Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

1984 dan Puisi-puisi Lainnya

author = Edwin Anugerah Pradana

Prosesi

Di perahunya, para nelayan 

menerka langit yang membutir

dan mendung muncul 

dengan pola rosemari.

 

Tak banyak potret yang tertangkap:

mata mereka terarah di joran patah,

kail dengan bau asma, diesel yang lengah

dan suara batuk mengerap.

 

“Kembalikan saja jiwa kami…”

Di prosesi itu, mereka nyanyikan 

lagu takut yang lepas dari jaring. 

 

“Kembalikan saja jiwa kami,

jika surga sepi

dan neraka mungkin kita kenali.”

 

2020

1984

I

“Mengapa kita tak jujur, Winston?”

Julia seperti bertanya 

dari arah dipan 

dengan nyeri di 

negeri yang maklum.

 

Mereka tata berahi, di ruangan itu.

 

II

Sementara di luar, 

kota memasang dua sayap 

bendera partai 

dalam sebongkah lahan yang penuh

tapi mati. 

 

Ada yang mati

yang mati, 

yang jujur

 

III

Lewat jendela, matahari 

mengincar sepasang

pemberontak dengan

wajah dop itu.

 

Ada kalanya, mereka 

istirahat dari 

takut di kerumunan.

 

Derit dipan, 

samar bohlam, 

suara yang dijemput anak-anak tangga. 

 

IV

Tapi berahi, mereka susun, 

dari langkah-langkah

para prol dan apek desa.

 

Cinta yang diiringi 

seorang penunggu

dengan mimik bernuansa

museum-seorang pria dengan 

senyum lokal. 

 

Cinta yang mereka lelehkan

di tubuh bom dan trauma.

 

V

Ia ulang itu, pintu yang menggambar

warna-warna tentara. Takut yang tumbuh

dan mengencangkan gempa 

di udara mereka berdua.

 

VI

Ungu, atau biru, warna pejalan

dari jauh mereka tebak 

sedang menggusah lapar

di bintang mati.

 

Kini mereka makin takut. 

Kini trauma menusuk. 

Kini, desah mereka 

adalah bayang-bayang

bom dan parit-parit Oceania. 

 

VII

“Mengapa kita tak jujur, Julia,

pada mata tuhan

yang palsu, juga

kepada batukku yang

lembab saat kita

bersentuhan pada ritus pertama?”

 

VIII

Winston bayangkan itu, sesaat 

sebelum waktu mencegahnya

dari malam yang putih, dari

hari yang terpasang 

di frasa sabotase.

 

IX

Lalu nama kita tak dieja lagi.

 

“Mari kita selesaikan 

cinta ini, mabuk ini, takut ini

dengan lenguh yang sirene 

dan nafas yang patuh.”

 

Sebab mereka, tak bisa mengeja lagi.

 

2020

Setelah Panas

Di depannya retakan tanah kering: 

tempat capung membawa 

kabar bahwa telah lama

tak ada yang melintas di halaman.

 

Di sekitar, ada bau

kemarau yang telanjang.

Dan debu pagar menindih

karat seolah karang.

 

Kusesap warna 

yang mencair

di ornamen tubuhmu.

 

Ia katakan itu. Meski belum siap 

untuk panas yang meraba, mereka (pada akhirnya)

terbenam di demam yang sama.

 

2020

Di Pesisir

“Aku tak dingin.”

Ia seperti berbisik, sedikit tersenyum.

Gadis itu tak bicara banyak setelah dusun kosong 

dan sepi seperti tiba dari zaman pertama.

 

“Siapa yang kau kenang?” 

“Mungkin tak ada. Atau mungkin ibu, mungkin juga rumah yang hangat.”

 

Selepas bertanya, pria muda itu berhenti. Menunduk. 

Ia, sebenarnya, tak terkejut.

Ia coba bayangkan perahu

dan warnanya yang tak menyatu

di pantul sinar pada laut.

 

“Lalu mengapa kita tak menebak…” tawar si gadis 

“…apa yang datang setelah ini?”

“Aku tak tahu,” jawab pria terpotong. Ia ragu, lalu melanjutkan: 

“kukira satu yang akan datang: waktu pagi.”

 

Memang benar, di pukul dua, ada ombak terdengar di hadapan, tapi tak penting.

Ini hampir subuh. Dan mereka seolah 

menjadi pasangan—yang juga tak penting. 

 

Tapi mereka tak sadar.

Mereka lupa: pada kekasihnya masing-masing.

 

“Kita tebak gambar pasir.” 

Pesisir gelap. Tapi mereka tak berhenti berandai.

“Ada gambar ibumu, di sana, juga rumahmu.”

“Kau salah. Keduanya tak di sana,…”

 

Kali ini pria itu agak terkejut, ia salah.

Di tepian, ia pelan-pelan sadar, ada yang tak ia pahami.

 

“tapi keduanya di sana,” gadis itu menunjuk laut. Pungkasnya: 

“di ombak yang kadang tenang, tapi sering kali deras (seperti angan).”

 

Rokoknya disulut, pria itu—dan gadis itu— tak

saling memandang. 

Ada yang mereka tanyakan

di batin masing-masing 

tentang nama yang sama pendek

dan potong-potong waktu (yang juga sama).

 

“Aku tahu! Sekarang, waktumu menebak.”

Meski tak berucap, sebenarnya mereka tahu. 

Sebenarnya mereka sama-sama setuju.

Tapi bersamaan, mereka memikirkan hal lain:

 

Ibu dan rumahnya. 

Nasib yang tak tampak.

Dan satu lagi yang sama: kekasihnya masing-masing.

 

2020