Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Casem

author = Zahara NF

“Bagiku ini bukan cuma proyek, Sem. Lebih dari itu, ini adalah pengabdian kepada leluhur, sebuah penghormatan yang perlu kulakukan. Kelak, aku akan mati dalam keadaan bahagia karena telah menjadi bagian dari proses penemuan ini,” Kasim berbicara sambil menunduk setelah habis-habisan dimarahi Casem, istrinya.

“Tapi leluhur gak bisa kasih uang, Mas. Siapa yang mau bertanggung jawab atas sekolah Ahmad yang berantakan? Sudah tiga hari dia berangkat sekolah tanpa sangu. Persediaan beras juga semakin menipis. Kalau sudah begitu, siapa yang mau bertanggung jawab? Mantan lurah itu?”

“Casem, jaga mulutmu!”

Keheningan menyelimuti buritan rumah mereka yang hanya beralaskan tanah. Casem duduk di kursi kecil yang menghadap ke arah pawon, memunggungi suaminya yang tengah berdiri sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding berbatu bata.

“Aku tidak mau tahu, Mas. Aku butuh uang, kecuali kalo kamu tega melihat kami mati kelaparan demi ambisi gilamu itu.” Casem bangkit, ia berjalan serampangan ke arah ruang tengah melalui pintu kayu yang membatasi buritan dan ruangan beralas beton. Ia melewati suaminya dan membuang muka. Kepergiannya disusul suara bantingan pintu yang melengking.

Kasim menarik nafas panjang. Proyek penggalian situs Gagang Golok [1]Situs peninggalan kerajaan Majapahit, baru-baru ini ditemukan di Desa Galuh Timur, Kecamatan Tonjong, Kabupaten Brebes. Saat ini sedang dalam proses penggalian. memang dilakukan secara swadaya, ia tidak mendapat bayaran barang sepeser pun karena proyek ini memang tidak didanai oleh siapa-siapa. Warga bekerja secara sukarela atas dasar kesadaran meruwat peninggalan sejarah. Proyek penggalian ini dipimpin Pak Anwar, tokoh masyarakat setempat yang dulunya pernah menjabat sebagai lurah selama dua periode.

Di satu sisi, Kasim sadar kondisi keuangan keluarganya semakin memburuk semenjak ia berhenti berjualan siomay. Tetapi kepercayaan Pak Anwar yang telah memilihnya sebagai bagian dari proses ini membuat ia tidak ingin meninggalkan proyek ini atas alasan apapun.

Merasa pusing memikirkan posisinya yang serba salah, Kasim memutuskan untuk keluar melalui pintu belakang. Ia berjalan ke utara, ke arah proyek penggalian situs Gagang Golok.

***

Proyek itu dilakukan di tengah-tengah perkebunan jati, tempat situs tersebut ditemukan untuk pertama kali setelah melalui proses yang cukup panjang, termasuk di dalamnya proses tirakat dan ritual-ritual lain. Tiga minggu berlalu, perkembangan penggalian baru menunjukan sekitar 4% dari perkiraan bentuk bangunan secara keseluruhan.

Situs dengan luas 80m2 tersebut diperkirakan adalah sebuah tempat bersuci dengan sebuah sumur di bagian tengahnya. Orang-orang proyek sudah berhasil menggali sumur tersebut sedalam tujuh meter.

Kedatangan Kasim disambut teman-temannya dengan ajakan minum kopi. Mereka seperti mampu memahami kondisi Kasim hanya dengan melihat air muka lelaki itu. 

Diminum disit kopine, Man Kasim,” seorang laki-laki yang kira-kira lima tahun lebih muda darinya menyodorkan sebuah gelas yang terbuat dari bambu, gelas tersebut berisi kopi dengan kepul menguar. Kasim duduk sambil meluruskan kakinya, sebuah kaus dengan sablonan logo salah satu partai tersampir di bahunya, pandangannya menerawang jauh ke arah langit.

“Sebenarnya, desa memberi tawaran untuk mendanai proyek ini,” Pak Anwar yang ada dalam lingkaran pekerja tiba-tiba membuka percakapan, para pekerja sontak memandang ke arahnya. Isu soal pendanaan dari desa seketika menjadi isu yang menarik diperbincangkan.

“Berapa, Pak?”

“Ini bukan soal nominal, saya cuma takut kalau mereka sudah terlibat mereka akan menuntut banyak hal,” ada getar dalam nada bicara Pak Anwar, seperti perasaan tidak rela menyerahkan proyek ini kepada desa sekaligus perasaan tidak tega melihat pekerjanya terus menerus lelah tanpa dibayar seumpama tawaran ini ia tolak.

“Saya takut mereka menyalahgunakan. Tapi di sisi lain saya ingin kalian sejahtera, saya tidak tega melihat—“

“Pak, kami semua senang terlibat dalam proyek ini. kami benar-benar tidak mengharap imbalan secara materi,” salah satu pekerja berusaha membesarkan hati Pak Anwar. Pak Anwar tersenyum, sedikit sekali tapi, sebab setelah itu air mukanya kembali gelisah.

Salah satu dari pekerja mengeluarkan sebungkus kretek, yang kemudian digilir. Perbincangan di waktu istirahat kali ini terasa lebih berat dari biasanya, menyulut kretek sepertinya solusi yang tepat, pikir mereka.

“Keberhasilan proyek ini jauh lebih penting dari apapun, Pak. Soal makan, kami masih bisa makan dari hasil berkebun,” timpal pekerja yang lain.

Kasim hanya menunduk. Tentu saja ia minoritas dalam lingkaran ini mengingat hanya ia yang berkeluarga, sementara pekerja-pekerja lain adalah seorang bujang, jika pun ada pekerja seumurannya maka pekerja itu adalah seorang duda yang sudah lama tinggal sendiri. Mereka jelas tidak memiliki beban sebab mereka masih bisa makan dari orang tua mereka, atau makan apapun yang tersedia di lokasi penggalian. Sedangkan Kasim, ia memiliki Casem –istrinya dan Ahmad yang baru duduk di bangku kelas tiga SD. Betapapun, ia memiliki tanggungan menafkahi anak istri.

Di kepalanya, ingatan tentang hari-hari bersama Pak Anwar berkelebat. Entah bagaimana, Pak Anwar begitu mempercayainya, sejak dulu, sejak ia masih seorang lurah. Menjadi seseorang yang sangat dipercaya oleh mantan lurah dengan wibawa seperti Pak Anwar adalah kebanggan tersendiri baginya, itulah kenapa ia selalu bersikeras mematuhi segala arahan Pak Anwar.

Di tengah slowmotion kenangannya bersama Pak Anwar, terlintas wajah Casem, gadis desa sebelah yang dipersuntingnya 9 tahun lalu, disusul wajah Ahmad yang ia saksikan pertumbuhannya semenjak masih bayi merah.

Posisinya adalah posisi yang sulit, ia terjebak di dua kepentingan. Ia bingung harus memilih jalan mana sebab keduanya sama-sama penting.

“Pak tenang saja, kami semua senang melakukan ini. Ayo, semua bangkit kita lanjut menggali!” salah seorang pekerja bangkit dari duduknya kemudian berjalan ke tempat penggalian, disusul pekerja-pekerja lain setelah menandaskan kopi dan mematikan batang rokok yang sudah tidak bisa dihisap. Kepergian mereka menyisakan Kasim yang kini tengah berhadapan dengan Pak Anwar.

Pak Anwar seperti sudah paham dengan gerak-gerik Kasim, ia mendekat ke arah lelaki berusia hampir empat puluh tahun itu sambil tersenyum.

“Bagaimana, Sim? Ada masalah?” tanyanya, pertanyaan yang sebetulnya tidak perlu dilontarkan sebab semuanya sudah jelas.

“Kira-kira masih berapa lama lagi ya, Pak, sampai proyek ini selesai?”

“Tentu saja masih sangat lama, Sim.”

“Saya cuma—“

“Saya mengerti, Sim. Tidak apa-apa kalau kamu ingin mengundurkan diri.” Pak Anwar tersenyum seraya menepuk bahu Kasim. Tepukan bahu Pak Anwar mengalirkan semacam perasaan haru, membuat Kasim semakin bungkam.

“Saya tidak ingin mengundurkan diri dari proyek ini, Pak…”

“Saya tahu, kamu penuh pengabdian. Tapi tidak banyak yang bisa saya janjikan. Saya khawatir, saya dengar Casem sudah sering mengeluh.”

“Dia tidak memahami posisi saya,”

“Kadang-kadang, kita perlu mengoreksi diri sendiri alih-alih menyalahkan orang lain.”

Kasim menunduk, apakah dalam kasus ini, dia yang paling bersalah?

“Di hadapan sebuah masalah, seorang lelaki harus bijak dan mampu menempatkan dirinya. Kamu adalah seorang suami sekaligus ayah. Saya tau kamu mampu mengambil keputusan terbaik. Mari,” setelah tersenyum sekali lagi, Pak Anwar bangkit lalu bergabung dengan para pekerja yang sibuk menggali sumur.

***

Kasim baru pulang keesokan harinya setelah semalaman menginap di rumah seorang pekerja lain. Ia terlalu malas bertemu Casem terlebih sejak perempuan itu memberinya bantingan pintu kemarin siang.

Dengan gusar dan perasaan sungkan (sebab ia yakin Casem pasti akan marah-marah), ia menarik engsel pintu, namun betapa terkejutnya ketika tidak ada yang ia temukan di rumah itu kecuali keheningan dan kesiur angin yang melambai pelan di dekat daun telinganya. Ini hari Minggu, biasanya Casem akan sangat sibuk menyiapkan sarapan dan Ahmad akan berlari-lari di halaman rumah.

Rasa terkejutnya memuncak ketika ia menemukan seorang laki-laki kecil terbujur kaku dengan mulut dipenuhi busa di dekat bangku ruang tengah, di sampingnya sebuah botol Paracetamol terlihat kopong. Kasim berteriak-teriak memanggil istrinya, tidak ada sahutan apaun kecuali suara berdebum dari arah kamar mandi, Kasim segera berlari ke arah sumber suara. 

Di kamar mandi, Casem terkulai dengan mata mendelik dan seutas tali mencekik lehernya.

Kalijurang, 17 Juli 2019

References

References
1 Situs peninggalan kerajaan Majapahit, baru-baru ini ditemukan di Desa Galuh Timur, Kecamatan Tonjong, Kabupaten Brebes. Saat ini sedang dalam proses penggalian.