Author: Tobma

  • Absurdnya Kehidupan Chairil Anwar

    author = Karim Ilham
    Karim Ilham adalah pemagang di Radio Buku Yogyakarta. Berdomisili di Pandean, Condongcatur, Yogyakarta.







    Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan Book Cover



    Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan







    Arief Budiman







    Wacana Bangsa





    2007 (Pertama diterbitkan oleh Pustaka Jaya tahun 1976)






    128





    Chairil Anwar – Sebuah Pertemuan, adalah skripsi sarjana [Arief Budiman] tatkala ia menyelesaikan pelajarannya pada Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, yang mencoba mendekati Chairil Anwar secara filosofis. Bagian pertama merupakan konsep filsafat eksistensialisme dan lain-lain; bagian kedua merupakan pertemuan dengan sajak-sajak Chairil Anwar. Buku ini merupakan usaha yang pertama-tama dalam mendekati Chairil Anwar secara demikian dan yang paling sistematis, pendekatan dan tafsiran dengan argumentasi-argumentasi yang dapat difahami.

    Ê

    Sebuah pertemuan tidak melulu melibatkan fisik. Begitulah yang dialami Arief Budiman dengan Chairil Anwar. Terhadap sajak-sajak gubahan Chairil, Arief melakukan pertemuan itu. Ia memelajari sajak-sajak itu dengan penuh penghayatan sebagai seorang yang memiliki pengalaman kebudayaan. Hasilnya ialah sebuah buku yang status sebelumnya adalah skripsi.

    Bab pertama menjelaskan proses menulis puisi Chairil yang diawali dan diakhiri oleh perenungannya terhadap kematian. Pada usia 20-an, ia sudah dihadapkan dengan kematian neneknya. Saat itu lahir sebuah karya berjudul Nisan. Pada tahap awal ini, ia sudah sampai menyimpulkan dua hal: manusia yang tidak berdaya terhadap maut, dan maut yang mendatangi siapapun tanpa kenal kompromi. Setelah melewati perenungannya, muncul pertanyaan-pertanyaan filosofis dalam dirinya tentang tujuan dihidupkannya manusia.

    Di tengah gemuruh pertanyaan itu Chairil bertemu dengan Pangeran Diponegoro. Ia terpukau dengan semangatnya untuk memperjuangkan kehidupan: mengerahkan hidupnya demi sebuah kemerdekaan. Ketika itu, ia mencipta puisi Diponegoro yang membawa pesan semangat. Namun, di bulan yang sama, ia tahu kematian Diponegoro dalam sebuah penjara di Makasar merupakan kematian dengan tanpa kemerdekaan. Ia mengartikan bahwa kematian Diponegoro bukanlah kegagalan, tetapi bagian dari perjuangan menuju kemerdekaan.

    Chairil pada akhirnya harus memilih jalan hidup sebagai Ahasveros, pengembara yang terlukis dalam puisi Tak Sepadan. Ia hadapi kesepian dan kesedihan yang mengingkari masa kecilnya yang selalu gembira. Demi mengobati kesunyiannya ia melakukan pelarian menuju perempuan-perempuan nakal yang tergambar pada sajak Pelarian. Sebagai mahasiswa psikologi, Arief mengerti bahwa pada keadaan yang dialami Chairil mekanisme-mekanisme itu otomatis berjalan.

    Sampai pada rasa bosan atas pelarian itu, ia terbayang akan kematian sebagai sesuatu yang damai. Arief menggunakan gagasan Albert Camus tentang kematian sebagai “peleburan dalam tiada”. Tidak ada jalan lain bila ia ingin mati selain dengan bunuh diri. Tetapi ia hanya sampai pada tahap membayangkan saja, seperti halnya Camus yang menyatakan bahwa kematian bukan merupakan jawaban terbaik. Perbedaan keduanya hanya Chairil tidak menjelaskan perenungannya secara sistematis seperti Camus.

    Di buku ini bertebaran gagasan dari filosof dunia yang menandai keluasan pengetahuan Arief walau latar belakang pendidikannya adalah psikologi. Ia memakai gagasan Nietzsche “jadilah kuat bersama penderitaan” sebagai gambaran akan Chairil ketika ia mencoba bangkit dari bayang-bayang bunuh diri. Bait-bait paling terkenal Chairil dalam sajak Semangat : “Biar peluru menembus kulitku/Aku tetap meradang-menerjang/Luka dan bisa kubawa berlari/Berlari/Hingga hilang pedih dan perih” diakhiri dengan semangat hidup yang membara dalam : “Aku ingin hidup seribu tahun lagi.” menandai sekali kebangkitan itu.

    Lagi, ia merasa kesepian kembali setelah menulis sajak Semangat. Sajaknya kemudian yang berjudul Hukum memang agak berbeda dengan terdahulunya, Tak Sepadan. Isi sajak itu bagi Arief menjadi tanda kehidupan Chairil yang sudah diidealisirnya. Sampai di sini, menurut Arief, babak pertama dalam hidup Chairil telah berakhir. Kemudian, muncul sajak Taman yang membuat Arief yakin bahwa Chairil mengalami kehidupan yang tenang.

    Pada bab selanjutnya Arief menjelaskan perbedaan terkait soal kematian yang direnungi Chairil pada usia 20-an awal, yakni tahun 1942 dan pada usia 27 pada 1949, tahun ketika ia meninggal. Sesaat menjelang kematiannya, Chairil menampakkan tanda bahwa sebentar kemudian ia akan tiada. Misalnya, menurut pengakuan Jassin, sahabat yang pernah mendukungnya dalam sebuah polemik sastra, Chairil menjadi senang dipotret.

    Ada sajak-sajak yang ditulis sebelum Chairil meninggal untuk mengenang peristiwa-pertiwa mengesankan, misalnya kisah cintanya dengan Mirat pada 1943, terlukis dalam sajak Mirat Muda, Chairil Muda-Di Pegunungan 1943. Ada sebuah bait membahas tentang kematian. Berbeda dengan kematian yang direnungi pada usia 20-an, ia seperti tak terbebani.

    Chairil mencapai pada pemahaman tentang absurdnya kehidupan. Pemahaman itu Chairil sampaikan dalam sajak Buat Nyonya N. Arief mensejajarkan bait terakhir dalam sajak ini dengan bait dalam salah satu sajak : “Sekali berarti, sudah itu mati.” Arief menafsirkan bahwa kematian terbaik ialah kematian ketika sedang berada di puncak. Namun lanjutan bait dalam sajak Buat Nyonya N. menurut Arief menjadi tepisan Chairil bahwa apa yang dianggap besar atau puncak segala sesuatu itu tidak berarti karena setelah itu akan kembali. Inilah absurditas yang dipahami Chairil. Bagian ini berakhir dengan pandangannya bahwa, “ada yang tetap tidak diucapkan/sebelum akhirnya kita menyerah,” yakni rahasia hidup.

    Berikutnya Arief membahas tentang dua sajak yang menurut Jassin telah selesai ditulis, namun belum dipublikasi. Namun Arief mengalami kesulitan menentukan itu. Di sini dijelaskan bahwa Chairil kala menulis sajak tidak harus selesai dalam waktu yang singkat. Namun, bilamana sajak sudah masuk redaktur, maka ia berani tanggung jawab, meski setelahnya kadang ia mengubahnya. Yang dibahas kemudian ialah sajak-sajak yang ditulis Chairil menjelang meninggal. Ia menerjemahkan puisi T.S. Elliot dan W.B. Yeats, juga menulis esai Membuat Sajak, Melihat Lukisan.

    Bab ke-3 Arief membahas sajak-sajak Chairil yang mempersoalkan agama. Oleh Arief, awal mula kita disodori pandangan filosof Paul Tilliich yang mengatakan bahwa religi memiliki pengertian lebih luas dari agama. Yang tergambar dalam sajak Di Mesjid adalah Chairil yang berkeinginan tak terikat agama meski sulit dijalani. Sajak selanjutnya berjudul Isa yang menghadirkan rasa iba Chairil terhadap pengorbanan Isa di kayu salib. Meski demikian ia tetap bertahan pada pendiriannya. Dan barulah esok harinya Chairil menulis sajak Doa sebagai tanda pengakuannya terhadap kuasa tuhan.

    Terkait pencarian jawaban persoalan hidup yang dialami Chairil, Arief menyatakan bahwa perosalan itu bukan dialami Chairil semata. Ia mengajak pembaca berefleksi dengan bertamasya menuju gagasan-gagasan para filosof pada bab 4 sampai bab 6. Tokoh-tokoh yang dipungut gagasanya ialah Sartre terkait Eksistensialime-nya, pandangan Nietzsche mengenai manusia sebagai “das nicht festgestellet Tier”, Heidegger, Kierkegard, Erich Fromm, juga Albert Camus. Nah, Arief lebih sering membahas filsafat Absurdita-nya Camus, sehingga ia menyimpulkan bahwa Chairil serasi dengan pandangan Camus tentang filsafatnya. Menurut Arief ini lah bukti keserasian itu : “Hidup hanya menunda kekalahan/tambah terasing dari cinta sekolah rendah/dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan/sebelum pada akhirnya kita menyerah.

    Buku ini waktu itu saya beli dari penjual buku keliling. Sayang sekali, buku sebagus ini sekarang susah ditemui di pasaran. Barangkali ini menjadi panduan bagi mahasiswa sastra dan mungkin ilmu sosio-humaniora lain saat menulis sebuah karya ilmiah, skripsi maupun jurnal dengan telaten serta pentingnya bekal wawasan intelektual yang luas. Dari buku ini kita bisa belajar membaca biografi seseorang tidak melulu dari detil-detil perjalanan hidup, proses kreatif, yang mungkin hanya menghadirkan kedangkalan-kedangkalan. Mungkin dengan mencoba menghayati karya demi karya akan membawa kita sampai pemahaman lebih mendalam. Menurut penulis sendiri dalam pengantarnya yang terpenting bukan benar-salah pengamatan kita, tetapi intens dan tidaknya penghayatan kita. Di akhir halaman dihadirkan sedikit ulasan tentang perjalanan hidup Chairil yang diceritakan oleh orang-orang terdekat Chairil.

    Buku yang sebelumnya diterbitkan Pustaka Jaya ini dihadirkan dengan kemasan yang sangat baik. Dari awal sampai akhir saya membaca, tidak saya temui kecacatan. Arief menyampaikan gagasannya dengan tulisan yang mudah dimengerti, seperti yang disampaikan Ignas Kleden : “sampai sekarang pun saya berpendapat, Arief Budiman merupakan penulis yang paling jelas menyusun dan mengemukakan gagasan-gagasannya.” Dibumbui pula dengan testimoni-testimoni dari kalangan intelektual terpandang, mengisyaratkan bahwa buku ini sangat layak untuk diterbitkan kembali. Juga bisa diniatkan sebagai penghormatan terhadap penulisnya.

    Ê

    Ê

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • 10 Alinea bersama Gaspar

    author = About Andreas Nova
    Bapak beranak satu, belum mau menjadi bapak beranak pinak.
    Sarjana Sastra dengan susah payah.

    View all posts by Andreas Nova →










    24 Jam Bersama Gaspar: Sebuah Cerita Detektif







    Sabda Armandio







    Buku Mojok





    2017





    Paperback





    228






    60000



    Tiga lelaki, tiga perempuan, dan satu motor berencana merampok toko emas. Semua karena sebuah kotak hitam.

     

     

    “Katanya, dari beberapa novel detektif yang dibacanya, ia menarik kesimpulan: untuk membuat cerita detektif, kau harus mahir membuat orang kebingungan. Dan dengan kesigapan serupa Yesus, tokoh detektifmu datang menjadi juru selamat untuk mengurai kebingungan yang kau buat dan memberikan penjelasan-penjelasan masuk akal yang kadang tidak memuaskan pembacamu, tetapi mereka merasa senang karena telah berhasil keluar dari kebingungan.” (hlm. 125)

     

    Frase “Sebuah Cerita Detektif” yang disematkan di bawah judul 24 Jam Bersama Gaspar menarik perhatian saya untuk membaca novel kedua Sabda Armandio ini—selain embel-embel “Pemenang Unggulan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2016”. Cerita detektif merupakan salah satu genre yang saya gemari. Semasa kecil, saya bertualang dan memecahkan misteri bersama Lima Sekawan, Sapta Siaga, Pasukan Mau Tahu dalam karya-karya Enid Blyton. Menginjak remaja, saya menghabiskan waktu bersama Trio Detektif, Conan Edogawa, dan Hajime Kindaichi. Saya terlebih dahulu mengenal duet Kosasih dan Gozali dalam karya-karya S. Mara GD, sebelum akhirnya mengenal dua ikon cerita detektif: Sherlock Holmes dan Hercule Poirot.

     

    “Sebuah Cerita Detektif” menjadi frase yang sangat menarik karena jarang sekali penulis Indonesia yang menggarap genre ini. Hal itu saya anggap wajar karena kisah detektif lokal sangat susah dibawakan secara nyata—peran detektif dibedakan dari peran polisi seperti cerita detektif luar negeri, karena hukum di Indonesia tidak melegalkan profesi detektif. Formula karakter Kosasih, yang seorang Kapten Polisi, dan Gozali, yang merupakan mantan narapidana tapi memiliki kemampuan setara detektif, dalam karya-karya S. Mara GD masih menjadi formulasi yang pas bagi saya untuk narasi detektif klasik berlatar Indonesia. Ruwi Meita, dalam Misteri Patung Garam, menggunakan formula yang sedikit berbeda dengan menempatkan Kiri Lamari sang tokoh utama dalam peran detektif sekaligus polisi. Frase tersebut memancing rasa ingin-tahu saya untuk menjawab apakah Sabda Armandio menggunakan formula yang serupa, atau memodifikasi formula yang sudah ada. Terlepas dari semua itu, saya memiliki ekspektasi untuk memuaskan kerinduan terhadap sebuah cerita detektif berlatar lokal yang sudah cukup lama absen tertelan genre romantis.

     

    Di luar dugaan, ekspektasi saya untuk memuaskan kerinduan terhadap sebuah cerita detektif konvensional justru buyar ketika membaca halaman demi halaman novel ini. Jika kisah Sherlock Holmes dan Hercule Poirot menjadi semacam konvensi tak tertulis untuk model narasi detektif, maka kisah Gaspar melakukan pendobrakan terhadap konvensi tersebut. Lalu, masihkah pantas novel 24 Jam Bersama Gaspar ini disebut sebuah kisah detektif jika ia tidak menaati konvensi kisah detektif?

     

    Umumnya, sebuah cerita detektif memiliki satu tokoh sentral yang berperan sebagai detektif. Namun sampai lebih dari separoh cerita, saya sebenarnya masih bingung, siapa yang memegang peran detektif dalam kisah ini. Gaspar yang merupakan tokoh sentral, sedari awal mengutarakan niatnya untuk merampok toko emas milik Wan Ali dalam waktu 24 jam ke depan tanpa persiapan, dan bahkan ia belum mengumpulkan komplotan untuk melaksanakan niatnya. Tokoh utama sebuah cerita detektif memang terkadang tidak digambarkan sempurna. Sherlock Holmes digambarkan memiliki ketergantungan pada narkotika, Gozali digambarkan memiliki masa lalu kelam sebagai seorang kriminal. Namun baru di novel ini saya menemukan cerita detektif yang tokoh utamanya malah memiliki niat jahat.

     

    Niat jahat ini tidak sekadar diutarakan dari awal. Deskripsi tokoh Gaspar dibentuk untuk membuat pembaca bingung memilih, apakah Gaspar adalah seorang protagonis ataukah antagonis. Sabda Armandio pun meramu deskripsi tokoh Gaspar dengan kalimat-kalimat yang menarik:

    Aku adalah ia yang diceritakan naga-naga dewasa kepada anak-anak mereka agar cepat tidur, “Atau ia akan mendatangimu”. Dulu Kim Il Sung menyebut namaku beserta segala kemampuanku untuk menghentikan rengekan Kim Jong Il kecil.” (hal. 1)

    Garang bukan? Tentu saja, karena Gaspar adalah amunisi utama cerita ini. Karakter Gaspar yang sangat kuat ini diseimbangkan oleh lima orang lain—dan satu motor— yang menjadi komplotan Gaspar dalam rencananya merampok toko emas milik Wan Ali. Karakter Gaspar menjadi tandon bagi sinisme dan sarkasme yang diluapkan oleh Sabda Armandio dengan baik, tidak berlebihan, mengingat karakter Gaspar yang memang dibuat seperti itu.

     

    Dialog dalam novel ini seolah seperti monolog, bergumam tak karuan, penuh dengan humor sarkas namun berbobot dalam membawa gagasan-gagasannya. Kalimat-kalimat sinis dan sarkas dari Gaspar tentang kejahatan dan kebaikan menjadi penggerak berjalannya narasi kisah Gaspar. Baginya, kebaikan yang selalu menang adalah konyol. Karena banyak orang yang memiliki kecenderungan menjadi jahat dan mencari pembenaran-pembenaran akan kejahatan yang dibuatnya.

    “Ingat, Sahabat, tiada yang lebih berbahaya selain cerita yang memaksamu percaya bahwa kebaikan selalu mengalahkan kejahatan, sebab ia akan membuatmu tumpul dan zalim.” (hal. i)

     

    Kisah Gaspar dilajukan dalam dua alur pararel yang saling melengkapi. Alur pertama menceritakan bagaimana Gaspar membentuk komplotan dadakan yang masih masih meragukan rencana perampokan yang absurd sampai perampokan itu sendiri terjadi. Alur kedua adalah alur wawancara polisi dengan nenek-nenek pikun nan nyinyir. Alih-alih seperti kisah detektif yang dibawakan dengan serius, kedua alur tersebut dibawakan seperti orang yang bermain-main, terkesan tidak matang tapi konsisten. Kedua alur yang sepertinya tidak menyambung ini justru saling melengkapi dan membangun misteri dan ketegangan yang membuatnya tetap pantas disebut sebagai sebuah cerita detektif.

     

    Penulisnya tak mendongengkan kisah detektif yang heroik, yang menyingkap misteri melalui petunjuk-petunjuk yang ditemukannya. Tokoh utamanya malah bercerita tentang dirinya sendiri dan rencana jahatnya. Tidak ada detil-detil penyelidikan seperti halnya cerita detektif klasik. Hal-hal tersebut disamarkan dalam narasi dan baru dibeberkan di akhir cerita. Hal-hal yang biasanya ada di sebuah cerita detektif konvensional nampaknya tidak berlaku bagi Gaspar. Tak heran Dewan Juri Sayembara Menulis Novel DKJ 2016 menyebut novel kedua Sabda Armandio ini sebagai kritik atas konvensi cerita detektif.

     

    Membaca novel ini seperti saya merasa memainkan game Grand Theft Auto: Vice City. Entah mengapa dari semua game GTA yang pernah saya mainkan, saya merasakan seri keenam dari GTA ini  menjadi yang paling dekat dengan Gaspar. Mungkin karena di game ini pertama kalinya tokoh utama bisa mengendarai sepeda motor. Terlintas di kepala saya, tokoh utama GTA selalu merupakan penjahat, namun karena saya yang memainkannya, semua hal yang ia lakukan di dalam dunianya adalah benar. Saya bahkan mencari pembenaran atas kejahatan yang saya lakukan di dalam sebuah permainan. Aneh, bukan. Jahat ya jahat saja, tidak perlu mencari pembenaran.

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

    https://kibul.in/resensi/10-alinea-bersama-gaspar/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/06/featgasp.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/06/featgasp-150×150.jpgAndreas NovaResensi24 Jam Bersama Gaspar,Andreas Nova,Budaya,buku,kibul,Resensi,Sabda Armandio,Sastra,Sastra Indonesia 
     
    ‘Katanya, dari beberapa novel detektif yang dibacanya, ia menarik kesimpulan: untuk membuat cerita detektif, kau harus mahir membuat orang kebingungan. Dan dengan kesigapan serupa Yesus, tokoh detektifmu datang menjadi juru selamat untuk mengurai kebingungan yang kau buat dan memberikan penjelasan-penjelasan masuk akal yang kadang tidak memuaskan pembacamu, tetapi mereka…
    Bicara Sastra dan Sekitarnya

  • Ziarah

    author = Moh. Alim

    Ziarah

    /1/
    Rombe,
    ketika bayi yang kau kandung tidak lagi mengea
    suaranya yang keras dikalahkan oleh burung-burung di sangkar
    apa yang sedang kau sembunyikan dari kenyataan?
    tentu aku murka dan bertanya.

    Angin-angin yang berkelimang di pagi hari
    meniup sambil menerkam :
    barangkali bayi itu sedang menerjang otakku.
    sehingga anugrah kau sebut hukuman seorang pendosa.

    Mataku yang meruncing nafasku yang kian sesak,
    seolah peluru dan granat membungkam mulutku.

    Rombe,
    kemana bayi itu?
    aku ingin menasihati sebuah perjalanan hidup
    yang mesti didengar :
    bahwa hidup tidak melulu membela diri
    dan kejujuran perlu di jaga sampai mati.
    Tentu aku murka dan bertanya ?

    -Puisi-Alim-

    Ziarah

    /2/
    sungguh sunyi anak yang mati
    sungguh sepi anak yang mati,
    Sayang !
    Anak itu bukan mati sendiri.

    betapa suram anak itu menjerit sendiri,
    perlahan-lahan,
    petaka tumbuh di pagi hari.

    Sayang !
    Maut di sini kejam,
    di mana dataran terlalu lapang,
    di mana langit terlalu adiluhung.

    di kota ini kita sedikit begitu sengsara
    berpijak di tanah yang mendidih,
    di bawah langit
    kita dihujani oleh yang satu
    dan yang lain beku diambang pintu.

    Sayang !
    di jalan yang lemah, kita sedang berduka.

    -puisi-Alim-

    Ziarah

    /3/
    Di dalam jendela kamar
    ada yang meraung sekuat suara
    ada jua yang menundukkan kepala
    ada yang sedang bermimpi
    ada yang putus asa
    ada pula yang berpikir.

    Ketika syair-syairku mati
    ada yang tidak mendengar
    ada yang menangis
    ada yang berbisik sebuah nama
    ada yang menarik nafas
    ada yang berduka.

    Ketika kota berkabut asap
    ada yang menolak derita
    ada jua yang menjerit perlahan
    ada yang menjanjikan masa depan
    ada yang lapar dan dahaga.
    Manusia menderita
    manusia telah menderita
    alangkah panjang malammu !

    -puisi Alim-

    Musim Dingin

    musim dingin hanya sebentar
    musim dingin tidak kekal, anakku,
    musim dingin tidak kekal.

    jangan kau biarkan disita oleh waktu
    jangan kau biarkan ditipu oleh masa muda
    jangan biarkan kau dihantam senapan dan peluru
    tengaklah !
    jangan seperti bunga yang mudah layu.

    musim dingin tidak kekal, anakku,
    musim dingin tidak kekal
    ia cepat melintas di usia muda:
    lalu sedulur api membakar matamu.

    musim dingin tidak kekal, anakku,
    musim dingin tidak kekal.
    ketika sangkamu: lonceng kehidupan berderu
    membajak hari pagimu
    maka lonceng malammu menjadi
    akhir suka dan dukamu.
    musim dingin tidak kekal, anakku,
    musim dingin tidak kekal

    -puisi Alim-

    Air Mata, Mata Air

    Rinai tangisan hatiku
    sebagai rintik hujan di kota :
    apa guna gerangan makna lesu
    yang menjadi penyusup kalbuku?

    Aduu… lembutnya tetesan hujan
    merintiki tanah dan atap rumah kami.
    wahai, tarian hujan
    hati kami diambang bosan !

    Hamburan ratap kami berujung tanpa sebab
    dalam hati yang digandrungi egosime diri.
    apakah penghianatan selalu tidak ada?
    tentu, sesal ini tidak menemukan sebab.

    Sungguh perih dan menyiksa !
    ketika kami sama-sama tidak tahu
    keindahan tragedi dan cinta.
    Hati pun larut dalam derita.

    -Puisi Alim-

  • Ziarah oleh Dhani Susilowati

    author = Dhani Susilowati

    Catatan Redaksi:
    Puisi berjudul Ziarah nampak memperlihatkan pertentangan antara hal-hal yang mengikat dengan yang membebaskan. Dalam puisi tersebut, aku lirik berusaha untuk melepaskan diri dari ikatan yang selama ini membelenggunya. Namun setelah berani bertindak atas nama kebebasan tersebut, ia kemudian malah terjebak pada kebimbangan. Hal ini terjadi karena kebebasan berada di ranah personal sementara ikatan adalah bagian dari ranah publik. Pada akhirnya, kebebasan individual, yakni memilih apa yang diinginkan akan kembali terpenjara dalam ikatan yang berada di ranah publik. Inilah ironi yang ditampakkan dalam puisi tersebut

     

    Ziarah

    Aku gagal berziarah tempo hari. Sebab doktrin itu belum mati.
    Aku gagal berziarah (lagi) kemarin. Sebab doktrin itu masih saja menuai benci.

    Pada akhirnya aku benar-benar berziarah hari ini.
    Serba hitam busana kupakai. Bacaan tahlil berdengung ramai.

    Tapi siapa yang kuziarahi?
    Sebab doktrin itu masih lekat pada mereka, para pengabdi.

     

    Adalah Candu

    Sebab
    mencintaimu adalah rindu.
    Penjara kau aku,
    di jeruji tabu.

    Sebab mencintaimu adalah
    candu. Candu memadu aku, dalam
    telisik degup di nadi yang biru, tenang
    tapi menipu

     

     

    Lelaki Makam

    :Kau

    Malam sebelum hilang
    lelaki itu bilang,

    “Aku akan menziarahi kenangan.”

    “Bawa serta bunga segar, barangkali ia akan senang,”

    bisik Nona sebelum diam.

    Malam-malam usai pertemuan,
    wanita itu bilang,

    “ia telah nyaman menjadi lelaki makam.”

     

     

    Monyet Berdasi

    Lihat, monyet itu berdasi.
    Sekarang sedang duduk di kursi.
    Dia tidak suka pisang lagi. Malah
    gemar makan roti, dan
    jalan-jalan ke luar negeri

    Lihat (lagi),
    monyet itu berpidato kali ini.
    Katanya demi kemajuan negeri.

    “Ah masa si?”

    Tutur pak kyai.

     

     

    Gambar adalah lukisan berjudul Graveyard karya Karl Isakson (1878-1922)

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • When Almond Blossomed dan puisi-puisi lainnya

    author = Edwin Anugerah Pradana

    Le Mythe de Sisyphe

    “Il n’y a qu’un problème philosophique
    vraiment sérieux: c’est le suicide.” – Albert Camus

    Sedekat itulah kita
    dengan kematian yang
    menjadi siklus.

    Aiolos menyadari
    putranya adalah angin
    bengal tanpa kompas.

    “Ia, Sisifus, adalah
    kering yang tandus.”

    Lalu, batu itu adalah kehidupanmu

    Kejahatan telah jadi
    pasir-pasir akrab, seperti
    persetubuhan keji dengan
    kemenakan.

    “Izinkan aku kembali ke Korintus.
    Neraka ini melelahkan.”

    Persefon mengizinkan
    dengan titah memburuh
    batu besar bukit tandus.

    Sedekat itulah kita
    dengan kematian yang
    menjadi siklus.

    Seperti juga
    hidup yang ampang
    dan jadi buruh

    daripada mati
    daripada bunuh diri?

    2920

    Segelas Teh untuk Raja Arthur

    “Sesap aku di dingin salju!”

    Gelas berongga ini
    mengantarkan hangat
    dan wangi teh langsung
    dari abad kelima.

    “Letakkan Excalibur!”

    hari ini tak ada perang
    di Camelot, hanya ada
    ampas daun dan

    kepul asap
    yang mengitari gelas
    bersama musim-musim
    gugur Britania.

    2020

    Dawn’s Highway

    I saw a ghost on the highway
    Bleeding on the road
    He said an empty heart is always
    stone-cold– Jim Morrison

    Suar-suar berubah
    memunculkan tabung
    dimana lirik-lirik gelap
    Light my Fire bersentuhan
    dan api-api kecil memadam.

    Gurun New Mexico
    menyamai kerongkongan
    kering dan depresi
    yang kian waktu kian
    padat sekarat.

    Indian telah merekat
    di darah-darah, juga
    kau dan rambut
    tanggung bergelombang.

    “Paris and toilet speak louder
    than death, Jim.”

    Mungkin kalimat
    itu yang akan kukatakan
    jika aku membopongnya
    keluar dari toilet.

    Di situlah ia melepaskan
    dirinya, berganti baju
    jenazah, sebuah ajal
    sebangun toilet.
    Lalu Paris sedikit
    bercerita tentang kematiannya:

    “Di atas kalimat Kata Ton Daimona Eaytoy.
    Kini album dan namamu
    telah tiba di epitaf Père-Lachaise.”

    2020

    When Almond Blossomed

    Giya Kancheli menyaksikan bagaimana proses surga dibanjiri oleh bir. Lalu minor-minor itu semakin memabukkan, dan tentu She is Here menyusul. Teringat pada suatu kelahiran, di Tiflis. Suatu kelahiran pada almon, tanpa pohon. Hanya simfoni?

    Tak ada surga dan bencana, berarti banjir bir adalah sebuah orkestra lembab dan kini basah.

    “Surga banjir bir!”

    Semakin dalam tuts piano, semakin dangkal langit. Panggung itu berada di jamuan bidadari. Ia sendiri yang meminta malaikat menyalakan penyintesis. Sebuah alat tambahan.

    “Sinyal dan suara campur rintik akan segera tiba ke bumi.”

    Ia sedang menikmati surga, dan kini pelangi adalah susunan. Kini pelangi jadi klasik. Kini hujan akan disusul orkestra yang melarik-larik awan mendung.

    Namun teduh.

    Esok surga banjir bir.

    2020

    Epigram Sengkuni

    Pincang aku masuk dalam tanah
    perlahan tiba saat matahari
    kutunggu terang dan saktinya.

    Sama seperti aku menanti
    minyak tala agar keabadian
    segera turun seperti sinar fajar.

    Hangatlah aku dalam kekal, sebelum Bima membunuhku.
    Semoga kayangan adil menghitung duka dan tak melupakan sengsaraku atas nama tipuan Pandu.

    2020

  • Tulisan Awal Juni oleh Polanco Surya Achri

    author = Polanco Surya Achri

    TULISAN AWAL JUNI

    Azan berkumadang!

    : mengapa harus kulewati rumahnya

    untuk menuju rumah-Mu?

     

    Tuhan, kini sandalku rusak!

     

    (2016)

     

     

    NEON

    Seekor kumbang terbalik di pelataran masjid, tiga pasang kakinya bergerak-gerak hendak meraih sesuatu. Cahaya! Mungkin sang kumbang tengah merindu, bagai si pungguk merindukan bulan.

    Suatu daya mengerakkanku: membalikkan badannya

    ia menyentuh jariku dan kami merasa bercahaya!

    Mei, 2017

     

     

    DUHAI, CAHAYA DI ATAS CAHAYA

    Pada bayangan diri, aku masih tergoda

    padahal aku begitu ingin seperti laron yang sirna

    terbakar dalam penyatuan

    Apa karena begitu terangnya cahaya

    sampai-sampai aku terpesona pada bayangan—diri?

     

    (1438)

     

     

    DI MASJID

    Kita dulu kerap berlomba, berteriak “amin” paling keras dan kencang saat menghadap-Nya. Dan kita amat suka saat dimarahi orang-orang itu, lalu senyum-senyum sendiri saat mengingat-ingat wajah-Nya yang ikut bahagia mendengar suara kita. Namun, kini kupikir kita sama naifnya dengan mereka—bahkan mungkin lebih. Kita berlaga khusyuk: mengalami perjumpaan, padahal kita bener-benar memaling.

     

    (1438)

     

     

    MALAM-MALAM GANJIL! AKU MENCARI KEGENAPAN BATIN

    Jika aku bersandar pada tiang rumah-Mu

    entah mengapa aku selalu terpejam:

    membayangkan apa itu keabadian

     

    (1438)

     

    *gambar tiang Masjid Vakil di Shiraz, Iran

    Catatan Redaksi:

    Puisi-puisi Polanco adalah puisi religius. Religiusitas dalam puisi ini adalah persoalan pencarian dan penemuan (jalan) cahaya. Apakah kita harus senantiasa menatap matahari untuk bisa melihat cahayanya? Tentu saja tidak karena mata kita malah akan rusak karenanya. Tapi kita masih bisa melihat cahaya itu dari benda-benda yang terkena sinarnya. Benda-benda itulah yang kemudian akan memantulkan cahaya sampai ke mata kita. Kisah kumbang yang terbalik dalam salah satu puisi Polanco adalah bentuk metafora tersebut. Aku lirik akan dapat menemukan cahaya illahiah dari pantulan cahaya yang mengenai si kumbang yang saat itu memerlukan cahaya (pertolongan) Tuhan. Tapi boleh jadi juga, dari kacamata si kumbang, aku liriklah yang sebenarnya menjadi pemantul cahaya illahiah.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Tragedi Potong Rambut oleh Andre Wijaya

    author = Andre Wijaya

    TRAGEDI POTONG RAMBUT

    Tragedi potong rambut serupa upacara keluarga

    menyucikan diri dari libur paling panjang

    anak pulang milik penuh orang tua

     

    di kepala hidup sebuah kecamatan

    aku adalah camat membangun segalanya

    kota yang resah gagal diselamatkan

    dari hari pemotongan

     

    jalanan kembali lengang di kota kami

    kehilangan pohon hitam yang rindang

    anak tidak akan tumbuh

    bayi-bayi mati

    kehabisan ketombe pada akar dan batang

     

    seorang anak dari kutu jenis lain sedang mencari ibu

    cemas menunggu popok dan puting susu

    isak tangis tak akan lama dan tersesat

    air mata jatuh ke perut

    membentuk kesedihan yang tak pernah larut

     

    aku kenang rambut gugur sebagai kesedihan

    menyabari rumah runtuh dan rubuh

    lelaki di ujung sana menjelma gunting cukur

    meresmikan kutu menjadi yatim piatu

     

    aku masuk ke dalam cermin

    tidak berkenalan sama sekali

    rumah tangga hancur

    dan kematian terus berlompatan dari kepala

    entah siapa saja

    cinta seluruh rambut panjangku

    kecuali satu

    : perintah mama adalah nyanyian burung

    serupa radio rusak dan murung

     

    di rahim

    perempuan membangun puisi

    menuliskan syair tentang surai pendek

    untuk setiap anak lelaki

     

    aku pulang dengan perasaan yang lain

    menuntaskan bon dan keinginan

     

    di wajah

    jiwa muda sudah murah meriah

    mama jadi sumringah

     

    suatu hari

    seseorang berjanji melupakan panjang dan halus rambut

    pagi ini Chris Hemsworth ada di televisi

    rambut Thor menjuntai ke bahu dan indah sekali

    pandanganku kabut

    sesuatu menciptakan hujan di mata sendiri

    : mengingatkanku pada sebuah tragedi

     

    Perpustakaan UGM, 23 Februari 2017

     

     

    SEORANG LELAKI DAN PEREMPUAN TAK PERNAH ADA

    Seorang lelaki dan perempuan berbincang pada sebuah kepala

    dan di kepalaku mimpi basah susah diciptakan

    imaji sudah tawuran

    tapi tertangkap polisi

    segala mesum dipulangkan

    dibimbing terlebih dahulu

    membawa malu

    gagal menghadirkan seorang perempuan di kamar kosku

    seorang lelaki tidak pernah bertanya

    mengapa di kepala lain perempuan menjadi begitu purba?

    pada mimpi paling getas

    kesunyian paling purna

    ketidakberhasilan yang berulang

    adalah kesepian yang mudah pecah

    aku putuskan bicara pada kasur

    jejak di lantai tercipta saat bangun dan mau tidur

    aku adalah si bodoh

    yang tak pandai menghapus langkah

    pada panjang pendek jarak

    dan begitu lumrah

    mungkin tidak ada yang tahu

    ketakutan menjadi aku sekarang

    malam yang kita sebut adalah kecewa

    gagal memesumi mimpi-mimpi paling basah

    sesuatu mencoba kabur pada sepi yang gigil

    seorang perempuan tak berhasil dipanggil

    dalam angan-angan yang begitu kecil

    maka aku ini orang sederhana bukan?

    tidak menjadi istimewa

    pada mimpiku yang biasa-biasa saja

    Perpustakaan UGM, 2017

     

     

     

    INI HARI TAK ADA JEMURAN

    Ini hari tak ada jemuran

    kau menolak lupa segala hal untuk mencuci

    bernyanyi di kamar mandi

    melepas pakaian

    menggantung segalanya pada paku pintu dengan harapan

    : kenangan malam

    bekas dan ingatan

    tak akan bersih bersama deterjen

    yang kau beli dari toko sebelah

    ketika baru saja buka

    setelah hari lalu menggelar kawinan

     

    hari ini terik sekali

    tetapi kau tak sedikitpun punya niat

    mengeringkannya dari masa lalu

    yang memecahkan kepalamu

     

    karikatur yang membentuk dadamu

    seringkali bersentuhan dengan gambar bibir di bajunya

    kau paham

    : ciuman hanya membuatmu

    tidak mau mengambil ember dan sikat di pagi ini

    Malam Minggu serupa malam-malam lain

    yang gembira menziarahi kesedihan

     

    tentu kau mengingat

    hari di mana kau resmi sendiri

    : sepulang menonton dari bioskop

    dia memutuskanmu

    hanya karena tak suka film komedi

    yang membuatmu terbahak setengah mati

     

    setelah itu kau lupa

    bagaimana cara tertawa

    juga bahagia

     

    kawat di luar sana menyuruhmu segera menjemur apapun

    karena tidak kuat menjadi sesuatu yang bukan apa-apa

     

    kau melamun di atas kloset

     

    sikat gigi

    shampo dan sabun mandi menunggumu sejak tadi

    muak menyaksikan laba-laba

    : membangun jaring

    memamerkan kejantanan pada betina

    yang tak lagi takjub setelah ada sesuatu mulai jatuh

    dan berisik di atap rumahmu

     

    gerimis

    kau tersentak

    baru saju ingat

    lupa tak membeli pewangi dari toko sebelah

    : suami istri yang tiap hari ribut

     

    Mungkin Malam Minggu waktu yang tepat untuk pergi ke laundry pikirmu

     

    Perpustakaan UGM, 5 Februari 2017

     

     

     

    BAJU BARU DARI IBU WARNA BIRU

    Kau tidak pernah suka baju baru dari ibu warna biru

    mengapa tidak abu-abu katamu

    membuatku cemas

    tak sengaja menemukan masa lalu

    : kau dan berak menjadi tontonan

    di sela-sela pelajaran berhitung

    yang tidak pernah kuingat lagi tanggal dan waktu

    besok adalah Rabu

    hari di mana kau memulainya tanpa kau yang dulu

    kemarin kau membeli sesuatu dari toko buku

    judulnya membingungkanku

    bagaimana bisa kau membeli sebuah buku

    Tips Jitu Melupakan Kekasih dan Malam Minggu

    tepat di samping novel Cintaku di Kampus Biru?

    SMP celana kau hampir ungu

    kata ibuku coba pakai belau

    celanaku sudah luntur

    kau terbayang-bayang saat angin menyibak roknya

    celana dalamnya juga ungu lebih ke laut-laut biru

    matamu tak bisa mengenali warna

    bentuknya memalingkan logika

    aku malu berteman denganmu

    aku memanggil Tuhan untuk mengutukmu

    kelas bersorak

    menutup hidung dan teriak panggil guru

    itu pertama kali kau lihat sabit di bibirnya

    wajahmu purnama bulan digagal awan

    membuat kau tidak perlu malu

    dengan tahi yang jatuh satu-satu

    tak sekalipun ragu-ragu

    kau tidak pernah suka baju baru dari ibu warna biru

    lebih-lebih celana yang berwarna…

    kau tahu?

    aku dijuluki anak lugu saat itu

    Perpustakaan UGM, 6 Februari 2017

     

     

     

    DEODORAN MURAH MERIAH BELI DUA DAPAT SATU

    Ada sesuatu yang kau beli dari Pasar yang Baru Buka Beberapa Minggu. Shampo Anti Ketombe, Sabun Mandi Anti Kurap Kadas Panu, Deodoran Murah Meriah Beli Dua Dapat Satu. Kau bertanya, berapa harga yang harus kau bayar? Dua puluh lima ribu, kata Pria Itu. Setelah membayar, seorang pria teriak-teriak ingin bertemu dan mengambil maju. Segalanya menjadi kesal, orang-orang sibuk mencaci maki sambil mengepal tangan dan membentuk tinju. Sesampai di rumah, kau terbayang-bayang kejadian seru. Orang-orang mengingat si Ketiak Kuning yang tak ada malu, itu, sisa deodoran tak hilang di area baju. Kau baru saja mengambil dan membuang sesuatu. Esok. Berencana menjadi pria lain. Datang ke Pasar yang Baru Buka Beberapa Minggu itu.

    Perpustakaan UGM, 9 Februari 2017

     

    Catatan Redaksi:

    Puisi-puisi Andre Wijaya bisa dikatakan ekspresif sekaligus eksperimental. Memperlihatkan bagaimana ledakan jiwa muda penulis terhadap situasi-situasi di sekelilingnya, terlihat emosional dan tergesa.

    Dalam beberapa puisi, ia tampak memilih diksi-diksi yang cenderung bisa dipahami sebagai sesuatu yang jorok. Sebagai contoh kutu, berak, sempak, BH dan lain lain. Agaknya pilihan kata itu untuk menjauhkan diri kesan indah yang sering dipahami dalam penciptaan sebuah puisi. Dalam posisi ini terlihat bagaimana penulis mencoba melakukan gebrakan, hanya saja ia lupa bahwa meskipun tak melulu menggunakan diksi-diksi yang indah keindahan puisi tetap saja muncul, tergantung pada tinggat kepandaian penyairnya sendiri.

    Kalau kita lihat puisi-puisi ini masih dikategorikan sebagai tulisan baru—dilihat dari tanggal penciptaannya—sehingga penulis mungkin perlu lebih berhati-hati dalam mengekspresikan pikiran dan perasaannya terlebih dalam bentuk puisi. Tapi keberanian penulis untuk bereksperimen dalam penulisan puisi-puisinya perlu diapresiasi meskipun ia mesti berjuang keras lagi untuk memperoleh kematangannya.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

  • Tiga Cara Menikmati Syukur

    author = Wiviano Rizky Tantowi

    Tiga Cara Menikmati Syukur

    Ada tiga cara kita menikmati syukur:
    1. Jangan pernah mengeluh
        saat ibu memasak sayur kesukaanmu
        dengan tangis melunak dan bumbu beban
        spp sekolah anak-anaknya yang tak lekas lunas.

    2. Dengarkan ayah ketika membagi sepotong cerita,
        tentang kemenangan atas hidup mengembaranya
        yang ia letakkan di atas medan catur sebelum raja
        benar-benar mengancam kedudukan ratu di ranjangnya

    3. Peluklah adik dengan ikhlas
        meski di tangannya tampak jelas
        takdirnya lebih mengalir deras
        ketimbang kita yang sesekali masih
        suka memasang raut wajah melas dihadapan-Nya.

    Maaf Yang Bercermin

    Hari yang kamu jalani kemarin
    adalah maaf yang bercermin
    dan memantaskan diri
    menemui salah dan lalai di hari ini

    Kisah Dua Bapak Muda

    Vas bunga tergelepar di busung palka
    sendirian, mendengar dua bapak muda
    saling lempar pertanyaan resah dengan mendesah
                         (oh, kubiarkan anakku menyelami dilemanya sendiri, katanya)
    Lenguhannya, denting sepasang alat makan, koki yang tak sabar,
    kelotek alat-alat dapur juga sanggahan dari bapak muda satunya,
    kian binal dan sentimental, sementara di ujung tempatku berada
    seperti tak ada apa-apa, gemuruh tawa dari suara terpaksa,
    berhasil kalahkan wabah yang melanda. Bagi mereka hidup adalah
    perkara pembagian masalah. Aku di sini hanya mengamati,
    betapa semua baik-baik. /Kalau dua bapak
    itu mau marah, peraslah biji nangka dalam wadah/ dan napas megap-megap
    pada bungkus kresek yang ringsek. Sejurus kemudian, mereka berdua lupa
    di kopinya masing-masing ada pahit yang larut dari sisa kecemasan keluarganya
    dan sepotong kata maaf yang baru khilaf.


    Kematian Kita Menjadi Lagi Rumah

    :untuk Joyce Christin K.

    Sekilat kilau cahaya sore ini menyilau di hamparan ruang tamu
    —katamu, “tak kutemukan lagi rumah sesungguhnya”
    datang dengan sebungkus pangsit dan berita pahit
    merupakan kesedihan yang berusaha mendobrak masa laluku
           lalu kamu diam, aku bungkam
    tak berani melanjutkan cerita. (pantas saja, dering telponmu
    menyaut ragu) tapi aku juga punya firasat buruk yang meremukkan
    pikiranku sepanjang gugus bintang itu redup, dan aku tak bisa apapun
    selain mengaku dihadapanmu aku lemah yang berusaha menolak pasrah
           (dan lantas aku memelukmu sampai kematian kita menjadi lagi rumah)

  • Theseus

    author = Hisyam Billya Al-Wajdi

    Theseus

    Melempar tatapan ke arah theseus

    Aroma kenikmatan muncul dimana-mana

    Ketika ia letuskan sari kehidupan

    “di kotaku banyak tersaji lubang penawar kenikmatan sekaligus mawar yang durinya bisa di rontokan dengan sentuhan pangkat dan jabatan”

    “di kotaku gairah panas mu kan tersalurkan,segera tanpa kekangan”

    “theseus,adakah birahi ini selesai bersama tersungkurnya minotaur”

    Theseus pun terbang dan mengambang di atas paras rembulan

    Diiringi jerit dan tangis penuh kesakitan

     

    2020

    Seperti Burung dalam Akuarium

    Interlude

    Wajah yang mengenang sebagai kenangan,nafas yang mengalir sebagai sungai,datanglah seperti sekawanan burung dalam akuarium,ku persembahkan padamu bumi yang dihuni para rahib

     

    Bau nafas matahari

    Yang tajam dan hitam menjaring

    Seperti kaldera pada bulat kawah candradimuka 

    Oinarle ada baiknya kita membenamkan diri di selaksa bunga

     

     Oinarle…

    Ku bungkus luka keringku ketika awan  berhamburan ke arah kita

    “Apakah cahaya  bisa memusnahkannya?”katamu

    Boleh jadi senandung dari bisu batu

    Arif menindihnya

     

    Di bumi yang lain

    Sebuah aroma musim panas yang kental

    Tiba-tiba mati dari lengking kanak-kanak

    Akankah pancaran cahaya seperti celah golgota

     

    “Ini adalah siang dimana dingin di awetkan dan rentang waktu seperti dikebiri,masih adakah cinta disini?kenangan brengsek tumpah juga pada akhirnya ketika angin merampas puisi yang kudendangkan”

     

    2020

    Jane

    Jane…

    Bangunkan aku saat fajar sudah merekah sempurna

    Saat burung-burung terbang berkeliaran di hamparan awan

    Bangunkan aku jane

    Ketika embun bermanja-manja pada kelopak bunga

    Sampai keduanya runduk dalam lena

    Jane,janey…aroma musim panasku

    Bangunkan aku…

    Ketika kuda jantan siap pacu 

    Sudah meringkik,jumpalitan ekornya

    Lalu siapkan sanggurdi buatku

    Supaya tak manjal-manjal kakinya

    Supaya nafasnya semakin memburu dalam kendaliku

     

    2020

    Sajak-sajak Buat Otto

    Ia sehelai daun 

    Yang takkan tanggal meski dicambuk angin

    Angin yang tajam,kusam dan berdebu

    Dia itu sebongkah batu

    Takkan lapuk di kikis waktu

    Embusan nafasnya melukis angin

    Membentang diantara sabana-sabana yang gersang

     

    II

    Lelaki itu memungut cahaya yang jatuh dan rebah dipanggkuan tanah sambil menyeka air matanya ia berkata”sebaik-baik cahaya ialah yang memberi kesempatan kegelapan terjelma”

     

    III

    Siul suaramu

    Adalah angin yang menghembus 

    Sabana gersang hatiku

    Alunan nasehatmu

    Adalah kokok ayam di pagi buta

    Membangunkan harapan,berpendaran

    Wajah dan senyum basah mu

    Adalah rembulan numinous

    Adalah bunga camelia

    Senantiasa melulur cahaya

     

    2020

  • Tetesan Rindu Karya Titan Sadewo

    author = Titan Sadewo
    Lahir di Medan, 2 Desember 1999. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Belajar membaca dan menulis di komunitas FOKUS UMSU.
    Puisinya termaktub di antologi Syair Maritim Nusantara (2017), Anggrainim, Tugu dan Rindu (2018).

    SUARA DARI KRETEK

    Sebatang rokok itu sebenarnya ingin sekali membakar dirinya sendiri dengan pasrah tanpa ada campur tangan orang asing yang senang meraba-raba tubuhnya.
    Sebatang rokok itu sebenarnya ingin sekali menyapa asap yang sering dibawa angin entah ke mana.
    Sebatang rokok itu tak pernah tahu hubungan antara api dan asap.
    (2018)

     

     

    MENGUNJUNGI KAMAR MANDI

    Kutemui wajahku yang malu-malu bersembunyi di balik ember. Ia suka mencuci muka dengan ayar suci yang berasal dari sumur baki. Setelah itu, ia kembali ke tempat persembunyiannnya dan berpura-pura menjadi orang asing.
    Kutemui tubuhku yang menggigil dipeluk handuk. Ia paham bahwa handuk menerima siapa saja yang ingin kehangatan dan pelukan. Tanpa ia sadar, bahwa handuk tak pernah memeluk tubuhnya sendiri.
    Kutemui bola mataku yang hilang di dalam gayung. Ia tahu bahwa gayung selalu menyiram siapa saja yang masuk ke dalam kamar mandi dengan air mata. Tanpa gayung tahu, bahwa air mata yang ia gunakan adalah tangisan yang hilang.
    Kudengar ketukan pintu dan hentakan kaki dari luar kamar mandi.
    (2018)

     

    ALISMU: TEMPAT BIANGLALA BERMUARA

    Hujan yang menjalari pipimu akan menghasilkan bianglala. Tapi, dagumu yang basah tak pernah mengizinkan apapun bertengger di sana.
    Sebab itu alismu yang baik hati mengizinkan bianglala melingkarinya.
    (2018)

     

    ANAK KECIL ITU

    Anak kecil itu melihat langit seperti merasakan kasih sayang ibunya yang mahaluas. Yang tak pernah ada habisnya. Walau ia tahu bahwa ibunya juga akan tiada.
    Anak kecil itu melihat hujan seperti merasakan peluh keringat ayahnya yang terus menetes. Yang tak pernah ada hentinya. Walau ia tahu bahwa ayahnya juga akan tiada.
    Anak kecil itu melihat kedua orang tuanya di atas sana. Padahal, semalam ia melihat kedua orang tuanya di bawah sini.
    (2018)

     

    TETESAN RINDU

    Air mata menjelma duka yang tak ada habisnya. Sebab, pertemuan tak kunjung datang. Hanya karena jarak yang memotong ruang.
    Air mata menjelma tetesan rindu yang menjalari pipimu.
    (2018)

     

     

    Pendapat Anda: