Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Candramawa dan Langit-Langit Doa

author = Riqko Nur Ardi Windayanto

Sasandara manjer kawuryan.

Malam ini sudah genap setahun sejak hari kematian Mbah Kasmaun. Tetua dusun yang tiada dengan cara-cara yang tidak biasa. Entah apa yang menjadi dosanya, entah dengan cara apa pula malaikat maut mengetuk pintu kematiannya. Tubuhnya menguning, kurus kering seperti lidi, dan tulang-tulangnya mulai rapuh. Napasnya sudah tersengal, bahkan untuk bernapas saja seperti harus mengemis pada udara. Tidak ada satupun warga dusun yang mampu menolongnya. Jangankan menolong, menghitung berapa kali Mbah Kasmaun menghirup dan mengembuskan napas saja tidak ada yang mampu. Benar-benar kematian yang membuatnya harus merasakan penderitaan, bahkan lebih buruk dari seorang gelandangan.

Malaikat maut benar-benar sedang bercanda dan warga dusun kebingungan dibuatnya. Saat kematian telah tiba dan kehidupan Mbah Kasmaun telah purna, tiba-tiba kehidupan datang seenaknya saja. Seperti tamu tak diundang, pergi pun tak minta diantar. 

Pernah ia dinyatakan sudah mati, warga dusun mendatangi gubuknya. Seperti anak-anak meratapi kematian ibunya, seperti itu lah para warga benar-benar menaruh hormat pada sang tetua. Saat akan dibopong dari dipan jatinya, Mbah Kasmaun hidup lagi. Jari-jarinya bergerak. Hari-hari berikutnya, warga sudah mantab kalau tetua dusun mereka ini benar-benar mati. Tiba-tiba matanya membelalak. Mengejutkan udara dan bola mata menatap tajam. Aneh memang. Padahal tanda-tanda kematian sudah benar-benar nyata. Daun telinganya sudah lemah, pepleh, seperti orang Jawa menandai kematian seseorang.

“Kenapa, ya, Kang? Kok Mbah Kasmaun iki angel tenan anggone nemu pati?”

“Mungkin ini penebusan dosa-dosanya sewaktu jadi bromocorah, Kang!” 

“Tapi, dia sudah tobat sejak lama. Sudah tobat, nggak mungkin seperti ini matinya. . .”

“Duh, Gusti. . .padhangna dalane, jembarna kubure. . .”

Begitu lah hari demi hari, malam berganti malam, tiap beberapa warga dusun menunggui tetua mereka di rumah tuanya itu. Barangkali supaya ada yang menjaganya jika saja kematian benar-benar telah tiba. 

Kali ini malam Selasa Kliwon. Tiba-tiba matanya menatap tajam ke langit-langit. Tangannya kaku. Tubuhnya dingin. Telinganya benar-benar ngelantur. Entah apa yang dilihat oleh mantan bromocorah itu. Napasnya seperti ketakutan. Tiada. 

Mbah Kasmaun benar-benar tiada. Kali ini warga dusun yang berjaga benar-benar yakin. Bahkan, sudah siap mengikhlaskan jika memang sudah dipundhut. Begitu yakinnya mereka karena ada sesuatu yang ditinggalkan dan tidak terjadi pada hari-hari sebelumnya ketika Mbah Kasmaun akan meninggal.

“Lintang kem’kus. . . . . .cing. . .,” katanya amat lirih bahkan sebelum ia tiada. Itu yang diingat warga dusun yang saat itu berjaga.

Seseorang mengatupkan kedua mata Mbah Kasmaun yang tengah menyaksikan kepergian arwahnya. Sebagai peresmian sebuah kematian yang seolah lama dinanti. 

Hari-hari sesudah kematian Mbah Kasmaun, pertanyaan-pertanyaan mulai timbul pada warga dusun. Kalimat lirih dari mendiang Mbah Kasmaun membuat orang-orang mempertanyakan dan menafsirkannya. Apalagi, ucapan apapun dari seorang tetua bisa jadi adalah peringatan, pesan, amanat, wasiat, dan sejenisnya. Lamat-lamat mendiang Mbah Kasmaun mengucapkan lintang kemukus. Demikian lah yang ditangkap pendengaran warga dusun yang waktu itu berjaga. Lalu, kata lirih “cing” yang sampai saat ini menjadi pertanyaan.

“Lintang kemukus, ya, Kang, yang waktu itu diucapkan Mbah Kasmaun sebelum nggak ada?”

“Iya, bener. Itu pasti bukan sembarang pesan. Ada yang akan terjadi pada dusun kita. Wong seperti kita, nggak bisa memandang remeh pesan itu. Ya, meskipun, saya sendiri juga takut. Kan bisa jadi kabar baik atau kabar buruk, ya tho?”

“Lintang kemukus. . .lintang kemukus. . .berarti. . . . .” 

“Atau itu mimpinya Mbah Kasmaun sebelum nemoni pati? Intinya itu bukan omongan ngelantur, tho. Kok saya jadi nggak bisa mikir baik ya. Saya takut.”

“Bener, Mbakyu. Ini omongane lintang kemukus, tapi ada ‘cing’, ini apa ya?”

“Lintang kemukus, pratanda ora apik. Kita kudu siap.”

“Tapi, lintang kemukus itu nggak selalu buruk. Kemana lintang kemukus itu mengarah, itu lah yang kita pikirkan. Ingat, dulu Mbah Kasmaun diangkat jadi tetua dusun karena mbah buyut kita melihat beliau kejatuhan pulung, lintang kemukus yang mengarah ke barat. Tepat di atas rumahnya.”

“Bener. Meskipun Mbah Kasmaun mantan bromocorah, karena lintang kemukus arah barat itu lah kita semua mengangkatnya sebagai tetua dusun. Sejak ada pulung itu, beras melimpah, panen nggak pernah gagal, hanya keberuntungan demi keberuntungan yang kita dapatkan.”

“Lalu, siapa yang tau kalau ada lintang kemukus sebelum kematian Mbah Kasmaun? Bukankah hanya dengan arah itu kita tahu artinya?”

“Saya, Kang!!!!” sahut Sangkrah seperti benar-benar meyakinkan. “Yang bener?”

“Waktu itu saya dan simbok duduk di luar rumah. Simbok menceritakan kalau mendiang Mbah Kasmaun, sekalipun mantan berandalan, dia seperti orang yang mendapat wahyu keprabon untuk menjadi tetua dusun. Ya, gara-gara pulung itu. Lintang kemukus barat itu membuat desa kita jadi makmur. ‘Kita ini kan percaya lintang kemukus itu’, begitu simbok saya bilang.”

“Terus???” 

“Tiba-tiba, Simbok bilang kalau mendiang Mbah Kasmaun sudah mau mati, keprabon itu akan mati. Redup pelan-pelan. Hanya ada dua kemungkinan, akan ada hal baik atau buruk. Sayangnya, waktu itu Simbok melihat ada lintang kemukus ke arah kidul wetan. Jadi. . . .”

“Kidul wetan atau tenggara! Jadi. . . . . .”

Jadi, begitu lah jalang ringkas kematian Mbah Kasmaun yang berujung menimbulkan pertanyaan dan kebingungan bagi warga dusun. Seperti yang dikatakan Sangkrah bahwa simboknya melihat lintang kemukus ngidul ngetan atau tenggara, berita itu cepat menyebar ke telinga warga. Bukan karena berita ini menarik, tapi karena kejatuhan lintang kemukus ke arah tenggara tidak seperti kejatuhan pulung.

Begitu lah para warga dusun kecil menanggapi omongan Sangkrah. Mereka percaya bahwa ini adalah pertanda bahwa selain pemimpin mereka tiada, lintang kemukus tenggara mengabarkan duka bahwa akan terjadi paceklik, pagebluk, kekurangan air, hujan menjadi jarang, orang sakit-sakitan, ternak mati, dan keburukan lainnya. Mereka mengenalnya sebagai kalabendu. Zaman yang penuh bebendu atau mala. Tapi, ini semua tentu akan berakhir. Dan, omongan lirih ‘cing’ itu lah yang dipercayai warga dusun sebagai penawar. Meskipun, belum ada satupun orang yang mampu menafsirkannya.

Seperti kepercayaan yang benar adanya, kabar buruk itu seolah menjadi kenyataan. Mula-mula, seperti mereka memercayai pranata mangsa, sotya murca saking embanan. Sementara yang lain memercayai bantala rengka. Hawa dusun begitu panas, angin-angin datang menerbangkan debu ke pelataran-pelataran rumah. Tonggeret makin nyaring memekikkan telinga sebagai pertanda musim mareng. Daun-daun laras dari dari rerantingnya. Sumber air dan belik-belik sebagian besar mengering. Hutan-hutan jati di ujung dusun meranggas, menyisakan tubuhnya yang tegak mengabdi pada langit. 

Hujan tak lagi datang menari-nari di atas dusun itu. Anak-anak dusun yang polos dan lugu mulai kehilangan satu pekerjaannya, yaitu bersenggama bersama hujan yang membuat mereka disatru oleh emak-emaknya. Emak-emak hanya mampu merebus singkong, berlaukkan sayur kenikir yang pahit bagi lidah anak-anak. Dan, bapak-bapak yang sebelumnya tidak pernah melankolis selagi ada segelas kopi, kini mereka dilema. Bertani tidak mungkin, sedangkan beternak pun akan diberi minum apa hewan-hewan mereka. Untuk minum saja mereka harus berbagi, bahkan mandi cukup sekali saban hari. Dusun kecil itu benar-benar dilanda paceklik. Kalabendu.

Tapi, mereka masih beruntung. Seberuntung kehidupan yang terus diratapi dengan seceret kopi hari demi hari, malam demi malam, yang disajikan di gardu ronda, dengan sesuatu yang mereka tunggu. Seperti malam itu.

“Ini sudah setahun, pendhakane Mbah Kasmaun, Kang. Paceklik seperti ndak ada jluntrungnya. Kita masih bisa bertahan tidak lain karena umbulan tidak mengering,” kata Sadikin sembari menuang kopi. Mungkin bentuk penghormatannya pada sumber air umbulan, satu-satunya mata air yang tidak mengering dan masih memberinya kesempatan untuk menyeruput kopi. 

“Benar. Sudah setahun ini kita seperti mengemis pada sumber mata air itu. Satu-satunya sumber air, kalau tidak, sedusun ini bisa jadi mayat,” tandas Darsono.

“Kata simbok saya, ini paceklik paling nggak karuan sejak dia hidup di sini. Belum pernah kejadian. Saya jadi lupa rasa beras seperti apa kalau lama-lama harus menindas lidah dengan singkong terus-terusan,” begitu lah Sangkrah menggumam dengan selalu menyertakan simboknya dalam setiap adegan pembicaraan.

“Kita semua bisa bertahan sampai malam ini pun, pasti juga karena cawe-cawenya Mbah Kasmaun. Tentu dia yang menyambung lidah kita kepada Gusti Ingkang Murbeng Dumadi, sehingga masih diberi welas asih. Dalam kekurangan pun kita masih bisa bertahan. Urip iki pancen dasare mangan ra mangan penting kumpul, yo tho? Berkat beliau, umbulan tidak akan mengering. Itu mata air keramat! Sudah lama Mbah Kasmaun dulu ngangsu kawruh di situ,” kali ini giliran Saryono yang berkilah. 

“Tapi bukan berarti nrima ing pandum, Kang. Kita harus mencari pungkasan dari persoalan ini. Paceklik apapun, kalau hanya diikhlaskan, lama lama kita yang jadi wong edan. Makanya kita tiap hari bermalam di gardu ini. Bukan tanpa alasan. Kita sedang menunggu pulung atau lintang kemukus arah barat!” Darsono menyumbang percakapan begitu serius.

“Krah, sementara kamu yang dipercaya warga dusun untuk menjaga pesarean Mbah Kasmaun. Tiap minggu jangan lupa nyekar dan bawakan air umbulan untuknya. Supaya kita diparingi keslametan.” Sadikin menuturi Sangkrah. Mungkin mencairkan keseriusan Darsono. “Baik, Kang.”

Semua benar-benar terdiam dan angin tiba berembus kencang. Malam itu semakin lengang menyambut setahun peringatan kematian Mbah Kasmaun. Api unggun berkobar-kobar dan anjing hutan makin melolong, entah menyerukan soal malam, atau mereka juga letih kehausan. Malam demi malam itu dilalui dengan berjaga menunggu sesuatu yang teramat penting bagi mereka. Cahaya pulung yang begitu didamba sebagai pertanda bahwa paceklik akan berakhir, namun tak kunjung tiba. 

Tapi, kali ini. . . .Sangkrah yang bermain-main dengan api unggun depan gardu sontak terkejut. 

“Kang! Kang!!!! Li. . .lin. . .lintang kemukus, Kang! Ke arah barat! Cepat lihat, Kang!

Orang-orang terbelalak mendengar kesaksian Sangkrah. Cepat-cepat mereka menghentikan seruputan kopi dan keluar dari gardu ronda memalingkan kepala ke arah tangan Sangkrah menunjuk. Benar-benar seperti melihat hal baru dan sesuatu yang telah lama mereka tunggu. Cahaya itu berputar-putar tepat di sebuah rumah yang dihuni oleh orang-orang baru. Benar-benar orang baru karena segalanya tak biasa bagi orang-orang dusun. Cepat-cepat pula orang-orang itu masuk kembali ke gardu ronda.

“Ini pertanda baik, kita semua akan bebas dari paceklik ini. Seperti pulung yang tepat mengitari rumah mendiang Mbah Kasmaun, pulung yang baru saja kita saksikan pasti berkaitan dengan orang baru di rumah itu.” Begitulah Darto yang malam ini harus menggantikan Darsono berjaga.

“Tapi. . . . .dengar-dengar salah satu dari mereka adalah kyai. Mereka tidak seperti kita. Lagipula, tahu apa orang baru itu dengan permasalahan dan mingkar mingkuring urip yang selama ini kita dan warga dusun alami sejak lama,” tandas Sadikin yang sedikit meragukan lintang kemukus merayu-rayu udara di atas rumah orang baru.

“Apa iya, dia dan anak buahnya itu menjadi sosok pengganti Mbah Kasmaun, Kang?”  kali ini Sangkrah bertanya seperti bocah lugu.

“Gini saja, Krah, besok pagi kamu undang orang baru itu kemari. Kita tidak tau apa yang akan terjadi,” Saryono menengahi.

***

“Assalamualaikum, ” seorang kyai, orang baru itu, datang. Mengenakan pakaian serba putih seperti menantang jelaga malam.

“Wilujeng, kyai?”

“Pengestunipun. . .Tadi pagi, Dik Sangkrah bertandang ke rumah, panjenengan sekalian bisa memanggil saya Khalil. Saya dan anak-anak adalah orang baru di sini. Sekiranya hal penting apa yang membuat Bapak-Bapak mengundang saya kemari?”

“Mmmmmm. . .begini kyai. . . . .” Sangkrah hendak menerangkan.

“Begini, kyai. Kami telah lama mengalami masa paceklik. Ini bermula semenjak tetua dusun kami telah tiada. Lintang kemukus ke arah tenggara yang setahun lalu, bahkan lebih, yang dilihat oleh Sangkrah, menjadi pertanda bahwa akan terjadi mala. Dan sekarang kami menanggungnya sekian waktu. Kami sudah lama menunggu akan datangnya pulung, lintang kemukus ke arah barat. Pulung itu adalah tanda bahwa paceklik ini akan segera berakhir. Kemarin malam kami semua melihat pulung itu, mengarah ke barat, melintasi rumah kyai,” Darto berbicara sambil membenarkan ikat kepalanya yang berwarna merah darah itu. Abang mbranang. 

“Apakah saudara sekalian memercayai cahaya lintang itu?” tanya Kyai Khalil.

“Ya, tentu. Itu kepercayaan juga ajaran nenek moyang kami dalam menaruh tetenger terhadap alam.”

“Lalu, apa gerangan yang membuat saudara mengundang saya? Apakah ada suatu hal yang dapat saya lakukan?”

“Seperti kepercayaan kami, orang yang rumahnya dilintasi atau dihinggapi pulung, maka orang itu akan mengeluarkan kami dari jerat penderitaan ini, kyai. Orang itu adalah kyai sendiri. Maka bantu lah kami mengembalikan sawah-sawah kami, sumber-sumber air kami, beras, dan semuanya.”

“Saya mendengar bahwa desa ini memang dilanda paceklik, bahkan sejak kedatangan saya beberapa bulan lalu. Tapi, kedatangan saya dan anak-anak saya, santri-santri saya, tidak ada niat atau kaitannya dengan paceklik ini.”

“Emmm, sebenarnya kyai ini dari mana? Dan apa tujuan kyai masuk ke dusun kami? Apa yang kyai dapatkan dari dusun kecil yang dilanda paceklik seperti ini?” Sangkrah bertanya dengan kegamangan dan kebingungannya.

“Saya berasal dari utara Jawa. Guru kami, yang memerintahkan saya dan santri-santri untuk masuk memperdalam ilmu agama di pedalaman Sengguruh ini. Supaya agama kami menjangkau penjuru tempat. Kami telah mencapai utara Jawa, dan kini saatnya wilayah selatan, termasuk Sengguruh ini. Tentu saja, hanya Allah semata yang membimbing langkah kami untuk sampai di dusun ini.”

“Maaf, kyai. Apakah kyai bisa menolong kami? Lintang kemukus arah barat telah hinggap di rumah yang kyai dan para santri tempati. Itu artinya Gusti Pangeran kami adalah kyai. Kyai adalah tetua desa kami berikutnya setelah Mbah Kasmaun, tetua kami, yang mati setahun lalu,” Darto memotong pembicaraan kyai itu dengan Sangkrah. 

“Tidak. Saya tidak bisa demikian. Saya juga tidak bisa memercayai lintang kemukus dan pernujuman itu. Semua sudah digariskan oleh Allah. Apalagi saya juga tidak pantas menjadi tetua dusun ini. Lagipula, saya juga bukan siapa-siapa.”

“Mengapa kyai menolak? Apakah Tuhan kyai tidak pernah mengajarkan bagaimana berlaku welas asih pada manusia? Atau justru Tuhan kyai itu senang membuat manusia menderita? Lalu untuk apa kyai harus ke dusun kami untuk belajar ilmu agama, yang entah akan berakhir seperti apa itu jluntrungnya?” seperti Darsono, Darto juga ahlinya membuat percakapan makin serius.

“Masya Allah, tidak lah demikian. Bapak meminta saya membantu dari jalan kejawen yang Bapak lakoni. Bagaimana bisa sementara saya sama sekali tidak meyakini, juga tidak mengetahui lakon itu.”

“Jangan sombong kau, kyai!”

“Saya tidak menyombongkan apa-apa.”

“Berarti Tuhan kyai itu, entah siapa yang tadi kyai sebutkan, tidak memberikan ilmu yang cukup pada kyai untuk memahami lakon kehidupan. Kyai saja tidak mampu memahami kami yang sedang membutuhkan pertolongan yang selama ini kami nantikan, bahkan setahun lebih lamanya.”

“Tidak demikian yang saya maksud, Pak. Kita menempuh jalan yang berbeda. Seperti dua jalan yang tidak bisa didekatkan, itu lah keadaan kita saat ini. Kepercayaan Bapak terhadap lintang kemukus tidak akan mengurangi juga tidak menambah kepercayaan saya pada Tuhan saya. Begitu juga sebaliknya. Kita selesaikan paceklik ini lewat dua jalan yang berbeda pula. Kita mengadu pada Tuhan masing-masing.”

“Tunggu, Kang. Lalu, bagaimana maksud kyai dengan dua jalan itu?” Sangkrah menengahi sambil memegang punggung Darto di sebelahnya. Angin-angin bergelayut, dan pekik malam semakin kencang bersama rembulan yang benderang memanjar kawuryan. Kyai Khalil berjalan ke arah barat dari gardu, sementara yang lain berjalan ke arah timur dari gardu. Dua jalan yang berbeda, kembali ke rumah masing-masing.

***

Malam Jumat tepat di suatu siang, Sangkrah pergi ke pesarean Mbah Kasmaun. Membawa seterumbu bunga kenikir. Seperti mata air umbulan, kenikir adalah bunga-bunga yang sanggup mekar menghiasi penderitaan warga dusun. Daunnya diolah jadi sayuran, atau obat ketika warga dusun terkena gondongan. Juga bunga-bunganya yang meskipun tak wangi, masih bisa digunakan untuk menaburi dan menghiasi pesarean Mbah Kasmaun. Ini lebih manusiawi ketimbang pesarean mantan bromocorah itu sepi oleh bunga-bunga dan mengemis pada melati yang tak sudi hidup di tengah paceklik.

Sangkrah juga membawa sekendi air untuk membasahi nisannya yang terbuat dari batu layaknya prasasti. Tentu aja, air umbulan yang diperolehnya beberapa hari lalu. Dari rumahnya, Sangkrah berjalan ke arah barat, melewati gardu ronda, dan saat ini tepat mendekati rumah Kyai Khalil. Kali ini pemandangan berbeda.

“Sedang apa Kyai Khalil dan santri-santrinya, Mbakyu?”

“Tidak tahu, Krah. Aku juga bingung. Kemarin Mas Darto bilang kyai itu dihinggapi lintang kemukus. Tapi diminta bantu mengatasi paceklik kita nggak mau. Entah nggak mau atau nggak bisa, ya. Sepertinya mereka hendak mendoa pada Gustinya.”

Di sebuah tanah lapang tepi rumah mereka itu, santri-santri Kyai Khalil membentuk barisan berjejer seperti langit-langit yang berarak menghadap barat. Kyai Khalil sendiri berada di depan mereka seperti halnya seorang tetua dusun. Sangkrah malah memikirkan untuk apa mereka menghadap ke barat. Mungkin kah mereka sedang mendoa pada langit-langit agar lintang kemukus arah barat hadir kedua kalinya? Ada apa dengan arah barat? 

Sangkrah melewati mereka menyusuri jalan dusun yang sederhana bersama hawa panas yang sederhana, seolah menciptakan derita tanpa merasa dosa. Sangkrah ingat betul ritual apa yang dijalankan oleh Kyai dan anak-anak santrinya itu. Mereka mengangat tangan lalu mensejajarkannya dengan telinga. Mata-matanya menghadap bumi. Entah mantra-mantra apa yang mereka baca. Pada siapa mereka berbicara itu? Pada Tuhan mereka-kah yang waktu itu disebut Kyai Khalil pada pembicarannya menanggapi si Darto? Mungkin mereka mendoa pada Tuhannya agar paceklik ini segera diraibkan dan hujan didatangkan. Sangkrah yang lugu itu hanya bertanya-tanya. Dilihatnya mereka membungkukkan badan, cukup lama. Lebih-lebih, Kyai Khalil melebihi keperkasaaan Mbah Kasmaun. Pasalnya, apa yang dilakukannya diikuti oleh santri-santrinya itu. Sementara warga dusun, bahkan tidak pernah mengikuti gerakan Mbah Kasmaun sedikitpun. 

Sangkrah tiba di pesarean Mbah Kasmaun tepat di dekat hutan jati. Tetapi ada yang membuat pandangannya terasa ganjil. Dari kejauhan Sangkrah melihat dua ekor kucing mengais-ngais di gundukan kuburan itu. Dengan rupa yang sama, berwarna hitam dan putih pada bulu-bulunya, juga jantan dan betina.

Hari ini benar-benar membuat Sangkrah heran. Belum usai mendapat jawaban atas tindakan Kyai Khalil dan santri-santrinya, ia kembali heran untuk apa ada dua kucing berbulu sama, hitam dan putih, juga sepasang layaknya temanten, berada di makam ini. Tapi hawa panas mengaburkan keheranannya. Sangkrah cepat-cepat menaburkan bunga dan memeranjatkan doa kepada Gusti Ingkang Murbeng Dumadi agar Mbah Kasmaun diterangkan arwahnya. Kali ini, hawa panas turut membuat Sangkrah ingin menikmati air sungai umbulan. 

Lagi-lagi, Sangkrah keheranan. Kedua kucing itu terus mengikutinya. Kucing apa ini? Apakah mereka kucing jadi-jadian? Hari macam apa ini?

Hawa panas mengaburkan keheranannya untuk ketiga kali. Dan Sangkrah sudah siap jika ia akan menemui keheranan-keheranan berikutnya. Air umbulan begitu bening memancar seperti seorang ibu memancarkan asinya. Seperti itu pula lah Sangkrah seakan-akan menjadi bayi kembali yang begitu lahap meminum asi. Memang sudah setahun lebih, air umbulan menjadi asi bagi para warga yang mengalami paceklik. Kekeringan yang tiada henti.

Seperti Sangkrah yang senang menemui air umbulan dan leluasa meminumnya, kedua kucing itu malah menyeburkan diri, membasah-basahi bulunya. Keduanya bermain-main air seperi temanten yang berbulan madu di sumber mata air. Tapi, bukankah kucing biasanya takut air? Apa mereka juga benar-benar merasakan penderitaan paceklik sampai-sampai mereka tidak lagi menakuti air? Selepas bermain-main dengan air, kedua kucing berbulu hitam dan putih itu pergi. Berlari-lari entah kemana. Tanpa meninggalkan isyarat, hanya kernyitan dahi terukir di wajah Sangkrah.

***

“Kamu tahu, ngger, kyai dan santri-santrinya itu, orang baru itu, mereka seperti ritual entah apa. Beribadat pada Gustinya mungkin. Mereka tampaknya memeranjatkan doa bagi dusun kita agar paceklik segera berakhir.”

“Betul, Mbok. . ., ” Sangkrah masih bertanya-tanya dalam hati.

“Siapa orang itu, dan siapa juga sesembahannya, dia adalah pewaris wahyu keprabon. Pulung telah nggumantung di atas rumahnya, bukan? Kita percaya lintang kemukus itu.”

“Tapi kyai itu tidak seperti kita. Ajarannya entah dari mana, sepertinya utara Jawa, berbeda dengan kita. Dia tidak memercayai lintang kemukus seperti kita. Makanya, saat Kang Darto menggertaknya, dia mengatakan kalau paceklik ini kita selesaikan dengan dua jalan, dengan jalannya dengan jalan warga dusun kita sendiri.”

“Lah, ya itu. Dia punya kepercayaannya, begitu juga dengan orang-orang dusun kita yang percaya pulung itu. Mungkin ini dua jalan itu, ngger. . .”

“Ngomong-ngomong, Mbok, selain kyai itu seperti beribadat dan mendoa, saya juga menemukan keanehan. Di makam Mbah Kasmaun, dua ekor kucing jantan dan betina, berbulu hitam putih. Kedua kucing itu bahkan ikut saya menuju air mata umbulan, mereka seperti bermain-main di padusan. Mereka seperti temanten. Itu pratanda apa ya?” kata Sangkrah menceritakan keheranan ini pada simboknya.

“Kucing hitam putih?”

“Emmmm. . .tunggu, Mbok. Cing. . .cing. . .cing, itu yang diucapkan lirih oleh Mbah Kasmaun sebelum dia nemu pati. Jadi. . .Lintang kemukus dan kucing. Apa itu, Mbok? Kucing dua warna itu kucing apa? Pratanda apa?”

“Itu Candramawa, kucing hitam putih! Pratanda keberuntungan. Paceklik akan raib!”

Sore itu hujan benar-benar ranggas dari langit yang selama ini telah mengabadikan duka. Anak-anak kembali bermain-main di tengah hujan setelah sekian lama bahkan mereka lupa bagaimana rasanya air hujan. Ibu-ibu dan bapak-bapak seperti orang edan yang menyambut hujan ini dengan tangisan. Akar-akar dilahirkan kembali dari persenggamaan air dan tanah. Langit-langit benar-benar menyusui pedukuhan kecil itu. Dan, Sangkrah masih memikirkan, ibadat Kyai Khalil dan persolan dua kucing itu. Lantas, ini kah dua jalan yang berbeda itu?

Keduanya terus melebur sebagai ritus. Terlahir dalam hujan.

Salam untuk “Ritual Manten Kucing”
Malang, 10.5.2020., 09.16

Keterangan:
[1] Sengguruh: nama lain dari Malang ketika menjadi daerah pelarian Majapahit dan dipimpin Adipati Ronggo Toh Jiwo.
[2] Ritual Manten Kucing merupakan ritual masyarakat Sumberrejo, Kabupaten Malang untuk memohon turun hujan saat paceklik. Ritual ini berarti ‘menikahkan’ sepasang kucing di sungai umbulan dengan warna tertentu dengan keyakinan bahwa paceklik akan berakhir. Ritual ini menjadi ruang pertemuan antara Islam abangan dan Islam santri yang diwujudkan melalui pelbagai konfigurasi kebudayaannya.