Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Bulan Merah

author = Yudo Suryo Hapsoro

Samar-samar terdengar bunyi kentongan dipukul tiga kali. Warga mulai menutup jendela dan pintu rapat-rapat. Tidak ada lagi warga yang bertamu. Tidak ada lagi warga yang berkeluyuran di luar. Beberapa pemuda yang biasanya bermain kartu hingga larut malam pun memutuskan untuk menunda kegiatan mereka dan bergegas pulang.

“Tok.. Tok.. Tok..” terdengar kembali suara kentongan dipukul 3 kali. Pukul 9 malam, suasana kampung sudah sunyi. Hanya suara angin dan jangkrik yang menjadi latar belakang malam itu. Terkadang anjing dan burung hantu bersautan. Kembali kentongan dipukul tiga kali, “tok.. tok.. tok..”. Para warga tahu, bahwa ini sudah pukul 9 malam pas dan mereka tahu bahwa jendela dan pintu mereka sudah harus terkunci rapat serta lampu dimatikan.

= = = = = = = = =

“Bangsat!! Ayo balik!!” teriak Maman mendengar suara kentongan dari kejauhan. Efek dari minuman oplosan tiba-tiba hilang begitu saja karena bunyi sayup kentongan. Maman kembali waras, tapi sayang teman-temannya sudah terlanjur terbuai minuman murahan. Maman segera menarik dan menyuruh mereka kembali ke rumah. “Heh!! Ayo pulang!!”

“Apalah Maaaan. Masih percaya gitu aja.” Beberapa pemuda lain tertawa dan melanjutkan minum mereka. Mereka mencemooh Maman sebagai pengecut, banci, kalong, anjing, apa pun yang masih dapat dikatakan dari mulut mereka. Maman meradang. Menatap mereka satu per satu dengan dingin dan sebal.

“Aaaaaaaargh!! Mati saja kalian semua!! Ini bulan merah bangsat!!” teriak Maman kembali memperingatkan. Dalam mabuknya, beberapa pemuda mulai bimbang. Mereka teringat kalimat-kalimat orang tua dan guru mereka yang sering menceritakan tentang legenda bulan merah. Selama sebulan penuh mereka tidak boleh keluar rumah di atas pukul 9 malam hingga matahari muncul atau arwah mereka akan ikut dalam rombongan arwah penasaran yang digiring oleh seorang dukun sakti ke alam baka.

Tak ada harapan. Maman sendiri. Tak ada satupun temannya beranjak. Maman menggeber dan memacu motornya menembus lorong gelap malam jalanan desa. Jarak dari tempat mereka minum-minum sampai desanya cukup jauh. Malam dingin tersebut mulai terasa panas bagi Maman. Keringat mulai bercucuran. Jalanan desa berbatu juga tak membantunya untuk bergegas sampai rumahnya. Angin kencang turut memeriahkan suasana mencekam malam itu. Rumah-rumah pun juga mulai menutup rapat jendela dan pintunya.

“Man, ngapain masih di luar?! Pulaaaaang!!” teriak salah seorang warga. Suara tersebut selintas saja didengar Maman. Lamat-lamat terdengar suara anjing-anjing hutan mulai melolong atau mungkin itu teriakan para arwah yang digiring oleh si Dukun Sakti. Tak ada bedanya bagi Maman. Semuanya hanya selintas saja. Baginya sekarang adalah sampai RUMAH.

Jalanan kosong serasa tak ada ujung. Pohon-pohon bambu di kanan kiri jalan melengkung seolah hidup membentuk barikade untuk menangkap Maman dan motornya. Lampu tak bisa menembus gelapnya jalanan malam itu. Tanah yang lembab membuat rodanya sempat selip beberapa kali. Sayangnya, motor Maman belum berhasil dijatuhkan. Semua terasa berbeda. Semua terasa sunyi dan mencekik.

Matanya sempat mengintip beberapa rumah yang sudah mematikan seluruh lampunya. Warung tempatnya nongkrong dan beberapa kawannya hingga tengah malam pun sudah tertutup rapi, mungkin sejak tadi selepas magrib atau memang tidak buka sejak awal. Maman tak begitu memerhatikan karena sebagian waktunya dihabiskan di kota menarik beberapa utang untuk bosnya.

Konsentrasinya sedikit buyar oleh getaran dalam jaketnya. Telepon genggamnya bergetar kuat diiringi sebuah lagu dangdut tentang seorang istri yang tetap setia pada suaminya yang galak. “Brengseeeek!! Siapa ini yang menelpon saat seperti ini?!” Maman menggerutu dalam pikirannya. Mungkin istrinya. Ya, pasti istrinya yang panik karena suaminya belum pulang atau mungkin simpanannya karena dia tak datang malam ini. Pertanyaan tersebut tak pernah terjawab karena Maman sama sekali tak mengangkat telepon tersebut walaupun berbunyi terus. Suaranya hilang tiba-tiba. Seolah dimatikan paksa. Angin menyambut Maman dengan tiupan kencangnya. Membuat bulu kuduk Maman berdiri. Dari kaca spion Maman mengintip. Jalanan yang dilewatinya sudah hilang. Ditelan bayangan gelap, hitam, besar yang mengejar. Kegelapan ingin menelannya.

Dalam kepanikan, Maman mulai mendapat penglihatan akan sosok orang yang dikenalnya berdiri di samping jalan. Menatap dingin Maman. Maman mengenal wajah itu, yaitu pamannya. Dia ingat betul ketika pagi hari Maman kecil menemukan tubuh pamannya telah kaku dan kering selepas bulan merah. Dia menjadi saksi pamannya dipaksa menjadi bagian dari parade arwah yang dipimpin oleh Si Dukun Sakti saat malam bulan merah. Dari celah tembok rumah kayu, Maman kecil melihat Sang Dukun menarik bayangan dari tubuh pamannya yang ambruk perlahan.

Maman tak memedulikannya. Dia menggeber motornya lebih kencang hingga akhirnya sebuah gapura tua dengan tanggal kemerdekaan di kanan dan simbol-simbol kenegaraan di kiri sudah terlihat. Itu adalah gerbang kampungnya. Rumahnya hanya beberapa meter lagi. Maman sempat menengok dan ketika kembali menghadap jalan suara jeritan menciutkan nyalinya. Suara yang cukup membuat Maman kehilangan kotrol dirinya. Maman yang tadi berusaha tenang akhirnya panik. Motornya tak dapat diatur. Maman jatuh. Tubuhnya terseret motornya beberapa meter. Suara-suara jeritan itu, apakah milik teman-temannya? Apakah mereka ditelan oleh bayangan gelap itu? Pikiran Maman mulai kacau. Seolah tak merasakan sakit, Maman bangkit. Kali ini dia berlari ke arah rumahnya yang sudah terlihat di depan mata. Sebuah rumah kecil tanpa pagar.

Maman berlari pincang. Dia berteriak, “Bukaaaaa!! Bukaaaa pintunya. Ini aku, Maman, suamimu. Bukaaaaa!!” Sejenak dia merasakan sentuhan dingin di lehernya. Maman semakin kencang berlari. “Bukaaa pintunya!! Brengseeeek!! Buka pintunya!!”. Maman mengetuk pintunya dengan keras. Dia berusaha memaksa membuka pintunya. Terkunci rapat. “Bukaaaa pintunya!! Bukaaaa!!”. Suara langkah terdengar. Dalam hati Maman bersyukur, hari ini dia akan selamat. Tapi… Langkah itu lenyap. Tak ada suara lagi. Langkah itu hilang. Pintu rumahnya tak jadi terbuka. Maman mendengar ada suara dari dalam. Suara istri dan anaknya. Maman kembali meledak. Kegelapan mulai menelan rumah tetangganya satu persatu. “Sayaaaang.. Tolong bukakan pintu sayaaaang..” pintanya memohon. Putus asa tergambar jelas dalam raut mukanya. Ketakutan lebih tergambar jelas dari keringat dingin yang mengucur deras. “Sayaaaaaang.. Brengseeeek!! Buka pintunya!!” teriakannya membelah kegelapan malam itu dan satu teriakan lagi dari Maman, “Bukaaaaaaaaaaaaa!!” dan malam itu pun menjadi sunyi menyisakan purnama kemerahan menerangi malam itu.

Lampung, 20 Mei 2019