia mau. Ia ingin menculik Ana ke luar angkasa, tidak membaginya dengan orang-orang. Raba jatuh cinta pada Ana. Ia juga ingin sekali pulang dan meminta ayahnya menggosokkan daun Johar yang sudah direndam air hangat ke sekujur punggungnya. Ia ingin tidur nyenyak dengan badan hangat, lalu bangun dengan sehat keesokan harinya. Sialnya, meski Raba tahu dengan jelas apa yang ia mau, ia hanya terus berjalan sambil terbatuk-batuk menuju rumah kontrakannya.

Raba masuk ke rumah, secepatnya mencoba untuk tidur. Namun yang terjadi di luar rencananya. Ia terjaga sepanjang malam untuk melukis ditemani dengkuran Yono serta suara Ana membacakan Sajak Seonggok Jagung yang terngiang-ngiang di kepalanya. Setelah sekian lama Raba tidak menghasilkan apa pun di atas kanvas, malam itu ia melukis lagi. Raba melukis seekor ayam sedang berenang di lautan penuh jagung. Dikemudian hari, lukisan itu memenangkan kompetisi bergengsi. Raba mendapatkan 100 juta serta ketenaran sesaat.

Tanpa sadar, Raba tertidur di depan lukisannya. Saat ia bangun, ia menemukan selembar pesan dari Yono. Isinya: Aku akan menjual Handoko secepatnya, dan mencari seekor burung untuk keberuntungan yang baru. Terima kasih tumpangan tidurnya. Pendakianku selanjutnya, kamu dan Ana harus ikut. Dan yang ini serius, Raba. Kamu harus berhenti menjadi seekor ayam NB: Simpan catatan ini. Kalau nanti kita jadi seniman besar, tulisan ini akan berharga ratusan juta. Haha. HS.

Sebulan kemudian, Bara berkesempatan bertemu Ana. Bahkan mereka berbincang lama. Bara sedang membeli  sebutir apel merah. Ia memang selalu melakukannya, setiap hari antara jam setengah tujuh pagi hingga jam delapan pagi.

“Mau coba buah mangga, mungkin? Mumpung lagi musim Mangga. Buahnya sedang manis,” Ana menawarkan.

Raba menggeleng. Ia tidak mau mangga, ia hanya mau apel merah atau Ana.

“Aku cuma mau apel merah,” ujar Raba lirih. Ia belum gosok gigi, belum cuci muka, sedangkan Ana berdiri di hadapannya begitu wangi dan memesona.

Raba cepat merogoh kantongnya untuk mengambil uang.

“Yang ini gratis. Tapi…,” kata Ana sambil mengambilkan sebutir apel merah, “Kamu harus cerita kenapa kamu selalu beli apel merah.”

Raba tetap mengambil selembar uang lima ribu dan memberikannya pada kasir.

“Aku tetap bayar. Ceritaku tidak akan menarik untuk didengarkan olehmu,” jawab Raba masih dengan suara yang lirih. Takut bau napasnya tercium Ana.

Gadis yang berdiri di belakang mesin kasir tidak menerima uang yang diulurkan oleh Raba. Ia memandang Ana, menunggu perintah. Ana hanya menggeleng pada si gadis kasir.

“Aku sungguh-sungguh sedang ingin mendengarkan kisah sebutir apel dari seorang seniman. Proses kreatif selalu menarik, Raba. Nanti aku barter satu cerita juga, deh,” Ana mendesak.

Raba memasukan kembali lembaran lima ribu ke dalam dompetnya.

“Baiklah. Tapi aku belum gosok gigi,” jawab Raba sekenanya. Sebenarnya, Raba tahu tidak ada gunanya mendebat Ana. Setiap kali mereka saling berargumen, Ana akan selalu menang. Raba sengaja menyerah bahkan sebelum benar-benar mulai.

Mereka duduk di depan toko, di samping tumpukan buah mangga dan tulisan Musim Mangga sudah tiba, Mangga Madu diskon 10% perkilo. Mereka memandangi jalananan yang mulai sepi. Jam berangkat kantor sudah lewat.

Raba mulai menceritakan tentang rutinitas apel merahnya. Ia ingin bercerita ringkas dan cepat, tapi Ana selalu menambahkan pertanyaan-pertanyaan yang membuat ceritanya menjadi panjang lebar. Bahkan, gadis kasir sempat menyela obrolan membawakan dua cangkir kopi yang sempat diminta Ana.

“Jadi, kamu sekedar mengikuti apa yang dilakukan oleh seniman besar?” tanya Ana memancing argumen.

Raba meniup-niup kopinya sebentar.

“Ya memang apa salahnya mengikuti. Toh, kerja-kerja kreatif yang dilakukan oleh Yoko Ono cukup efektif untuk membuat tangan jadi luwes. Bayangkan, jika setiap hari secara sadar, Ono menggambar mukanya sendiri, tentu saja gambarnya akan semakin baik.”

Raba mulai menyeruput kopinya.

“Ya, ya. Bisa karena terbiasa. Tapi kenapa kamu nggak menggambar mukamu sendiri, seperti Yoko Ono? Kenapa malah menggambar sebutir apel? Kan tingkat kesulitannya jauh beda.”  Ana seperti biasanya, jeli dan detail.

“Soal tingkat kesulitan, tidak jadi masalah. Poinnya adalah menjaga kerja kreatif yang sama berulang-ulang. Selain supaya luwes, juga untuk menjaga performa. Jadi meski api semangat untuk berkarya atau ide sedang padam, baranya tetap nyala dan panas.”

Kopi Raba sudah berkurang separo sedangkan milik Ana belum tersentuh sama sekali. Seolah kopi ditangannya tak lebih menarik dibandingkan cerita Raba. Raba berulang kali menyeruput kopinya seperti sedang haus karena gelisah. Ia tidak membawa rokoknya.

“Kamu belum menjawab satu pun pertanyaanku, Raba.”

Raba mengumpat dalam hati. Ia ingin sekali merokok untuk mengalihkan perhatiannya dari wajah Ana yang menggemaskan.

“Apa ya, tadi?”

“Kenapa kamu malah menggambar apel dan bukan mukamu sendiri?”

Raba menyeruput kopinya lagi.

“Aku nggak tahan menggambar mukaku sendiri. Kalau bisa sih, maunya menggambar mukamu, kan cantik. Tapi ya, susah. Mana mau kamu tiap pagi ketemu aku cuma untuk kugambar. Jadi, ya, aku gambar apel aja, yang merah. Habis selesai digambar bisa dimakan, biar sarapannya agak borjuis dikit.”

Tapi Raba memiliki alasan sebenarnya, kenapa ia menggambar sebutir apel merah setiap hari. Alasan yang enggan ia bagi pada Ana atau pada siapa saja. Ia jelas lebih memilih sarapan sepiring nasi goreng dari pada sebutir apel. Namun sebutir apel merah setiap pagi menghadirkan ayahnya. Raba tidak bisa pulang. Bak Patih Gadjah Mada yang bersumpah tidak akan istirahat sebelum menaklukkan seluruh nusantara di bawah Majapahit, Raba juga melakukannya. Ia berikrar tidak akan pulang, sebelum ia benar-benar jadi seorang pelukis besar. Semua bermula lewat perbedaan pendapat.

Ayahnya, Gunawan Bara adalah seorang yang berpendidikan. Meski begitu, ia mendedikasikan hidupnya untuk mengajar di SLB di Mojokerto. Letaknya tak jauh dari pabrik bir terbesar se-Indonesia. Pak Gun, begitu ia biasa disapa, naik sepeda dari rumah menuju sekolah tempatnya mengajar. Bukan karena miskin, tapi ia memang suka naik sepeda. Gunawan anak tunggal dari seorang pengusaha perkebunan. Tanahnya berhektar-hektar tersebar di segala penjuru Jawa Timur. Jika ia mau, tanpa perlu bekerja, penghasilannya cukup untuk sekedar membeli sebuah sepeda motor setiap bulan. Tetapi Gunawan lebih suka mengajar. Kebun tebu seluas hampir satu hektar di Malang diurus istrinya. Gunawan menikah dengan Rumini, seorang penulis cantik asal Surabaya yang terheran-heran dengan kehidupan desa. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki, Raba Bara.

Seperti namanya, Raba tumbuh menjadi anak yang unik dan tak tertebak. Selepas SMP, ia minta melanjutkan ke Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) di Surabaya. Padahal sebelumnya, Raba terlihat sangat tertarik dengan mikologi. Gunawan kira Raba ingin menjadi ilmuan. Meski sedikit cemas, akhirnya mereka mengizinkan Raba ke Surabaya. Ia dititipkan pada saudara Rumini. Meski tidak pernah diucapkan langsung, Gunawan lebih merasa kehilangan Raba ketimbang Rumini. Raba biasa menemani Gunawan berkebun di belakang rumah. Setia membantunya mencoba menanam apel merah di dalam pot.

Sedikit demi sedikit, Raba mulai berubah. Ia mulai mempertanyakan apa yang sebenarnya dilakukan oleh ayahnya. Seperti nama lengkapnya, Raba Bara, senantiasa mengandung panas yang seolah abadi. Baginya aneh, Gunawan yang berpendiidikan tinggi, berpenghasilan banyak, tidak menyumbangkan apa-apa bagi zamannya.

“Profesi yang meninggalkan jejak sejarah, mampu mengubah dunia, hanyalah profesi-profesi pencipta, Yah. Penulis adalah salah satunya, seperti Ibu. Ilmuan seperti Albert Einsten. Juga seniman sepertiku,” kata Raba yakin.

Gunawan hanya menggumam. Ia mengerti ke mana arah pembicaraan anaknya. Yang ia tidak mengerti adalah, sejak kapan, Raba yang ia didik sebagai anak bertoleransi tinggi tiba-tiba meributkan pilihan hidupnya.

“Ayah sebenarnya bisa lebih dari sekarang ini.”

Gunawan mengangguk-angguk lalu menjawab setengah bercanda.

“Betul, betul. Ayah sedang mencoba menumbuhkan apel merah di dalam pot supaya bisa jadi pencipta.”

“Maksudku bukan itu. Ayah bisa lebih dari sekedar menjadi seorang guru SLB. Ayah bisa saja membuat sekolah sendiri. Jadi, ayah bisa meninggalkan jejak pada sejarah. Memberi manfaat lebih besar dan lebih luas.”

Tapi Gunawan tidak sependapat dengan anaknya yang mendadak pandai bicara setelah lulus SMSR. Baginya, besar atau kecil, sedikit atau banyak, paling baik adalah memberi tanpa ambisi. Ia melakukannya selama hampir dua puluh tahun, bekerja sebagai guru SLB. Dari situ, Gunawan telah memperoleh banyak hal, yang tidak sebanding dengan meninggalkan jejak sejarah seperti yang diangankan Raba.

Raba mungkin lupa, orang-orang luhur dan besar zaman dulu adalah orang-orang yang paling rendah hati. Mereka seringkali menyembunyikan namanya, supaya tidak perlu ikut tertuliskan dalam sejarah. Mereka memberi tanpa ambisi, dan itulah panutan Gunawan.

Tak disangka, pertengkaran yang Gunawan anggap sepele itu seperti perang tiada akhir yang hanya nyala dalam diri Raba seorang.  Raba berikrar akan membuktikan diri sebagai pengubah peradaban lewat karya seni. Ia bahkan berjanji tidak akan pulang sebelum benar-benar menjadi seniman besar, sebuah janji yang menurut Gunawan tidak perlu. Ia sesungguhnya tidak membutuhkan pembuktian apa-apa dari anak semata wayangnya itu.

Dan dari situlah cerita bermula. Raba melanjutkan studinya ke Institut Seni Indonesia (ISI) di Yogyakarta. Kini, setelah hampir enam tahun terlalui, Raba tetap belum menjadi apa yang ia ingini. Bahkan ujian akhirnya tak kunjung ia kerjakan.

Entah apa yang mengawali Raba memilih apel merah untuk menggantikan wajahnya sendiri. Mungkin kerinduannya yang tumpah ruah. Ibunya yang sesekali mengunjungi Raba, selalu bercerita tentang Gunawan.

“Akhirnya pohon apel merah ayahmu tumbuh, di dalam pot,” ujarnya.

Raba senang bukan main meski raut mukanya tetap datar. Ia ingat betul bagaimana dulu ia bertanya dengan polosnya pada guru biologi, apa yang membuat sebuah pohon apel tidak bisa tumbuh. Gurunya hanya menjawab, mungkin karena jamur. Raba menganggap itulah jawabannya: jamur. Maka dengan tekad ingin membantu ayahnya menumbuhkan pohon apel merah, ia mencari tahu sebanyak-banyaknya tentang jamur. Ia minta dibelikan buku ini itu, ensiklopedia, serta mencari informasi apa pun mengenai jamur. Pada akhirnya Raba tahu, bahwa guru biologinya dulu tidak serius menanggapinya.

“Bahkan pohon apel yang kecil itu sempat berbuah, merah darah warnanya. Buahnya bagus-bagus, tapi rasanya asam.”

Gunawan berkebun seserius Raba mengaduk catnya. Bagi Gunawan, berkebun adalah metode paling efektif untuk menghilangkan stres.

“Jadi sampai sekarang, Ayahmu sedang mencari cara supaya apelnya jadi manis. Padahal, lho, bibit awalnya itu manis tapi kok setelah ditanam tidak seperti induknya. Aneh. Tapi, ya, ayahmu bilang hal macam gitu biasa. Induk dan anak memang sering beda rasa.”

Rumini sedikit menyindir Raba. Kemudian seperti biasanya, ia akan membujuk Raba untuk pulang. Dan seperti biasanya pula, Raba akan menolak. Gunawan sendiri meski begitu sabar, tetap seorang lelaki. Ia tidak mau mengunjungi Raba. Baginya, anaknyalah yang harusnya berkunjung. Tapi Raba tidak mau kalah dari pertaruhannya sendiri. Rindunya yang meluap-luap masih bisa ia bendung.

Ana menyenggol bahu Raba, mengembalikannya dari lamunan

“Maaf, maaf. Sampai mana tadi?”

Lalu Ana gantian bercerita. Ia ternyata meminta pamit pada Raba untuk melanjutkan studi S3nya di Skotlandia, berangkat minggu depan. Sebulan terakhir ini Ana ternyata menghilang karena sibuk mempersiapkan keberangkatannya.

“Sekolahnya cepet banget, nanti bingung, lho, mau ngapain habis itu,” celetuk Raba.

Tanpa disangka, Ana menatapnya tajam. Dan kata-kata itu terucap lagi dari mulut Ana. Kata-kata yang membuat Raba tidak bisa menculik Ana ke luar angkasa.

“Kamu ngapain sekolah lama-lama? Padahal kita kan seumuran, tapi sarjana pun kamu belum. Dan bagiku, selamanya tidak akan berubah, impianmu membuat peradaban menjadi lebih baik itu hanya seperti mimpi siang bolong, Raba. Pendidikan seharusnya menolong masyarakat mengatasi permasalahan nyata di sekitarnya.”

Ana berkata dengan tegas. Entah ini yang keberapa, Raba selalu lupa bahwa Ana membenci sikap hidupnya. Bagi Ana, Raba hanyalah orang yang buang-buang waktu. Bagi Raba, Ana terlalu keras kepala memaksa semua orang untuk jadi aktivis seperti dirinya. Mungkin, hanya mungkin, karena itulah mereka tidak pernah bisa bersama. Setidaknya begitulah kesimpulan Raba.

“Apa kabar tuntutan tolak pembangunan apartemen di gang sebelah? Sukses?”

Raba mengalihkan pembicaraan.

“Kalah. Apartemen itu akan mulai dibangun awal bulan depan.”

Dalam hati Raba berujar pada dirinya sendiri: ya, kan memang selalu begitu. Sia-sia. Buang waktu, tenaga, uang, tapi selalu saja rakyat kecil kalah dengan yang punya kuasa. Dan seolah bisa membaca apa yang dipikirkan Raba, Ana menjawab.

“Tapi meski begitu, seperti kata Pramoedya, setidaknya kita sudah melawan, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Cuma orang-orang pemberani yang tetap melawan meski sejak awal sudah tau akan kalah.”

Detik itu juga, perut Raba bergejolak ingin buang hajat ke kamar mandi. Apalagi ketika mendengar Ana mengucapkan kata ‘kita’, padahal yang Raba lakukan hanya ikut minum teh dan makan camilan setiap kali aksi massa digelar.

Setelah keberangkatan Ana, Raba mulai mengikuti kompetisi-kompetisi melukis. Ia memenangkan salah satunya, sebuah kompetisi lukis di Singapura, disponsori sebuah Bank berskala internasional. Lukisannya berjudul “Ayam Terbang” menjadi pemenang pertama. Namanya melambung. Beberapa bulan kemudian, Raba menggelar pameran tunggal di Taman Budaya. Banyak orang datang, seniman, kalangan umum, juga para kolektor. Mereka menaruh ekspektasi yang berbeda-beda.

Sialnya, semua orang seakan sependapat bahwa lukisan-lukisan Raba tidak ada yang sekuat lukisan “Ayam Terbang”. Dari 25 karya yang terpajang, hanya satu  yang laku, dibeli pengusaha tekstil asal Boyolali. Namanya tetap melambung, bahkan makin santer jadi pembicaraan di kalangan seni rupa. Tapi kini, desas-desus mengatakan bahwa karya-karyanya biasa saja. Dan lukisan “Ayam Terbang” hanya sebuah keberuntungan.

Tekanan dalam diri Raba makin menjadi-jadi, saat ia menerima dua surat bersamaan. Satu dari universitas, peringatan drop out. Satunya lagi dari Rumini, yang memang hobi menulis surat. Isinya membuat Raba meriang tiba-tiba. Dalam tulisannya yang indah, Rumini mengatakan bahwa Gunawan terkena serangan stroke ringan. Gunawan ingin anaknya pulang. Surat ketiga yang ia harapkan datang dari Skotlandia, tidak pernah hadir.

Tengah malam, Raba sudah hampir merasa kalah. Rokoknya tinggal tiga perempat batang dan dipeganginya dengan tangan kiri. Tangan kanannya memegang kuas. Lingkaran hitam di bawah matanya cukup membuat orang tahu bahwa ia jarang tidur, terutama saat hari gelap dan sunyi seperti ini.

Namun, Raba belum kalah. Sudah hampir, memang. Dihembuskannya satu tarikan napas menjadi asap-asap racun yang berkeliling mengitari kanvas kosong di hadapannya, juga lembaran surat di sampingnya. Di dalam ruangan sempit yang tidak simetris itu, Raba bertanya pada asap-asap racun yang tak kunjung hilang. Ia menannyakan tentang rumah, tentang kepulangan, tentang Ayah. Tapi mereka tidak mau menjawab.

Raba menghisap lagi rokoknya. Sunyi. Tak ada suara lain kecuali detak jam dinding. Meski begitu, Raba sudah merasa sangat riuh. Ada suara-suara dalam kepalanya yang enggan berhenti gaduh. Rokoknya tinggal separo batang namun malam masih panjang. Badannya meriang lagi, dan bau daun Johar yang direbus terbayang hingga membuat matanya sembab.

Raba ingat pulang. Ia melamunkan kereta malam ke arah timur. Oleh-oleh yang hanya dua bungkus brem kesukaan ayahnya. Lalu sebuah subuh yang membawanya pada kampung halaman.

Yogyakarta, Agustus 2016.

 

Foto oleh Olav Iban

 

Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/