Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Achmad Rofii
Di tengah badai hujan yang tak kunjung reda, sambil menangis Ibu mengipasi bara dupa. Sesekali ia taburkan garam kasar. Gemeretak bunyinya seolah sedang berusaha menenangkan hujan yang terus-menerus menghujam desa. Kepulan asapnya dengan cepat tertiup angin, bersamanya ikut serta harapan Ibu satu-satunya: keselamatan bagi Bapak yang tengah berlayar menuju Kumai.
Penghujung tahun seperti sekarang ini, hujan memang kerap datang bersama angin kencang. Akibatnya tak sedikit langgar di depan rumah warga runtuh berhamburan. Sebelum hujan benar-benar berhenti, kami lebih memilih berdiam diri di dalam rumah dan tak henti-hentinya mengucap istighfar dan shalawat. Sebagaimana perintah Ibu, kami harus membaca segala puji dan doa demi keselamatan Bapak.
Dari balik jendela rumah, diam-diam kuperhatikan Ibu yang meski menggigil kedinginan, tetap mengipasi bara dupa. Dengan polos, kusarankan beliau untuk mengipasi dupa dari dalam rumah.
“Nak, mungkin Ibu hanya akan sakit karena kedinginan. Tapi Bapakmu, selain kedinginan, ia juga harus menjaga keseimbangan kapal yang terombang-ambing oleh badai, sebagaimana ia harus menjaga nyawanya agar tak hilang ditelan lautan.”
Dupa semakin membara. Kepulan asap hilang seketika. Panjatan doa Ibu menembus batas cakrawala. Aku tak kuasa membayangkan kemungkinan Bapak tiada.
Di desa kami, membakar batu dupa adalah cara setiap isteri dan ibu mendoakan suami dan anak lelakinya yang melaut di musim hujan. Jika di daratan hujan lebat datang bersamaan dengan badai angin topan, maka di tengah laut kondisinya jauh lebih mengerikan. Arus ombak bisa mencapai ketinggian lima sampai sepuluh meter, siap menggulung dan menelan segalanya di permukaan. Tak terkecuali kapal kayu yang ditumpangi para pelaut dari desa kami, mereka yang nekat tetap berlayar meski sadar bahwa alam lautan bisa merenggut nyawa seketika.
Dalam histori celakanya kapal di tengah badai musim hujan, terkadang sebagian besar ABK selamat dan sisanya menghilang. Tak jarang pula yang terjadi justru sebaliknya. Kakek Amin pernah mengalaminya. Ia berhasil bertahan hidup selama tiga hari di tengah lautan, kemudian berhasil dipulangkan bersama dua dari lima belas ABK lainnya yang tenggelam dan tak dapat ditemukan. Bapak juga pernah mengalaminya, dua kali bahkan. Tetapi kami tak pernah sekalipun membanggakan ketangguhan Bapak bertahan hidup di tengah lautan. Apalagi membayangkan hal yang sama terulang ketiga kalinya.
Hujan akhirnya reda setelah tiga jam lebih menerjang desa. Banyak tetangga kehilangan. Beberapa di antaranya harus merelakan antena televisi dan radio tumbang. Sampah dan rerongsokan berserakan di mana-mana. Ibu agak sedikit lega, meski kecemasan masih amat jelas tergambar di raut wajahnya yang ayu.
Jam telah menunjukkan pukul 20.00 WIB. Derik jangkrik kini tergantikan oleh sahut-sahut kodok yang tinggal di bangunan kosong sebelah rumah kami. Sebelum terlelap, beberapa kali kudengar Ibu menghela nafas panjang, “Ya Allah.”
Keesokan harinya kami semua ke belakang, menyiapkan diri untuk berkumpul. Ibu dengan pisau di tangannya meneriaki kami yang tak menyegerakan diri untuk bergabung. Adik kami yang sebenarnya tak sudi melewatkan serial cartoon favorit, dan kami berdua yang masih enggan bangkit dari tempat tidur.
Setelah semua berkumpul, Ibu mulai memainkan pisaunya, memotong kecil-kecil tomat sebelum kemudian ia ulek bersama cabai dan bumbu fundamen lainnya. Berbeda dengan menu sarapan pada hari aktif sekolah seperti nasi goreng plus telor dadar, menu sarapan kali ini cukup spesial dan merupakan lauk favorit kami sekeluarga, yakni cumi-cumi yang dipepes bersama bumbu rempah-rempah pilihan. Ibu membuka bungkusan daun yang terlihat gosong di permukaan dan seketika aroma lezatnya mengemuka. Selamat makan.
Ketika suapan kedua kami sedang berlangsung, Ibu memperingatkan agar tidak lupa berdoa sebelum makan. Tapi tidak satu pun dari kami yang menghiraukannya. Peringatan itu justru disambut dengan pernyataan adik kami tentang mitos cumi-cumi yang didengarnya dari seorang tetangga.
“Kata Mbok Anik, bukan ikan hiu bukan pula ikan paus, tapi cumi-cumi hewan pemakan jasad para pelaut yang tewas karena tenggelam melawan badai di musim hujan.”
Sambil mengunyah, Ibu menjawab, “kata orang-orang dulu sih begitu. Tapi itu cuma mitos.”
“Kalau itu mitos, kenapa semua orang di desa ini, selain menziarahi pantai, juga berhenti mengolah dan mengonsumsi cumi-cumi selama 40 hari ketika salah seorang lelaki di keluarganya hilang atau mati tenggelam?”
Ibu tak lagi menghiraukan pertanyaan kami. Ibu sedang berusaha menangkap sayup-sayup suara yang memanggil namanya dari kejauhan. Suara itu semakin mendekat dan mudah bagi kami untuk mengenalinya.
Rupanya memang Kakek Amin, kepalanya kini tiba di pintu samping rumah. Sambil mengatur nafas, ia sampaikan kabar tentang Bapak yang tenggelam tadi malam. Entah mengapa tiba-tiba kami berhenti mengunyah cumi-cumi dan langsung menelannya cuma-cuma. Kami semua panik setelah Ibu tak sadarkan diri.
***
Setelah seminggu tanpa kepastian apakah Bapak selamat, hilang, atau mati tenggelam, Ibu mengumpulkan kami. Sebelumnya kami tak pernah mengira, bahwa Ibu akan setegar ini. Kata beliau, hidup harus terus berlanjut dan mulai besok kami harus sekolah kembali!
Kakak sempat meminta izin untuk berhenti sekolah. Ia ingin bekerja supaya bisa membantu membiayai kebutuhan keluarga, tetapi Ibu melarangnya. Suatu kali Kakek Amin pun sempat meminta Ibu agar mengizinkannya merawat dan menanggung biaya sekolahku, tapi juga Ibu tolak. Ibu selalu ragu jika kami diasuh oleh orang lain, meski sadar bahwa mengasuh tiga orang anak yang kehilangan seorang ayah bukanlah pekerjaan mudah.
Kini pekerjaan rumah menjadi tugas kami, mulai dari menyapu, mencuci, sampai pergi ke pasar. Sedangkan Ibu sejak pagi masih gelap menyiapkan jajanan yang akan beliau titipkan ke hampir semua warung yang ada di desa. Setelah itu, bersamaan dengan kami berangkat sekolah, Ibu pergi ke rumah Haji Suraji: menjadi pembantu. Ibu juga membuka jasa penatu yang baru akan beliau kerjakan sore hari sepulang dari rumah Haji Suraji.
Malamnya Ibu tidak langsung tidur. Di atas kasur sambil membelakangi kami, Ibu selalu memeluk baju kotor terakhir yang Bapak tinggalkan. Baunya melekat di setiap tarikan nafas. Ibu akan pura-pura terlelap jika tahu salah satu dari kami sedang memerhatikan air matanya.
***
Tahun demi tahun berlalu. Kabar tentang Bapak pun tak jua tiba. Pelan-pelan kami mulai bisa merelakan kepergiannya. Kenyataan hidup benar-benar telah mendewasakan kami sekeluarga.
Kakak perempuan kami telah berhasil dengan pekerjaannya yang mapan, karenanya pun Ibu tak perlu lagi bekerja. Sebentar lagi Adik juga akan melanjutkan studi di Kairo setelah lulus seleksi beasiswa pesantren.
Sementara aku… Aku justru sedang ditahan dan harus mengikuti tahapan persidangan yang sungguh menyebalkan.
Semuanya bermula ketika aku dengan beberapa kawan berupaya menghasut warga desa agar golput pada pemilihan Kepala Desa beberapa bulan lalu. Isu korupsi dan politik uang menjadi alasan mengapa aku melakukannya. Gerakan itupun setidaknya berhasil memengaruhi lebih dari seperempat jumlah pemilih tetap.
Menyadari bahwa apa yang telah kulakukan nyaris membuat calon petahana kalah, mereka kemudian membayar aparat kepolisian untuk merekayasa perkara dengan menyeretku pada kasus pengedaran narkotika berjenis shabu. Atas kasus tersebut, aku diancam hukuman seumur hidup.
Ibu yang sejak awal tak setuju dengan apa yang kulakukan selama pemilihan, akhirnya tiba di persidangan pertama dengan air mata kebencian. Sebelum dimulai, bersama Kakek Amin, Ibu menghampiriku dan menceritakan kenyataan yang sungguh tak kusangka betapa teganya beliau menyembunyikan misteri kematian Bapak.
Sambil menyeka air mata, Ibu melanjutkan, “dan yang kamu hadapi sekarang adalah ia yang telah menyingkirkan Bapakmu. Ibu tak mau, Nak…” suaranya semakin lirih, “Ibu tak mau kehilangan kedua kalinya.”