Author: Tobma

  • Puisi Finalis Sayembara Menulis Puisi #2

    author = Redaksi Kibul

    El Che

    Syani Maulana Elyasa

    /1/

    Pulang Ernesto

    pulang, anak kami

    yang hilang.

    Pulanglah dari mimpi orang-orang

    yang rindu

    kebebasan; Sebab kami merindukanmu.

    Adakah kau mengenal kami, Che?

    Adakah kau anak kami dengan

    napas tersengal-sengal itu?

    /2/

    Tak ada lagi yang

    perlu dibuktikan, pengembaraanmu

    sudah begitu jauh

    dari pikir kami.

    Begitu jauh dari pikir kami,

    Kau mengembara lagi

    dan meninggalkan sepucuk

    pesanmu—yang dingin

    sekaligus hangat di sela-sela

    mata kami:

    “Sekali lagi kurasakan di antara tumitku

    rusuk kuda Rosinante…”—sebelum tak lagi

    kembali dan merontokkan hati kami.

    Surat ini dan saat kita mati.

    Pada akhirnya kita mati.

    Hutan rimba dan peperangan, aroma

    kematian seharusnya cukup untuk membuatmu

    jeri, tapi sejak dahulu kau sudah pembangkang.

    /3/

    Sudahkah kau baca

    puisi itu, Che? dari penyair kesayanganmu?

    Baudelaire? Neruda? Nicolas Guillen?

    kau membacanya sepanjang

    waktu yang kami ingat.

    Tapi di antara tumitmu

    ada rusuk kuda Rosinante. Seperti tiap kepergian

    ia tak memberi kesempatan

    mengingat hal-hal

    yang kita cintai.

    Hal-hal yang Ditemukan Sepanjang Jalan Pulang

    Rizaldi Noverisman

    Menuju rumah setiap malam aku berjalan dengan harapan

    tidak menemukan pertanyaan. Membawa diri baru dengan

    pikiran dan perasaan mudah terbakar. Di jalan-jalan kota, di

    kejauhan,

     

    ada bayangan yang berusaha mencium kening seseorang di

    hadapannya. Seseorang itu pun mengubah hidupnya sebagai

    bulan di permukaan segelas latte hangat atau bilik penjara

    atau lukisan kaca atau dunia sepia dalam mimpi orang-orang

    yang takut untuk berlibur ke tempat ramai.

     

    Setiap kali pintu berada di hadapannya, bayangan itu hendak

    kembali jadi sebatang pohon pemalu—sambil menatap

    langit—membayangkan dirinya burung-burung yang

    mengepakkan jutaan sayap dalam kertas gambar masa kecil.

     

    *

    Warna langit malam ini: poster bergambar larangan dan

    keengganan menolak merindukan diri lain—dan keinginan.

    Buku yang kehilangan halaman-halaman terbaiknya. Bahasa

    baru yang tidak mudah dituliskan.

     

    Di tepi-tepi jalan, di cafe-cafe, orang-orang berbicara dan

    tertawa. Mereka berlari dari kata-kata yang mereka

    sembunyikan dan merakit pesawat di kepala mereka. Untuk

    pergi.

     

    Tak ada yang beda. Tak ada yang beda dari kemarin dan hari

    ini. Di kota ini dipenuhi rutinitas yang sama: seorang ibu

    yang memanggul anak dan serpihan air matanya di jalan. Para

    remaja yang sibuk

     

    melabuhkan nama pasangannya. Anak-anak gemar bermimpi

    mengenakan seragam sekolah. Selembar tiket kereta dan

    perpisahan. Kamera. Dan omong kosong pemerintah.

     

    Radio musik memutarkan lagu yang sama. Semakin banyak

    orang yang jatuh cinta kepada kehilangan. Jendela di

    kepalanya lama terkunci. Ingatannya berupa zat adiktif dan

    sejumlah keinginan, sesuatu yang berulang kali mereka bakar

    dan mereka kepulkan dari kaca kendaraan. Masa lalu yang

    terlambat dihapus. Hari-hari penuh dilanda kecemasan dan

    senyum buatan.

     

    Tak ada yang beda dengan perjalanan pulang malam ini. Aku

    terus berjalan dan membawa hal-hal yang kembali

    kupertanyakan setiba di rumah di depan layar televisi.

    Kashmir

    M Rianda Al Rasyid

    Seperti setiap pertemuan pertama yang datar

    kita beradu tatap tanpa sengaja

    kau lekat pada jiwaku – aku paku pada kaki lembahmu

    tak cukup mudah bagiku taklukkan puncak hatimu

    dengan kenangan yang beku

    Diawali dengan biryani Kangan yang bikin kangen

    Chapati Yasmin yang dingin

    serta dekap hangat Harmook yang tak akan gentas

    hanya karena kau pernah tenggelamkanku

    pada bijak danaumu yang luas

    Ketahuilah, menjejakkan diri pada tampuk tubuhmu

    adalah bentuk utuh dari tunduk

    wujud berserah pada pasrah paling tengadah

    Di bawah gugusan Via Lactea

    percakapan manis kita adalah doa-doa

    yang siap menjelma nyata

    Laut Menguap Sebagai Engkau

    Budi Mardhatillah

    Di kapal.

    Laut ingin kau tertidur sehingga 

    kau tak perlu ingin tahu rahasia-rahasianya. 

    Membuatmu sibuk membaca novel

    –yang menggambar langit di kaki-kakimu– 

    atau sekedar membayangkan cinta seperti ombak kepada pantai. 

    Tapi kau, 

    laut dan rahasianya adalah segala apa yang kau ingin.

    Kau bisa saja ingin sekali mengapung 

    di rahasia-rahasia ini lebih lama. 

    1000 kali pergi, 1000 kali pulang. 

    Tapi kapalmu begitu merindukan menjadi abu 

    atau kayu-kayu tempat dimana kau mengenang pagi-pagi dan kopi-kopi.

    Di pelabuhan yang tak akan kusebut namanya, 

    kau sedang akan melangkah turun dari kapal. Dari bibirmu ku tangkap 

    “ aku ingin menyelam”. 

    Aku takut laut menyukaimu. 

    Laut telah gagal. Mengambilmu.

    Kau menjadi rahasia.

    Kelak.

    Suatu ketika yang sangat biasa ––di embun jauh susul mentari–– 

    aku mendapatimu sebagai keping-keping hujan.

    Aku menyukai hujan, di pikiranku.

    Tapi benci menyadari kau akan menyentuh ujung rambutku 

    dalam bentuk lain––rahasia.

    Di pikiranku yang lain:

    Aku harus membeli payung tanpa warna.

    Segera!

  • Petualangan Gadis Pinokio Tak Berhidung Panjang

    author = Arifin Nasa

    Petualangan Gadis Pinokio Tak Berhidung Panjang

    : Cirebon

    Ditutupnya sepatah kata-kata yang bercecer di tanah-tanah bekas pijakan makhluk-makhluk mulia dan hina. Dua makhluk yang pernah dan masih berdiri memungut kata-kata lantas dirangkainya menjadi kalimat ambigu yang hanya seorang saja mengerti: Gadis Pinokio Tak Berhidung Panjang. Memanglah gadis itu menutup sepatah kata-kata yang dipungutnya dari tanah pijakannya sendiri meski tak mulia.

    Kalimat yang dirangkainya perlahan menjadi tebal satu buku berhalaman satu juta. Katanya ada satu huruf hilang belum ditemukannya, buku satu juta halaman belum lagi diedarkannya. Di sampingnya tertawa huruf-huruf kecil loncat dari buku satu juta halaman dan memang benar adanya lima huruf menertawakannya. Satu juta halaman sia-sia dikumpulkannya dari tanah pijakannya sendiri yang tak mulia.

    Diambilnya satu buah huruf, dipasangkannya pada kata yang berirama padu. Ah, indah sekali. Namun, asa kurang satu kata lagi. Tuhan. Ia belum menyertakan Tuhan pada hutan kata yang dipungutnya dari tanah pijakannya yang tak mulia.

    Seakan ia berkata, Tuhan Mahasegala dengan tanganku yang mengalirkan darah.

    Sekali lagi ia berkata pada kata-kata yang dipungutnya, Tuhan, aku bersama-Mu dan Kau bersamaku.

    Bohong!

    Ditulisnya kata-kata dengan diksi yang amat indah atas nama Tuhan: sedang ia bertualang. Matanya menatap pohon-pohon kecil, hidungnya menduga-duga bau kencing anjing kecil, mulutnya terbuka lebar melahap dedaunan kecil dan anjing kecil. Tuhan Mahasegala, segala yang ku perbuat atas segala-Nya.

    Juli, 2020

    Jangan Bermain-main dengan Tuhan

    Dalam gelap malam
    sang favorit merayap-rayap
    melampaui markah peraduan
    : Tuhan

    Januari mendatang
    festival besar di Negeri Salah Benar kian mencekam
    pertunjukan kekuatan, keahlian, kekritisan, dan kecakapan
    digelar bersamaan tak jeda jua
    sedetik pun seperempat detik

    Sang favorit belum kalah, dan
    memang tak mau kalah
    dalam kesempatannya juara berturut
    piala berjejer
    medali bertengger
    piagam berkelakar
    : Tuhan harus kalah!

    Memanglah Tuhan bukan tandingan
    juara di mana-mana
    di lorong gelap
    ruang terang
    atau lubang kecil
    Tuhan juara

    Sang favorit tak mau kalah dengan Tuhan!

    Dalam gelap malam
    sang favorit merayap-rayap
    melampaui markah peraduan
    : Tuhan

    Mencari titik jenuh Tuhan
    tak bisa ia mengeluh
    apalagi menyerah
    sebelum menemukan titik
    lantas mencurinya
    kemudian dirobeknya
    lalu dibakar
    dan, dikubur dalam tanah

    Januari datang
    festival besar menghadang
    sang favorit tampak bimbang

    Bukan,
    ia berhasil mendapatkan titik jenuh Tuhan
    tapi tak berhasil menguburnya
    justru ia terkubur
    dalam-dalam
    : bertemu Tuhan bukan pada festival besar

    Tuhan pun angkat bicara
    dengan irama mendayu-dayu
    sangat merdu
    : jika kau bertanya tentang Aku, Aku dekat.

    Ruang Kecil, 2020

    Tanda Tanya

    Apa guna
    Tanda tanya?

    Menanyakan
    yang diketahui
    atau
    belum diketahui?

    Memberi
    solusi
    atau
    mengundang
    emosi

    Banyak sekali
    tanda tanya
    bercecer di jalan
    di kantor
    di sekolah
    bahkan
    di dalam
    pori-pori

    Apa guna
    tanda tanya?

    Agustus, 2020

    Aku Takut Hantu

    Aku tak takut hantu
    Ketawa sendirian
    Di dahan pohon
    Atau di gelap kuburan
    Aku tak takut hantu
    Melompat
    Yang katanya merah
    Matanya
    Aku tak takut hantu
    Berlari
    Si kecil berlari
    Mencuri kata banyak orang
    Aku tak takut hantu
    Berdiam diri
    Di sudut rumah kosong
    Mengganggu sekelebat
    Aku tak takut hantu
    Bagaimanapun rupanya
    Jenis namanya
    Atau ketawanya
    Aku hanya takut hantu
    Bisa makan dan minum
    Membaca dan menulis
    Berdialog dan berdebat
    Menindas rakyat jelata

    April, 2020

  • Penulis Monte Carlo yang Terperangkap di Jakarta

    author = Anugrah Gio Pratama

    Di Negeri Kita

    : Setelah membaca sajak Stebby Julionatan

    1. Di negeri kita, virus adalah udara yang dihirup dengan terpaksa;

    2. kekacauan yang mengalir di beranda usia.

    3. Kematian adalah hitungan angka-angka.

    4. Kau ingin mati juga?

    2020

    Keserakahan Adalah Derita

    Keserakahan tumbuh
    seperti pohon pinus
    yang menusuk punggung awan.

    Keserakahan adalah derita;
    adalah virus yang ditanam manusia
    berabad-abad lamanya.

    Keserakahan adalah derita.
    Orang-orang merawatnya
    serupa malam mengasuh purnama.

    Keserakahan
    adalah derita
    di penghujung usia.

    2020

    Penulis Monte Carlo yang Terperangkap di Jakarta

    : Teringat Fitriawan Nur Indrianto

    Dalam kenyataan,
    hidup tak pernah seindah puisi.
    Seorang penyair yang telah menulis
    satu babak kisah cinta,
    bisa jadi babak-belur
    dihajar beribu rindu
    dan berjuta kecemasan.

    Apalagi sekarang
    hari-hari melahirkan air mata;
    polusi di udara perlahan lenyap
    bersamaan dengan ratusan nyawa manusia.

    Hati penyair itu pasti makin kacau
    bagai kemacetan Kota Jakarta
    sebelum pandemi merajalela.

    Penyair itu terpaksa tabah
    menghadapi wabah; menghadapi
    kenyataan yang tak seindah puisi;
    tak seindah kisah cinta Monte Carlo.

    2020

    Nyanyian Seorang Perantau

    Tatkala hujan datang.
    Deras air menjelma syair;
    membelah cahaya.

    Jika suara
    menyelimuti kota.

    Anak-anak
    menanam pelajaran
    dan perantau
    memanen kerinduan.

    2020

    Jalan Menuju Ibu

    Bagaimanakah ingatan
    melukis kebahagiaan
    dari kenangan
    yang sedingin dendam?

    Aku bukan kata
    yang terendam
    dalam perihmu.

    Aku hanyalah air mata
    yang lebih biru
    dari permata.

    Ratusan musim akan meranggas
    bagai daun. Dan aku akan menujumu.

    Menujumu berarti
    menempuh jalan yang terjal
    dan aku menginginkannya.

    2020

  • Pada Sebuah Perjalanan oleh Mahfud RD

    author = Mahfud RD

    Catatan Redaksi:
    Dengan mengambil tema kerinduan dan bayangan tentang Yogyakarta, puisi ini nampak mengulang apa yang sudah dinyatakan oleh KLA Project dalam Lagunya “Yogyakarta” atau ungkapan puitik Penyair Joko Pinurbo bahwa “Jogja terbuat dari rindu, pulang dan angkringan.” Puisi ini seolah mengulang perasaan yang sama dan hampir dialami oleh orang yang pernah tinggal dan menetap di Yogyakarta. Yang menarik, penyairnya juga menggambarkan kota lain (kota yang dituju selepas meninggalkan Yogyakarta). Lanskap dan suasana batin yang hadir sungguh berbeda. Jika Yogyakarta digambarkan sebagai kota yang damai, sederhana, tempat bersantai dan memperoleh ketenangan jiwa, berada di kota lain adalah sebaliknya, penuh keresahan, pertanyaan dan ketidakpastian. Tapi dalam puisi berjudul Pada Sebuah Perjalanan, aku lirik nampak bersikap bahwa ia harus meninggalkan semua kenangan tentang negeri damai dan ideal (baca:Yogyakarta) dan berani menjalani dunia barunya yang penuh tanda tanya. Sebegitu membuaikah kota yang dinamakan Yogyakarta itu sehingga ketika keluar mereka bagai anak kecil yang terdampar di jalan raya?

     

    Pada Sebuah Perjalanan

    pada sepertiga siang
    laju kereta membawaku terusir
    dari hiruk pikuk
    dan ingar bingar Kediri; yang kau bilang salah satu tempat pulang dan kembali.

    lagi lagi di stasiun
    tempat temu dan pisah berduyun duyun
    hingga gesekan roda dengan rel kereta tak mampu menterjemahkan
    mengapa aku menunggumu
    di persinggahan yang jelas tiada.

    terkadang
    aku seperti musafir
    pergi pulang hulu ke hilir
    peduli apa pada jemari yang terkilir
    atau pada padi yang dipanen
    dan mengubahnya jadi nomaden.

    jogja melambai jauh di mata
    rindunya erat melekat
    seperti gang gang di kotanya
    yang penuh tulisan jam belajar masyarakat.

    lagi lagi kadang di matamu;
    ingatan ingatan yang memaksa dimakamkan.

    2018

     

     

    Pamitan Puisi

    aku tiba pada ingar bingar kotamu
    disambut tulisan jogja berhati nyaman
    dan sepiring magelangan.

    pada subuh yang terlelap di kelopak tukang becak
    tukang ojek
    dan sopir taksi.
    jalan layang janti mengantarku
    pada belantara angkringan dan kopi.

    malioboro pun terjaga jua
    dengan pejalan kaki atau hangat wedang ronde
    atau pelantun tembang yang jatuh di telinga
    atau para peminta
    yang ditolak
    dengan lambaian tangan dan guncangannya.

    laron bertengger di bawah jembatan sorowajan
    bercakap cakap lempar tulisan
    dibumbui caci maki
    pada setiap diksi
    dan logika yang pergi.

    sapa bosan menekan dada
    laron terbang lagi
    mencari cahaya lebih terang
    atau di mana sayap mereka layak ditanggalkan.

    pada sepertiga malam
    sayup pantun menikam telinga
    kalau ada sumur di ladang
    bolehlah kita menumpang mandi
    kalau ada umur panjang
    hukum wajib bersua lagi.

    dan aku pamit pada sebuah puisi
    yang kuukir di lantai lantai kamar
    di temaram lampu kota yang jatuh di retinamu
    di meja meja kedai kopi
    di kartu kartu poker yang ditertawai coretan gincu
    di bulu romamu hingga pori menampakkan diri
    di bangku ruang tunggu stasiun
    dan di kaca jendela gerbong kereta yang bernoda.

    burung gereja berkejaran
    berburu makan
    atau sekadar berpagut kemesraan
    sedang kaca pecah pada kedua mataku
    sebab pergi tak menunggu ketepatan waktu
    dan datang tak selalu akrab dengan bimbang.

    aku pamit pada sebuah puisi
    yang kutulis
    dan macet
    dan ruwet di jaringan otak
    lalu jatuh di tenggorokanku yang serak.

    aku pamit pada sebuah puisi
    yang kulahap bersama orak arik
    dan dada sesak
    sebab mimpi telah tercabik
    di antara bangku taman
    atau di mana segala kenangan ini bisa kumakamkan.

    2018

     

     

    Di Rumah

    sebelum resah melambai dimainkan angin dan dengung nyamuk melengking di kuping, berapa ratus bahagia
    berapa ribu dukacita
    yang kini jadi tanya dan jutaan terka?

    mungkin besok
    atau lusa
    atau minggu depan
    atau bulan depan
    mungkin juga setiap saat
    kau
    atau aku
    akan jadi terdakwa di antara yang tertawa.

    suatu kala yang ramah jadi remah remah
    yang sumringah ditikam gelisah
    yang menjulang dipukul gelombang
    dan tumbang tanpa pelampung.

    di sini
    bau bumbu masakan selalu jadi aroma kepulangan
    sejauh langkah kaki merapuh
    sedekat perih yang ringkih.

    dan di langit
    awan berarak teduh melambai
    dan gulana belum tampak akan usai
    menciptakan ingatan ingatan
    yang memaksa dilupakan
    dibuang
    ditendang
    dan ditanam dalam dalam.

    2018

     

     

    Di Jalan Gading

    dulu
    sebelum setapak ini melukis rekahan di punggungnya
    kopi dan hujan sudah kerap mampir
    dalam bait yang kemudian dibaiat jadi sajak dan puisi.

    bening pekat bersandingan di setapak basah ini
    bersinergi
    mengadah letih yang tumpah
    mendekap tasbih dalam segala serapah.

    kini
    pada bingar dan lalu lalang setapak ini
    tanda tanya semburat
    bertebaran jemu
    menanti kematian pertama sopan bertamu.

    2018

     

  • Obituari Jiwa oleh Nugroho Adi

    author = Nugroho Adi

    OBITUARI JIWA

    Gusti, aku khawatir

    lelahku menggigil di kulkas

    artis-artis yang mendadak

    jualan kue khas.

     

    Gusti, aku cengang  

    jalan dan jembatan membekam luka

    tapi di langit sana justru

    gedung dan pagar terus dipugar.

     

    Gusti, aku lemas

    sawahku gelagapan debu

    pabrik itu menubruk kemanusiaan

    dan piring makan ibu.

     

    Gusti, aku sangsi

    doaku murung di dalam sarung

    para juru khotbah

    yang lupa cara merenung.

     

    Tapi Gusti, aku percaya

    Kau adalah maha cinta

    menaungi segala nasib

    yang berumah pada derita.

     

    Blora, 2017

     

     

    TAYUB

    Melenggang nada sutra

    tembang-tembang memuntah

    ranum bah bibir pesinden

    melumur ke usia ayah.

    Sementara semesta gagap

    melihat pinggul-pinggul yang gemulai

    menanggung dendam para panjak

    kepada kendang-kendang dunia

    yang tak habis menabuh prasangka.

    Minggu kedua, Juli 2017

     

    JL. RAYA DIPONEGORO-60213

    Waktu menjadi tunarungu

    suara yang jauh dari kata-kata

    menguap disibak nganga rahasia

    berliter keinginan ramai-ramai

    menuruni jalan raya

    menyembur wangi ter aspal tua.

     

    Waktu semakin tunarungu

    kebisingan membubul rapat

    di langit cerak burung-burung

    menyeret awan-awan hitam

    tempat amarah berkumpul

    umpatan yang menggantung

    pecah ditusuknya. Mataku pedih

    dan ingatan-ingatan berjatuhan.

     

    Dengan penuh diam-diam

    kauhisap tajam

    kepingannya dalam-dalam.

    kerelaanmu merambat serat

    seikat masa kecil luruh

    ke mesin-mesin tak bersekat.

     

    Orang-orang adalah tunarungu

    patung-patung lemah

    yang hanya lebih takut

    kalau-kalau lampu memerah.

     

    Orang-orang semakin tunarungu

    hutan merimba di atas kepala

    terus menumbuhkan binatang-binatang senama

    meski hati tak merawat dendam yang sama.

     

    Surabaya, Maret 2017

     

    Catatan Redaksi:

    Puisi-puisi ini mencoba memperlihatkan persoalan carut marut dunia yang tidak hanya ada di kota tapi juga merambah ke desa. Dunia modern yang bergerak serba cepat dan bising membuat orang-orang pun mencari hiburan, tapi justru kehilangan diri karena mabuk dalam kepalsuan. Kenyataan ini membuat aku lirik justru terjebak dalam kesunyian. Agama, sebagai salah satu tempat untuk menemukan kembali kemanusiaan/jiwa pun dirasanya tak lagi menjadi jalan. Dalam segala keputusasaan itulah, Tuhan pun dijadikannya tempat untuk menemukan kembali secerca harapan.

    Dibandingkan dua puisi yang menggambarkan suasana kota, puisi Tayub yang membawa ciri khas kedaerahaan (mungkin juga desa) lebih menyuguhkan penggambaran lanskap suasana luar yang kentara. Hal ini karena terdapat berbagai citraan, seperti citraan penglihatan dan pendengaran yang sama-sama bermain dalam menanggapi peristiwa yang ada di hadapan. Pemandangan yang dilihat pun mungkin adalah pemandangan yang temporal, berbeda dengan apa yang ada di kota, yang nampak terlalu monoton sehingga menyuguhkan sesuatu yang lebih segar, kaya, sekaligus dalam.

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Mitos Kehilangan

    author = Raihan Robby

    Mitos Kehilangan

    /1
    Pelukanmu
    terjemahan bebas dari segala kesiapan
    untuk sebuah perjalanan panjang
    atau kehilangan

    Jika pagi ini
    aku tidak mengetuk pintu itu
    dan kau masih menungguiku
    hingga terlelap
    maka jangan pernah kau mencariku
    aku dalam keadaan aman-aman saja
    negara yang mengamankanku
    (mungkin juga menghilangkanku)

    Tapi kau telah menghadiahkan aku sebuah pelukan
    dalam kemas yang mungil dan indah
    jika aku merinduimu
    dalam palung yang dingin atau lubang kubur yang sesak
    aku akan membuka kemasan pelukanmu
    dan kupakai dengan gembira
    hanya dalam pelukanmu aku benar-benar merasa aman
    dan para orang-orang hilang itu akan cemburu
    pada diriku, mereka lupa untuk meminta hadiah pelukan
    sebelum benar-benar dihilangkan

    /2
    Setiap diri kita merasakan kehilangan
    tapi hanya sedikit yang benar-benar memaknai kenangan

    Meja makan lebih sepi
    dari sebuah jalan yang baru saja terjadi kekacauan
    genting, hening.
    ibu mengiris air matanya sendiri
    di dapur yang ia cintai

    Tak ada malaikat mampir
    untuk mencatat kesedihan kami
    seharusnya malam ini ayah pulang
    membawakan satu kotak martabak manis
    sebagai permintaan maaf
    karena telah mencampakkan keluarga
    selama hidupnya.

    Ibu kembali ke meja makan
    dengan bunga tabur
    serta epitaf di kerupuk

    “Mari kita berdoa, semoga tak ada lagi kebencian yang singgah di meja makan ini.”

    Ketika berucap. Aamiin.

    Ayah muncul
    sebagai seseorang yang tidak dikenali oleh siapapun
    tidak juga ibu, ataupun aku.
    ayah muncul bersamaan dengan orang-orang yang hilang
    hilang dari zaman yang baru
    kembali ke zaman yang lebih baru

    /3
    Tak ada yang lebih tabah
    dari pada lelap seorang istri
    yang menunggu suaminya pulang

    Seharusnya aku tak benar-benar melepasmu pergi
    kota kita tengah dikepung oleh ketidakpercayaan yang keji
    mitos diciptakan untuk membuat ketakutan
    dan ketakutan terbesarku
    adalah
                 kehilanganmu

    Jika saja
    aku telah siap dengan ketidaksiapan ini
    dan sebuah kabar
    adalah samudera yang dingin
    membanjiri seluruh kecemasanku
    Lain kali, jika ingin hilang
    bawalah aku dalam kehilanganmu
    karena dengan tanpa dirimu
    aku tak pernah benar-benar
    ada

    Anak-anak kita bertanya tentang kau
    “Ibu, ayah sedang apa? Mengapa belum pulang?”

    Menahan tangis aku menjawab
    “Ayah tengah disimpan negara, di sebuah berkas yang dibakar masa untuk sengaja dilupakan”

    Yogyakarta, 2019

    Perempuan Bulan

                          -untuk sari novita ningrum

    Masih ingatkah engkau
    malam di mana malam
    yang kita susuri
    untuk mencari bulan
    yang sembunyi dari
    mata kita

    Bulan yang bundar itu
    menutupi dirinya
    dalam awan gelap
    atau gedung-gedung bertingkat

    Katamu
    Ayo kita cari bulan!

    Sehabis minum kopi
    dengan sekali tegak
    dan debar di dadaku
    saat bersamamu

    Kita mencari
    bulan yang tidak
    ingin ditemukan
    menembus dingin malam
    kelanggengan jalan
    dan jam tidur yang berantakan

    Berhenti! Aku menemukan bulan
    katamu menepuk pundakku

    Kau menatap malam dengan
    senyuman yang memadukan
    sisa kopi dan sisa malam yang menghitung pagi
    menghasilkan banyak malam-malam lain
    yang kuharap tidak menghasilkan pagi

    Bulan menghilang dalam kamera handphonemu
    di jok motor aku juga mencari-cari ke mana bulan itu pergi
    tak kutemukan di langit manapun

    Saat memandangmu
    bulan singgah dalam pipimu
    dan saat menatapmu
    bulan menetap di matamu

    Jakarta, (kenangan akan Jogjakarta) 2020.

    Akhirnya Kau Mengerti

    Akhirnya kau mengerti sekeras apapun usahamu
    memperjuangkan kebahagiaan orang-orang yang kau sayangi
    mereka bisa pergi kapan saja meski kau memohon berlutut menuntut masa lalu

    Akhirnya kau mengerti selama apapun cinta dipertahankan
    dibentuk oleh aturan-aturan atau paksaan-paksaan bersama
    kekasihmu bisa mencintai kekasih yang lain hilang dalam pengawasanmu

    Akhirnya kau mengerti semua usahamu untuk memahami kehidupan
    dapat dipatahkan dengan kedatangan kematian

    Hal-hal Kecil yang Aku Tunggu

    Aku menunggumu membalas pesanku;

     

    dan di belahan benua lain
    seorang diktator berusaha digulingkan

    dan di samudera lain
    roket antariksa baru saja diluncurkan

    di laut tempat segala rahasia bermuara
    seseorang percaya bahwa laut mengubur tanah leluhurnya

    di pasar seorang pencopet baru saja lolos dari kematian

    di facebook hoax lebur dalam informasi seputar mie ayam terenak di kota

    di kedai kopi seorang pelanggan jatuh cinta dengan seorang barista
    kopi yang mereka taruh di meja menjadi pertemuan awal dari kesepian yang pahit

    entah di bagian belahan bumi mana negara lain mencoba membuka portal dimensi ke dunia terbalik

     

    dan kau masih belum membalas pesanku

    Stasiun

    Seandainya aku bisa memesan takdir
    agar kau tetap di sini.
    Tapi, kita adalah sepasang udara yang asing
    dipertemukan oleh ketidaksengajaan yang indah.

    Di stasiun ini
    aku melepas kepergianmu
    kau dan kereta itu berangkat.
    Menuju ke arah matahari terbenam

    Seandainya aku bisa meninggalkan
    seluruh masa laluku
    dan menanggalkan pelukanku untukmu

    Di tapal batas ini
    kau membias dan menjauh
    jarak terhempas
    waktu berlabuh.
    Aku merindukanmu.

    Hatiku adalah stasiun
    menunggu kepulanganmu
    transit pelukanku

    Lempuyangan-Pasar Senen, 2018.

  • Mereka Adalah Maut bagi Diri Mereka Sendiri

    author = M. Royfan Ardian

    Mereka Adalah Maut bagi Diri Mereka Sendiri

    Sampailah pada saat, 

    liang lahat digali oleh rapalan yang pulang.

    Lalu mengubur diri mereka sendiri. 

    Terbebas dari semua yang berada di atas tanah.

    ***

    /201X/
    /09.00/

    Tepat ketika pohon kelapa di pantai 

    terlihat memanggul matahari.

    Seorang berkata

    “Lihatlah pohon-pohon yang berdiri gagah, 

    tanah yang basah dan subur berhasil menumbuhkan benih yang tertanam”

     

    Maka bagi mulut yang sedang mengantar pergi beberapa keinginan

    melalui sebuah rapalan yang dapat terbang serupa burung perancah

    lalu menuju langit, perkataan tersebut berhasil memperlihatkan pelangi

    setelah mendung bergelayut menutupi yang ada di bawahnya.

     

    /2018/

    /09.00/

    Tepat ketika hujan di bulan

    yang setiap paginya basah. 

    Orang itu berkata lagi

    “Kegagahan pohon yang berdiri melewati semua musim.

    Pada akhirnya akan lapuk,

    meninggalkan orang yang telah merawatnya”

     

    Maka bagi kepala yang selalu menakar keadaan lewat langit

    yang selalu mendapat kiriman berupa rapalan, 

    perkataan tersebut turun 

    serupa deras hujan di pagi hari 

    dan semua yang terkena derainya, menggigil olehnya.

     

    /2020/

    /17.30/

    Tepat ketika matahari tenggelam 

    di langit yang pada akhirnya memulangkan kembali semua rapalan.

    Tak ada orang yang sama dengan perkataanya.

    Tak ada lagi tanggal-tanggal yang menjadi tempat menaruh segala peruntungan.

    Tak ada lagi mulut merapal yang dikekang oleh satu keinginan.

    Tak ada lagi hitungan-hitungan rumit yang berputar di kepala.

     

    Hanya ada tempat bagi mereka yang pulang,

    bagi mereka adalah tempat paling bebas.

    Bicara Apa Saja Kecuali Cinta yang Indah

    /Temu/

    Barangkali berbicara tentang pertemuan, kita perlu menangkap saat tanggal-tanggal itu bermigrasi di dekat kita. Seperti suatu kawanan, dan kita akan memilih salah satu darinya. Lalu kita bawa pulang untuk perjamuan mata kita yang sedari dulu tak pernah bertemu.

     

    /Kalah/                                                  

    Barangkali berbicara tentang kekalahan harus menemukan siapa yang terkuat. Agar pasir di tanah itu tahu darah mana yang terkucur dan tubuh siapa yang terkubur. Setidaknya kita dapat berkata “Kalah tak berarti gagal” Walaupun kita pada akhirnya mengetahui, kegagalan selalu berdampingan dengan kekalahan.

     

    /Sendiri/

    Barangkali berbicara tentang kesendirian tidak melulu tentang sepi. Kesendirian juga sebuah penyadaran meneteskan air yang kemudian menguap dan hilang oleh sinar matahari. Dan akan turun kembali menjadi air yang lupa. Turun di sela-sela akar daripada terkapar di atas aspal

     

    /Sesal/

    Barangkali berbicara tentang penyesalan, lihatlah pohon di jalan itu. Sebuah pohon tidak menyesali akan kehilangan daun-daunnya. Walaupun pada nantinya kesendirian akan bertengger di atas rantingnya yang ranggas di musim gugur. Musim-musim terburuk akan datang begitu juga musim terbaiknya.

     

    //

    Barangkali berbicara apa saja itu menyenangkan. Bahkan rembulan dan bintang terkadang ikut mendengarkan walaupun raut mereka tampak samar. Kecuali cinta yang indah, kita selalu tergagap. Mulut, Hati, Keyakinan dan Perasaan. 

     

    /../

    Cinta yang indah bagai kupu-kupu cantik yang mengepakkan sayapnya terlalu tinggi, hanya mata yang bisa meningkap, bukan jaring yang menangkap. 

     

    /./

    Selebihnya, cinta yang indah, biarkan berlalu lalang. Walaupun diri kita mencoba untuk membuka pintu selebar-lebarnya.

    2020

    Sepasang Trauma yang Kembali

    Tanggal-tanggal mulai berteduh dari hujan 

    Setelah kabar dari timur yang dedar sudah tak menghangatkan kecemasan yang menggumpal pada bangku stasiun

    Derit roda yang tua seperti usia dedaunan di depan rumah yang mulai mencari tempat istirahat 

    Pintu-pintu pada kereta yang berhenti, menjelma pelayan yang menyajikan pesanan para pelanggan

    Sesuai dengan cinta mereka masing-masing juga kita, diantar pada pelukan yang ditempati

    Jalanan kota menjulur menuju hilir dan bermuara pada akuarium rumah

    Yang penuh dengan keinginan-keinginan yang mati tenggelam,lalu digantikan kabar-kabar

    Foto-foto menjuntai memberi salam tanda perkenalan kepada kedua tangan ini 

    Esok hari, tak sepasang kaki akan hilang menuju keterasingan,

    tetapi menyangga puing-puing rumah yang hilang

     

    2020

  • Merapi dalam Kenangan

    author = Adenar Dirham

    Merapi dalam Kenangan

    Merapi dalam kenangan yang menerbitkan mimpi

    Aku selalu bersahaja padamu juga wajahmu

    Kaulahirkan setiap sumpah di bumi Yogyakarta

    Bersama setangkup doa yang kita lambungkan 

    Pada semesta dalam jalan kesetiaan purnama

     

    Merapi, dendangkanlah keheningan pada malam

    Saat kakiku perlahan-lahan mendaki tubuhmu

    Kubawa bunga amaryllis ke dalam dadaku

    Hingga kuncup kembang itu pada akhirnya

    Memekarkan diri menjadi doa yang purna

     

    Kenangan selalu mahir memainkan cinta

    Pada peristiwa demi peristiwa tak terhingga

    Juga kesetiaan yang menggelora dalam dada

     

    Tresnoku saban wayah wengi eling rupamu

    Neng kuto sing iso ngawe uripku semringah

    Aku kudu eling karo Sing Mbaurekso Urip

     

    (Yogyakarta, 2020)

    Di Yogyakarta, Kujatuhkan Cinta

    Aku tak tahu mengapa, harus kujatuhkan cinta

    Padamu Yogyakarta, kota yang menyimpan rindu

    Juga segala candu dan kenangan yang kian berkobar 

    Di mataku juga perihal air mata, kita peras bersama

    Di sebuah jalan terhampar bak sajadah doa menuju 

    Nol Kilometer dengan setangkup rasa bahagia

     

    Ribuan tetes keringat terasa benar mengucuri tubuh

    Saat kita menjajakan sebungkus gudeg di keramaian

    Menuju rumahmu khas dengan gaya bangsal kencana

    Aku tak tahu mengapa, harus selalu kujatuhkan cinta

    Dengan kata-kata yang kini dapat berbicara padamu

    Begitu ranum hingga teringat wajahmu yang kuyu

     

    Di Yogyakarta, kujatuhkan cinta dengan setulus doa 

    Sembari kuberjalan menuju rumahmu yang dulu

    Bermukim segala cinta padamu dalam setiap jiwa

    Khusyuk bersemadi pada jiwa yang kian terasa 

    Sempurna di dalam sebuah batin puisi terbawa mimpi

     

    (Yogyakarta, 2020)

    Kepada Sang Pangeran Diponegoro

    Mengapa pagi ini, burung tampak murung?

    Sebab kini, tak lagi kau jumpai bunga bangsa

    Sang Pangeran Diponegoro telah rebah

    Setelah berkali-kali tubuhmu ditikam peluru 

    Mengiris dan mengoyak-ngoyak sukma 

     

    Darah telah bersimbah di dadamu itu

    Menyisakan seribu luka yang bersarang

    Di mata para jelata yang kini termangu

    Pada mendung langit membungkamku

    Dalam ratapan menjerat mata sanubari

     

    Kian ringkih tubuhmu tak bisa lagi berlari

    Kau menggelepar di rahim tanah sendiri

    Tak ada yang bisa membangunkanmu

    Kecuali, iman terpancar dari sukmamu

    Menembus malam yang menggoncang

    Kota Yogyakarta, hingga Merapi di sana

    Selalu terjaga untuk selalu menatapmu

     

    (Yogyakarta, 2020)

    Bersemadi di Taman Merapi

    Di sebuah taman sunyi ini, terasa benar

    Teduh jiwaku dapat membaca, lalu

    Kurangkai kata-kata menjadi sebuah 

    Cinta dalam sebidang galeri mahakarya

    Kubaca, kutulis, kurangkai, kucermati

    Hingga suaraku menerbitkan bahasa

    Yang dapat kaucerna dari rintihan musim

     

    Di belukar taman ini yang menghijau

    Ada telaga di matamu begitu membiru

    Begitu purna dengan sebait sajakku

    Menggelora di dalam batin hingga

    Membahana di setiap waktu ketika

    Kau mantrai kata-kata menjelma puisi

    Selalu abadi ketika kau maknai

    Meski bahang meremukkan tulang

    Atau hujan mengiris-ngiris tubuhmu

     

    “Neng kene, aku tresno awakmu!” 

     

    (Yogyakarta, 2020)

    Amarylis, Aku Menunggumu

    Di sebuah taman, aku menunggumu

    Meski sesekali jengah menggodaku 

    Tetapi tak pernah aku abai padamu

    Tetap kutunggu dirimu meski guntur 

    Sekejap membusur percik hujan 

    Dengan dingin yang mengiris tulangku

     

    Di sini, di Taman Bunga Amarylis

    Aku berdiri sendiri memukuli waktu

    Kadang, tak terasa batang usiaku

    Menyisakan uban di pusar otakku

    Meski begitu, tubuhku selalu mencoba

    Merasai setiap dingin yang kadang

    Memaksaku untuk beranjak dari sini

     

    Namun, barangkali, tak pernah lagi

    Kau ingkari setiap pertemuan kita

    Telah melahirkan doa yang sunyata

    Bahwa kita pernah mengikat janji di sini

     

    (Yogyakarta, 2020)

  • Mengingat Kembali Wajahmu oleh Arie A. Nasution

    author = Arie A. Nasution

    Mengingat Kembali Wajahmu

        :Setiawati

    Mengingat kembali wajahmu

    seperti mengupas bawang di depan mata

    sedikit terbayang paras sayu

    selebihnya samar dalam air mata

     

    mengingat kembali wajahmu

    seperti menumpuk kayu-kayu

    menjulang setinggi eru

    hanya terlihat selipat kuku

     

    andai mata bekerja

    seperti digital kamera

    wajahmu telah berjuta

    memenuhi kornea

     

    mengingat kembali wajahmu

    beruntungnya aku

    tidak lagi mudah tertipu

    pada muramnya daun rindu

     

    2013

     

     

    Widuri

    Kembali kita pada dentang

    jam yang tak pernah pingsan

    mengalir bagai malam

    yang lupa kembalikan bulan,

    semakin lupa

    kemana kita pulang, sayang

    kita hanya ingat

    kapan harus berhenti

    saat malam berdesah lirih.

    jiwa kitapun bermandikan peluh.

    oh, widuri yang tidur saat tiba subuh

    tenggelamlah dalam mimpi

    sampai tiba saat berlabuh

    dan kita menuai sisa kisah dalam setubuh

     

     

    Semoga

    semoga kita jumpa setiap petang

    di  kolong mega jingga membentang

    kita datang dan pulang

    membawa kisah untuk dikenang

     

    adakah selama ini membayang

    pada persinggahan akhir raga melayang

    tulang dan daging tak pernah pulang

    duduk bersama di tepi jurang

    jiwa-jiwa kita pun terbang

     

    kau dan aku membasuh wajah

    bersama menengadah

    mengawali prosesi sembahyang

    dan di kedua tangan

    doa kita bentang

    untuk yang tak sampai dalam gapaian

     

     

    Saujana Khayal

    dengarlah, peri mendendang lagu di pucuk hujan

    kuyup gaunnya berkilauan. gemuruh sesekali

    tenggelamkan suaranya yang merdu, seperti not-not musik

    yang menarik nada minor dan mayor berganti-ganti, antara seribu

    suara burung yang melahap jerit derita bertahun-tahun.

    seseorang berlari ke hutan, deritanya menggurat

    sepanjang pepohonan, sesekali terdengar rintihnya

    menyayat baris-baris sajak pendek dari akar tumbuhan.

    di atas, dedaun menggigil karena angin datang bersama

    suara asing dan tak terjamah.

    yang kulihat adalah peri mengiringi derita tahun-tahun

    seseorang itu dan suaranya tak pernah sampai

    pada siapapun yang diteriakinya.

    semua berhembus: angin,de daun, peri , aku,

    seseorang ,dan waktu yang tanpa sengaja sampai

    pada dendang sajak yang sunyi di jalan itu.

     

     

    Nubuat

    Seseorang baru saja turun dari gunung. Memberitakan seorang petapa di atas sedang menentang tuhan. Keyakinan mereka. Keyakinannya. Sebuah agama. Tergesa ia mengabarkan ke punjuru negeri. “Gerangan apa bencana menimpa, kali ini.”

    Berita tersiar. Berbondong rakyat menuju gunung itu. Petapa sudah tiada. Jejaknya tertingggal. Lima kaki dewasa hanya tapaknya. Mereka bingung. “Gerangan siapa pemilik jejak agung?”

    Di sebuah desa, agama disiarkan dengan lapang. menembus dada orang-orang papa. Keyakinan berhamburan, kemana saja. Di pintu, di tembok, gang-gang, rumah ibadah, sampai bilik pelacuran. Tak lagi ada jejak kebesaran. Semua keyakinan mereka sama:

    “Gerangan siapa pemilik tuhan?”

     

    Catatan Redaksi:

    Sebagian besar puisi Arie A. Nasution menyoal masa lalu, kenangan, kerinduan akan segala yang telah lampau dan terlewati. Kerinduan selalu berisikan harapan untuk dapat mengulang kembali hal-hal indah yang pernah terjadi, yang tak terdapat lagi di masa kini. Harapan itulah yang membentuk khayalan mengenai masa depan: kebersamaan dan kebahagiaan yang terulang. Dalam posisi inilah kita bisa melihat bahwa tak khayal saat merindu, aku lirik berada dalam kesepian dan kesendirian. Dan pada saat mengenang itulah hati  bergejolak, bibir tersenyum namun sekaligus  juga meneteskan air mata. Inilah tragik dari sebuah romansa.

     

    *Gambar karya Agnes Cecile

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Mengejar Abad yang Berlari oleh Muhammad Husein Heikal

    author = Muhammad Husein Heikal

    Mengejar Abad yang Berlari

    abad-abad berlalu
    meninggalkan debu pada pelupuk kenang
    yang tinggal masa lalu

    malam tak pernah bertanya bagaimana ia lahir
    lantas beberapa jenak bintang-bintang datang
    berpesta dan menyetubuhinya lewat cahaya-cahaya
    atas bantuan bulan

    2017

     

    Pengkhianatan

    : Paulo Coelho

    kematianku adalah perayaan: sebuah pelepasan sakral bagi kau
    yang berselimutkan gejala di tepi Baikal
    kubangun telah pandangan megah, pilar-pilar pongah
    untukmu, bagi seorang wanita paling kelana
    dari hati ku
    ke hati lainnya

    2017

     

    Safe Flight, Mom

    penerbangan yang jauh membawamu dari mata
    sebuah kepergian untuk bertemu orang-orang baru
    dan beberapa saudara sekandung yang dirindukan

    ya, tahun-tahun begitu pandai mengendalikan kesibukan
    membuat segala rimah-rimah menjadi persoalan

    akan tetapi, memang sedemikianlah hidup
    kita akan menerus merapal batas
    hingga semua tetas, dan kita bakal rengas

    2017

     

    Tembang Dosa

    sajak paling usang penghujung doa
    berhentilah mendosa. kau
    tubuh wanita menjelma berhala. Tuhan menyirna
    nafsu memompa paduan raga. kau
    pendosa mendoa lewat sajak

    menembang dusta letih merayap keringat
    jelaga membungkus jiwa, kemana lagi lari. kau
    kota-kota dibalut beton dosa-dosa tenggelam
    setiap ujung senti bagi tiap nadi berhentilah, kau

    gugurkan sajak terakhir dari tembang dosa
    paling usang

    2017

     

    Kepada Penyair-penyair

    Kundera, mungkin hari ini kau tertawa
    berpesta vodka dalam mabukan surga
    bersama Lorca, serta beberapa kata
    apa kabar belukar yang kau tinggal

    Camus yang kau bawa kemana-mana
    yang tak bosan mencium Tanah Air
    aroma tergetir kematian Matilde tercinta
    seratus soneta tak cukup sebagai tebusan

    maka banjirlah air mata Neruda
    sementara Don Quxiote masih gila
    berpetualang bersama Sancho setia
    entah mencari apa sesuatu tanpa nama
    barangkali itulah, ya sesuatu itulah
    yang kini dinamakan suatu puisi

    2017

     

    Catatan Redaksi:

    Puisi-puisi ini mencoba mempertontonkan kehidupan dunia yang semu tapi diterima pula sebagai sebuah keniscayaan. Dosa, kegilaan, pengkhianatan, perpisahan dan lain-lain merupakan gambaran akan kehidupan dunia itu. Meskipun dalam beberapa hal dipandang sebagai sesuatu yang diterima, namun ada juga letupan perlawanan juga yang dihadirkan dalam puisi ini, tetapi lebih terfokus pada apa yang menimpa diri sendiri. Disuguhkan dengan nada yang liris, puisi ini cukup nikmat dibaca sewaktu hujan sembari menikmati secangkir kopi.

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi