Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Arie A. Nasution
:Setiawati
Mengingat kembali wajahmu
seperti mengupas bawang di depan mata
sedikit terbayang paras sayu
selebihnya samar dalam air mata
mengingat kembali wajahmu
seperti menumpuk kayu-kayu
menjulang setinggi eru
hanya terlihat selipat kuku
andai mata bekerja
seperti digital kamera
wajahmu telah berjuta
memenuhi kornea
mengingat kembali wajahmu
beruntungnya aku
tidak lagi mudah tertipu
pada muramnya daun rindu
2013
Kembali kita pada dentang
jam yang tak pernah pingsan
mengalir bagai malam
yang lupa kembalikan bulan,
semakin lupa
kemana kita pulang, sayang
kita hanya ingat
kapan harus berhenti
saat malam berdesah lirih.
jiwa kitapun bermandikan peluh.
oh, widuri yang tidur saat tiba subuh
tenggelamlah dalam mimpi
sampai tiba saat berlabuh
dan kita menuai sisa kisah dalam setubuh
semoga kita jumpa setiap petang
di kolong mega jingga membentang
kita datang dan pulang
membawa kisah untuk dikenang
adakah selama ini membayang
pada persinggahan akhir raga melayang
tulang dan daging tak pernah pulang
duduk bersama di tepi jurang
jiwa-jiwa kita pun terbang
kau dan aku membasuh wajah
bersama menengadah
mengawali prosesi sembahyang
dan di kedua tangan
doa kita bentang
untuk yang tak sampai dalam gapaian
dengarlah, peri mendendang lagu di pucuk hujan
kuyup gaunnya berkilauan. gemuruh sesekali
tenggelamkan suaranya yang merdu, seperti not-not musik
yang menarik nada minor dan mayor berganti-ganti, antara seribu
suara burung yang melahap jerit derita bertahun-tahun.
seseorang berlari ke hutan, deritanya menggurat
sepanjang pepohonan, sesekali terdengar rintihnya
menyayat baris-baris sajak pendek dari akar tumbuhan.
di atas, dedaun menggigil karena angin datang bersama
suara asing dan tak terjamah.
yang kulihat adalah peri mengiringi derita tahun-tahun
seseorang itu dan suaranya tak pernah sampai
pada siapapun yang diteriakinya.
semua berhembus: angin,de daun, peri , aku,
seseorang ,dan waktu yang tanpa sengaja sampai
pada dendang sajak yang sunyi di jalan itu.
Seseorang baru saja turun dari gunung. Memberitakan seorang petapa di atas sedang menentang tuhan. Keyakinan mereka. Keyakinannya. Sebuah agama. Tergesa ia mengabarkan ke punjuru negeri. “Gerangan apa bencana menimpa, kali ini.”
Berita tersiar. Berbondong rakyat menuju gunung itu. Petapa sudah tiada. Jejaknya tertingggal. Lima kaki dewasa hanya tapaknya. Mereka bingung. “Gerangan siapa pemilik jejak agung?”
Di sebuah desa, agama disiarkan dengan lapang. menembus dada orang-orang papa. Keyakinan berhamburan, kemana saja. Di pintu, di tembok, gang-gang, rumah ibadah, sampai bilik pelacuran. Tak lagi ada jejak kebesaran. Semua keyakinan mereka sama:
“Gerangan siapa pemilik tuhan?”
Catatan Redaksi:
Sebagian besar puisi Arie A. Nasution menyoal masa lalu, kenangan, kerinduan akan segala yang telah lampau dan terlewati. Kerinduan selalu berisikan harapan untuk dapat mengulang kembali hal-hal indah yang pernah terjadi, yang tak terdapat lagi di masa kini. Harapan itulah yang membentuk khayalan mengenai masa depan: kebersamaan dan kebahagiaan yang terulang. Dalam posisi inilah kita bisa melihat bahwa tak khayal saat merindu, aku lirik berada dalam kesepian dan kesendirian. Dan pada saat mengenang itulah hati bergejolak, bibir tersenyum namun sekaligus juga meneteskan air mata. Inilah tragik dari sebuah romansa.
*Gambar karya Agnes Cecile
Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.
Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi