Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Edwin Anugerah Pradana
Di perahunya, para nelayan
menerka langit yang membutir
dan mendung muncul
dengan pola rosemari.
Tak banyak potret yang tertangkap:
mata mereka terarah di joran patah,
kail dengan bau asma, diesel yang lengah
dan suara batuk mengerap.
“Kembalikan saja jiwa kami…”
Di prosesi itu, mereka nyanyikan
lagu takut yang lepas dari jaring.
“Kembalikan saja jiwa kami,
jika surga sepi
dan neraka mungkin kita kenali.”
2020
I
“Mengapa kita tak jujur, Winston?”
Julia seperti bertanya
dari arah dipan
dengan nyeri di
negeri yang maklum.
Mereka tata berahi, di ruangan itu.
II
Sementara di luar,
kota memasang dua sayap
bendera partai
dalam sebongkah lahan yang penuh
tapi mati.
Ada yang mati
yang mati,
yang jujur
III
Lewat jendela, matahari
mengincar sepasang
pemberontak dengan
wajah dop itu.
Ada kalanya, mereka
istirahat dari
takut di kerumunan.
Derit dipan,
samar bohlam,
suara yang dijemput anak-anak tangga.
IV
Tapi berahi, mereka susun,
dari langkah-langkah
para prol dan apek desa.
Cinta yang diiringi
seorang penunggu
dengan mimik bernuansa
museum-seorang pria dengan
senyum lokal.
Cinta yang mereka lelehkan
di tubuh bom dan trauma.
V
Ia ulang itu, pintu yang menggambar
warna-warna tentara. Takut yang tumbuh
dan mengencangkan gempa
di udara mereka berdua.
VI
Ungu, atau biru, warna pejalan
dari jauh mereka tebak
sedang menggusah lapar
di bintang mati.
Kini mereka makin takut.
Kini trauma menusuk.
Kini, desah mereka
adalah bayang-bayang
bom dan parit-parit Oceania.
VII
“Mengapa kita tak jujur, Julia,
pada mata tuhan
yang palsu, juga
kepada batukku yang
lembab saat kita
bersentuhan pada ritus pertama?”
VIII
Winston bayangkan itu, sesaat
sebelum waktu mencegahnya
dari malam yang putih, dari
hari yang terpasang
di frasa sabotase.
IX
Lalu nama kita tak dieja lagi.
“Mari kita selesaikan
cinta ini, mabuk ini, takut ini
dengan lenguh yang sirene
dan nafas yang patuh.”
Sebab mereka, tak bisa mengeja lagi.
2020
Di depannya retakan tanah kering:
tempat capung membawa
kabar bahwa telah lama
tak ada yang melintas di halaman.
Di sekitar, ada bau
kemarau yang telanjang.
Dan debu pagar menindih
karat seolah karang.
Kusesap warna
yang mencair
di ornamen tubuhmu.
Ia katakan itu. Meski belum siap
untuk panas yang meraba, mereka (pada akhirnya)
terbenam di demam yang sama.
2020
“Aku tak dingin.”
Ia seperti berbisik, sedikit tersenyum.
Gadis itu tak bicara banyak setelah dusun kosong
dan sepi seperti tiba dari zaman pertama.
“Siapa yang kau kenang?”
“Mungkin tak ada. Atau mungkin ibu, mungkin juga rumah yang hangat.”
Selepas bertanya, pria muda itu berhenti. Menunduk.
Ia, sebenarnya, tak terkejut.
Ia coba bayangkan perahu
dan warnanya yang tak menyatu
di pantul sinar pada laut.
“Lalu mengapa kita tak menebak…” tawar si gadis
“…apa yang datang setelah ini?”
“Aku tak tahu,” jawab pria terpotong. Ia ragu, lalu melanjutkan:
“kukira satu yang akan datang: waktu pagi.”
Memang benar, di pukul dua, ada ombak terdengar di hadapan, tapi tak penting.
Ini hampir subuh. Dan mereka seolah
menjadi pasangan—yang juga tak penting.
Tapi mereka tak sadar.
Mereka lupa: pada kekasihnya masing-masing.
“Kita tebak gambar pasir.”
Pesisir gelap. Tapi mereka tak berhenti berandai.
“Ada gambar ibumu, di sana, juga rumahmu.”
“Kau salah. Keduanya tak di sana,…”
Kali ini pria itu agak terkejut, ia salah.
Di tepian, ia pelan-pelan sadar, ada yang tak ia pahami.
“tapi keduanya di sana,” gadis itu menunjuk laut. Pungkasnya:
“di ombak yang kadang tenang, tapi sering kali deras (seperti angan).”
Rokoknya disulut, pria itu—dan gadis itu— tak
saling memandang.
Ada yang mereka tanyakan
di batin masing-masing
tentang nama yang sama pendek
dan potong-potong waktu (yang juga sama).
“Aku tahu! Sekarang, waktumu menebak.”
Meski tak berucap, sebenarnya mereka tahu.
Sebenarnya mereka sama-sama setuju.
Tapi bersamaan, mereka memikirkan hal lain:
Ibu dan rumahnya.
Nasib yang tak tampak.
Dan satu lagi yang sama: kekasihnya masing-masing.
2020