Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Benarkah Pak Jon Menulis Surat Wasiat?

author = Adhi Pandoyo

“Bukankah Pak Jon nggak pernah bercinta?!” tanyamu padaku. Wajahmu tampak indah kalau sedang penasaran. Sambil menikmati pandang manjamu, kucoba ceritakan kisah nyata itu:

Kala itu umur Pak Jon baru saja menginjak setengah abad dengan pengalamannya yang beraneka ragam sebagai fotografer cum travel agent handal yang piawai gonta-ganti visa buat menemani pelancong ke berbagai negara, khususnya Eropa. Benua yang selalu dipuja para pelancong dari negerinya berasal. Negeri kita juga. Dan di negeri kita inilah, Pak Jon kini memilih menghabiskan waktunya hanya di rumah. Menata tanaman di beberapa pot dan sedikit-sedikit belajar bercocok tanam di sepetak kecil tanah di belakang rumah bercitra joglo. Di rumah berlantai tegel lawas bermotif kembang itu, yang sudah sejak muda, persis waktu masih berumur seperempat abad, telah ia dirikan sendiri dengan uang tabungannya.

Kali ini di depan foto-foto yang terpampang di dinding ruang tengahnya, di depan laptop terbaru hadiah muridnya, dan di samping deretan rak buku-buku berbagai bahasa, Pak Jon merenung. Renungannya ke mana-mana, sampai-sampai sudah genap lima jam sejak dia terbangun. Diam saja. Sesekali hanya suara lamat-lamat kicau burung tetangga atau yang mungkin bertengger di pohon talok di sudut halaman belakang rumahnya, persis di tepian irigasi menuju sawah sekitar setengah mil. Lingkup wilayah itulah yang dahulu sengaja Pak Jon pilih. Sebab ingin sekali ia bisa jadi petani. Walau tak sanggup, paling tidak rumahnya yang kini bagian dari kompleks perumahan itu demikian dekat dengan wilayah pertanian. Namun, entah untuk apa, mungkin sekadar ingin meniru pemilik perumahan yang masih kenalannya, kudengar Pak Jon baru saja membeli sawah.

Pak Jon masih melamun, dan kali ini suara getaran kaca mengagetkannya. “Drrrrrrrrrrrrrrrrrrrr.” Kereta jurusan ibukota memang selalu melewati rel yang berjarak sepelemparan batu orang dewasa dari halaman belakang rumahnya. Barangkali Pak Jon nggak pernah takut kesambet setan atau sebangsa jin yang katanya bisa merasuki orang ketika melamun. Sebab Pak Jon seakan seperti sudah tahu bakal gemar melamun ketika memilih tanah di dekat rel, dan keretalah pemutus lamunannya. Tetapi entah kenapa kian hari kian parah lamunan beliau, bahkan pernah suatu malam ia bermimpi hanya terduduk seperti halnya kali ini. Dan persis di saat terbebas dari lamunan siang inilah, Pak Jon terperanjat, seperti muncul ide. Dia menggoyangkan penebah pada sebuah bungkusan kulit. Kau tahu isinya, sebuah mesin tik warisan kakeknya. Agaknya dia bosan memakai laptop terbaru yang kadang ia sendiri tak paham cara pengoperasiannya. Dia teringat kakeknya. Kakeknya yang masih berdarah biru dari seorang raja yang mati kala melarikan diri itu, dahulu dituntun takdir menjadi seorang juru tulis di kantor kabupaten. Kakeknyalah yang mewariskan mesin ketik buatan jerman itu pada ibunya. Dan sebagai anak tunggal, segala warisan orangtuanya telah dialihwahanakan menjadi bahan bakar untuknya berkelana sampai menjadi profesional di bidangnya. Tetapi mengapa seorang profesional sepertinya harus melamun? Apa yang dia gelisahkan? Lalu kenapa tiba-tiba ingin menulis?

Aku mulai bertanya-tanya, apa yang sebenarnya ada di pikiran Pak Jon selama hampir setahun terakhir? Apalagi sejak profesi guide kaliber internasional dan dunia fotografinya dicampakkannya untuk kemudian memilih tinggal di rumah. Pak Jon cuma menagih jatah bulanan dari saham bisnis travelnya pada para bawahan dan junior-juniornya yang dipercaya mengembangkan bisnis pariwisata itu. Dan kamera-kameranya, kini hanya tertidur di lemari suhu, tepat di belakang tempat dia duduk di kursi kecil kali ini. Dia ambil meja kecil dan meletakkan mesin ketik. Meniup debu dan meletakkan secarik kertas. “Kret-kret kret”, dan “ting”, “trek-trek-trek” berhenti. Pak Jon memastikan tintanya. Rupanya masih bisa. Pak Jon sendiri tak yakin kapan gulungan tinta dipasang. Pak Jon mengingat-ingat. “Pasti ini ulah Bunda”, katanya. Pak Jon ingat, tak lama setelah ayahnya meninggal, ibunya sempat mencoba menulis. Ah benar, waktu itu ibunya menulis surat untuk Pak Jon yang sedang di Pegunungan Alpen bersama temannya. Surat itu, didapatnya baru setelah mendapat email meninggalnya ibu dari keponakannya. Keterlambatannya menemu dua nisan marmer berdampingan di makam. Kemudian Pak Jon meminta tukang jaga kubur agar menanam foto ibunya di batu nisan, agar sesiapa yang melihat akan tahu wajah cantik ibunya. Dan di hadapan makam itu, dibacakan surat wasiat dalam tulisan yang diketik sangat teratur dan rapi, sama sekali tanpa kesalahan. Pak Jon membacakannya seolah seluruh penghuni pemakaman bangkit dari kubur dan mengelilinginya, untuk mendengarkannya membacakan surat ibunya. Mirip sebuah deklamasi namun tanpa nada menghentak dan meninggi, datar saja, sesekali lirih dan pelan, sepelan bulir air mata di pipinya. Dan dengan ingatan siang itu, Pak Jon ingin memuntahkan hidupnya.

Pak Jon melanjutkan langkah tulisannya. Jangan bertanya itu untuk siapa. Dia hanya ingin menyaingi ibunya. “Lihat saja, aku bisa menulis surat lebih panjang dan lebih bagus dari Bunda”. Pak Jon berbicara sendiri. Dan terdengarlah “trek-trek-trek-tek-tek, ctak-trek, tingngng.” Demikian berulang-ulang. Sesekali berhenti. Menyulut rokok. Lanjut lagi. Menit demi menit. Jam demi jam. Dan menjelang sore dijemput senja, Pak Jon berhenti. Bangkit meluruskan pinggangnya dan bergerak membuang tumpukan puntung dari asbak ke keranjang sampah. “cklek” menyalalah lampu. “Drrrrrrrrrrrrt,” goyangan ular besi mulai mendebarkan kaca dan jantung hatinya. Pak Jon duduk lagi dan menyaksikan tulisannya telah lebih dari dua puluh halaman penuh. Pak Jon membacanya sekali di awal, dan dia melemparkannya ke meja. “ahh, belum cukup bagus,” keluhnya disusul desah. “Tetapi biarlah, kelak pasti ada yang membaca.” Ucapnya sendiri menenangkan diri. Pak Jon yakin, setiap surat akan menemu pembacanya. Pak Jon lalu berdiri, ditendangnya pelan kursi kecil yang sedari tadi menopang pantatnya. Pak Jon melangkah keluar ke halaman belakang. Dia menghidupkan lampu kebun yang membuat tanaman hidroponiknya temaram kuning. Pak Jon melunasi hutangnya menyirami tanaman untuk hari ini. Dia berdiri bersedekap di hadapan tanaman-tanaman basah. “teeeeet…teeeeeeet”. Mendengar Suara Bel, Pak Jon bergegas menjemput pintu.  

“Woi,“ Pak Jon memanggil. Tengok ke kanan dan ke kiri, matanya menjelajahi teras. Dia heran tak ada orang. Siapa yang memencet bel? Pikirnya. Pak Jon mencoba tak ambil pusing. “Blam”, sedikit kesal pintu setengah dibanting. Kejengkelan ini membuatnya ingin mandi. Pak Jon ingin me-refresh tubuhnya dengan siraman air hangat. Diputarnya kompor listrik, maka teko cukup besar telah mejeng di atas bantalan besi bundar. “teeet, teeeet”. Mendadak bel teriak kembali. Pak Jon ingin pura-pura tidak dengar, tetapi suara bel ketiga memaksanya menggerutu dan berjalan cepat untuk segera menemukan siapa yang iseng, setan atau tamu nakal? Dibukanya pintu dengan cepat dan dadanya melebar siap melontarkan umpatan. Tetapi mendadak berhenti. Kekesalan bisa saja mendadak reda. Di hadapannya tukang pos dengan helm jingga terang, sambil tersenyum menjelaskan bahwa ia kembali ke mobil untuk mengambil yang terlupa. “Ini suratnya Pak, benar dengan Pak Jon?” tanya tukang pos. “Iya..” jawab Pak Jon sedikit penasaran. “Dan ini paketnya yang tadi saya terlupa, silahkan tanda tangan dulu.” jelas tukang pos singkat. Pak Jon menurut dan segera terjadi perpisahan. Pak Jon memegangi dan mengamati paket itu, agak berat rupanya. Dia melangkah ke ruang belakang tempatnya mengetik tadi.

Sebuah paket agak berat dengan sebuah surat. Dia terlalu penasaran dengan paket yang agak berat dengan tulisan: Anne, Amsterdam. Pak Jon meletakkan pantatnya di kursi kecil tempatnya mengetik. Mendadak dirinya seperti kesulitan mengingat nama itu. Dibukanya paket pelan-pelan, dan bungkusan dilemparkan. Sebuah kotak kayu, dipikirnya cara membukanya, rupanya ada lubang kunci. Sebuah amplop kecil dia temukan tertempel dengan selotip di punggung kotak. Dibukanya amplop, isinya sebuah kunci, dan lipatan kertas. Diletakkannya kotak di atas mesin ketik. Mulailah lipatan empat bidang itu dibukanya. Dia sedikit menahan senyum seperti mengingat surat semasa dirinya berkirim surat cinta saat sekolah dahulu. Tetapi senyumnya segera dijemput kernyit dahi, sebab Pak Jon masih gagal mengingat-ingat siapa Anne dan tetap membaca, begini tulisannya:

 

Jangan kau salah sangka, aku berikan sebuah kotak yang lama disembunyikan ibuku kepadamu. Aku tidak terlalu mementingkan siapa dan bagaimana hidupmu hingga bertemu ibuku, pun bagaimana hidupmu sekarang. Yang kutahu, kau masih hidup, begitu terang ibuku. Ibuku baru saja meninggal minggu lalu dan kotak ini kukirim, karena kurasa kau paling berhak memilikinya ketimbang aku. Bukan aku tak mau, tetapi ini permintaan terakhir ibuku. Semua yang menurutnya harus dimilikimu sudah kumasukkan ke dalamnya, semoga tak ada yang terluput. Aku tak memaksakan untuk berjumpa denganmu, tetapi jika waktu menghendaki, ada baiknya aku menemuimu liburan semester nanti. Aku mulai bosan hidup di sini. Tak perlu khawatir, aku sudah belajar bahasa negerimu, surat ini buktinya.

Anne-Maarlijke Harjono, bagaimanapun anakmu.

 

Kukutip surat dari Anne itu utuh, agar para pembaca mengerti bagaimana tersentak dan demikian kagetnya, hingga Pak Jon seperti membeku seketika, “Anakku?” ccapnya. Beberapa saat kemudian, jarinya ragu-ragu mencomot kunci kecil berwarna chrom. Dibukanya perlahan. Tampaklah pigura-pigura kecil, berisi foto. Ingatlah kini Pak Jon. Sungguh ia ingat bahwa seingatnya, ia tidak pernah bercinta. Benar jikalau jatuh cinta, itu pun berkali-kali dan tentunya telah lama sekali. Tetapi benarkah wanita yang ada di dalam foto itu salah satunya? “Omong kosong ini” ucapnya. Pak Jon masih penasaran. Dipungutnya pigura lainnya berisi foto seorang bayi. Lalu ada yang berisi foto seorang anak manis dan cantik berhidung mancung tetapi berambut hitam, duduk di pangkuan seorang wanita berambut pirang. Pak Jon bertahan dan rasa penasaran menemu bagian dasar kotak, sebuah buku kecil. Dibukanya pengikat buku kecil, dan dijatuhkannya kotak itu kembali persis ke muka mesin ketik. Pak Jon seakan telah lupa jika pernah menulis dengan mesin ketik itu. Dia seperti lupa dengan tulisan yang baru saja dirampungkan sore tadi.

Pak Jon berdiri dan melangkah demikian pelan. Berjalan mendekat ke ranjang. Dia ingin meletakkan punggung, dia ingin merebah dengan segala bingkisan yang sulit ia percaya. Ia demikian lemas seketika seperti mendapati fakta sejarah yang sulit diterima negara. Dibukanya buku kecil itu dan mulailah dibacanya, terselip di celah sampul kulit, sebuah fotonya, fotonya saat muda dahulu. Yak itu wajahnya, berpose sedang membidik dengan kamera. Dibacanya buku kecil itu lambat-lambat penuh perhatian, sambil tiduran dan kepalanya disandarkan pada bantal yang sudah ditumpuk-tumpuk. Pak Jon membacanya hingga selesai, benar-benar hingga tak menggubris suara teko yang telah panas menyemburkan uap putih dari lubang kecil, “fuuuuuuuuuuuuuuuuuu”, dan di saat bersamaan “drrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr,” suara kaca bergetar kembali oleh deru langkah ular besi. Mungkin kombinasi itu, layaknya suasana peluit kereta di stasiun dahulu, saat kakeknya masih menggandeng ibunya yang masih kecil. “Apa hubungannya?” katamu. “Ah sudahlah,” kataku.

Selesailah kisah ini. Mungkin pembaca masih penasaran. Misalnya tentang surat yang satunya yang belum dibuka.

“Kamu juga kan?” tanyaku.

Iiiy, apa sih isinya?” tanyamu manja.

“Aku ndak tahu persis isinya, kecuali kop suratnya yang bertuliskan kapital: KLINIK RADIOLOGI.”

“Masih kamu penasaran lagi?” tanyaku. Kamu pasang mimik mikir sambil manyun, tapi yang tampak padaku hanya bahasa anggun. Rasanya para pembaca yang justru penasaran sama kamu.

 

Akhir September 2017

 

Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi