Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Sulfiza Ariska
Hanya satu negara yang menjadi negaraku.
Negara itu tumbuh karena satu perbuatan. Dan itu perbuatanku.
—Bung Hatta
KAMPUNG yang terapung itu bagai kuburan. Sunyi dan mati. Semua penghuninya seolah menderita bisu dan tuli. Mereka tidak saling menyapa atau mengunjungi. Di rumah lanting[1]Rumah rakit/rumah terapung yang mereka tempati, tidak terdengar lagi suara orang mengaji, berzanji, bernyanyi, atau rentak kaki penari.
Dulu, kampung terapung tersebut, tidak pernah sepi. Setiap detik, tongkang[2]Sejenis perahu kecil dan tidak menggunakan mesin dan perahu motor yang melintas di hadapannya, setia membawa harapan dari seluruh penjuru sungai. Langit dan matahari menjadi saksi bisu persaudaraan suku-suku yang bermukim di sana. Suku Melayu yang memiliki warga paling banyak, merangkul suku-suku lain untuk hidup rukun bagaikan harmoni warna-warna pelangi. “Kecil telapak tangan, nyiru kita tadahkan,[3]Ajaran leluhur Melayu yang berarti sikap ikhlas yang tidak terbatas.” ujar orang-orang Melayu tersebut pada seluruh suku di perkampungan terapung. Pelangi persaudaraan yang mereka retas, semakin kaya warna.
Namun, tahun 1998, seorang penguasa di Ibu Kota, lengser dari singgasana. Ia menebarkan benih sengketa di seluruh persada. Ketika nusantara porak-poranda, ia membawa kabur harta istana. Konon, sebuah ‘suku pendatang’ di perkampungan terapung, turut membawa dan menuai benih sengketa itu. Akibatnya, lidah api menyebar di mana-mana dan melahap rumah lanting. Darah kental memerahkan air sungai yang mengapungkan rumah-rumah lanting. Orang dewasa yang sekarat, bergelimpangan di dalam tongkang. Mayat anak-anak dan bayi-bayi, mengapung bagai kelopak-kelopak bunga yang terbakar. Setelah sang penguasa itu sukses mengosongkan harta istana, perang saudara di perkampungan terapung, segera padam.
Seusai perang saudara tersebut, warna-warna pelangi persaudaraan lenyap. Sorot mata curiga menebar di mana-mana. Lelangku[4]Jendela rumah lanting dan lawang[5]Pintu rumah lanting dikunci rapat-rapat. Titian[6]Jembatan yang menghubungkan rumah lanting dengan darat dipotong sehingga orang-orang dari daratan tidak bisa bertamu ke rumah lanting. Para penghuni rumah lanting hanya keluar menjelang tengah malam untuk mencari genjer dan betatas liar sebagai penyambung nyawa. Di dalam rumah lanting yang terkunci rapat tersebut; mereka menanti kematian tanpa upacara, pelayat, dan bunga-bunga duka.
Bertahun-tahun setelah nyala perang saudara padam, kampung terapung dipecahkan kehadiran seorang lelaki asing. Pak Bassar dan Mak Bassar menemukannya terbaring sekarat di lambung tongkang yang menepi di rumah lanting mereka. Nyaris seluruh tubuh lelaki itu penuh dengan luka dan memar. Pak Bassar dan Mak Bassar yang tidak dikarunia anak; seolah mendapatkan anak yang dijatuhkan Tuhan dari langit. Kehadiran lelaki asing itu bagaikan jawaban atas doa-doa mereka seumur hidup.
“Akhirnya kita punya anak, Mak!” seru Pak Bassar sambil memapah lelaki asing itu masuk ke dalam rumah lantingnya.
“Alhamdulillah,” tambah Mak Bassar sambil membelai rambut lelaki asing itu.
Keputusan Pak Bassar dan Mak Bassar mengangkat lelaki asing itu sebagai anak, membuat kampung terapung gempar. Orang-orang dewasa yang mengurung diri, membuka membuka lawang dan lelangku lebar-lebar. Cahaya matahari yang semulanya hanya merembes dari celah-celah dinding papan, tumpah-ruah bagaikan air bah. Dari mulut lawang dan lelangku yang terkuak; terlihatlah bagian dalam rumah lanting yang penuh cendawan, kecoa, dan kutu busuk. Bau apak dari dalam rumah lanting, menyeruak ke alam bebas dan membuat mual.
Dari hari ke hari, kesehatan lelaki asing itu semakin membaik. Luka-luka di tubuhnya mulai sembuh. Sebelum benar-benar pulih, ia telah bangkit dari bale-bale tempatnya dirawat dan mulai memperbaiki rumah Pak Bassar yang telah reot. Di bawah tatapan penuh curiga para tetangganya, Pak Bassar turut menyingsingkan lengan untuk membantu lelaki asing dalam memperbaiki rumahnya. Mak Bassar menyiapkan makanan. Mereka bahagia bagaikan keluarga yang sempurna.
“Lihatlah lelaki asing di rumah lanting Pak Bassar!” teriak seorang suami sambil mencengkram birai lelangku. “Bagaimana bila lelaki asing itu membawa benih sengketa dari penguasa yang haus takhta?”
“Lelaki asing itu membantu Pak Bassar memperbaiki rumah,” sahut istrinya dari dapur. “Jadi, bagaimana mungkin Pak Bassar mengusirnya? Daripada hanya mengumpat di lelangku, mengapa tidak kau perbaiki rumah kita? Lihatlah, atap rumah kita telah banyak yang bocor. Dinding-dinding telah rapuh dan berlubang.”
“Diam kau!” bentak sang suami. “Bila lelaki asing itu menebarkan benih sengketa, semua orang kampung akan kembali menderita!”
Dari dalam dapur, tidak terdengar lagi sahutan sang istri. Karena itu, sang suami turun dari rumah lanting dan mendayung tongkang ke jembatan besar. Di sana, segerombolan lelaki dewasa berkumpul dan menatap tajam ke arah rumah lanting Pak Bassar. “Kita awasi saja dengan penuh waspada!” seru lelaki bertubuh paling besar. Kadang, lelaki asing itu mendayung tongkang ke arah hulu. Ketika pulang, ia membawa bahan-bahan bangunan rumah lanting: kayu ulin, kayu bangkirai, kayu meranti, dan daun rumbia. Tidak jarang pula; ia membawa sayur, beras, dan ikan dalam jumlah banyak. Setelah para suami tetangganya tidur, Mak Bassar mengunjungi dapur-dapur tetangganya untuk membagi-bagikan bahan pangan tersebut. Bila suami-suami tetangganya mengetahui, bahan pangan itu akan dilempar ke dalam sungai. Namun, ketika lelaki asing itu dan Pak Bassar mulai memperbaiki rumah lanting milik mereka, tidak seorang pun suami yang berani mengusiknya. Malah, mereka turut membantu.
“Atap rumah kami memang sudah rusak!” seru seorang suami pada suami-suami lain. “Setiap hujan turun, kami sekeluarga basah kuyup!”
“Dinding rumah kami memang penuh lubang!” teriak suami yang lain. “Kalau bukan mereka, siapa lagi yang membantu kami memperbaiki rumah?”
Lambat laun, suami-suami yang mencurigai dan membenci lelaki asing itu, mulai berkurang. Seorang demi seorang, meninggalkan jembatan tempat pengintaian.
Sejak pertama kali ditemukan, tidak sepatah pun kata yang tergelincir dari pita suara lelaki asing itu. Tetapi, Pak Bassar dan Mak Bassar, bisa merasakan bahasa yang diucapkannya tanpa suara: perbuatannya[7]Terinsiprasi dari quote Bung Hatta: “Hanya satu negara yang menjadi negaraku. Negara itu tumbuh karena satu perbuatan. Dan itu perbuatanku.” . Dari upayanya memperbaiki rumah lanting dan membagi-bagikan pangan bagi orang-orang yang masih membenci dan mencurigainya, Pak Bassar dan Mak Bassar merasakan betapa tingginya wibawa dan budi pekertinya. Bahkan, lelaki asing itu, membuatkan alat pintal kain lunggi[8]Kain tenun khas Melayu Sambas dari kayu ulin. Sehingga, perempuan-perempuan kembali bisa menenun. Mak Bassar dan Pak Bassar semakin bangga sebagai orangtua angkatnya.
“Dari perbuatannya, terlihat dirinya yang sejati,” tutur Pak Bassar suatu senja.
“Benar, Pak,” sahut Mak Bassar sambil mengurai benang emas pada alat pintalnya. “Banyak orang yang berjanji muluk-muluk seperti politisi, tapi tidak pernah ditepati. Berbeda dengan anak kita. Meskipun mulutnya tidak pernah mengeluarkan sepatah pun kata, tapi lihatlah hasil perbuatannya!”
Berkat lelaki asing itu, kampung terapung yang sunyi dan mati bagai kuburan, kini beranjak ramai dan berseri kembali. Rumah-rumah lanting kembali mengapung kokoh dan indah. Satu per satu, suami-suami mulai memasang titian, sehingga keluarganya kembali bisa melangkah ke darat. Perempuan bisa berbelanja atau berdagang di pasar. Para lelaki bisa melangkah ke sawah atau ladang. Mereka tidak lagi hidup dari menyantap betatas liar dan genjer. Mereka pun seolah mulai bebas dari bisu dan tuli. Mereka saling menyapa dan mengunjungi. Perbedaan yang sempat membuat terpecah, kini direkat kembali. Mereka pun memberanikan diri melangkah ke rumah-rumah ibadah. Berbagai kesenian pun digelar kembali. Setiap berkumpul di warung kopi, lelaki asing itu selalu menjadi buah bibir.
Sepuluh tahun kemudian, pelangi persaudaraan kembali melengkung di kampung terapung. Indah dan sempurna. Rumah-rumah lanting mengapung bagai teratai-teratai yang tengah mekar. Pasar terapung pun menjamur di mana-mana. Kain lunggi menjadi primadona barang dagangan. Banyak orang-orang dari negeri seberang yang berlayar menuju perkampungan terapung untuk berbelanja atau sekadar mengagumi keindahan kain bersulam benang emas tersebut.
Suatu petang, Pak Bassar dan Mak Bassar—bersama lelaki asing yang sangat mereka cintai—duduk di ruang depan rumah lanting. Pak Bassar menghisap cerutu, sedangkan lelaki asing itu mereguk kopi.
“Sudah waktunya kau menikah,” ujar Mak Bassar sambil melipat kain lunggi. “Mak sudah buatkan kain lunggi untuk kaupakai dalam pesta pernikahan.” Lelaki asing itu hanya tersenyum malu. “Banyak anak dara yang jatuh hati padamu, pilihlah salah seorang sebagai istri,” tambah Mak Bassar. Lelaki asing itu kembali tersenyum malu.
Tiba-tiba, sebuah peluru berperedam suara, mendesing menusuk udara petang. Dalam sekejap, lelaki asing itu tersungkur dengan punggung bersimbah darah. Asap tipis mengepul dari pundak kirinya yang ditembus timah panas. Darah memerahkan tallok belanga berwarna kuning melayu yang membalut tubuhnya. Mak Bassar kesiap. Kain lunggi yang terlipat di pangkuannya, jatuh ke lantai. Cerutu di tangan Pak Bassar melayang jatuh. Tanpa mengucapkan salam, lima orang lelaki berpakaian aparat keamanan dan memeluk senapan, menerobos masuk. “Kami hanya melumpuhkan lelaki ini!” seru seorang lelaki bertubuh gempal. “Bertahun-tahun kami memburunya. Ia sangat berbahaya. Untunglah, kami bisa menyelamatkan Mak dan Bapak.” Dalam hitungan detik, seorang lelaki lain telah membelenggu kedua tangan lelaki asing itu . Meskipun demikian, lelaki asing itu tidak melawan atau memberontak. Bahkan, ia seolah tidak merasakan nyeri dari lubang peluru di pundaknya yang terus menguncurkan darah. Satu-satu yang dilakukannya hanyalah memandang sepasang mata Pak Bassar. Ketika Pak Bassar mencoba meraih tangannya, sebuah popor senapan menghantam dada Pak Bassar. Darah segar menyembur dari mulut Pak Bassar. Mak Bassar meratap dan menjerit histeris.
“Bapak jangan coba-coba melindungi musuh negara!” bentak lelaki bersenapan yang menghajarnya dengan popor senapan itu.
Bagaikan hewan buruan, lelaki asing itu diseret lima lelaki bersenjata. Lalu, mereka melemparkannya ke dalam lambung perahu motor. Sebelum mesin perahu motor dinyalakan, mereka beramai-ramai menghajar lelaki asing itu. Tangan yang menyusun papan-papan dinding dan atap rumbia, remuk dihantam popor senapan. Bahu yang memikul tiang-tiang ketika membangun rumah-rumah lanting, patah jadi dua. Wajahnya yang purnama, retak seperti hamparan tanah yang direngkahkan kemarau.
Sambil memegang dadanya yang seolah rengkah, Pak Bassar berdiri di ambang lawang. Matanya yang mulai diselimuti selaput katarak, memandang lurus ke sepasang mata lelaki asing yang terus menatapnya tanpa putus. Mak Bassar mencengkram erat lengan suaminya, sampai ruas-ruas jarinya memutih. Hingga perahu motor itu melaju dan menghilang dari pandangan, sepasang suami-istri berusia senja itu masih berdiri di ambang lawang dengan hati yang poranda.
Lelaki asing itu tidak pernah pulang ke perkampungan terapung. Ia seolah lenyap ditelan kabut misteri dan meninggalkan teka-teki. Di warung-warung kopi, orang-orang kampung terapung sering memperdebatkan dirinya. Apakah dirinya ‘orang baik’ atau ‘orang jahat yang pura-pura baik’.
Namun, Mak Bassar dan Pak Bassar selalu mengenang perbuatannya. Mereka takkan lupa. Sebelum lelaki itu datang di perkampungan terapung, seluruh suku bercerai-berai bagaikan warna-warna bendera perang. Warna-warna itu memisahkan manusia menjadi: kawan atau lawan; musuh atau sekutu. Namun, lelaki asing itu memintal warna-warna yang terpisah tersebut; bagaikan memintal pelangi. Beragam suku, agama, ras, dan adat-istiadat; menyatu-padu dan harmoni seperti pelangi. Meskipun berbeda, tetap satu jua adanya. Karena itulah, Pak Bassar dan Mak Bassar terus merindukan lelaki asing itu. Kerinduan mereka melampaui kematian.
Catatan Juri Lomba Penulisan Cerpen Etnika Fest 2017
Dalam Lomba Penulisan Cerpen Etnika Fest 2017, naskah yang sampai kepada Dewan Juri terdiri dari 27 naskah kategori umum/mahasiswa dan 13 naskah kategori pelajar. Dengan jumlah yang demikian sedikit, kemungkinan akan tidak adanya naskah yang memenangkan perlombaan menjadi niscaya. Dugaan ini terbukti pada naskah kategori pelajar yang kesemuanya memiliki kelemahan pada tataran pemilihan judul, penggunaan bahasa tulis yang kurang baik dalam narasi cerita, konflik yang tidak terbangun, penokohan yang datar, percakapan yang percuma, dan ending yang sudah tertebak sejak awal cerita.
Sementara naskah kategori umum/mahasiswa hanya memiliki 2 naskah yang layak juara, yakni naskah nomor 19 dan nomor 20. Selain kedua naskah yang menjadi juara tersebut, naskah-naskah kategori umum/mahasiswa memiliki kelemahan yang hampir sama seperti halnya naskah kategori pelajar. Apa yang membedakannya hanya kompleksitas masalah, yang sayangnya tidak tergarap dengan baik. Naskah-naskah itu terasa masih berusaha menjadi cerpen dengan gaya bahasa yang terasa dibuat-buat agar terbaca indah, beberapa bahkan terasa seperti berceramah ketika menerangkan sesuatu seolah pembaca tidak tahu apa-apa mengenai permasalahan yang tengah diceritakan, dan percakapan-percakapan yang ada di dalamnya juga terasa hambar dan sekadar basa-basi.
Naskah nomor 20 pada akhirnya yang ditetapkan menjadi Juara I sementara naskah nomor 19 hanya menempati Juara III karena adanya selisih kualitas yang lumayan paut dengan Juara I. Naskah nomor 19 dalam pandangan juri terasa terlalu teknis penulisan ceritanya dari bagaimana cara memunculkan tokoh, mengangkat masalah, meramu konflik, mengemas pesan, dan mengakhiri cerita, serta tidak memiliki latar waktu yang tegas, sehingga hanya layak menempati posisi ketiga, bukan posisi kedua, yang dipersiapkan juri untuk naskah yang mampu melarutkan pembacanya tanpa merasakan bagaimana cerita itu disusun. Cerpen berjudul “Lelaki yang Memintal Pelangi” di atas adalah naskah nomor 19.
Naskah nomor 20 menjadi Juara I karena memiliki kematangan dalam bercerita. Gaya tutur ceritanya mengalir dengan lancar meskipun harus menyebutkan sejumlah istilah daerah yang punya kemungkinan mengganggu alur. Cerita dibuka dengan lead yang cukup menghentak dengan merangkum sejumlah permasalahan yang terus ditumpuk sampai memuncak. Latar dan peristiwa budaya sangat mempengaruhi karakter tokoh-tokoh di dalamnya yang dijalinkan dengan alur yang penuh lintasan antara masa sekarang, bayangan masa depan, dan kenangan. Alur itu juga membalut misteri sekaligus teka-teki yang membuat pembacaan enggan diakhiri sebelum cerita berakhir. Dan di akhir cerita, pembaca disuguhkan kejutan yang sebenarnya sudah dipersiapkan oleh penulis sejak awal cerita. Dalam hal tema, naskah ini berhasil menyuguhkan problematika dari kebudayaan lokal dalam pandangan generasi pewarisnya. Naskah nomor 20 yang berjudul “Menjelang Pinola Suako” tersebut akan ditayangkan di kibul.in pada Selasa, 30 Mei 2017.
Demikian sekadar catatan dari Dewan Juri, selamat kepada para pemenang dan kepada seluruh peserta diharap untuk tidak patah arang dan terus menulis. Salam.
Yogyakarta, Mei 2017
Asef Saeful Anwar
Achmad Muchtar
Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.
Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/
References[+]
↑1 | Rumah rakit/rumah terapung |
---|---|
↑2 | Sejenis perahu kecil dan tidak menggunakan mesin |
↑3 | Ajaran leluhur Melayu yang berarti sikap ikhlas yang tidak terbatas. |
↑4 | Jendela rumah lanting |
↑5 | Pintu rumah lanting |
↑6 | Jembatan yang menghubungkan rumah lanting dengan darat |
↑7 | Terinsiprasi dari quote Bung Hatta: “Hanya satu negara yang menjadi negaraku. Negara itu tumbuh karena satu perbuatan. Dan itu perbuatanku.” |
↑8 | Kain tenun khas Melayu Sambas |