Author: Tobma

  • Andaikan aku

    author = Yohanes Mikot Fios

    Aku

    Satu nadi satu nafas,
    Di atas cadas.

    Satu lelaki di momen juang,
    Pada altar-Mu tiada lekang.

    Risalah Harap

    Sebentuk harap mendekap cahaya di tengah gulita,
    Dan mata kelabu menatap gerimis yang berderai sejak sore tiba,
    Ini pertanda sepi dan senyum menipis temu,
    Ini pertanda rahasia dan risalah beranjak jemu.

    Ingatkah setiap generasi, ada kekuasaan enteng merumuskan hukum,
    Mencambuk gunakan kata-kata dan segelas air putih,
    Ia menuntut kepatuhan humanum,
    Ia mengosongkan bela rasa dan petuah-petuah.

    Suatu saat, entah, gelas-gelas kaca pecah,
    Dari balik jendela kaca orang-orang menemukan gerimis usai,
    Sambil menggendong sisa iman kemarin, sebagian masih tertinggal utuh,
    Mata mereka menemukan Dia di pintu gerbang, Ia tak pernah usai.

    Dia yang tak pernah usai hendak menghapus hipokrisi
    Bersama antek-antek genit ciptaan yang usai.

    Andaikan Aku

    Andaikan aku tidak mengecup keningmu di pojok rumah mungkin cinta kita jelma gelap. Lantas ibumu menghadiahkan cambuk di ulang tahun pertemuan kita di kota angan. Dan Jari-Jari terhimpit rintih di tengah rintik dan rindu nafas. Menerbangkan setiap Jiwa-Jiwa kita di kota Paris idaman bapakmu. Hmm, aku tidak lelah mengecup indah keningmu.

    Andaikan aku tidak mengecup keningmu di syahdu malam, kita hanyalah abu tergolek fana. Kecupanku mencipta rasa merambat, seperti perempuan sundal menyeka kaki Tuhan. Akulah perempuan sundal dan kaulah kaki-Nya. Kakimu menendang dosa-dosaku entah. Cambuk dari ibumu bukti berkat-berkatnya.

    Andaikan aku tidak mengecup keningmu, wajahmu tidak memerah seperti bibirmu yang runyam. Akulah Adam sang pintu dosa dan kaulah perawan tak bernoda. Berkas dosa-dosa melekat pada suci perawan. Kita mengenang pohon terlarang di tengah Firdaus dan Dosa-Dosa kita merah seperti bibir teroles gincu.

    Andaikan aku tidak mengecup keningmu, aku tetaplah aku dan kau Jadi kau. Tidak ada satu. Tapi Cerita menggores beda di atas rindu di tengah rintik, kita bukan Lagi dua melainkan satu yang merubah wujud jadi pohon terlarang di tengah Firdaus. Kita mencipta dari angan dan dosa-dosa.

    Api Lelaki

    Di timur, santun amarah perlahan penuh bertuah;
    Melontarkan api. Menyembunyikan zinisme.
    Cenderung lelaki penggenggam api itu diam;
    Sebab ia telah bergulat dengan amukan badai
    Sebab diam-diam istrinya mengadu nazib ke hongkong.
    Sebab anak gadisnya yang tunggal terjatuh-jatuh
    Di atas pundak matahari. Pada pelukan rembulan.

    Nanar sudah wajahnya menoreh luka menggores bejat;
    Bercumbu sesaat di atas labur putih pusara luhur,
    Sesekali menyentuh naluri liar.
    Ia membanggakan keburaman pikiran.
    Ia bermimpi menjelma putera gadis dara
    Serta besok, api dalam genggamannya sesenyap doa.

    Izinkan aku bercumbu, katanya.
    Izinkan aku membunuh.
    Pada garis-garis wajah mereka
    Aku melihat-Mu terlelap.

    Izinkan aku bercumbu kefatalan.
    Izinkan aku membunuh kelatahan.

    Ia berdebar;
    Melafal kata-kata arif,
    Merayu romantisme Tuhan.
    Tetapi lututnya goyah,
    Ia ingin pulang.

    Pengakuan

    Pengakuan. Pengakuan. Indonesia miskin kata-kata
    Angka jelata tak humanis lampaui kata.
    Peradaban dan komedi membludak di tong-tong sampah
    Lelucon para politisi kolabarasi teks kudus buat sumpah
    Dibawa pulang jadi mainan istri di rumah kita
    Berakhir mubazir di tong sampah.

    Hipotesanya, bawahan manggut-manggut di kaki majikan
    Istri pemulung abaikan kemanusiaan di tong sampah.
    Mereka berkelakar
    Biar anak-anak kita yang gagap dibarter dengan adab kemanusiaan
    Untuk jadi tiket masuk senayan bermain komedi.

    Humor. Hihihihi… sumpah, sampah.
    Kabut dan gerimis jadi rumah ibu pertiwi.
    Pengakuan. Pengakuan. Indonesia miskin kosa kata dan bungkam.
    Banyak jelata ingin berkomedi di senayan
    Sambil menenteng teks-teks suci.

    Indonesia menari di atas angin.

  • Aku Sayang Ibu oleh Gemi Mohawk

    author = Gemi Mohawk

    Juragan

    gan, juragan
    kembalikan kami punya lahan
    kami butuh pekerjaan

    gan, juragan
    berikan kami kelayakan pangan
    swasembada pangan tinggal
    kenangan

    gan, juragan
    kapan kami mendapatkan rasa aman
    preman sekarang memakai surban

     

     

    Aku Sayang Ibu

    sejak aku lahir
    tak terlepas utang
    habis upah cicil rentenir
    “bu, jangan sampai jual kutang!”

     

     

     

    Bantuan Langsung Tunai

    pemerintah
    tak mampu cipta
    lapangan kerja

     

     

     

    Bakal Calon Kepala daerah

    mendadak soleh dan solehah

     

     

     

    Kata Bapak Sepulang Kerja Kepada Emak

    garpu, sendok
    piring, gelas, mangkok
    hari ini kita libur

     

     

     

    Kisah Tanah

    tanah kata
    suatu ketika

    tanah menceritakan
    berita-beritanya
    l
    a
    l
    u
    tanah meneriakkan
    derita-deritanya

    suatu titah
    kata tanah

     

     

     

    Selera Negeri

    film hantu-hantu
    pasti laku

    lagu sendu-sendu
    itu laku

    novel tabu-tabu
    juga laku

    sinetron babu-babu
    paling laku

    inikah selera negeriku?
    atau
    inikah potret negeriku?

    jangan gagahi kemelayuanku
    dengan kebudayaanmu

     

     

     

    Catatan Redaksi:

    Melalui puisi-puisinya, Gemi Mohawk —penulis terpilih Ubud Writers and Readers Festival 2016— menyoal masalah-masalah kehidupan dari sisi yang paling nyinyir. Persoalan kemiskinan, krisis pangan, krisis budaya, maupun intrik politik yang selalu menempatkan rakyat kecil sebagai korban tergambar jelas dalam puisi-puisinya. Dengan sudut pandang seorang penyair, puisi-puisi ini telah mengambil sikap menentang segala bentuk penindasan sekaligus mencoba menyuarakan suara-suara dari bawah.

    Puisi-puisinya bisa dikatakan pendek-pendek tapi menusuk tajam bagai sebuah belati. Puisi-puisinya seolah menghindari kata-kata yang indah, metafora-metafora yang lazim digunakan dalam penulisan puisi pada umumnya. Kendati demikian, letupan-letupan emosi yang diungkapkannya seringkali menjadi parodi, sebuah ejekan, atau permainan niris yang mencoba membongkar drama kehidupan yang bersentuhan langsung dengan kita.

    Hal yang paling menonjol dalam puisi Gemi Mohawk adalah relasi antara judul dan isi puisi. Judul sering diwujudkan sebagai gambaran dari realitas yang dia kritisi, sementara isi puisi muncul sebagai sebuah pernyataan sikap. Puisi-puisi Gemi Mohawk hadir sebagai sesuatu yang berbeda, sesuatu yang khas yang mungkin tidak meniru sekaligus tidak ditiru oleh penyair yang lain. Puisi Gemi Mohawk pada akhirnya semakin memperkaya perbendaharaan puisi di Indonesia.

     

     

    * Foto karya Amalya Suchy Mustikapurnamasari

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

  • Aku Mencintaimu Lebih dari Buku-Buku

    author = Chandra Wulan

    Aku Mencintaimu Lebih dari Buku-Buku

    lembar-lembar beraroma kayu merengek memintaku membaca,
    tapi dua lembar kelopak matamu yang mengantuk lebih menggoda
    mengerjap perlahan, memancar sayang

    kuhirup wangi sampo dan kelelahan dari balik selembar daun telingamu sebelah kanan
    kertas-kertas kusut
    rambutmu kusut
    kasur carut marut

    halaman menguning dimakan ingatan
    gigi kita kuning ditempeli kopi tiap pagi

    aku batal membaca
    buku cerita di tangan kananku terbuka
    sayang, buku-buku jarimu lebih menarik untuk kutelusuri lekuknya

    huruf demi huruf merangkai kata di kepala
    keluar dari lidah manismu
    kalimat-kalimat di buku mengabur tanpa kabar
    lelah menunggu tak terbaca

    aku mencintaimu lebih dari buku-buku
    jangan bilang-bilang buku!

    2018

    Kapal

    pernah suatu masa pada puncak keberanianku,
    aku bertanya,
    “sayangkah kau kepadaku?”

    jawabanmu seperti kata-kata penyair
    tenang dan mengawang-awang

    ketakutanku menjelma laut
    pada bulan purnama
    sejak itu aku tahu,
    kepastian tak mesti lebih baik
    dari apapun juga

    keberadaanmu adalah mercusuar,
    yang menuntunku berlabuh
    atau menjauh

    Yogyakarta, 2018

    Dadamu Sebidang Kebun

    aku tidak bisa berenang
    karena itulah, aku akan rela saja
    jika harus tenggelam—
    di dadamu.
    sampai bunga-bunga di bajuku sesak napas
    sampai luntur gugur meresap menerabas
    katup tersembunyi di balik dadamu
    sebelah kiri
    dan terlewatkanlah satu degupan
    yang mengejutkanmu
    hingga tanganmu terpakssa
    menenggelamkan aku lebih jauh
    lebih dalam
    pekat
    cemas berirama
    detak silih berganti
    ramai damai

    pakaianku tanah hitam subur
    dadamu sebidang kebun
    yang menumbuhkan aku

  • Aku Mau Jadi Manusia oleh Antonius Wendy

    author = Antonius Wendy

    Catatan Redaksi:
    Puisi-puisi Antonius Wendy adalah pertanyaan-pertanyaan tanpa kalimat tanya dan jawaban-jawaban tanpa kesimpulan, menyoal muasal, kehidupan, dan masa depannya, tentang kegelisahan hidup seseorang mengapa kehidupan nyata yang jauh dari ideal. Aku dalam salah satu puisi ini nampaknya menginginkan kemerdekaan, kemenangan dan kebahagian. Tapi jika menghadapi dunia saja kalah bagaimana kita menang pada akhirnya nanti?
    Dengan demikian, puisi ini nampak menunjukkan ironi, tentang keinginan untuk melawan di tengah ketidakberdayaan, tentang harapan di tengah tak adanya kepastian dan tentang keinginan akhir yang bahagia di tengah penderitaan.

     

    Aku Mau Jadi Manusia

    kau kulit api yang pupur kata
    mereguk sari zaman lunta

    kami hangus kau tumbuh luas
    dari esensi dualitas entitas
    jadi patung medusa tanpa kepala
    diami bandang pandang mata

    tapi bukan cuma soal imaji palsu
    bukan pula janji cemerlang biru
    sedang belerang sekarang rumah
    menimpang dunia lekang patah

    kawanku sempat nulis puisi
    kalau kalau hidup bakal hidup
    begitu pun mati bakal mati

    dan itulah, ialah jalan tiada
    selain ingin binasa segala suara

    maka ini orasi
    karangan aspirasi

    tanya yang tak punya jawaban
    hidup yang tak punya masa depan

    aku mau hidup dan bertanya sekalian
    aku mau jawaban masa depan
    pesuk jentera tak lagi awas laras
    untuk itu aku panjat ke atas batas

    Yogyakarta, Oktober 2017

     

     

    N I H I L

    tiada kelayakan daripada mereka
    menaungkan diri kepada cahaya
    cahaya binasa yang menolak bersinar
    hingga masa berujar, “Mati lebih benar.”

     

    A G N O S T I K

    Tiada derita tanpa cerita, untuk menopang doa dari silih ganti muara. Pada mulanya ialah ujud niskala merayap senyap bara. Melewati peningkah elegi pagi menghias segendang embun. Gerimis tipis kikis menepis baris terhenyak bersenandung. Memintal angin di sisi bukit. Mengarak jarak. Memahat pintu. Menunggu dan memalingkan muka dari ruap rupa rembulan yang senang merayu tempias sunyi di kaca jendela. Tiada cerita tanpa derita, kota tanpa kata, yang akhirnya kembali kepada kesia-siaan makna.

     

    Pe

    gemerlap dunia saling bertubrukan
    menggusur tepi dengan busur
    celaka dalam penyamaran
    simpang siur

    di sana kita bernama ambang
    tempat jiwa tidak tenteram
    terperangkap tanggung jawab

    juga bibir gerimis pernik keji
    menghujani angin tersimpuh sedu

    kutemu matamu menyatu
    dalam kesukaran lingkup semesta

    tapi kekasih, kelak jenazah aku
    yang belum sempat dimandikan
    memijar pijar liar
    haus pada genta
    dan beringsut
    dan menubruk
    piring piring rengat
    dinding miring lempung
    dari seringai misai badai
    yang selama ini di pelupuk kamu

    setiap hari, setiap detik saja
    kutemui diri semakin bahagia

    aku mau berakhir dengan senyuman
    kemenangan!
    dan mereka, manik pernik malam keji
    yang mengguyur lapang jengkal dahi ini
    tak akan pernah mampu ambil nyawaku

    Yogyakarta, Oktober 2017

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • 1984 dan Puisi-puisi Lainnya

    author = Edwin Anugerah Pradana

    Prosesi

    Di perahunya, para nelayan 

    menerka langit yang membutir

    dan mendung muncul 

    dengan pola rosemari.

     

    Tak banyak potret yang tertangkap:

    mata mereka terarah di joran patah,

    kail dengan bau asma, diesel yang lengah

    dan suara batuk mengerap.

     

    “Kembalikan saja jiwa kami…”

    Di prosesi itu, mereka nyanyikan 

    lagu takut yang lepas dari jaring. 

     

    “Kembalikan saja jiwa kami,

    jika surga sepi

    dan neraka mungkin kita kenali.”

     

    2020

    1984

    I

    “Mengapa kita tak jujur, Winston?”

    Julia seperti bertanya 

    dari arah dipan 

    dengan nyeri di 

    negeri yang maklum.

     

    Mereka tata berahi, di ruangan itu.

     

    II

    Sementara di luar, 

    kota memasang dua sayap 

    bendera partai 

    dalam sebongkah lahan yang penuh

    tapi mati. 

     

    Ada yang mati

    yang mati, 

    yang jujur

     

    III

    Lewat jendela, matahari 

    mengincar sepasang

    pemberontak dengan

    wajah dop itu.

     

    Ada kalanya, mereka 

    istirahat dari 

    takut di kerumunan.

     

    Derit dipan, 

    samar bohlam, 

    suara yang dijemput anak-anak tangga. 

     

    IV

    Tapi berahi, mereka susun, 

    dari langkah-langkah

    para prol dan apek desa.

     

    Cinta yang diiringi 

    seorang penunggu

    dengan mimik bernuansa

    museum-seorang pria dengan 

    senyum lokal. 

     

    Cinta yang mereka lelehkan

    di tubuh bom dan trauma.

     

    V

    Ia ulang itu, pintu yang menggambar

    warna-warna tentara. Takut yang tumbuh

    dan mengencangkan gempa 

    di udara mereka berdua.

     

    VI

    Ungu, atau biru, warna pejalan

    dari jauh mereka tebak 

    sedang menggusah lapar

    di bintang mati.

     

    Kini mereka makin takut. 

    Kini trauma menusuk. 

    Kini, desah mereka 

    adalah bayang-bayang

    bom dan parit-parit Oceania. 

     

    VII

    “Mengapa kita tak jujur, Julia,

    pada mata tuhan

    yang palsu, juga

    kepada batukku yang

    lembab saat kita

    bersentuhan pada ritus pertama?”

     

    VIII

    Winston bayangkan itu, sesaat 

    sebelum waktu mencegahnya

    dari malam yang putih, dari

    hari yang terpasang 

    di frasa sabotase.

     

    IX

    Lalu nama kita tak dieja lagi.

     

    “Mari kita selesaikan 

    cinta ini, mabuk ini, takut ini

    dengan lenguh yang sirene 

    dan nafas yang patuh.”

     

    Sebab mereka, tak bisa mengeja lagi.

     

    2020

    Setelah Panas

    Di depannya retakan tanah kering: 

    tempat capung membawa 

    kabar bahwa telah lama

    tak ada yang melintas di halaman.

     

    Di sekitar, ada bau

    kemarau yang telanjang.

    Dan debu pagar menindih

    karat seolah karang.

     

    Kusesap warna 

    yang mencair

    di ornamen tubuhmu.

     

    Ia katakan itu. Meski belum siap 

    untuk panas yang meraba, mereka (pada akhirnya)

    terbenam di demam yang sama.

     

    2020

    Di Pesisir

    “Aku tak dingin.”

    Ia seperti berbisik, sedikit tersenyum.

    Gadis itu tak bicara banyak setelah dusun kosong 

    dan sepi seperti tiba dari zaman pertama.

     

    “Siapa yang kau kenang?” 

    “Mungkin tak ada. Atau mungkin ibu, mungkin juga rumah yang hangat.”

     

    Selepas bertanya, pria muda itu berhenti. Menunduk. 

    Ia, sebenarnya, tak terkejut.

    Ia coba bayangkan perahu

    dan warnanya yang tak menyatu

    di pantul sinar pada laut.

     

    “Lalu mengapa kita tak menebak…” tawar si gadis 

    “…apa yang datang setelah ini?”

    “Aku tak tahu,” jawab pria terpotong. Ia ragu, lalu melanjutkan: 

    “kukira satu yang akan datang: waktu pagi.”

     

    Memang benar, di pukul dua, ada ombak terdengar di hadapan, tapi tak penting.

    Ini hampir subuh. Dan mereka seolah 

    menjadi pasangan—yang juga tak penting. 

     

    Tapi mereka tak sadar.

    Mereka lupa: pada kekasihnya masing-masing.

     

    “Kita tebak gambar pasir.” 

    Pesisir gelap. Tapi mereka tak berhenti berandai.

    “Ada gambar ibumu, di sana, juga rumahmu.”

    “Kau salah. Keduanya tak di sana,…”

     

    Kali ini pria itu agak terkejut, ia salah.

    Di tepian, ia pelan-pelan sadar, ada yang tak ia pahami.

     

    “tapi keduanya di sana,” gadis itu menunjuk laut. Pungkasnya: 

    “di ombak yang kadang tenang, tapi sering kali deras (seperti angan).”

     

    Rokoknya disulut, pria itu—dan gadis itu— tak

    saling memandang. 

    Ada yang mereka tanyakan

    di batin masing-masing 

    tentang nama yang sama pendek

    dan potong-potong waktu (yang juga sama).

     

    “Aku tahu! Sekarang, waktumu menebak.”

    Meski tak berucap, sebenarnya mereka tahu. 

    Sebenarnya mereka sama-sama setuju.

    Tapi bersamaan, mereka memikirkan hal lain:

     

    Ibu dan rumahnya. 

    Nasib yang tak tampak.

    Dan satu lagi yang sama: kekasihnya masing-masing.

     

    2020

  • Yogyakarta sebagai Sumber Inspirasi Kreatif: Ketika Para Kreator Memosisikan Diri

    author = Redaksi Kibul

    Dipaparkan oleh Prof. Suminto A. Sayuti dalam Ceramah Literasi & Seminar Sastra pada hari Sabtu, 28 September 2019 di Hotel Melia Purosani Yogyakarta sebagai rangkaian acara Joglitfest.

    I
    bukan sanak bukan sahaya
    bila mati aku, ikut berduka

    kau menuding aku, aku menuding kau
    kau dan aku menjadi satu
    kerna dindingku, kerna dindingmu
    dari mana kita, dunia bersatu

    aku bukan aku, kau bukan kau
    kau dan aku mendinding batu
    kerna batuku, kerna batumu
    dari mana kita, tak pernah tahu

    II
    bukan sanak bukan sahaya
    bila mati aku, berlalu jua

    kau menuding aku, aku menuding kau
    kau dan aku menjadi seteru
    kerna dindingku, kerna dindingmu
    dari mana kita, dunia beradu

    kau bukan aku, aku bukan kau
    kau dan aku menuding batu
    kerna batuku, kerna batumu
    dari mana kita tak saling tahu

    III
    bukan sanak bukan sahaya
    bila mati aku, hilang jua

    kau menuding aku, aku menuding kau
    kau dan aku menjadi tugu
    kerna batuku, kerna batumu
    dari mana kita dunia beku

    kau tanya aku, aku tanya kau
    kau dan aku mendinding batu
    kerna batuku, kerna batumu
    dari mana kita, tak bakal tahu

    (puisi “Dinding-dinding Kota Yogya” 1974, dari: Langit Kelabu, Jakarta: Balai Pustaka, 1980: 52-53)

    1/

    Yogyakarta, dari kamar kos-kosan, rumah tinggal, kampung, desa, kota, hingga jalan, terminal, dan stasiunnya, berikut “suara-suara” yang tersimpan di dalamnya adalah sebuah lokus, lokalitas. Secara sederhana, lokalitas merupakan lingkungan, yakni apapun yang berada di
    sekeliling kita,[1]
    baik dalam sifatnya yang mitis, fisis, maupun psikologis; baik yang sifatnya
    natural, sosial, maupun kultural. Karenanya, tatkala
    kita menatapnya, kita
    pun menatap “tempat” kita hidup. Lalu, kita pun membuat jarak ontologis,
    membuat pembagian antara kita dengannya. Jarak ini penting dalam rangka pemahaman- dan realisasi-diri.

    Dengan jarak yang ukuran dan rentangnya
    kita tentukan sendiri, kita pun diharapkan tidak hanya mampu menatap“tempat”
    kita hidup dengan saksama, baik melalui tatapan visual maupun dengan tatapan
    emosional dan intelektual, tetapi juga mampu mendengarkan “suara-suara” yang tersimpan dan berasal darinya. Tanpa jarak ini, kita cenderung sudah merasa memahami “tempat/lingkungan” kita hidup dengan baik, dan bersamaan
    dengannya,
    sebenarnya, kita pun
    kehilangan kepekaan yang disebut sadar-tempat.
    Akibatnya lebih jauh, makna-tempat tercerabut dan terkeluarkan dari “bahasa-hidup” kita. Oleh karena itu, kemampuan mulat-salira dapat diperhitungkan
    sebagai upaya pemahaman-diri sekaligus sebagai modal  untuk manjing-kahanan: mencelupkan diri secara total ke dalam
    semesta lingkungan, ke dalam “tempat” kita hidup.
    Tercapainya pemahaman-diri secara baik membuat kita angrasawani
    merealisasikan diri dengan sikap penuh greget
    dan oramingkuh.[2]

    Apapun yang berada di sekeliling kita, atau apapun yang kita pilih menjadi
    tatapan kita, saling
    mencipta antara satu dan lainnya; kita saling menjadi bagian dengannya. Semua
    yang hidup menjadi tetangga. Manusia, tumbuhan, binatang, dan juga benda-benda, saling menjadi bagian: suket godhong dadi rowang, tidak dapat
    hidup sendiri-sendiri. Karena itu, perilaku budaya kita pun menjadi respons yang bertanggung jawab
    terhadap “tempat” kita hidup: perilaku budaya dan tempat kita merupakan loro-loroning atunggal yang tak
    terpisahkan antara satu dan lainnya, yang satu tidak dapat menjadi lebih baik
    tanpa kehadiran yang lain.

    Itulah gambaran ideal ketika manusia dan
    lingkungannya hidup secara harmonis: suatu keadaan yang dalam kehidupan yang
    makin industrial, robotik, dan konsumeristik sulit sekali ditemui kini. Dalam
    kaitan ini, pemahaman terhadap “tempat/lingkungan”
    kita hidup mampu membantu kita dalam pemahaman dan realisasi diri kita
    masing-masing, seperti dipertanyakan secara retoris oleh Gary Snyder (1995,
    seperti dikutip Dreese, 2002:1) dalam A
    Place in Space
    [3]:  bukankah tujuan semua hal dalam hidup adalah
    mencapai pemahaman-diri, mencapai realisasi-diri? Atau seperti dinyatakan
    Wendell Berry[4]:
    “untuk mengetahui siapa dirimu, ketahuilah pertama kali, di manakah kamu
    berada.”  Dari titik inilah, proses
    kreatif diberangkatkan.

    2/

    Disadari atau tidak, lingkungan tempat
    tinggal memang merupakan faktor yang memainkan peranan penting dalam
    mengkonfigurasi secara fisik, emosional, bahkan spiritual: siapakah kita.
    Kesadaran kita berkembang dalam, dengan,
    dan melalui “tempat/lingkungan” kita hidup, atau yang kita pilih menjadi
    lingkungan kita. Seseorang bisa saja sangat mencintai lingkungan
    tertentu, atau sebaliknya, merasakan terasing dalam kebersamaan dengan yang
    lain. Partikularitas tempat/lingkungan
    tertentu boleh jadi sangat berpengaruh terhadap situasi jiwani seseorang atau
    sekelompok orang.[5]

    Mungkin kita semua sering mengalami
    bagaimana partikularitas tempat/lingkungan tertentu membuat kita selalu krasan, selalu betah, selalu merasa at home.
    Bisa saja karena tempat itu memang selalu memberikan dan menyediakan ruang
    tertentu sehingga penghuninya selalu merasa “tercahayai.” Di antara kita mungkin merasakan hal
    semacam itu sebagai sesuatu yang misterius karena “perasaan betah di rumah”
    merupakan sesuatu yang kompleks dan memiliki banyak kaitan dengan faset-faset
    kehidupan lainnya. Sebagian dari kita tidak menyadari bahwa “suara-suara” lingkungan
    telah merasuk ke dalam jiwa, bahwa kita telah dipengaruhi oleh lingkungan dalam
    sejumlah cara, sementara sebagian yang lain sungguh-sungguh menyadarinya. Seorang kreator, sudah seharusnya selalu
    berupaya agar keberjagaan batin dalam bertegur-sapa dengan lingkungan dirinya hidup tetap terpelihara dengan baik. Jika hal
    ini mampu dilakukan, niscaya teks-teks kreatif ciptaannya akan mampu memberikan kontribusinya
    dalam merawat kehidupan.

    Kurangnya sikap “sadar-tempat” bisa saja
    disebabkan oleh kurangnya pengalaman tualang atau kembara ke luar sebagai
    tempat pembanding, di samping karena seseorang itu lahir dan dibesarkan tidak di tempat tinggalnya yang sekarang. Sebagian orang bisa saja belum memperoleh kesempatan untuk
    mengalami kehidupan di tempat yang tidak nyaman, atau tidak seperti rumah yang membuat penghuninya krasan. Oleh karena itu, pemahaman diri
    akan tercapai apabila pemahaman terhadap apa yang bukan-diri juga terjadi.
    Eksplorasi terhadap “wilayah-diri” dan “yang-bukan-diri” penting bagi
    pemahaman-diri secara lebih dalam. Ketika tempat tertentu telah mempengaruhi
    seseorang, ia pun akan merespons dalam kesesuaiannya dengan pengaruh itu,
    bahkan ketika hal itu tidak disadari.

    Ketika makna tempat terasakan dan
    tersadari sebagai faktor yang mempengaruhi setiap denyut keseharian hidup,  seluruh indera pun terlibat di dalamnya:
    melihat, mencecap, mendengar, atau merasakan berbagai hal di dalam tempat yang lazim disebut sebagai “rumah tinggal.” Oleh karena itu, “rumah
    tinggal”  tidak selalu berhenti pada
    makna fisikal, tetapi mungkin juga menjangkau makna yang bersifat mental,
    emosional, dan spiritual. Hanya saja, dalam
    hubungan ini lokalitas tertentu berikut budayanya bisa saja merupakan sesuatu
    yang terberi, sehingga perasaan at home
    menjadi susah tercapai. Pendek kata,  tempat/lingkungan merupakan sesuatu yang inheren dalam
    konfigurasi diri, komunitas, dan kehidupan secara holistik.

    3/

    Dalam hubungannya dengan hal yang telah
    dikemukakan, bagaimanakah “Yogyakarta” dan “ke-Yogyakarta-an” berikut varian-variannya telah, tengah, dan akan terus diperhitungkan sebagai “matriks”
    penciptaan teks-teks kreatif, sehingga melalui konversi dan ekspansi
    tertentu terhadapnya,
    sesuai dengan pilihan masing-masing kreator, ia hadir; seberapa jauh lanskap “ke-Yogyakarta-an” itu berposisi sentral demi menegaskan
    posisi kreator. Artinya, seberapa jauh para kreator telah, tengah, dan akan mengidentifikasi lanskap atau
    lingkungan “ke-Yogyakarta-an”
    sebagai elemen
    intrinsik teks-teks
    kreatif, demi
    proses konseptualisasi diri, baik melalui kanal mitis, fisik, maupun geografis-kultural. Atau, dalam pertanyaan yang lebih
    detil: bagaimana para kreator menyajikan lanskap “ke-Yogyakarta-an”; sikap seperti apakah yang
    direpresentasikan terhadap lanskap itu; adakah agenda sosio-politis atau etis
    di dalamnya; dan di atas itu semua, di manakah posisi kreator dalam relasinya dengan “ke-Yogyakarta-an”; bagaimana kreator berinteraksi dengannya, dan adakah
    konflik dalam interaksi tersebut.  Nah, puisi Linus Suryadi yang menjadi
    awal tulisan ini adalah contohnya. Hanya sebuah contoh. Karena, jauh sebelum
    era Linus, dan juga sesudahnya, banyak sekali teks-teks kreatif, baik yang
    berupa puisi, cerpen, novel, maupun naskah lakon, yang menempatkan Yogyakarta
    sebagai sumber inspirasi kreatif.

    Melalui pembacaan secara cermat
    terhadap teks-teks tersebut, kita pun memahami bahwa para kreator telah
    melakukan pemaknaan dalam proses kreatifnya, “ke-Yogyakarta-an”pun menjadi
    hadir tidak hanya dalam sifat mimesisnya, tetapi dalam sifat semiosisnya. “Ke-Yogyakarta-an” menjadi
    semacam skema atau matriks makna, yang kelengkapan maknanya dikreasi melalui
    varian-varian yang diwujudkan dalam berbagai perangkat pembangun teks
    kreatif sebagai sebuah jagat kemungkinan, dan “subjek-literer” pun berada di dan
    menjadi bagian dari lanskap dan suasana yang dihadirkan.

    Itu semua bisa
    terjadi jika dan karena para kreator telah “membaca-”nya dengan baik, membuat jarak, lalu
    membangun tegur-sapa resiprokal. Imajinasi yang baik memang sudah seharusnya
    bersandar pada realitas. Karenanya, bisa saja “ke-Yogyakarta-an” itu merupakan
    simbolisasi dari “agal-alus;
    landai-terjal” kehidupan kita semua. Ya, para
    kreator memang berkarya sendirian, berseteru dengan dirinya, dengan
    mesin tulis; tetapi hasilnya untuk orang banyak, untuk kita.

    4/

    “Ke-Yogyakarta-an” sebagai terminal keberangkatan
    perjalanan kreatif menyediakan banyak hal yang keputusan pilihannya bergantung
    kepada masing-masing
    kreator.
    Persoalannya, apakah para kreator sanggup
    hadir di dalamnya atau tidak. Mampukah para kreator membangun relasi dengan jarak tertentu. Mampukah para kreator membangun situasi tranpersonal
    dengannya. Apakah “ke-Yogyakarta-an”
    menjadi subjek utama dalam teks kreatif yang mereka ciptakan, atau menjadi semacam latar
    spiritual bagi subjek lain yang dihadirkan. Apakah subjek yang dihadirkan
    terhubung secara mitis, ontologis, ataukah fungsional dengan “keindahan”
    panoramik “ke-Yogyakarta-an”
    yang sekaligus
    mempengaruhinya. Atau sebaliknya, ketidakhadiran subjek/persona manusia secara
    eksplisit dalam teks
    kreatif
    dimaksudkan untuk menandai adanya keterpengaruhan itu, manusia lebur dalam
    semesta lingkungan, “ke-Yogyakarta-an” itu, dan pengaruh itu tidak hanya dirasakan
    dan disadari, tetapi juga dihayati. Persoalannya, benarkah keindahan “Yogyakarta” dalam teks kreatif bersifat nyata, atau ia hanya merupakan
    sesuatu yang dikehendaki untuk kembali ada, sebuah kerinduan nostalgik manusia
    ketika sebuah lingkungan yang telah mengkondisikannya selama ini telah musnah
    (telah menjadi masa lampau sejarah) karena berbagai sebab?

    Aspek-aspek “ke-Yogyakarta-an” bisa juga diperhitungkan
    secara spiritual, sebagai “gelaran” yang memancarkan kebajikan agung, dan
    mungkin, bersifat ilahiah. Bisa saja para kreator mengedepankan kepedulian yang besar
    terhadap aspek “ke-Yogyakarta-an”
    tertentu yang
    melaluinya dibangun hubungan dialektis dan resiprokal. Jika demikian, teks kreatif
    yang diciptakannya pun menjadi serupa gelaran harapan, doa, atau bahkan serupa ritual-literer dalam rangka mempertahankan keseimbangan,
    yang nilainya setara dengan ritual  seperti merti dusun, ruwat bumi, dan sejenisnya dalam
    budaya Jawa tradisional.  Itu semua tentu berangkat dari
    kesadaran bahwa, bagi para kreator, menyalahgunakan dan menyakiti “Yogyakarta” sebagai bagian dari “ibu-bumi” (ibu kita, ibu pertiwi)
    niscaya akan merusak keseimbangan: menyebabkan sakit dan derita, baik secara fisik maupun
    spiritual bentuk-bentuk kehidupan yang ada di dalamnya. Karena, keseluruhan yang hidup
    memiliki interdependensi dan keterhubungan. Maknanya lebih jauh, manusia akan mencapai kepenuhan
    eksistensinya ketika mampu memosisikan diri di dalam konteks lingkungan, “tempat” hidup kita menjadi bermakna karena kita mampu
    melakukan pemahaman- dan realisasi-diri.

    Pada sisi lain, teks-teks kreatif yang bermatriks “ke-Yogyakarta-an” menjadi terasa lebih bermakna manakala kekuatan deteritorialisasi menunjukkan dirinya dalam mendistorsi identitas, persona, dan makna dalam konstelasi kehidupan global: peminggiran dan pembiaran budaya tertentu tercerabut dan kehilangan kerangkanya sebagai bagian dari warisan kultural. Derivat makna literer sebenarnya dapat diposisikan sebagai benteng bagi datangnya kekuatan yang mendatangkan bencana kehilangan-diri, alienasi, dan ketercerabutan tradisi-tradisi kultural, sejarah, serta karakter lokal dan trans-lokal. Karena apa? Karena, teks kreatif merupakan responsi terhadap upaya pengasingan budaya yang dijajah. Ialah  dengan cara membangkitkan kembali atau memapankan kembali makna identitas kultural dalam dan lewat jagat kreatif. Dengan kata lain, teks kreatif yang berangkat dari “lokus” tertentu seperti “Yogyakarta” dapat pula dikatakan sebagai upaya reteritorialisasi, pembangkitan kembali identitas yang hilang dalam dan melalui refleksi nostalgik dan konstruksi literer: reteritorialisasi emosional dan intelektual. “Yogyakarta” sebagai lanskap bisa saja hadir secara metaforis. Kreator mengupayakan hidupnya sebuah teritori yang terletak dalam ruang liminal antara yang mitis dan yang biasa (keseharian). Mereka pun  mencoba mengintegrasikan kelampauan dan kekinian dalam teks kreatif untuk merekonsiliasikan “Yogyakarta” yang bersifat mitis/historis yang dirindukan dengan makna tempat kontemporer yang telah terdistorsikan. Semua itu dapat dimuarakan pada keyakinan bahwa “seseorang tidak akan pernah mampu kembali melalui sebuah pintu yang telah dilalui.” Tiap upaya memapankan kembali identitas historis yang diyakini merupakan sesuatu yang hakikatnya simbolik dan bukannya nyata. Merevitalisasi identitas melalui penciptaan teks kreatif sebenarnya sama dan sebangun dengan memformat basis identitas kolektif yang baru, dan hal itu sah adanya. Saya pun menulis puisi berikut ini, beberapa tahun yang lalu.

    Dari Bangsal Sri Manganti, Keraton Yogyakarta, Suatu Hari

    selesai Sembur Adas lalu Pathetan
    engkau pun ke pentas untuk sebuah peran
    hidup digelar lewat seblak sampur
    dalam irama Sampak dan kadang Tlutur

    (orang-orang berjajar sekeliling bangsal
    ada Jawa, Cina, Belanda, dan Portugal
    ada surjan, celana pendek, dan T-Shirt kumal
    ada wajah majikan, ada pula wajah gedibal)

    engkau pun memintal jarak lewat untaian gerak
    makna pun terurai dalam langkah-langkah gemulai
    cinta-birahi dan rindu-dendam kemanusiaan
    terhidang di tengah bingkai keindahan
    alun gending dan lembut tarian
    semua atas nama peradaban

    selesai Agun-agun lalu sembahan
    engkau pun turut bagi sebuah penantian
    sepotong kehidupan selesai dipanggungkan
    lalu Gangsaran

    (di ruang ganti itu engkau bertanya:
    manakah yang lebih indah
    lakon pethilan dan karawitan
    atau paha terbuka dan dada tanpa beha?)

    Yogyakarta, Mei 1995

    Catatan: Sembur Adas, Sampak, Tlutur, Agun-agun, dan Gangsaran adalah nama-nama Gendhing dalam Karawitan Jawa


    [1]Bandingkan dengan Wendell
    Berry, 1977. The Unsettling of America:
    Culture & Agriculture
    (San Francisco: Sierra Club Books) seperti selalu
    dirujuk oleh Donelle N. Dreesse, 2002. Ecocritisism
    (New York: Peter Lang Publishing, Inc.)

    [2] Dua di antara empat
    butir yang dirangkum dalam Falsafah Joget Mataram: sawiji, greget, sengguh, ora mingkuh.

    [3] Washington D.C.:
    Counterpoint.

    [4] Op.cit.

    [5] Dalam kaitan ini,
    kasus-kasus yang terkait dengan “perpindahan” seseorang atau sekelompok orang
    melalui program tertentu:  transmigrasi,
    pengapartemanan penghuni bantaran sungai di kota misalnya saja, menjadi perkara
    yang tidak mudah dilaksanakan/diselesaikan. 

  • Untuk Mereka Yang Akan dan Telah Menikah

    author = William Saputra

    Apa yang pagi hari berjalan dengan empat kaki, dua kaki di siang hari, dan tiga kaki di malam hari? Ini adalah teka-teki yang Sphinx berikan untuk Oedipus saat dia ingin membebaskan Theban. Begitu populer nya teka-teki ini, dan kiranya jawaban dari teka-teki ini adalah: “manusia”.

    Begitulah kiranya proses biologis yang dilalui semua orang: lahir, tumbuh, lalu meninggal. Namun, bagaimana tiap-tiap individu menjalani kehidupannya tentu akan sangat bervariasi. Setiap satu dari kita tentu melakukan, mengalami, dan merasakan hal yang berbeda dari satu dengan yang lainya. Secara spesifik, variasi ini akan sangat sulit dijabarkan, akan tetapi, ada sebuah proses yang dialami oleh orang-orang pada umumnya.

    Lahir dan tumbuh sebagai anak adalah hal pertama yang dialami. Setelah mulai bisa berjalan dengan dua kaki, kita bersekolah. Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan lalu Sekolah Tinggi. Untuk mereka yang kurang beruntung, mereka bisa langsung lompat; mereka tidak harus sekolah, sekolah, dan sekolah. Namun semuanya sama, setelah tidak bersekolah atau bersekolah satu, dua, maupun tiga –untuk bekerja– kemudian menikah dan melahirkan dan lalu membesarkan apa yang dilahirkan agar kemudian mereka bisa melahirkan anak-anak yang lain yang juga akan mengulangi proses ini berkali-kali. Terus berulang; lahir, sekolah, bekerja, menikah, melahirkan, membesarkan, setelah yang dilahirkan besar kemudian menikah dan ikut melahirkan dan membesarkan, yang lahir dari yang dilahirkan kemudian bersekolah, bekerja, menikah dan ikut melahirkan lagi, ad infinitum.

    Pernikahan adalah poros dari apa yang seharusnya dialami manusia semasa hidupnya. Tendensi untuk tidak memilih untuk menikah akhir-akhir ini mulai populer. Adalah sebuah kecenderungan bagi segelintir individu yang menganggap bahwa setelah menikah hidup mereka selesai. Mereka  bertanya: kenapa menikah? Seks adalah proses reproduksi alami yang bisa dilakukan tanpa menikah. Prostitusi juga bisa dijadikan tempat untuk memenuhi kebutuhan seks manusia. Belum lagi risiko gagalnya pernikahan. Perselingkuhan dan perceraian adalah hal yang sangat sering kita jumpai. Bahagia dengan hanya hidup bersama satu orang saja sampai akhir hayat juga sepertinya sangat sulit sekali. Segala hal pasti akan berubah seiring waktu. Begitupun isi hati manusia, sewaktu-waktu pasti akan berubah juga.

    Jika berbicara tentang pernikahan, pembahasan tentang cinta tidak boleh dilupakan. Memang jika ada sepasang manusia yang ingin saling mengikat hidup mereka satu sama lain, tidak hanya cinta yang dibutuhkan. Tapi, apakah adanya hal selain cinta, seperti surat nikah, harta, rumah, mobil, dan persetujuan orang tua, menjadi penentu adanya persatuan dua insan dalam hidup? Itu semua –harta, persetujuan, dan surat nikah– hanya means, sebuah cara untuk mencapai sebuah tujuan tertentu, bukan syarat utama. Saya jadi ingat Alm. Soebakdi Soemanto pernah berceletuk, saat sedang membahas kuliah Romeo & Juliet, bahwa jika memang mereka –Romeo dan Juliet– ingin menyatukan cinta mereka, mereka bisa meminta bulan menjadi saksi mereka.

    Mengapa pertanyaan: “Kenapa kamu cinta padanya?” hanya bisa dijawab dengan ketidakpastian, atau bahkan kebisuan? Kenapa ketika kita mencoba menjelaskan apa itu cinta, definisi yang kita pahami selalu terasa kurang? Tepat saat mengetik bagian ini, saya melihat di Line sebuah kutipan dari Wallace Stevens, begini bunyinya: “Seorang penyair melihat dunia sama dengan cara seorang pria memandang perempuan.”

    Mungkin kutipan di atas lebih lengkap jika pembaca memiliki situasi bahwa pria yang disebutkan di atas sedang jatuh cinta dengan perempuan yang dia pandang. Saya rasa apa yang sama dari dua fenomena itu dua-duanya merupakan hal yang bersifat estetis. Ciri utama dari segala sesuatu yang bersifat estetis adalah dia tidak bisa didefinisikan secara utuh. Hal ini disebabkan karena sesuatu yang bersifat estetis tidak pernah sama, atau synonymous, dengan apa yang ada, secara harfiah, di sekitar kita. Dengan mencoba mengasosiasikan pengalaman ini dengan ide yang telah kita ketahui –misal, dengan menyebut A baik, cantik/tampan untuk menjawab pertanyaan “kenapa saya mencintai A?”–, selalu ada perasaan bahwa ada yang kurang, bahkan ragu apakah ide yang kita gunakan benar atau tidak. Keraguan ini benar adanya karena estetika hanya bisa dirasakan lewat pengalaman subyektif, tidak pernah dengan reason. Paling maksimal, hal yang bisa dilakukan dengan reason dalam mendefinisikan pengalaman estetis adalah mencoba menjelaskan dengan menyebutkan apa yang tidak.

    Karena sifatnya yang ‘tidak pernah sama’ dengan hal lainnya yang ada di dunia, sifat lain yang utama dari cinta adalah romantis, atau idealistis. Segala sesuatu yang bersifat idealistis tidak akan pernah bisa secara utuh terealisasi di dunia luar, karena eksistensi mereka terikat di dalam pikiran untuk selamanya ada sebagai ide. Adalah pernyataan yang sulit disanksikan bahwa kisah-kisah romantis yang pernah ada, hanyalah ilusi-ilusi manis bila dibandingkan dengan kenyataan.

    Wilde pernah mengatakan bahwa esensi dari sebuah ke-romantis-an adalah ketidakpastian. Dan saat seseorang melamar pasanganya, di mana seseorang akan, dan kemungkinan besar, diterima, apa yang romantis akan hilang (Kecuali yang nge-lamar ngasal doanki.e. ga pake PDKT). Pernikahan menghasilkan kepastian si dia selalu bisa berada di sekitar kita. Ke-romantis-an dalam cinta bak bumbu utama dalam masakan. Setelah adanya kepastian, cinta bisa menjadi hambar, sehingga akhirnya perlahan bisa runtuh.

    Aldous Huxley dalam berbagai karyanya berulang-ulang menyebutkan bahwa salah satu sumber dari segala kemalangan yang harus dialami manusia adalah keliru menggangap apa yang merupakan means sebagai ends, apa yang hanya proses sebagai tujuan akhir.

    Mindset umum selalu menganggap demikian: cinta ada, atau bahkan hanya bisa ada, untuk pernikahan. Tanpa pernikahan, sepasang manusia bisa dicap zina. Akan tetapi kita semua selalu paham akan anggapan bahwa cinta adalah kondisi utama agar bisa terjalin persatuan dua insan yang bukan hanya dokumen belaka. Cinta adalah sebab dari pernikahan, tapi cinta tanpa pernikahan sangat dilarang. Lalu apa yang bisa dilakukan?

    Dengan menikah, sebuah pasangan biasanya akan selalu bersama sepanjang waktu. Dengan selalu bersama, biasanya hal-hal yang buruk akan muncul ke permukaan sehingga bisa menimbulkan kebencian dalam hati pasangannya. Nietzsche pernah mengatakan bahwa pernikahan yang ideal adalah di saat pasangan suami istri tidak tinggal seatap, sehingga mereka tidak perlu tahu hal-hal buruk yang bisa menimbulkan kebencian dalam hati masing-masing pasangan. Tapi, sebagian besar dari kita memilih untuk hidup bersama pasangan kita masing-masing, bahkan menganggap bahwa hidup bersama pasangan adalah sebuah pencapaian. Maka dari itu, menanggulangi munculnya kebencian yang berasal dari bersamanya dua insan sepanjang waktu adalah hal yang harus dipikirkan.

    Dalam filsafat jika berhadapan dengan masalah apa itu cinta, akan selalu diajukan pertanyaan soal apakah seseorang hanya mencintai apa atau siapa yang seseorang cintai dari pasangannya. Dalam pertanyaan ini, seseorang bisa dikatakan tulus mencintai, jika dia mencintai pasangannya seutuhnya –mencintai seseorang karena siapa dirinya sebagaimana apa adanya dia–, bukan tentang apa-nya, atau kualitas tertentu –kecantikan, kekayaan, kepintaran, dll.– yang ada pada diri orang lain. Solusi ini klise karena sudah diulang beribu-ribu kali dibanyak tempat –di televisi, di jejaring sosial, bahkan di percakapan-percakapan kita sehari-hari. Dengan menerima seseorang apa adanya kita bisa menanggulangi munculnya kebencian yang muncul dari hidup seatap.

    Seperti biasa, berkata selalu lebih mudah daripada berbuat. Masalahnya adalah pada saat ‘menerima seseorang apa adanya’ dianggap sesuatu yang statis –setelah kita anggap kita berhasil melaksanakannya dalam suatu saat tertentu, lalu mengganggap di setiap saat ke depan kita akan selalu bisa berhasil. Mungkin bisa kalau yang kita coba cintai adalah sebuah meja, atau durian –i.e.: benda mati yang signifikan karena dia memiliki fungsi. Kita harus selalu ingat bahwa yang kita hadapi adalah manusia –makhluk hidup yang senantiasa berubah.

    Untuk benar-benar mencintai seseorang apa adanya, kita harus menyadari bahwa yang sedang kita hadapi adalah manusia. Karena manusia pasti akan terus berubah, maka perlakuan dan persepsi kita harus menyesuaikan. Persepsi dan perlakuan kita harus selalu ikut berubah –selalu sebagai sebuah proses yang tidak pernah selesai.

    Lalu apa yang akan terjadi saat seseorang berhasil menerima pasangannya sebagaimana diri adanya? Pernikahan adalah poros dari apa yang seharusnya dialami manusia semasa hidupnya. Setidaknya setelah berhasil menerima pasangannya sebagaimana dirinya, seseorang bisa memiliki keluarga yang bahagia. Setelah memiliki keluarga yang bahagia, hidup akan terasa indah dan segalanya akan mengikuti.

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

  • Tren Astrologi yang Tidak Pernah Mati, dan Bisnis yang Itu-itu Saja

    author = Muhammad Lutfi

    Hayoo, sudah berapa tulisan-tulisan tentang zodiak yang kalian baca hari ini di media sosial? Sudah merasa beruntung atau tetap saja ditimpa kesialan? Sudah merasa cocok dengan pasangan, atau malah sadar kalau hubungan kalian tidak akan lama? Rezeki kapan turunnya, padahal tiap hari katanya beruntung terus. Ya, demikianlah, ternyata kita tida tidak bisa melepaskan belenggu kecemasan kita pada masa depan, dan betapa kita tidak mengenal diri kita lebih baik dari ramalan-ramalan zodiak. Ironisnya, keberuntungan ternyata malah dikeruk oleh para penjaja kata-kata zodiak, yang mengaku astrolog bahkan tanpa sertifikat dan referensi yang akurat.

    Tidak bisa dipungkiri lagi, fenomena ramalan zodiak di media sosial adalah lompatan kijang untuk mendapatkan follower yang banyak. Tidak penting seberapa tepat ramalan itu, karena berawal dari kontroversi, setiap orang akan tertarik dan kemudian mengafirmasi. Pasalnya, bisnis yang dilakukan nampak tidak ada perkembangan dan berkutat pada hal itu-itu saja: paid promote, endorsement dkk. Itulah mengapa, astrologi di Indonesia jarang sekali dibahas secara serius dan mendalam, dan melulu pada topik-topik keseharian yang mungkin relate pada beberapa orang. Sementara itu, astrologi sebagai ilmu masih jauh dari kata tuntas diketahui khalayak luas.

    Bahkan dalam penggunaan istilah, seringkali para copywriter (ya, karena kebanyakan hanya copas dari tulisan-tulisan yang sudah ada) salah kaprah. Zodiak yang ditulis mereka berdasarkan tanggal dan bulan lahir itu merupakan sun sign. Zodiak adalah 12 simbol dari mitologi Yunani, dan dalam pemaknaannya harus ditandai pada planet-planet yang melingkupinya.  Misalnya, zodiak gemini pada tanda matahari, zodiak virgo pada tanda bulan, venus, mars, merkurius dan blah, blah blaaaah. Ini perkara yang sangat elementer, dan belum berubah sampai hari ini. Itulah mengapa, di Indonesia pembahasan hanya sekadar menyangkut tanda mataharinya, tidak mengaitkan pada tanda bulan, dan planet-planet yang lainnya. Astrologi memang sangatlah rumit, namun terlihat begitu sepele ketika masuk ke budaya populer kita, karena ya memang, cuma untuk dapat follower dan cuan dari endorse-an.

    Di India, ada beberapa sekolah yang membahas tentang astrologi, sebut saja Institute of Vedic Astrology yang mempelajari, palmistry, tarot dan astrologi. Oxford juga membuat summer school di Faculty of Astrological Studies, yang akan memfasilitasi peserta untuk menjadi astrolog profesional. Di Indonesia? Ada yang mengaku ahli astrolog hanya gara-gara live di youtube dengan artis-artis dan populer di Instagram, pembahasannya tidak lebih dari sekadar kecocokan baju bagi setiap zodiak (baju endorse-an). Dari fenomena ini, kita bisa melihat bagaimana kebudayaan populer menggerus akar tradisi keilmuan. Popularisme telah menjadi nabi bagi setiap insan. Dan popularisme adalah obat sekaligus racun bagi setiap kecemasan. Hari ini kecemasan kita telah dikapitalisasi oleh astrologi populer khas Indonesia, yang selalu membuang aspek-aspek keilmuan dari akarnya, agar mudah dikunyah dan menjadi tai massa.

    Bisnis yang itu-itu saja, membuat astrologi di Indonesia jalan di tempat. Pembahasan astrologi di rubrik pun hanya sekadar pancingan untuk masuk ke halaman dan meng-klik iklan. Karena bisnis tetap berjalan, walau dengan cara yang membosankan. Di mana Ptolemy pernah dibahas? Padahal bukunya yang berjudul tetrabiblos menjadi tonggak pondasi astrologi. Di mana Carl G. Jung ditempatkan? Padahal di dalam seminarnya, Jung membahas keterkaitan astrologi dengan psikoanalisis, dan menjadi pedoman dalam konsultasi astrologi sampai hari ini. 

    Bisnis astrologi ini bisa jadi akan nampak begitu berbahaya dampaknya, jika dijadikan satu-satunya pedoman hidup karena sedikit demi sedikit telah menyerang alam bawah sadar kita. Keilmuan yang belum tuntas dalam pembahasannya, mengakibatkan diagnosa-diagnosa ngawur yang malah menambah kecemasan massa. Bukan hanya karena terkenal, seseorang bisa menjadi astrolog. Coba bayangkan, betapa banyaknya astrolog-astrolog kecil hari ini, yang bisa membaca karaktermu, walau hanya berpedoman postingan di Instagram. Lalu, bukan berarti bahwa kita harus membuang astrologi di dalam kehidupan dan mementahkannya, tapi alangkah lebih bijak para konten kreator akun-akun perzodiakan belajar secara serius tentang membuat interpretasi astrologi dari buku-buku atau kursus online. Sebagai salah satu cabang keilmuan tertua di dunia, astrologi tidak seremeh yang kita kira.Astrologi merupakan kombinasi dari filsafat, astronomi, psikologi dan seni nampak tidak pernah dibahas tuntas. Mungkin karena cabang-cabang tersebut tidak akan populer dan memiliki kerumitan luar biasa, sehingga setiap orang mencari jalan mudah dengan tulisan-tulisan ngawur tanpa landasan. Jadi jangan salahkan setiap orang yang menganggap bahwa astrologi merupakan barnum effect, karena data-data empiriknya tidak pernah dikupas mendalam. Dan yang senyatanya adalah, astrologi di Indonesia adalah makanan empuk untuk setiap konsumen yang butuh konspirasi dan cocok-cocokan, karena sebuah kepastian rasanya begitu menyesakkan. Akan tetapi, di balik itu semua, membaca ramalan zodiak di media sosial dapat membuatmu tenang dus menghiburmu dari peliknya masalah kehidupan dan politik nasional. Apalagi, di masa pandemi ini, mungkin kita memang membutuhkan sebuah harapan, meski nyalanya samar-samar.

  • Transendensi Eddie

    author = Aryo Jakti Artakusuma

    Semua bermula saat saya masih SMP, saya membeli CD mp3 bajakan di trotoar Jalan Soeprapto, pusat Kota Bengkulu seharga lima ribu, CD mp3 berisikan lagu-lagu tersohor dari band-band rock legendaris. Di dalamnya terdapat satu bagian berisi kompilasi lagu Van Halen. Saya lupa lagu apa saja yang ada dalam kompilasi tersebut, yang jelas ada Jump, Panama, Hot for Teacher, Ain’t Talkin’ Bout Love, dan Eruption. Ain’t Talkin’ Bout Love adalah lagu pertama di track itu, akan tetapi, ketika sampai pada lagu kedua, Eruption, saya dibuat kaget, tercengang kagum. Komposisi gitar berdurasi 1 menit 42 detik itu adalah kreasi dari seorang virtuoso, seorang vandalis, seorang mad scientist, seorang nabi, seorang inovator, seorang jenius; Eddie Van Halen, EVH, atau Eddie.

    Eruption adalah sebuah lagu yang mentransformasikan musik dan gitar ke sebuah dimensi baru yang belum pernah ada. Eddie adalah figur transenden yang membawa orang-orang untuk main mata lagi dengan gitar sebagai inti musik rock. Rock dan gitar yang tadinya tersapu oleh disko menyeruak kembali, ketika Eddie memuntahkan Eruption semua orang tersentak, ingin mengikuti jejaknya; memainkan gitar dengan tapping ciamik. Silakan anda dengarkan dan tanyakan ke semua gitaris Hair Metal 80an, semuanya punya satu kesepakatan, Eddie telah membuatkan mereka jalan untuk melaju.

    *

    Edward Lodewijk Van Halen, lahir di Nijmigen, Belanda pada 26 Januari 1955 dari ayah bernama Jan Van Halen yang orang Belanda, dan ibu bernama Eugenia Van Beers seorang Indo dari Rangkasbitung. 1962 mereka bermigrasi ke Pasadena, California untuk mengejar American Dreams. “Kami hanya membawa 50 dollars dan sebuah piano. Aku hanya bisa mengucapkan beberapa kata dalam Bahasa Inggris ketika pertama kali sampai ke sini,” kata Eddie

    Awal menjejakkan kaki di tanah impian, Jan Van Halen yang memang seorang musisi profesional mengambil kerja sambilan sebagai tukang cuci piring dan Eugenia menjadi pembantu rumah tangga. Sementara Eddie dengan kakaknya Alex Van Halen, yang memang sudah mengenyam pelajaran piano klasik di negeri oranye akhirnya tumbuh, bergaul, dan tenggelam di lingkungan rock and roll West Coast akhir 60an. Eddie dan Alex kemudian bersekolah di Pasadena City College. Di sana Eddie bermain gitar dan Alex bermain drum, juga mengambil les piano. Mereka bertemu David Lee Roth, membentuk Mammoth, dan Eddie menukar drumnya dengan gitar Alex. Teisco Del Rey adalah gitar pertamanya, dibeli seharga 110 dollars. Mammoth melengkapi formasinya dengan merekrut seorang bassis bernama Michael Anthony dari band lokal bernama Snake. Mereka akhirnya malang melintang di skena rock Pasadena, manggung membawakan materi David Bowie, The Rolling Stones dan banyak lainnya, juga mulai menulis lagu dengan gaya mereka. Dalam masa itu Eddie juga telah memainkan gitar rakitannya sendiri, dikenal dengan nama Frankenstein, ber-body merah penuh dengan coretan garis silang hitam putih. Tiga tahun mereka bermain di gigs sekitaran Pasadena, Hollywood, Santa Barbara secara rutin sampai akhirnya membangun reputasi sebagai salah satu penampil paling populer di California Selatan.

    Suatu ketika, Gene Simmons, bassis Kiss datang dan menyaksikan mereka manggung di Starwood Club, Los Angeles. Simmons yang kepicut dengan aksi ciamik mereka pun menawari untuk rekaman beberapa lagu. Setelah selesai menerima bantuan tersebut, major label tak kunjung datang untuk meminta Van Halen menandatangi kontrak album. 1977, Ted Templeman seorang produser dari Warner Brothers menyaksikan aksi panggung Van Halen di—lagi-lagi—Starwood. Ia terkesima melihat aksi gila Roth dan eksplosifnya Eddie Van Halen dalam bermain gitar. Ted langsung memberi tahu supremo Mo Ostin untuk segera mengontak mereka, dan kesepakatan tercapai, kontrak ditandatangani, Van Halen menggarap album pertamanya dan merilis album debutnya di tahun 1978, sensasional, laku 12 juta keping dan membuat semua anak di Amerika ingin menjadi gitaris. Album pertama yang langsung melesatkan Van Halen itu menjadi tajuk hangat dalam ranah industri terutama rock yang kemudian diikuti dengan peluncuran album Van Halen II selang setahun, Women and Children First di 1980, Fair Warning pada 1981.

    Setelahnya Van Halen merilis album terbaik mereka bertajuk 1984 di tahun yang sama. Album tersebut memuat satu lagu kolosal berjudul “Jump”. Lagu ini tak hanya menjadi lagu satu-satunya dari Van Halen yang menduduki puncak Billboard 100, tapi juga berhasil mendobrak skena rock dan heavy metal saat itu. Jump keluar dari standar bagaimana lagu rock heavy metal dimainkan, Eddie sebagai pencipta lagu ini menggunakan synthesizer sebagai instrumen melodi utama alih-alih gitar yang sudah jadi karakter dan pakem utama. Lagu ini dibuat Eddie dengan piano lalu ditranskrip ke gitar, power chord yang disematkan Eddie di synthesizer tersebut adalah adaptasi ia terhadap gaya permainan gitarnya yang masif dan distorsif laiknya karakter Heavy Metal. Dari semua hal tersebut pada akhirnya lahirlah “Jump” yang intro keyboardnya sangat ikonik itu.

    Pada 1983, Eddie pernah dimintai mengisi bagian solo lagu hits besar Michael Jackson yang berjudul “Beat It”. Ia menyanggupinya, dan semua orang tahu Eddie melakukan itu dengan cuma-cuma. “Tidak ada yang perlu dipermasalahkan, rekaman itu cuman menyita 20 menit dari hidupku,” kata Eddie.

    Pada puncak karir itu, Van Halen mengalami beberapa masalah serius, yang paling tersohor tentunya adalah keluarnya vokalis mereka David Lee Roth untuk mengejar solo karir pada 1985, namun hal itu tak berlangsung lama, ketiga personel yang tersisa langsung merekrut Sammy Hagar dan langsung tancap gas menggarap album dan merilisnya pada tahun 1986 dengan tajuk “5150” diambil dari nama studio rekaman Eddie. Album itu langsung bertengger di posisi puncak Billboard 200 selama 4 minggu berturut-turut. OU812 di tahun 1988, F.U.C.K alias Far Unlawful Carnal Knowledge tahun 1991 adalah album-album multi-platinum selanjutnya dari era Van Hagar, mereka juga sempat merilis album live berjudul Right Here, Right Now tahun 1993 sebelum akhirnya band ini ribut dan Hagar cabut untuk bersolo karir juga. Mereka sempat merilis satu album dengan Gary Cherone, namun tak sukses seperti sebelumnya. Perseteruan antara Eddie dan personel lainnya adalah pemandangan lain dari kacaunya internal Van Halen, namun semua itu tak bisa menutup karir dekoratif mereka terutama Eddie sebagai identitas utama band ini. Tahun 2008 Van Halen masuk dalam Rock and Roll Hall Of Fame, merilis album baru berjudul A Different Kind of Truth di 2012 dengan formasi Eddie, Alex, Roth dan anak Eddie, Wolfgang Van Halen di posisi bass.

    *

    Eddie adalah seorang yang telah berhasil mengubah musik secara gamblang. Tak ada yang dapat menampik kejeniusannya yang sukar dilogika: Eddie adalah seorang otodidak yang dapat bermain apapun. Ia tak mampu membaca partitur namun dapat bermain piano klasik.

    “Eddie dapat menghasilkan groove terbaik dan punya bakat melodius, ia mempopulerkan gitar Kembali setelah gitar disapu oleh instrumen lain dan kalah popular. Membuat gentar gitaris lain serta juga mempengaruhi banyak orang untuk memainkan dan mencintai gitar,” kata gitaris ternama, Joe Satriani.

    Kepengaruhan dan kesuksesan Eddie akhirnya menempatkan namanya sejajar dengan Eric Clapton dan tentunya Jimi Hendrix, laiknya dua orang itu, Eddie juga mengubah seutuhnya bagaimana imajinasi di dunia musik bekerja.

  • Tiada Lagi Haji yang Berlabuh di Pantai Ini

    author = Nanda Ghaida

    Kendati telah di-Islam-kan sejak awal abad ke-16, tren haji di Lombok baru dimulai pada abad ke-18. Seiring dengan menebalnya keimanan, juga keingintahuan yang besar terhadap tanah suci, perjalanan berbulan-bulan lewat laut—lengkap dengan segala resikonya—tidak mengurungkan niat umat Islam di Lombok untuk menginjakkan kaki di Mekkah.

    Dikenal dengan sebutan Pulau 1000 Masjid, begitulah gambaran besarnya pengaruh Islam di pulau kecil ini. Tahun ini saja Bandara Internasional Lombok menerbangkan 4.476 haji yang berasal dari seluruh Nusa Tenggara Barat (NTB). Meski begitu, tidak banyak tersedia catatan mengenai perjalanan haji orang-orang Lombok lewat jalur laut.

    Umumnya, perjalanan haji pertama dari Lombok bermula dari sebuah tempat di Kabupaten Lombok Timur. Dahulu, calon jamaah haji dari Lombok dan wilayah lain di NTB berkumpul di wilayah itu. Mereka mendirikan tenda di tanah lapang, sekitar 1 km dari dermaga. Kapal-kapal yang akan membawa jamaah menuju pelabuhan embarkasi haji pemerintah, berlabuh sekitar 300 meter dari bibir pantai. Untuk mencapai kapal, perlu menggunakan alat semacam sekoci besar bernama blungku berbentuk “U”.

    Berdasarkan ordonasi haji tahun 1922, pelabuhan embarkasi yang ditetapkan pemerintah Hindia Belanda ialah Makassar, Surabaya, Tanjung Priok, Emena, Palembang, dan Sabang. Oleh karenanya, semua jemaah haji asal Lombok harus terlebih dahulu menuju ke pelabuhan-pelabuhan itu jika ingin berhaji dengan kapal yang disediakan pemerintah. Kendati bukan pelabuhan resmi untuk berhaji, seluruh calon jamaah haji Lombok dan NTB selalu berkumpul di dermaga itu. Mungkin karena itulah nama pantai dan kecamatan di daerah itu disebut Labuhan Haji.

     

    Tahun 1930an, 6 Bulan di Laut, 5 Bulan di Darat

    Walau tidak banyak keterangan mengenai Labuhan Haji, saya cukup beruntung bisa bertemu dengan Zaitunil Zarkiyah (saya memangilnya Umi), seorang hajah yang bisa memberikan gambaran tentang keberangkatan haji jalur laut. Ingatannya tumpah ruah ketika saya memintanya untuk menceritakan tentang prosesi haji kakek, ayah, dan dirinya.

    Generasi pertama yang berhaji di keluarganya adalah kakeknya yang bernama H. Lalu Abdul Wahab, seorang petani padi di Desa Ketara, Lombok Tengah. Umi tidak begitu ingat berapa biaya pastinya yang dikeluarkan kakeknya saat berhaji di tahun 1936. “Uangnya kepingan bolong-bolong, ada gambar perempuan Belanda, semua dimasukkan ke pundi-pundi, ada sekitar dua pundi. Itu setara harga 30 kerbau,” terangnya.

    Setelah terbukanya Terusan Suez, pemerintah Hindia Belanda memang mengambil keuntungan untuk mengatur transportasi dan segala tetek bengek lainnya dalam ordonasi haji sehingga biaya menjadi lebih mahal daripada saat sebelum ordonasi haji dibuat. Dalam bedevaartverslag (arsip Konsulat Belanda di Jedah), biaya minimal berhaji di tahun 1931-1939 berkisar f 570 dan biaya tertingginya mencapai f 856,50. Biaya yang diatur oleh pemerintah kala itu mencakup tiket kapal haji,  upacara pemberangkatan, serta perjalanan menuju pelabuhan embarkasi haji. Biaya itu juga termasuk pengeluaran di luar negeri, seperti ongkos transportasi di Arab yang meliputi sewa unta, sewa penginapan di Mekkah, ziarah ke Madinah, dan konsumsi selama di Mekkah untuk lima bulan.

    Menurut keterangan Umi, waktu tempuh pelayaran menuju daratan Arab dari Lombok saat itu adalah tiga bulan. Setelahnya, jemaah menunggang unta sewaan dari Jedah-Mekkah-Madinah (juga sebaliknya) yang memerlukan waktu tempuh sebulan untuk perpindahan dari satu kota ke kota lain, sehingga estimasi waktu yang dihabiskan untuk prosesi haji kala itu adalah lima bulan. 6 bulan di laut, 5 bulan di darat, adalah total waktu berhaji dari Pantai Labuhan Haji sampai kembali lagi. Nyaris setahun.

     

    Yang Hilang dari Haji Dulu: Barokahnya!

    Biaya yang tidak sedikit dan waktu yang panjang untuk berhaji membuat jamaah perlu menyiapkan proses keberangkatan haji dari jauh hari. Jumlah jamaah yang mampu pergi haji di tahun 1930-an hanya berkisar satu orang di setiap dua desa. Jumlah yang sangat sedikit jika dibandingkan sekarang. Tapi, dalam perihal persiapan keberangkatan haji, hampir semua orang di desa terlibat untuk membantu dengan sukarela.

    Soal perbekalan, setidaknya sejak tiga bulan sebelum keberangkatan, warga desa datang nyaris setiap hari ke rumah calon jemaah haji untuk membantu memanen padi yang kemudian disimpan selama sebulan sebelum diolah menjadi nasi kering dan kue poteng, panganan sejenis uli, campuran dari beras, ketan, dan kelapa yang awet sampai setahun. Bekal-bekal itulah yang kelak akan dikonsumsi di kapal selama perjalanan.

    Resiko untuk tidak kembali ke tanah Lombok selalu ada. Itu pula yang menjadi alasan kenapa para jemaah dilepas sedemikian meriah. Sebelum berangkat, selama sembilan hari lamanya, warga mengadakan ziarah di rumah jamaah haji. Doa-doa, salawat barzanji dan sarakalan dipanjatkan. Harapannya agar haji berjalan lancar dan jamaah dapat kembali dengan selamat.

    Saat hari keberangkatan, semua keluarga jemaah lengkap dengan masyarakat di desanya ikut melepas di dermaga. “Satu orang yang berangkat, satu desa yang mengantar,” kata Umi. Tambahnya, mereka semua memakai atribut serba putih, dan satu hal yang tidak luput adalah kipas warna-warni yang dihias agar lambaian tangan mereka tetap tampak meski kapal sudah jauh melaju dari dermaga.

    Normalnya, ketika cuaca sedang baik, seorang yang pergi berhaji akan pulang di musim haji selanjutnya. “Kakek pun begitu, ketika dia pulang, orang-orang di sini sudah mau berangkat haji lagi, setahun sudah,” kenang Umi. Begitu sampai di Lombok, penyambutan haji-haji baru juga dilakukan dengan amat meriah. Uniknya, saat itu haji ‘dikarantina’ dengan ditempatkan di sebuah rumah khusus yang didesain serba putih—mirip dengan kamar pengantin—untuk haji melakukan paosan, pembacaan kitab-kitab dari lontar dalam bentuk tembang macapat untuk mendalami ilmu makrifat.

    Selain itu, di rumah haji juga kembali dilakukan sarakalan dan barzanji sembilan hari lamanya. Orang-orang berdatangan dengan membawa makanan dan mereka dijamu dengan kurma dan air zam-zam. Meski tidak ikut pergi berhaji, kedatangan haji di desa mereka membuat suasana haji ikut dirasakan warga desa yang lain. “Udah nggak kita rasakan lagi seperti itu, kalau sekarang, haji kayak nggak ada barokahnya. Semua berangkat dan pulang sendiri-sendiri,” tutup Umi.

     

    Labuhan Haji, Riwayatmu Kini

    Setidaknya hingga tahun 1974, aktivitas pengangkutan jamaah melalui dermaga Labuhan Haji berjalan sebelum akhirnya pelayaran haji laut dihentikan saat PT. Arafat dinyatakan pailit. Masyarakat Lombok pun beralih menggunakan jalur udara untuk berhaji.

    Meski begitu, rombongan tersebut tidak terbang langsung dari Lombok, tetapi lewat embarkasi haji di Bandara Juanda, Surabaya. Dari Lombok, jamaah haji termasuk ayahnya Umi, tetap berangkat dari pelabuhan, meski bukan dari Labuhan Haji, melainkan dari Pelabuhan Lembar.

    Pengalihan Labuhan Haji ke Pelabuhan Lembar bukan tanpa alasan. Meski telah menjadi pelabuhan yang memberangkatkan hingga ribuan jamaah haji Lombok dan NTB, pada akhir 60-an labuhan ini mulai ditinggalkan dan dinilai kurang cocok sebagai pelabuhan karena kurang kedalaman lautnya.

    Ali Bin Dahlan, Bupati Lombok Timur periode 2003-2008, sempat berencana mengaktifkan kembali Labuhan Haji sebagai pelabuhan untuk mengangkut sapi-sapi ke Australia, juga untuk pengangkutan pupuk dan semen. Hanya sayang, selepas periodenya berakhir, bupati penggantinya tidak meneruskan program itu. Labuhan yang pernah menjadi saksi keberangkatan ribuan haji itu kini tampak penuh karat dan tidak terawat.

    Kini, setelah Ali Bin Dahlan terpilih kembali menjadi Bupati Lotim untuk periode 2013-2018, program revitalisasi Labuhan Haji mencuat kembali. Konon anggarannya mencapai Rp. 30 milyar.

    Meskipun kelak pembangunan selesai dan  pelabuhan bisa dioperasikan, belum ada yang mewacanakan untuk mengembalikan hiruk-pikuk Labuhan Haji seperti sedia kala. Labuhan Haji, pada akhirnya, hanya menjadi sebuah kenangan yang akan diwariskan pada anak cucu tentang leluhur yang mampu menyempurnakan agama meski terbentang laut ribuan kilometer. Kini tiada lagi haji yang berlabuh di pantai ini.

     

     

    Sumber referensi:

    Historiografi Haji Indonesia. 2007. M. Shaleh Putuhena.

    Pelayaran Angkutan Jamaah Haji di Hindia Belanda (Tahun 1911-1930). 2016. Ahmad Fauzan Baihaqi

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi