Author: Tobma

  • Puisi-puisi Jane Hirshfield

    author = A. Nabil Wibisana

    Dahulu, Ia Puisi Cinta

    Dahulu, ia puisi cinta,
    sebelum pahanya gempal, napasnya pendek,
    sebelum ia menyadari dirinya duduk,
    buncah dan sedikit jengah,
    di sepatbor sebuah mobil yang sedang terparkir,
    sementara banyak orang melintas tanpa menoleh

    Ia ingat dirinya bersolek seakan ada janji penting.
    Ia ingat memilih sepatu,
    syal atau dasi istimewa ini.

    Sekali waktu, ia minum bir saat sarapan,
    mengayun langkah kaki
    di sepanjang sisi sungai, beriring dengan kaki seseorang.

    Pernah ia pura-pura malu, lalu benar-benar malu,
    menundukkan kepala sampai rambutnya jatuh tergerai,
    menutupi mata.

    Ia bicara penuh gairah tentang sejarah, atau seni.
    Dahulu ia sungguh rupawan.
    Di bawah dagunya, tiada gelambir.
    Di belakang lututnya, tiada lapik lemak kuning.
    Apa yang ia pahami di pagi hari masih ia yakini saat malam tiba.
    Rahasia tak diundang membuat alis dan pipinya terangkat.

    Renjana tiada pula berkurang.
    Tapi ia tetap mafhum. Waktunya menimbang seekor kucing,
    budidaya Violces atau kaktus-bunga.

    Baiklah, ia memutuskan:
    Kaktus-kaktus mini, dalam pot biru dan merah.
    Ketika ia menemukan dirinya gelisah
    lantaran sunyi-senyap yang asing dalam kehidupan barunya,
    ia akan menyentuh mereka—satu kaktus, lalu yang lain—
    dengan satu jari yang terulur serupa nyala api kecil.

    Dari Given Sugar, Given Salt, diterbitkan oleh HarperCollins (2011). Dipublikasi ulang di laman Academy of American Poets (https://poets.org/poem/was-once-love-poem).

    Matematika

    Aku selalu iri pada mereka
    yang mampu mencipta benda
    yang berguna, kokoh—
    kursi, sepasang sepatu bot.

    Bahkan sup,
    sarat kentang dan krim.

    Atau mereka yang mahir meminda,
    barangkali, tiris jendela
    mengelupas retakan dempul lawas,
    menutup sempurna dengan segaris baru.

    Kau bisa belajar,
    cermin itu memberitahuku di malam yang larut,
    tanpa keyakinan, tampaknya.
    Satu alisku sedikit bergetar.

    Aku memandang
    apartemen sewa ini—
    di mana pun aku meragukannya,
    pola kertas dinding tersambung sempurna.

    Kemarin seorang perempuan
    menunjukkan padaku
    sebuah bangunan berbentuk
    serupa lambung kapal terbalik,

    rangka atapnya, di balik plester,
    diikat dengan kulit-mentah lentur,
    kolom-kolom marmer
    dicat menyerupai kayu.
    Atau mungkin sebaliknya?

    Aku menatap tangan tak cakap itu,
    begitu polos,
    bentuknya sama belaka sebagaimana tangan orang lain.
    Bahkan pena yang dipegangnya: sebuah misteri, sungguh.

    Kulit-mentah, tulisnya,
    dan kursi, dan marmer.
    Alis.

    Lantas perempuan itu bertanya padaku—
    Barulah aku mengenalinya:
    saudariku, diriku yang lebih muda—

    Apakah sebuah puisi memperluas dunia,
    atau sekadar gagasan kita tentang dunia?

    Bagaimana kau memilih satu dan bukan yang lain,
    Aku berdusta, atau tak berdusta,
    sebagai jawaban.

    Dari Given Sugar, Given Salt, diterbitkan oleh HarperCollins (2011). Dipublikasi ulang di laman Poetry Foundation (https://www.poetryfoundation.org/poems/47098/mathematics-56d22750792c3)

    Pemikiran

    Sesuatu yang terlalu sempurna untuk diingat:
    batu hanya indah ketika basah.

    ***

    Dibutakan sinar atau selubung hitam—
    begitu banyak cara
    tak melihat derita orang lain.

    ***

    Terlalu pekat rindu:

    memisahkan kita
    bagai aroma dari roti,
    karat dari besi.

    ***

    Dari jauh atau dekat sekali—
    cekung tegas gunung lembut belaka.

    ***

    Seolah mengubur lengan ke dalam mantel wol,
    kita mendengar gumam si mati.

    ***

    Setiap titik dalam lingkaran adalah titik mula:
    hasrat menolak kepuasan memutar hasrat jenis lain.

    ***

    Di sebuah ruang di mana tiada
    apa pun yang terjadi,
    aroma-manis tembakau.

    ***

    Tangan-tangan tua saling memeluk, mengenang sesepuh.

    ***

    Timbang pikiran rawan, atau siap-siap kesepian.

    Dari majalah Poetry (December 2010). Dipublikasi ulang di laman Poetry Foundation (https://www.poetryfoundation.org/poetrymagazine/poems/54219/sentencings).

    Segalanya Tampak Kokoh

    Segalanya tampak kokoh.
    Rumah-rumah, pohonan, truk—bahkan sebuah kursi.
    Sebuah meja.

    Kau tak berharap salah satunya akan hancur.
    Tidak, butuh palu untuk menghancurkan,
    atau perang, gergaji, atau gempa bumi.

    Troy demi Troy demi Troy tampak kokoh
    bagi mereka yang tinggal dalam perlindungannya.
    Sembilan lapis Troy pastilah kokoh,
    masing-masing gemetar di bawah yang lain.

    Tatkala tanah banjir
    dan semut api meninggalkan kota kokoh yang mereka bangun,
    mereka saling menghubungkan kaki dan membentuk rakit,
    mengapung dan tetap hidup, lalu mulai membangun lagi di tempat lain.

    Kokohlah, harapan hidupmu
    terus menautkan lengan dengan riwayat kedipan mata, riwayat sumur tangis,
    riwayat lembar tembaga yang berulang ditempa dan penanaman cedar Port Orford,
    riwayat lelucon tok-tok.

    Tok, tok. Siapa di sana?
    Aku.
    Aku siapa?

    Pertanyaan pertama dan terakhir.

    Ia yang dahulu memakai piyama,
    ia yang dahulu berlimpah ciuman.
    ia yang tampak begitu kokoh
    Aku tak bisa membayangkan mulutmu berhenti bertanya.

    Dari majalah The New Yorker (5 September 2016). Sebelumnya dipublikasikan di laman The New Yorker pada 29 Agustus 2016. (https://www.newyorker.com/magazine/2016/09/05/things-seem-strong-by-jane-hirshfield).

    Aku Ingin Dikejutkan

    Untuk permohonan semacam itu, dunia akan membantu.

    Buktinya seminggu lalu, bersua seekor landak gemuk,
    ia sama terkejutnya denganku.

    Pria yang menelan mikrofon kecil
    untuk merekam suara-suara tubuhnya,
    tak berpikir sebelumnya bagaimana ia bisa selamat.

    Roti lapis kubis dan mustar berbentuk bulat kelereng.

    Betapa mudahnya laba-laba besar terperangkap dalam cangkir plastik bening,
    bahkan mereka pun terkejut.

    Aku tak tahu mengapa aku terkejut setiap kali cinta bersemi atau berakhir.
    Atau setiap kali ditemukan fosil baru, planet mirip Bumi, atau pecah perang.
    Atau tak ada siapa pun di sana ketika kenop pintu jelas-jelas bergerak.

    Apa yang mestinya tak begitu mengejutkan:
    silap demi silap, kuakui saat terjadi di hadapan orang lain.

    Apa yang tak cukup mengejutkan:
    harapan rutin bahwa segala hal akan sinambung,
    banyak hal memang terus berlanjut, tapi banyak hal berhenti pula.

    Sungai kecil masih mengalir menuruni bukit, bahkan kala hujan absen sekian lama.
    Hari lahir saudara perempuan.

    Juga, keteguhan yang keras kepala dan santun.
    Bahkan hari ini tolong bermakna tolong,
    selamat pagi masih dipahami sebagai selamat pagi,

    dan ketika aku terjaga,
    gunung di luar jendela tetaplah gunung,
    kota di sekitarku tetaplah kota, tabah berdiri.
    Lorong-lorong dan pasar, tempat praktik dokter gigi,
    Rite-Aid, toko minuman keras, Chevron.
    Perpustakaan—ah, kejutan menyenangkan—yang tak mengutip denda untuk buku
    yang terlambat dikembalikan: Borges, Baldwin, Szymborska, Morrison, Cavafy.

    Dari majalah The New Yorker (10 & 17 Juni 2019). Sebelumnya dipublikasikan di laman The New Yorker pada 3 Juni 2019 (https://www.newyorker.com/magazine/2019/06/10/i-wanted-to-be-surprised).

    Tentang Penyair

    Jane Hirshfield adalah penyair, esais, dan penerjemah berkebangsaan Amerika Serikat. Anggota American Academy of Arts and Sciences ini lahir di New York pada 24 Februari 1953. Selepas menyelesaikan pendidikan di Universitas Princeton, ia belajar dan mendalami Zen di San Fransisco Zen Center selama delapan tahun. Telah menerbitkan sejumlah buku puisi yang meraih berbagai penghargaan, di antaranya: The Beauty (2015), finalis National Book Award; After (2006), daftar pendek T.S. Eliot Prize; dan Given Sugar, Given Salt (2001), finalis National Book Critics Award. Puisi-puisinya terpilih dalam tujuh edisi tahunan Best American Poetry. Tahun 2004, ia menerima penghargaan Academy Fellowship for Distinguished Poetic Achievement dari Academy of American Poets. Buku kumpulan puisinya yang kesembilan, Ledger, akan segera terbit

  • Puisi-Puisi Caroline Norton

    author = Rini Febriani Hauri

    Hatiku seperti Kacang Layu

    HATIKU seperti kacang layu,
    bergetar dalam kulitnya yang cekung;
    kau takkan bisa melepaskan dadaku dan meletakkan
    sesuatu yang segar untuk meninggalkan
    harapan dan impian yang mengisi kepalaku
    saat musim semi,  kemuliaan hidup yang memenuhi pandanganku,
    hilang! Dan tidak pernah  merasa sukacita sehingga rasa sakit
    yang menyusut  akan membengkak lagi.

    Hatiku seperti kacang layu;
    begitu lembut untuk setiap sentuhan,
    tapi sekarang sangat erat dan tertutup;
    aku tidak perlu memohon lagi
    suara ringan sekaligus kencang membuka alisku,
    angin sepoi-sepoi mengguncang pepohonan
    buah-buah yang  bergelantungan  diterangi sinar matahari,
    kebohongan-kebohongan menjadi dingin, kaku, dan sedih, sepertiku!

    Hatiku seperti kacang layu –
    sangat lucu bila dilihat;
    tapi ledakan sial telah mengubah
    warnanya menjadi  gelap dan menyedihkan.
    seperti semangat pemuda yang masih hijau
    seharusnya buah itu pulih kembali;
    dan hatiku yang malang, aku merasakannya dalam kebenaran
    bukan matahari maupun senyuman yang akan menyinarinya lagi!

    *judul asli: MY heart is like a withered nut

     

     

    Jangan Mencintai

    Jangan mencintai, jangan mencintai! Hai anak-anak tanah liat!
    karangan bunga penuh harapan terbuat dari bunga-bunga duniawi
    beberapa diantaranya memudar dan rontok
    bunga-bunga itu telah mekar beberapa lama.
    jangan mencintai!

    jangan mencintai! Apa-apa yang kaucintai bisa berubah:
    bibir kemerah-merahan akan berhenti tersenyum kepadamu,
    mata yang ramah menjadi dingin dan aneh,
    jantung berdegup kencang, namun  itu semua tak nyata.
    jangan mencintai!

    jangan mencintai! Apa-apa yang kaucintai akan mati,
    semoga binasa dari bumi yang riang gembira;
    bintang-bintang sunyi, langit biru tersenyum,
    balok kuburan kita, masih seperti dulu saat kelahirannya.
    jangan mencintai!

    jangan mencintai! Oh, kata peringatan yang sia-sia
    masa-masa  sekarang sebagaimana  tahun-tahun berlalu;
    cinta mengibas-ngibaskan lingkaran ke kepala sang terkasih,
    sempurna, abadi, sampai mereka berubah atau mati,
    jangan mencintai!

    *judul asli: Love Not

     

     

    Cinta Pertama

    YA, aku tahu kau pernah menjadi kekasihku,
    tapi hubungan kita sudah berakhir,
    meskipun perjalanan cinta kita sudah selesai,
    kau tahu kau masih bisa menjadi – temanku:
    aku masih muda dan  bodoh, ingatlah;
    (pernahkah kau mendengar John Hardy bernyanyi?)
    saat itulah, tanggal lima belas November,
    dan inilah akhir musim semi!

    Kau mengeluh Kau tak diperlakukan dengan baik
    tiba-tiba saja aku berubah;
    bisakah aku membantumu? kau sangat sombong,
    karena  menganggap kau setara dengan Joe.
    jangan berlutut di kakiku, aku mohon padamu;
    jangan menulis pada gambar –gambar yang kaubawa;
    jangan memintaku mengatakan, ‘aku memujamu,’
    Sebab, memang, sekarang tidak lagi seperti dulu.

    aku akui, ketika di Bognor kita berpisah,
    aku bersumpah dulu pernah memujamu –
    aku seorang pembantu yang patah hati,
    dan kau seorang pria paling menawan
    kuakui, saat aku membaca surat pertamamu,
    aku menghapus namamu dengan air mata-
    tapi, oh! Aku masih muda – dan tak tahu apa-apa,
    bolehkah kukatakan padamu, aku telah bertemu Hardy di sini?

    Betapa membosankan menjadi dewasa! Betapa cemasnya,
    mengulangi janji menjadi kenyataan –
    jika aku mengatakan sesuatu, aku akan  menceritakan sebuah kisah,
    karena aku mencintai Hardy lebih baik darimu!
    Ya! Hatiku yang manis telah memperbaiki yang lain,
    (aku menghela napas  setiap kali ia pergi,)
    aku akan selalu mencintaimu – sebagai saudara laki-laki,
    tapi di dalam hatiku hanya ada John Hardy seorang diri.

    *judul asli: First Love

     

     

    Aku Tak Mencintaimu

    Aku tak mencintaimu! – tidak! Aku tak mencintaimu!
    namun, saat kau tak hadir, aku merasa sedih;
        dan iri saat langit biru cerah berada  di atasmu,
    bintang yang tenang bisa melihatmu  bersukacita.

        Aku tak mencintaimu! – Namun, aku tak tahu mengapa,
    bagiku segalanya masih tampak baik
        di saat kesendirianku, aku sering menghela napas
    bahwa orang yang kucintai tidak lebih seperti kau!

        Aku tak mencintaimu! – Namun, saat kau pergi,
    aku membenci suara-suara (meski orang-orang berbicara tentang cinta)
       memecah gema nada yang tersisa
    suara -suaramu terdengar di telingaku.

        Aku tak mencintaimu! – Namun matamu yang biru berbicara,
    dengan dalam, dengan terang  dan penuh perasaan
        aku dan langit tengah malam terbangun,
    lebih sering daripada mata yang pernah kukenal.

        Aku tahu, aku tak mencintaimu! Namun, sayang!
    orang lain hampir tak memercayai hatiku yang jujur;
       dan aku menangkap mereka tersenyum saat berjalan,
    karena mereka melihatku menatap keberadaanmu

    *judul asli: I Do Not Love Thee

     

     

    Andai Aku Bersamamu!


    Andai  aku bersamamu! setiap hari dan setiap waktu
    sebab saat jauh darimu, aku menghabiskan waktuku dalam kesedihan –
    andai  aku tercipta memiliki kekuatan gaib
    aku akan mengikuti kegalauanku!
    bagaimana pun nasibmu – baik di darat maupun laut –
    andai aku bersamamu – selamanya?

    Andai  aku bersamamu! Ketika dunia lupa,
    tubuhmu yang lelah terlempar di atas rerumputan
    sementara terang jingga matahari sore terbenam,
    semua pikiranmu hanyalah milik surga:
    Sementara mimpi bahagia telah hatimu peroleh –
    andai aku bersamamu – dalam kegembiraanmu!


    Andai  aku bersamamu! Ketika kita tidak lagi berpura-pura
    tertawa terbahak-bahak  menahan napas;
    bibirmu yang lembut menuangkan keluhannya yang manis,
    dan airmata telah memadamkan cahaya di dalam matamu:
    lalu semua tampak gelap dan sedih berada di bawahnya,
    andai aku bersamamu – dalam celaka mu!

    Andai  aku bersamamu! Ketika hari-hari patah,
    saat bulan telah menyinari laut yang sepi –
    atau ketika di tengah keramaian, beberapa catatan serampangan terbangun:
    berbicara kepada hatimu untuk mengenangku.
    dalam kegembiraan atau kesakitan, baik di laut maupun di darat –
    andai aku bersamamu – selama-selamanya!

    *Judul asli: Would I Were With Thee!

     

     

    Profil Penyair:

    Caroline Elizabeth Sarah Norton,  (22 Maret 1808 – 15 Juni 1877) adalah seorang pembaharu sosial Inggris  yang lahir tanggal 22 Maret 1808. Ia juga penulis yang aktif di awal dan pertengahan abad kesembilan belas. Kampanye Caroline yang intens menyebabkan berlalunya Undang-Undang Penitipan Bayi 1839, Undang-Undang Penyebab Kekristenan tahun 1857 dan Undang-Undang tentang Wanita yang Menikah pada Tahun 1870. Meninggal pada tanggal 15 Juni 1877.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Puisi Matsuo Basho dan Priest Sosei

    author = Dian Annisa
    Berdomisili di Fuchu Tokyo Jepang, menyelesaikan pendidikan sarjana dan magister di FIB UGM, kini sedang menempuh program Doktoral di Tokyo University of Foreign Studies

    京は
    九万九千くんじゅの
    花見哉
    (Kyo wa/ kuman-kusen kunju no/ hanami kana)

    Di Kyoto
    Sembilan puluh sembilan ribu orang
    Melihat bunga

     

    初桜
    折しも今日は
    よき日なり
    (hatsuzakura/ orishimo kyo wa/ yoki hi nari)

    Bunga sakura mekar
    Sekarang, hari ini
    Di hari yang cerah

     

    さまざまの
    こと思ひ出す
    桜哉
    (samazama no/ koto omoidasu/ sakura kana)

    Terlalu banyak
    Hal yang kukenang
    Bunga sakura

     

    月花も
    なくて酒のむ
    独り哉
    (Tsuki hana mo/ nakute sake nomu/ hitori kana)

    Tiada bulan, tiada bunga
    Hanya minum sake
    Sendiri

     

    Keempat puisi di atas oleh Matsuo Basho

    Tentang Matsuo Basho:

    Lahir tahun 1644, di Ueno, Provinsi Iga. Basho adalah penyair paling terkenal pada zaman Edo. Basho dikenal sebagai master haiku (puisi pendek Jepang yang punya ciri khas 5-7-5 suku kata dan kigo (kata yang berkaitan dengan musim ketika haiku ditulis)). Basho melakukan perjalanan keliling Jepang untuk mendapatkan inspirasi. Karyanya yang paling terkenal adalah travelog Oku no Hosomichi (The Narrow Road to the Deep North) yang jadi salah satu teks wajib untuk murid SMA di Jepang.

     

    花の木も
    今はほり植ゑじ
    春たてば
    うつろふ色に
    人ならひけり
    (Hana no ki mo/ ima wa hori ueji/ haru tateba/ utsurou iro ni/ hito naraikeri)

    Mungkin aku seharusnya tidak menanam pohon bunga
    Karena mengingatkanku dengan mereka
    Yang datang di musim semi ketika bunga bermekaran
    Dan pergi di waktu yang lain

     

    いつまでか
    野辺に心の
    あくがれむ
    花し散らずは
    千代もへぬべし
    (itsumade ka/ nube ni kokoro no/ akugaremu/ hana shi chirazu wa/ sendai mo he nu beshi)

    Betapa aku menyukai padang ini
    Yang dihiasi bunga-bunga
    Jika bunga tidak berguguran, bertahan
    Mungkin aku akan tetap disini
    Selamanya

     

    おもふどち
    春の山辺に
    うちむれて
    そことも言はぬ
    旅寝してしか
    (omoudochi/ haru no yamabe ni/ uchi murete/ soko tomo iwanu/ tabine shite shika)

    Musim semi kali ini
    Aku pergi ke gunung
    Bersama kawan
    Menghabiskan malam bersama
    Di bawah langit terbuka

     

    今こむと
    言ひしばかりに
    長月の
    有明の月を
    待ちいでつるかな
    (ima komu to/ iishibakari ni/ nagatsuki no/ ariake no tsuki wo/ machiide tsuru kana)

    Dia berjanji padaku
    Akan segera datang
    Aku menunggunya
    Tapi siapa yang datang
    Selain berkas bulan di pagi hari?

     

    Keempat puisi di atas oleh Priest Sosei

    Tentang Priest Sosei

    Priest Sosei adalah seorang penyair dan pendeta Buddha. Puisi ini termasuk dalam antologi puisi Jepang kuno dan modern Kokin Wakashuu yang selesai dikumpulkan pada tahun 920.

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

  • Pipa [Etgar Keret]

    author = Ifan Afiansa

    Ketika aku kelas tujuh, sekolah mendatangkan psikiater dan meminta kami untuk mengikuti serangkaian tes. Ia memperlihatkan duapuluh kartu, satu demi satu, dan menanyakan apakah ada yang salah dengan gambar di kartu tersebut. Menurutku kartu-kartu itu terlihat baik-baik saja, namun ia mendesakku dan kembali menunjukkan kartu pertama—satu-satunya kartu yang terdapat gambar anak kecil. “Ada yang salah dengan gambar ini?” ia bertanya dengan suara lesu. Aku berkata gambarnya terlihat baik-baik saja. Ia sungguh marah, dan berkata, “Dapatkah kau lihat ada seorang anak tanpa daun telinga?” Mendengar itu aku kembali menatap kartu tersebut, aku coba melihat seorang anak tanpa daun telinga. Namun, gambar itu terlihat baik-baik saja. Psikiater menggolongkanku sebegai ‘penderita gangguan persepsi akut’, dan mengirimkanku ke kelas pengolahan kayu. Sesampainya di sana, alergi serbuk kayuku kambuh, lalu mereka memindahkanku ke kelas pengolahan logam. Aku rasa cukup nyaman di sana, namun aku tidak sepenuhnya menikmati. Sejujurnya aku tidak nyaman digolongkan. Ketika aku lulus, aku mulai bekerja di pabrik pipa. Bosku merupakan insinyur dengan gelar diploma dari Fakultas Teknik. Seorang yang brilian. Jika kau menunjukkan gambar seorang anak kecil tanpa daun telinga atau sejenisnya, dia paham itu hanya buang waktu saja.

    Setelah bekerja, aku menetap di pabrik, dan membuat pipa dengan bentuk aneh, salah satu bentuknya terlihat seperti ular yang meringkuk, aku melempar kelereng ke dalamnya. Aku tahu itu terdengar seperti remeh, aku pun tidak begitu menikmatinya, tetapi aku ingin melakukanya.

    Suatu malam aku membuat pipa yang sangat rumit, dengan banyak lekukan dan belokannya, dan ketika aku melempar kelereng di dalamnya, kelerengnya tidak keluar di ujungnya. Awalnya aku pikir mungkin hanya macet di dalamnya, tetapi setelah mencoba dengan 20 butir lebih kelereng, aku menyadari kelereng itu menghilang begitu saja. Aku tahu apa yang aku katakan terasa sangat bodoh. Aku ingin setiap orang tahu jika kelereng-kelereng itu tidak hanya menghilang, tapi ketika aku memperlihatkan kelereng-kelereng itu memasuki ujung pipa, namun tidak keluar di ujung lainnya, hal ini tidak serta merta membuatku menjadi aneh. Saat ini terlihat baik-baik saja. Lalu aku memutuskan untuk membuat pipa yang lebih besar, dengan bentuk yang sama, hingga aku bisa merayap di dalamnya dan menghilang. Ketika ide itu terlintas, aku sangat senang dan tertawa terbahak-bahak. Kupikir ini kali pertama dalam hidup aku tertawa.

    Mulai hari ini aku mengerjakan pipa raksasa. Setiap malam aku mengerjakannya, dan di pagi hari aku menyembunyikannya di gudang penyimpanan. Pekerjaan ini menghabiskan waktu 20 hari. Pada malam terakhir, aku menghabiskan lima jam untuk merakitnya dan sebagian lainnya aku habiskan berbaring di atas lantai.

    Ketika aku lihat satu bagian utuh, sejenak rehat, aku ingat guru pelajaran sosialku berkata semenjak kali pertama manusia menggunakan pemukul, ia bukanlah orang terkuat ataupun tercerdas di sukunya. Hanya saja orang lain tidak butuh pemukul, sementara dia membutuhkannya. Dia lebih membutuhkan pemukul dibandingkan lainnya, untuk bertahan hidup dan berhias diri sebagai orang lemah. Aku tidak berpikir ada manusia di belahan dunia ini punya keinginan untuk menghilang lebih daripada aku, dan karenanya aku membuat pipa ini. Aku pun bukan insinyur brilian dengan gelar lulusan teknik yang menjalankan perusahaan.

    Aku mulai merayap di dalam pipa, dan tidak berharap adanya ujung pipa. Mungkin di sana akan ada anak tanpa telinga, duduk di timbunan kelereng. Mungkin saja. Aku tidak tahu persisnya yang akan terjadi setelah melewati titik tertentu di pipa. Sejauh yang aku tahu, aku di sini.

    Saat ini aku merasa aku adalah malaikat. Maksudku, aku punya dua sayap dan lingkaran di atas kepalaku dan ada seribu lainnya sepertiku. Ketika aku tiba di sana, mereka duduk melingkar dan bermain kelereng yang aku gelindingkan ke pipa beberapa minggu yang lalu.

    Aku selalu berpikir bahwa surga adalah sebuah tempat untuk mereka yang menghabiskan seluruh hidupnya sebagai orang baik, kali ini tidak. Tuhan terlalu penyayang dan bermurah hati membuat keputusan serupa itu. Surga hanyalah sebuah tempat untuk mereka yang benar-benar tidak sanggup berbahagia di bumi. Di sini mereka berkata kepadaku bahwa orang yang bunuh diri akan kembali dihidupkan sebab faktanya mereka yang tidak suka pada kehidupan pertamanya bukan berarti mereka tidak layak untuk hidup dua kali. Namun, untuk yang benar-benar tidak pantas di dunia akan menguap di sini. Setiap dari mereka punya cara masing-masing untuk meraih surga.

    Ada pilot yang sampai di sini dengan memutari satu titik di segitiga bermuda. Ada pula ibu rumah tangga yang kabur melalui bagian belakang kabinet di dapurnya untuk ke sini, dan pakar matematika yang menemukan distorsi topologi di angkasa lalu memaksakan diri melaluinya untuk sampai ke sini. Jadi, jika kau sungguh tidak bahagia kemarilah, apabila banyak orang bilang dirimu adalah penderita gangguan persepsi akut, carilah caramu untuk kemari, saat kau menemukannya seharusnya dengan murah hati kau membawakan beberapa kartu, karena kami lelah bermain kelereng.

     

     

    Data Buku
    Cerpen ini terdapat dalam buku The Bus Driver Who Wanted to be God and other stories (naskah asli berasal dari bahasa Ibrani sebelum dialihbahasakan ke bahasa Inggris oleh Miriam Shlesinger.) oleh Etgar Keret, terbit 2015 oleh Riverhead Books.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

  • Perpustakaan yang Aneh [Haruki Murakami] (4 dari 4)

    author = Saddam HP

    Ini adalah bagian terakhir dari empat bagian terjemahan cerpen/novela Perpustakaan yang Aneh karya Haruki Murakami.
    Bagian sebelumnya ada di sini.

    (21)

    Di suatu tempat jam berbunyi sembilan kali. Manusia domba berdiri dan menggoncangkan lengan bajunya beberapa kali untuk mengakrabkan kembali kostum domba dengan tubuhnya. Saatnya telah tiba bagi kami untuk pergi. Ia melepaskan bola dan rantai dari kakiku.

    Kami keluar ruangan dan menuruni koridor yang remang. Kakiku kosong, sebab aku meninggalkan sepatuku di sel. Ibuku akan marah besar bila ia tahu aku meninggalkan sepatuku di suatu tempat. Itu sepatu kulit yang amat bagus, dan ibuku memberinya sebagai kado ulang tahunku. Namun, itu tidak sepadan, mempertaruhkan kesempatan ini sebab suara sepatu bisa membangunkan lelaki tua itu.  

    Aku memikirkan sepatu itu saat berjalan ke pintu baja besar. Manusia domba yang memimpin. Aku setengah lebih tinggi, sehingga kedua telinganya turun naik di hidungku setiap waktu.

    “Hei, Tuan Manusia Domba,” bisikku padanya.

    “Apa?” bisiknya kembali.

    “Seberapa bagus pendengaran lelaki tua itu?”

    “Malam ini adalah bulan baru, maka ia akan cepat tidur di kamarnya. Tetapi ia punya intuisi yang tajam, seperti yang sudah kau lihat. Jadi alangkah baiknya kau lupakan soal sepatumu. Sepatu bisa kau ganti, tetapi kau tak bisa mengganti otakmu atau hidupmu.”

    “Kau benar, Tuan Manusia Domba,”

    “Jika ia bangun dan mengejarku dengan ranting willow, berakhir sudah. Lantas aku tak berguna untukmu. Saat ia mencambukiku, aku tak berdaya–rasanya seperti aku menjadi budaknya.”

    “Apa ranting itu punya kekuatan spesial?”

    “Benar sekali,” kata manusia domba itu. Ia berpikir sejenak. “Ranting itu hanya ranting willow biasa. Tetapi entahlah.”

    (22)

    “Tetapi saat ia mulai memukulmu dengan ranting itu, kau tak berdaya, kan?”

    “Kira-kira begitu. Jadi sebaiknya kau lupakan sepatumu.”

    “Akan kulupakan” kataku.

    Kami berjalan sedikit lebih jauh menuruni koridor panjang itu tanpa bicara.

    “Hei,” kata manusia domba.

    “Ada apa?”

    “Kau lupa sepatu, kan?”

    “Ya, aku lupa sepatuku,” jawabku. Bagaimanapun juga, terima kasih atas pertanyaan itu, sepatu yang sudah coba kulupakan, kembali ke benakku.

    Tangga itu dingin dan licin, tepi depan anak tangga batu itu usang karena digunakan. Hampir setiap kali aku melangkah rasanya seperti seekor kumbang. Ketika kau memanjat dengan kaki kosong dalam puncak kegelapan, itu bukan perasaan yang luar biasa. Terkadang benda itu lembut dan licin, terkadang genting. Aku pikir, harusnya aku mengenakan sepatuku. 

    Setelah waktu lama, sampailah kami di puncak tangga dan tiba di pintu baja. Manusia domba menarik gantungan kunci dari sakunya.

    “Lakukan ini dengan pelan. Tak ingin membangunkan lelaki tua itu.”

    “Benar,” kataku.

    Ia memasukkan sebuah kunci dan memutarnya ke arah kiri. Ada suara yang besar, dan pintu terbuka dengan bunyi seretan yang panjang. Tidak pelan sama sekali. 

    “Mulai dari sini, jaringan jalan ini makin ruwet,” kataku.

    “Kau benar,” kata manusia domba. “Ada sebuah jalan, sekarang baru kupikirkan. Tak bisa mengingatnya dengan baik, tetapi kita akan menemukannya nanti.”

    Mendengar hal itu membuatku sedikit gelisah. Yang mengecoh dari labirin adalah kau tak tahu jalan benar yang kau pilih sampai kau tiba di ujungnya. Bila kau telah salah memilih jalan, biasanya sudah terlambat bagimu untuk kembali dan memulai lagi. Itulah masalah dengan labirin.

    (23)

    Seperti yang kubayangkan, manusia domba harus mencoba beberapa rute dan mengulangnya beberapa kali. Namun aku bisa merasakan bahwa bagaimana pun juga, kami makin dekat dan makin dekat dengan tujuan kami. Terkadang ia akan berhenti untuk menjalari jarinya sepanjang dinding dan menjilatinya dengan konsentrasi yang menakjubkan. Atau berjongkok untuk menekan telinganya di lantai. Atau bercakap dengan suara rendah dengan laba-laba yang bersarang di loteng. Berhadapan dengan jalur yang bercabang, ia akan berputar di tempat, seperti angin puyuh, sebelum memilih jalan mana yang harus ia ambil. Begitulah tingkah yang manusia domba gunakan untuk memilih rute untuk keluar dari labirin. Jauh dari cara yang kebanyakan orang bisa ingat.

    Sementara itu, waktu terus berjalan. Fajar hampir tiba, malam puncak kelam bulan baru tampak melunak sedikit demi sedikit.

    Aku dan manusia domba bergegas. Kami tahu kami harus menggapai pintu terakhir sebelum siang. Kalau tidak, lelaki tua akan bangun demi mengetahui kami kabur dan melakukan pengejaran.

    “Kau pikir kita akan berhasil?” tanyaku.

    “Ya, kelihatannya bagus. Mulai dari sini, akan sangat mudah.”

    Jelas saja manusia domba tahu sisa jalannya. Kami berlari menuruni koridor, lalu berbalik ke satu arah, lalu arah yang lain, tanpa berhenti. Akhirnya, koridor terakhir ada di depan. Kami bisa melihat pintu di ujung jalan, dan cahaya bocor melalui retakannya.

    “Lihat, sudah kubilang kan,” ucap manusia domba dengan bangga. “Aku sudah tahu selama ini. Yang harus kita lakukan hanya melewati pintu ini. Lantas aku dan kau akan bebas.”

    *

    Ia membuka pintu dan ada lelaki tua, menunggu kami.

    (24)

    Ruangan itu adalah ruangan yang sama tempat pertama kali aku bertemu dengannya. Ruang 107, di ruang bawah tanah perpustakaan. Ia duduk di depan mejanya, matanya terpaku padaku. 

    Di samping lelaki tua itu duduk seekor anjing hitam yang besar. Seekor anjing dengan mata hijau dan kalung bertabur permata.

    Anjing itu punya kaki yang kuat, dan enam cakar di tiap tapak. Telinganya bercabang di ujung, dan hidungnya berwarna cokelat kemerah-merahan terbakar matahari. Anjing itulah yang menggigitku bertahun-tahun yang lalu. Tubuh burung jalak peliharaanku yang berdarah terjepit di antara gigi-giginya. 

    Aku keluarkan tangisan kecil dan hampir limbung ke belakang, tetapi manusia domba menangkapku. 

    “Kami telah menunggu dan menunggu,” kata lelaki tua. “Apa yang membuatmu begitu lama? He?”

    “Aku bisa menjelaskan semuanya, Tuan,” manusia domba memulainya.

    “Diam, kau bodoh,” pekik lelaki tua. Ia keluarkan ranting willow dari saku belakangnya dan mencambuki mejanya. Anjing itu mendengarkan, dan manusia domba terdiam. Ruangan itu tetap seperti mayat.

    “Maka, sekarang,” kata lelaki tua itu. “Bagaiamana saya mengatur kalian berdua?”

    “Jadi kau tidak tertidur, dengan bulan baru?” tanyaku dengan penuh rasa takut.

    “Kau orang yang lancang,” cibir lelaki tua. “Aku tak tahu darimana kau kumpulkan informasimu, tetapi aku tak mudah dibodohi. Aku bisa membaca kalian berdua semudah aku membaca bintik semangka di siang hari.”

    Ruangan itu menjadi kelam di mataku. Kecerobohanku menghancurkan semuanya–bahkan burung jalak peliharaanku telah dikurbankan.

    Aku telah kehilangan sepatuku yang bagus, dan tak mampu lagi melihat ibuku. 

    “Dan kau,” kata lelaki tua, menunjuk rantingnya ke arah manusia domba. “Aku akan mencincangmu lembut dan cermat dan menyuapkanmu ke lipan.”

    Manusia domba bersembunyi di belakangku, sekujur tubuhnya gemetar.

    (25)

    “Dan untukmu, teman mudaku,” kata lelaki tua itu, menunjuk padaku, “Kau akan menjadi makanan anjing ini. Anjing ini akan melahapmu hidup-hidup. Kau akan mati pelan-pelan. Kau akan mati menjerit. Tetapi otakmu adalah milikku. Otakmu tentu tidak lagi selembut seharusnya bila kau telah menamatkan buku-buku itu, tetapi aku tidak akan pilih-pilih. Aku akan menghisapnya sampai tetes terakhir.”

    Lelaki tua itu memperlihatkan giginya dalam senyuman yang jahat. Mata hijau anjing itu mengilau dengan kegirangan.

    Saat itulah aku menyadari bahwa burung jalak di antara gigi anjing itu bertumbuh.

    Saat berukuran sebesar ayam, jalak itu memaksa rahang anjing terbuka seperti dongkrak mobil. Anjing itu mencoba untuk melolong, tetapi sudah terlambat. Mulut anjing itu koyak–terdengar bunyi tulang gemeretak. Lelaki tua itu dengan kalut mencambuki burung jalak dengan ranting willownya. Tetapi tubuh burung itu tetap mengembung sampai seukuran banteng, menekan cepat lelaki tua itu ke tembok. Ruang kecil itu dipenuhi suara kibasan sayap yang sangat kuat.

    Larilah. Sekarang kesempatanmu, kata burung jalak itu. Suara itu milik si gadis.

    “Tetapi bagaimana denganmu?” tanyaku pada jalak-yang-adalah-si-gadis.

    Jangan khawatirkan aku. Aku akan menyusulmu nanti. Cepatlah, sekarang. Jika kau tak segera bergegas, kau akan hilang selamanya, kata si-gadis-yang-adalah-burung-jalak.

    Aku melakukan seperti yang ia katakan. Memegang erat-erat tangan manusia domba, aku lari dari ruangan itu. Aku tak pernah melihat ke belakang.

    Masih terlalu pagi saat itu, dan  perpustakaan lengang. Kami menaiki tangga dan melewati aula utama menuju Ruang Baca, membuka dengan paksa sebuah jendela, dan berguling ke luar. Lalu kami lari sebisa kami ke parkiran, di mana kami roboh di rumputan. Kami berbaring di sana, mencari udara sambil mata kami yang tertutup. Aku tak membuka mataku cukup lama. 

    Ketika terbuka, manusia domba itu telah hilang. Aku berdiri dan mencari sekeliling. Aku memanggil namanya keras-keras. Tetapi tak ada jawaban. Matahari pagi menjatuhkan cahaya pertamanya ke atas dedaunan pohon. Manusia domba itu lenyap tanpa satu kata pun padaku. Seperti embun pagi yang menguap.

    (26)

    Ibuku telah menyiapkan makanan pagi yang panas di atas meja dan menungguku pulang. Ia tak menanyakanku apa pun. Tidak tentang kenapa aku tak pulang rumah setelah sekolah, atau di mana aku habiskan tiga malam ini, atau kenapa aku tak bersepatu–tak satu pun pertanyaan atau omelan. Rasanya sama sekali bukan ibuku.

    Burung jalak peliharaanku telah hilang. Hanya tersisa sangkar kosongnya. Aku tak bertanya tentang apa yang terjadi. Rasanya yang terbaik adalah menjauhkan topik itu sama sekali. Raut muka ibuku rasanya agak menghitam, bagai bayangan yang mengelilinginya. Tetapi itu mungkin tak lebih dari kesanku saja.

    Setelah itu, aku tak pernah lagi mengunjungi perpustakaan itu lagi. Aku tahu aku harusnya mencari satu orang yang berkepentingan mengurus tempat itu untuk menjelaskan apa yang telah terjadi padaku, dan mengatakan padanya tentang ruangan seperti sel yang tersembunyi jauh di bawah tanah. Kalau tidak, anak yang lain mungkin saja akan merasakan pengalaman mengerikan yang telah kulalui. Namun demikian, pemandangan gedung perpustakaan yang samar telah cukup untuk menghentikan langkahku.

    Aku pun terkadang memikirkan kembali sepatu kulit baru yang tertinggal di ruang bawah tanah itu. Sepatu itu mengarahkan ingatanku juga pada manusia domba dan gadis manis tanpa suara. Apa mereka sungguh nyata? Berapa banyak yang kuingat itu yang benar-benar terjadi? Sejujurnya, aku tak yakin. Yang kuyakin pasti adalah aku kehilangan sepatuku dan burung jalak peliharaanku. 

    Ibuku meninggal selasa lalu. Ia telah menderita karena penyakit misterius, dan pagi itu ia berpulang. Penguburannya sederhana, dan sekarang aku benar-benar sendiri. Tiada ibu. Tiada burung jalak peliharaanku. Tiada manusia domba. Tiada gadis. Aku terbaring sendiri di kegelapan jam dua dini hari dan memikirkan tentang sel di ruang bawah tanah perpustakaan. Tentang bagaimana rasanya sendiri, dan kedalaman kelam yang menyelubungiku. Kekelaman yang sehitam malam bulan baru.

    Haruki Murakami lahir di Kyoto pada 1949 dan sekarang tinggal dekat Tokyo. Karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari lima puluh bahasa, dan penghargaan internasional terakhir yang diterimanya adalah Jerusalem Prize, yang penerima sebelumnya termasuk J. M. Coetzee, Milan Kundera, dan V. S. Naipaul.

    The Strange Library oleh Haruki Murakami adalah sebuah novelette. Terbit di Jepang pada 2005 dengan ilustrasi oleh Maki Sasaki dengan judul Fushigi no Toshokan. Terbit dalam bahasa Inggris pada tahun 2014, diterjemahkan dari bahasa Jepang oleh Ted Goosen dan ilustrasi oleh Chip Kidd. Terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ini didasarkan pada teks bahasa Inggris.

  • Perpustakaan yang Aneh [Haruki Murakami] (3 dari 4)

    author = Saddam HP

    Ini adalah bagian ketiga dari empat bagian terjemahan cerpen/novela Perpustakaan yang Aneh karya Haruki Murakami.
    Bagian sebelumnya ada di sini. Bagian berikutnya ditayangkan Rabu, 5 Agustus 2020.

    (13)

    Aku memutuskan hal terbaik yang bisa aku lakukan adalah duduk dan membaca. Jika aku berusaha menemukan cara melarikan diri, pertama aku mestinya harus melumpuhkan musuhku. Artinya berpura-pura mengikuti suruhannya. Aku sangka tak terlalu rumit. Toh, aku tipe anak yang biasa mengikuti aturan.

    Aku ambil Buku Harian Seorang Kolektor Pajak Ottoman dan mulai membaca. Buku itu ditulis dalam bahasa Turki klasik; namun, anehnya, aku merasa amat mudah memahaminya. Tak hanya itu, tetapi juga setiap halaman tersangkut di ingatanku, kata demi kata. Karena beberapa hal, otakku diguyur segala yang kubaca. Seraya membalik halaman buku, aku menjadi kolektor pajak Turki Ibnu Armut Hasir, yang berjalan di sepanjang jalan Istanbul dengan pedang melengkung di pinggangnya, mengumpulkan pajak. Udara dipenuhi dengan aroma buah dan ayam, tembakau dan kopi; tergantung berat di seluruh kota, seperti sungai yang tergenang. Penjaja berjongkok sepanjang jalan, meneriakkan dagangan mereka: korma, jeruk Turki, dan sejenisnya. Hasir adalah orang yang tenang, cukup santai dengan tiga istri dan enam anak. Ia juga punya peliharaan seekor burung betet seimut burung jalakku.

    Jam sembilan lewat sedikit, manusia domba muncul di pintuku membawa cokelat dan kue.

    “Nah, kau istimewa!” katanya. “Tetapi, hei, bagaimana bila istirahat sejenak dengan cokelat panas?”

    Aku meletakkan buku itu dan mengambil cokelat dan kue.

    “Hei, Tuan Manusia Domba,” kataku. “Siapa gadis manis yang datang beberapa waktu lalu?”

    “Datang lagi? Gadis manis yang mana?”

    “Yang membawakanku makan malam.”

    “Aneh,” manusia domba itu berkata dengan pandangan bingung. “Aku yang membawakanmu makan malam. Kau berbaring di ranjangmu, tersedu-sedu dalam tidurmu. Dan seperti yang kau lihat, aku bukan gadis manis, hanya manusia domba.”

    Apakah aku telah bermimpi?

    (14)

    Namun keesokan malamnya, gadis misterius itu muncul lagi. Kali ini ia membawa sosis Toulouse dengan salad kentang, ikan kakap kembung, salad pucuk lobak, roti croissant yang besar, dan teh hitam dibubuhi madu. Hanya melihatnya, aku langsung merasa lapar.

    Santai saja. Pastikan kau makan semuanya! gadis itu berkata dengan tangannya.

    “Tolong katakan padaku siapa dirimu sebenarnya,” kataku.

    Aku adalah aku, itu saja.

    “Tetapi manusia domba itu bilang kau tak nyata. Dan selain itu pula–”

    Gadis itu mengangkat jari ke bibirnya yang mungil. Aku menahan lidahku.

    Manusia domba itu punya dunia sendiri. Aku punya duniaku sendiri. Begitu pula kau. Bukan begitu?

    “Ya, tentu saja.”

    Jadi hanya karena aku tak nyata dalam dunia si manusia domba, bukan berarti aku tak nyata sama sekali.

    “Aku mengerti,” kataku. “Dunia kita campur aduk–duniamu, duniaku, dan dunia manusia domba. Kadang-kadang dunia kita tumpang tindih, terkadang tidak. Itu maksudmu, kan?”

    Ia mengangguk kecil dua kali.

    Aku tak sepenuhnya bodoh. Tetapi pikiranku memang kian payah sejak anjing hitam besar itu menggigitku, dan menjadi tidak beres sejak itu.

    Gadis itu duduk di ranjang dan menatapku saat aku duduk dan menghabiskan hidangan. Tangannya yang mungil mengatup dengan sopan di atas lututnya. Ia kelihatan seperti arca kaca tipis yang menyerap sinar mentari pagi.

    (15)

    “Aku sangat ingin mengenalkanmu pada ibuku dan burung jalak peliharaanku,” kataku pada gadis itu. “Jalakku sangat pintar, dan sangat imut.”

    Gadis itu memiringkan kepalanya sedikit ke satu sisi.

    “Ibuku juga ramah. Tetapi ia terlalu khawatir padaku. Sebab seekor anjing pernah menggigitku ketika aku masih kecil.”

    Anjing macam apa?

    “Seekor anjing hitam yang besar. Anjing itu punya kalung leher kulit bertabur permata, dan bermata hijau, dan kaki yang kokoh, dan enam cakar di tiap tapak. Ujung telinganya terbagi dua, dan hidungnya cokelat kemerah-merahan, seperti terbakar matahari. Kau pernah digigit anjing?”

    Tidak pernah, kata gadis itu. Sekarang lupakan anjing itu dan habiskan makan malammu. 

    Aku berhenti bicara dan menghabiskan makananku. Lalu kuminum teh madu itu. Membuatku nyaman dan hangat.

    “Aku harus lari dari tempat ini,” kataku. “Ibuku khawatir, dan burung jalakku akan mati jika tak kuberi makan.”

    Apa kau akan membawaku bersamamu?

    “Tentu saja,” jawabku. “Tetapi aku tak yakin aku akan berhasil. Sebuah bola besi terikat di pergelangan kakiku, dan koridor itu berupa labirin. Dan manusia domba itu akan mendapat hukuman yang mengerikan saat lelaki tua itu sadar kalau aku pergi. Karena membiarkanku kabur.”

    Kita bisa membawa manusia domba itu bersama kita. Kita bertiga bisa bersama-sama melarikan diri.

    “Apa kau pikir ia akan bergabung bersama kita?”

    Gadis itu tersenyum cerah padaku.

    Maka, seperti malam sebelumnya, ia menyelinap dengan cepat lewat celah pintu yang sedikit terbuka dan pergi.

    (16)

    Aku sedang membaca di meja saat aku dengar suara gembok berputar, dan manusia domba itu masuk dengan satu nampan donat dan segelas limun.

    “Ini donat yang kujanjikan padamu kali lalu, langsung dari wajan.”

    Aku menutup buku dan menggigit cepat sepotong donat. Terasa sangat nikmat, renyah di luar, di dalamnya sangat lembut meleleh di mulutku.

    “Ini donat terbaik yang pernah kumakan,” kataku.

    “Aku baru saja membakarnya,” kata manusia domba. “Kau tahu aku membuatnya dengan tergesa-gesa.”

    “Aku berani bertaruh bila kau membuka kedai donat, akan laku besar.”

    “Ya, aku pernah memikirkannya. Betapa luar biasa.”

    “Aku tahu kau bisa melakukannya.”

    “Tetapi siapa yang cukup menyukaiku untuk datang ke kedaiku? Aku berpakaian lucu, dan ini gigiku. Aku tidak mengawasi mereka dengan sangat baik.”

    “Aku akan menolongmu,” kataku. “Aku akan menjual donat, dan berbicara dengan pelanggan, dan mengatur uang dan periklanan. Aku bahkan akan menyajikan hidangan. Yang harus kau lakukan adalah bekerja di belakang membuat donat. Aku akan mengajarkanmu cara menyikat gigimu.”

    “Akan sangat menakjubkan,” kata manusia domba itu.

    (17)

    Ketika manusia domba itu pergi, aku kembali membaca buku. Seperti sebelumnya, aku menjadi Ibnu Armut Hasir, pengarang Buku Harian seorang Kolektor Pajak Ottoman. Aku berjalan di jalan-jalan Istanbul sepanjang hari, mengumpulkan pajak, tetapi saat malam tiba, aku kembali pulang rumah untuk memberi makan burung betetku.

    Bulan sabit putih setipis pisau cukur terapung di langit malam. Aku bisa mendengar seseorang memainkan serunai di kejauhan. Menyalakan dupa di kamarku, pembantu Afrikaku bergerak-gerak, mengusir nyamuk dengan sesuatu yang mirip pemukul lalat.

    Seorang gadis muda yang cantik, satu dari tiga istriku, menungguku di kamar tidur. Dialah yang menyiapkan hidangan bagiku tiap malam.

    Ini bulan yang cerah, katanya padaku. Esok adalah bulan baru, dan langit akan gelap.

    “Kita harus memberi makan burung betet,” kataku.

    Bukankah kau sudah memberi makan burung betet beberapa waktu lalu? tanyanya.

    “Benar, sudah kulakukan,” kata diriku yang adalah Ibnu Armut Hasir.

    Tubuh gadis yang selembut sutra itu berkilau dalam cahaya bulan sabit setipis pisau cukur itu. Aku terpesona.

    Ini bulan yang cerah, ulangnya. Bulan baru akan mempengaruhi nasib kita.

    “Menakjubkan,” kataku. 

    (18)

    Seperti lumba-lumba buta, malam bulan baru mendekat diam-diam.

    Lelaki tua itu datang dan mengecekku malam itu. Ia sangat senang karena menemukanku tengah hanyut dalam bukuku. Melihatnya begitu gembira juga membuatku sedikit senang. Tak peduli situasi seperti apa sekarang, aku masih mendapat kesenangan menyaksikan sukacita orang lain.

    “Aku harus memberikanmu nilai tambah,” katanya sambil menggaruk rahangnya. “Kau telah berlangkah jauh dari yang kuperkirakan. Kau bocah yang sungguh.”

    “Terima kasih, Tuan,” jawabku. Aku juga senang dipuji.

    “Semakin cepat kau memasukkan buku itu ke ingatanmu, semakin cepat kau bisa pergi,” kata lelaki tua itu padaku. Ia mengangkat satu jarinya ke udara. “Mengerti?”

    “Ya,” kataku.

    “Apa ada yang mengganggumu?”

    “Ya,” kataku. “Bisakah kau katakan padaku kalau ibuku dan burung jalakku baik-baik saja? Aku sangat khawatir.”

    Lelaki tua itu mengerutkan muka. “Dunia ini mengikuti jalannya sendiri,” katanya. “Masing-masing punya pemikirannya sendiri, masing-masing menginjak jalannya sendiri. Begitu pula dengan ibumu, dan begitu pula dengan jalakmu. Begitu pula dengan setiap orang. Dunia ini mengikuti jalannya sendiri.”

    Aku tak mengerti apa yang ia bicarakan., tetapi aku dengan patuh mengatakan ya ketika ia selesai bicara.

    (19)

    Gadis itu muncul tak lama setelah lelaki tua itu pergi. Seperti biasa, ia menyelinap lewat celah pintu. 

    “Malam ini adalah malam bulan baru,” kataku.

    Gadis itu duduk dengan tenang di ranjang. Ia kelihatannya capek. Ia kehilangan warnanya dan menjadi transparan, sehingga mampu kulihat dinding di belakangnya.

    Ini karena bulan baru, katanya. Merampas kita habis-habisan.

    “Yang mampu bulan itu lakukan padaku adalah membuat mataku sedikit pedih.”

    Gadis itu melihat padaku dan mengangguk. Bulan itu tidak berpengaruh padamu. Kau akan baik-baik saja. Aku yakin kau akan punya cara untuk keluar dari sini. 

    “Dan kau?”

    Jangan khawatirkan aku. Kelihatannya kita tak mungkin sama-sama mengatasinya, tapi aku yakin aku bisa bergabung denganmu nanti.

    “Tetapi bagaimana aku bisa menemukan jalan pulang tanpamu?”

    Ia tak menjawab. Ia malah mendekat dan mendaratkan ciuman kecil di pipiku. Lalu menyelinap lewat pintu dan lenyap. Aku duduk di ranjang, linglung, untuk waktu lama. Ciuman itu amat menggoncangku, aku tak mampu berpikir lurus. Pada waktu bersamaan, keresahanku berubah menjadi sebuah keresahan yang agak berkurang kecemasannya. Dan semacam keresahan yang tidak secara khusus resah, dan pada akhirnya, keresahan yang tak mampu diungkapkan.

    (20)

    Tak lama setelah itu, manusia domba kembali. Ia menggenggam sebuah pinggan dengan tumpukan donat yang tinggi.

    “Hei, ada apa? Kau kelihatan kosong. Apa kau sakit?

    “Tidak, aku barusan berpikir.”

    “Apa benar yang kudengar–kau berencana untuk melarikan diri malam ini? Aku bisa ikut?”

    “Tentu saja kau bisa ikut. Tetapi siapa yang bilang padamu?”

    “Aku melewati seorang gadis di koridor satu menit yang lalu, dan dia yang bilang padaku. Bilang kita akan pergi bersama. Aku heran ada seorang gadis manis di sekitar sini–apa ia temanmu?”

    “Yahh, mmm…” aku tergagap.

    “Aku mengerti. Ya ampun, rasanya luar biasa punya seseorang yang keren seperti itu sebagai teman.”

    “Jika kita bisa keluar dari sini, Tuan Manusia Domba, aku bertaruh kau akan punya kawan-kawan yang keren.”

    “Menakjubkan,” kata manusia domba. “Tetapi bila kita tidak berhasil, neraka akan menanti kita.”

    “Mengatakan ‘neraka akan menanti,’ maksudmu kendi berisi selaksa ulat bulu?”

    “Begitulah kira-kira,” kata manusia domba dengan sedih hati.

    Pikiran tentang sebuah kendi berisi selaksa ulat bulu selama tiga hari menegakkan bulu romaku. Namun kehangatan donat yang baru di panggang dalam perutku dan ciuman gadis di pipiku menghilangkan semua ketakutanku. Aku ambil tiga potong donat dan manusia domba mengambil enam. 

    “Aku kebingungan karena perut kosong,” kata manusia domba itu, dengan maksud membela diri. Ia menyeka gula di sudut mulutnya dengan jarinya yang bulat pendek.

    Bersambung

    Bagian berikutnya ditayangkan Rabu, 5 Agustus 2020.

    Haruki Murakami lahir di Kyoto pada 1949 dan sekarang tinggal dekat Tokyo. Karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari lima puluh bahasa, dan penghargaan internasional terakhir yang diterimanya adalah Jerusalem Prize, yang penerima sebelumnya termasuk J. M. Coetzee, Milan Kundera, dan V. S. Naipaul.

    The Strange Library oleh Haruki Murakami adalah sebuah novelette. Terbit di Jepang pada 2005 dengan ilustrasi oleh Maki Sasaki dengan judul Fushigi no Toshokan. Terbit dalam bahasa Inggris pada tahun 2014, diterjemahkan dari bahasa Jepang oleh Ted Goosen dan ilustrasi oleh Chip Kidd. Terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ini didasarkan pada teks bahasa Inggris.

  • Perpustakaan yang Aneh [Haruki Murakami] (2 dari 4)

    author = Saddam HP

    Ini adalah bagian kedua dari empat bagian terjemahan cerpen/novela Perpustakaan yang Aneh karya Haruki Murakami.
    Bagian sebelumnya ada di sini. Bagian berikutnya ditayangkan Rabu, 29 Juli 2020.

    (6)

    Lelaki tua itu berbalik padaku dan menyeret dirinya ke atas sampai ketinggiannya yang penuh. Sekarang, tiba-tiba, ia besar. Mata yang di bawah alis mata tebalnya bercahaya seperti mata kambing saat senja.

    “Apakah kau jenis bocah yang mencari kesalahan dari setiap hal kecil, meskipun sepele?”

    “Tidak, Tuan. Aku tidak seperti itu. Tetapi bagiku bila – “

    “Cukup ocehanmu,” kata lelaki tua itu. “Aku tak bisa membiarkan orang-orang yang menyebabkan sejumlah besar alasan, meremehkan usaha mereka yang telah berusaha untu membantu. Orang seperti itu adalah sampah.”

    “Mohon maafkan aku,” pintaku. “Aku akan masuk.”

    Kenapa aku berlaku seperti ini, setuju ketika saya sangat tidak setuju, membiarkan orang memaksaku untuk melakukan hal yang tak ingin kulakukan?

    “Ada tangga tepat di sisi pintu ini,” kata lelaki tua itu. “Pegang kuat-kuat ketika menyusurinya supaya kau jangan terjungkal.”

    Aku masuk duluan, melangkahkan kakiku maju. Ketika lelaki tua itu menutup pintu di belakang kami, segalanya sungguh-sungguh kelam. Aku bisa mendengar bunyi klik ketika ia memutar kunci. 

    “Kenapa kau kunci pintunya?”

    “Itulah aturannya. Harus terkunci setiap waktu.”

    Apa yang bisa kulakukan? Aku mulai menuruninya. Tangga itu sangat panjang. Cukup panjang, rasanya, bisa sampai Brazil. Susuran tangga ini dilapisi karat. Tak ada sinar cahaya di mana pun.

    Akhirnya, kami sampai ke dasar tangga. Aku bisa melihat cahaya redup jauh di dalam, hanya cercah yang redup, sungguh, tetapi masih cukup kuat sampai membuat mataku pedih karena kegelapan yang panjang. Seseorang mendekatiku dari arah belakang ruangan dan menggenggam tanganku. Manusia kecil berpakaian kulit domba.

    “Hei, terima kasih sudah datang,” kata manusia domba itu.

    “Selamat sore,” jawabku.

    (7)

    Kulit domba itu benar-benar nyata, dan menutupi setiap senti tubuh manusia domba itu. Meskipun begitu, ada tempat terbuka di wajahnya, dari sana timbul sepasang matanya yang ramah. Kostum itu sangat cocok untuknya. Manusia domba itu melihat sejenak ke arahku; lalu matanya berpindah pada tiga buku di tanganku.

    “Astaga, kau datang untuk membaca, sungguh?”

    “Benar,” jawabku.

    “Maksudmu kau sungguh-sungguh dan benar-benar datang untuk membaca buku-buku itu?”

    Cara bicara manusia domba ini terasa aneh. Aku tak mampu mencerna beberapa katanya.

    “Ayolah, jawablah,” pinta lelaki tua itu. “Kau datang ke sini untuk membaca, kan? Berikan dia jawaban langsung.”

    “Ya. Aku datang ke sini untuk membaca.”

    “Kau dengar dia,” pekik lelaki tua itu.

    “Tetapi, Tuan,” kata manusia domba itu. “Ia hanya seorang anak kecil.”

    “Diam!” teriak pria tua itu. Ia menarik ranting willow dari saku belakangnya dan memecut wajah manusia domba itu. “Bawa dia ke Ruang Baca sekarang!”

    Manusia domba itu kelihatan kacau, tetapi ia tetap mengenggam tanganku. Ranting itu menyisakan bilur merah dekat bibirnya. “Oke, ayo kita berangkat.”

    “Ke mana?”

    “Ke Ruang Baca. Kau datang untuk membaca buku, kan?”

    Manusia domba itu menuntunku turun ke lorong yang sempit. Lelaki tua itu mengikuti dekat di belakang kami. Ada ekor kecil yang teruntai di belakang pakaian manusia domba itu yang terayun ke kiri dan kanan setiap kali ia berlangkah, seperti pendulum.

    “Nah, nah,” kata manusia domba itu, ketika kami sampai di ujung lorong. “Sampailah kita.”

    “Tunggu dulu, Tuan Manusia Domba,” kataku. “Bukankah cuma kebetulan kalau ini adalah sel penjara?”

    “Tentu saja,” jawabnya.

    “Tepat sekali,” kata lelaki tua itu.

    (8)

    “Ini tak seperti yang kau katakan padaku,” kataku pada lelaki tua itu. “Aku datang sejauh ini hanya karena kau bilang kalau kita menuju ke ruang baca.”

    “Kau sudah diantar,” kata manusia domba itu, dan mengangguk.

    “Benar, saya membohongimu,” kata lelaki tua itu.

    “Teganya kau…”

    “Diam, bodoh,” hardik lelaki tua itu, mengambil ranting willow dari sakunya dan mengayunkannya ke kepalaku. Aku mundur dengan cepat. Aku tak ingin wajahku dilecut dengan benda itu.

    “Masuk–jangan banyak tanya. Kau akan mengingat tiga seri buku itu dari awal sampai akhir,” kata lelaki tua itu. “Satu bulan dari sekarang aku akan mengujimu secara pribadi. Bila aku berkesimpulan kalau kau telah menguasai seluruh isinya, maka aku akan membebaskanmu.”

    “Mustahil untuk mengingat tiga buku setebal ini,” kataku. “Dan ibuku akan sangat gelisah tentang keadaanku sekarang…”

    Lelaki tua itu memperlihatkan giginya dan mengayunkan ranting itu dengan keras. Aku melompat, dan ayunan itu mengenai wajah manusia domba itu. Karena geram, lelaki tua itu memukul manusia domba itu lagi. Sangat tidak adil.

    “Lempar dia ke dalam sel. Aku meninggalkan buku itu untukmu,” perintah lelaki tua itu, dan bergegas pergi.

    “Apakah kau terluka?” tanyaku pada manusia domba.

    “Tak apa-apa. Hei, aku sudah terbiasa,” katanya. Ia kelihatannya memang baik-baik saja.

    “Aku benci melakukan ini, tetapi aku harus menguncimu.”

    “Bagaimana kalau aku bilang tidak, bila aku menolak untuk masuk ke sana? Apa yang akan terjadi?”

    “Maka ia akan memukulku lebih kuat lagi.”

    Aku merasa prihatin pada manusia domba itu, maka aku masuk ke dalam sel. Ada ranjang yang sederhana, meja, wastafel, dan toilet. Sikat gigi dan cangkir terletak di samping wastafel. Tak kelihatan bersih. Odolnya rasa strawberry, rasa yang tak kusukai. Manusia domba itu bermain-main dengan lampu meja, menyalakan dan mematikannya.

    “Hei, lihat ini,” katanya, menatapku dengan seringai. “Cukup rapi, hah?”

    (9)

    “Aku akan membawakanmu makan tiga kali sehari,” kata manusia domba itu.  “Dan pada jam tiga, aku akan memberikanmu donat sebagai kudapan. Aku sendiri yang membakar donat itu, rasanya renyah dan nikmat.”

    Donat yang hangat adalah salah satu favoritku sepanjang waktu. 

    “Oke, sekarang keluarkan jari kakimu.”

    Aku keluarkan kedua kakiku.

    Manusia domba itu menarik sebuah bola dan rantai yang kelihatan berat keluar dari bawah ranjang, memasang rantai itu di pergelangan kakiku, dan menguncinya. Ia menaruh kunci di saku bajunya.

    “Rasanya agak dingin,” kataku.

    “Jangan khawatir, kau akan terbiasa.”

    “Tuan Manusia Domba, apakah aku sungguh harus tinggal di sini sebulan penuh?”

    “Ya, tepat sekali.”

    “Tetapi, bila aku mengingat semua dalam buku-buku itu, ia akan mengeluarkanku, kan?”

    “Aku tak yakin itu akan terjadi.”

    “Lalu apa yang akan terjadi padaku?”

    Manusia domba itu menelengkan kepalanya ke satu sisi. “Wah, sangat sulit.”

    “Tolong, katakan padaku. Ibuku menunggu aku pulang.”

    “Oke, bocah. Aku akan langsung mengatakannya padamu. Bagian atas kepalamu akan digergaji dan otakmu akan dicucup habis.”

    Aku syok mendengar kata-kata itu.

    “Maksudmu,” kataku, ketika telah pulih, “maksudmu lelaki tua itu akan memakan otakku?”

    “Ya, maafkan aku, tetapi begitulah yang akan terjadi,” kata manusia domba itu dengan enggan.

    (10)

    Aku duduk di ranjang dan menyembunyikan wajahku di dalam tangan. Kenapa hal ini seperti ini terjadi padaku? Yang aku lakukan hanya datang ke perpustakaan dan meminjam buku. 

    “Jangan terlalu berpikir susah,” hibur manusia domba itu. “Aku akan membawakanmu makanan. Makanan panas yang nikmat akan menghiburmu.”

    “Tuan Manusia Domba,” tanyaku, “kenapa lelaki tua itu ingin memakan otakku?”

    “Karena otak yang terbungkus dengan pengetahuan itu nikmat, itulah alasannya. Rasanya nikmat dan lembut. Dan juga sedikit kasar.”

    “Jadi itulah alasannya ia menginginkan aku menghabiskan waktu sebulan untuk memadatkan informasi dalam otakku, untuk kemudian menghisapnya?”

    “Tepat sekali.”

    “Tidak kau pikir itu amat kejam?” tanyaku. “Berbicara dari sudut pandang orang yang dihisap, tentu saja.”

    “Tetapi, hei, hal seperti ini terjadi di perpustakaan mana pun, kau tahu. Kurang atau lebih, seperti itu.”

    Kabar ini mengherankanku. “Di perpustakaan mana pun?” kataku tergagap.

    “Bila yang perpustakaan itu lakukan adalah memberikan pengetahuan secara gratis, apa bayarannya untuk mereka?”

    “Tetapi itu tak memberikan perpustakaan itu hak untuk menggergaji bagian atas kepala orang dan memakan otak mereka. Tidakkah kau pikir itu terlalu jauh?”

    Manusia domba itu melihatku dengan sedih. “Kau berhadapan dengan rencana yang sial, kurang lebih begitu. Semua sudah terjadi.”

    “Tetapi ibuku akan khawatir menungguku. Bisakah kau membantuku keluar dari sini?”

    “Tidak, tak akan bisa. Jika aku melakukannya, aku akan dibuang ke dalam kendi yang penuh dengan ulat bulu. Kendi yang besar, dengan sekitar selaksa capung merayap selama tiga hari penuh.”

    “Mengerikan,” kataku.

    “Kau tahu kan, aku tak bisa membuatmu melarikan diri, bocah. Aku minta maaf.”

    (11)

    Manusia domba itu berangkat, meninggalkanku sendiri di sel yang kecil itu. Aku menelungkupkan wajahku di matras yang kasar dan tersedu-sedu selama sejam penuh. Bantalku, yang berwarna biru dijejali dengan sekam sorgum, menitik basah akhirnya. Bola metal yang terikat ke kakiku berbobot satu ton.

    Ketika aku mengecek jam tangan, tepat pukul 6:30. Ibuku pasti tengah menyiapkan makan malam dan menungguku pulang. Aku bisa melihatnya berlangkah di lantai dapur, matanya memandang jarum-jarum jam. Bila aku tak ada di rumah saat waktu tidur, emosinya mungkin akan tidak stabil. Begitulah tipe ibuku. Ketika sesuatu terjadi, ia selalu menduga yang terburuk, dan dugaannya semakin bertambah dengan cepat. Demikian juga ia terobsesi tentang semua hal buruk yang bisa terjadi atau ia pula terduduk di sofa dan menatap ke TV.

    Pada pukul tujuh, seseorang mengetuk pintu. Ketukan yang kecil, yang teduh.

    “Masuk,” kataku.

    Sebuah kunci memutar dalam gembok, dan masuklah seorang gadis mendorong gerobak makanan. Ia sangat manis betapa melihatnya saja membuat mataku pedih. Ia tampaknya seusiaku. Lehernya, pergelangan tangan dan kakinya sangat ramping, kelihatan seolah-olah mampu mematahkan tekanan yang kecil. Rambutnya yang panjang, yang lurus berkilau bagai dipintal dengan permata. Ia memeriksa wajahku sepintas. Lalu mengambil hidangan di atas gerobak makanan dan mengaturnya di mejaku, tanpa sepatah kata pun. Aku tetap terdiam, terpesona oleh kecantikannya.

    Makanan itu terlihat lezat. Ada sup bulu babi yang baru saja dimasak dan ikan tenggiri panggang (dengan krim asam), asparagus putih dibalut dengan biji wijen, salad selada dan mentimun, dan roti gulung hangat dengan segumpal mentega. Ada juga satu gelas besar jus anggur. Saat ia telah habis menatanya, gadis itu berbalik dan berbicara padaku dengan tangannya: Sekarang hapus air matamu. Waktunya makan.

    (12)

    “Apa kau tak punya suara?” tanyaku padanya.

    Tidak. aku tak punya. Pita suaraku dirusak ketika masih kecil.

    “Dirusak?” pekikku. “Oleh siapa?”

    Ia tak menjawab. Malahan, ia tersenyum dengan manis. Senyum yang amat berseri sampai udara sekeliling terasa tipis.

    Tolong pahami, katanya. Manusia domba itu tidaklah jahat. Ia berhati baik. Tetapi lelaki tua itu menakutinya.

    “Aku mengerti,” kataku. “Tapi tetap saja…”

    Ia mendekatiku dan menaruh tangannya di atas tanganku. Tangan yang kecil, yang lembut. Aku merasa hatiku akan patah menjadi dua.

    Makanlah selagi panas, katanya. Makanan panas akan memberikanmu tenaga.

    Ia membuka pintu dan meninggalkan ruangan, mendorong gerobak makanan di depannya. Gerakannya secepat angin bulan Mei. 

    Makanannya nikmat, tapi aku hanya memakan setengahnya. Bila aku tak mampu sampai ke rumah, kekhawatiran akan menggiring ibuku ke gangguan jiwa yang lain. Ia akan sangat mungkin lupa memberi makan burung jalak peliharaanku, dan mungkin saja akan lapar sampai mati. 

    Tetapi bagaimana aku bisa melarikan diri? Bola dan rantai yang berat terpasang di kakiku, dan pintunya digembok. Bahkan bila aku mampu menangani pintu, bisakah aku lolos lewat labirin koridor yang panjang itu? Aku mendesah dan menangis lagi. Tetapi bergelung di ranjang dan menangis tersedu tak akan membantu apa-apa, maka aku tenang dan menghabiskan santapanku.

    Bersambung

    Bagian berikutnya ditayangkan Rabu, 29 Juli 2020.

    Haruki Murakami lahir di Kyoto pada 1949 dan sekarang tinggal dekat Tokyo. Karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari lima puluh bahasa, dan penghargaan internasional terakhir yang diterimanya adalah Jerusalem Prize, yang penerima sebelumnya termasuk J. M. Coetzee, Milan Kundera, dan V. S. Naipaul.

    The Strange Library oleh Haruki Murakami adalah sebuah novelette. Terbit di Jepang pada 2005 dengan ilustrasi oleh Maki Sasaki dengan judul Fushigi no Toshokan. Terbit dalam bahasa Inggris pada tahun 2014, diterjemahkan dari bahasa Jepang oleh Ted Goosen dan ilustrasi oleh Chip Kidd. Terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ini didasarkan pada teks bahasa Inggris.

  • Perpustakaan yang Aneh [Haruki Murakami] (1 dari 4)

    author = Saddam HP

    Ini adalah bagian pertama dari empat bagian terjemahan cerpen/novela Perpustakaan yang Aneh karya Haruki Murakami.
    Bagian berikutnya ditayangkan Rabu 22 Juli 2020.

    (1)

    Perpustakaan itu lebih hening daripada biasanya.

    Sepatu kulitku yang baru berkeletak di atas linoleum kelabu. Suaranya yang keras, bunyinya yang kering terasa tak seperti langkah kakiku yang normal. Setiap kali aku kenakan sepatu baru, butuh beberapa saat untuk terbiasa dengan suaranya.

    Seorang wanita yang belum pernah kulihat sebelumnya, duduk di meja sirkulasi, membaca buku tebal. Buku yang amat lebar. Ia seolah-olah sedang membaca sisi buku yang kanan dengan mata kanan, dan membaca bagian kiri dengan mata kiri.

    “Permisi,” kataku.

    Ia menghempaskan buku ke bawah meja dan berupaya menatapku.

    “Aku datang untuk mengembalikan ini,” kataku, menempatkan buku-buku yang kubawa ke konter. Satu buku berjudul Bagaimana Membuat Kapal Selam, dan satunya lagi berjudul Memoar seorang Gembala.

    Pustakawati itu membalik kover buku-buku itu untuk mengecek tanggal peminjaman. Belum lewat batas waktu. Aku selalu tepat waktu, dan tak pernah mengembalikan barang terlambat. Ibuku mengajarkanku begitu. Begitu pula para gembala. Bila mereka tidak mematuhi jadwal mereka, domba-domba akan sangat liar.

    Pustakawati itu memberi stempel “Dikembalikan” ke kartu dengan tulisan hiasan dan melanjutkan bacaannya.

    “Aku juga sedang mencari beberapa buku,” kataku.

    “Belok kanan di bagian bawah tangga,” jawabnya tanpa melihat ke atas. “Langsung saja lewat koridor ke Ruang 107.”

    (2)

    Aku menuruni banyak anak tangga, belok kanan, dan berjalan sepanjang koridor yang redup sampai, cukup pasti, aku berhadapan dengan pintu bertanda 107. Aku mengunjungi perpustakaan banyak kali, tapi kenyataan bahwa ada ruang bawah tanah adalah kabar baru bagiku.

    Aku mengetuk. Sebuah ketukan yang normal, ketukan sehari-hari, namun berbunyi seakan-akan seseorang memukul gerbang neraka dengan tongkat bisbol. Suaranya bergema secara mengerikan sepanjang koridor. Aku berbalik untuk lari, tetapi aku betul-betul tak berlangkah, meski aku ingin melakukannya. Itu bukanlah cara aku dibesarkan. Ibuku mengajarkanku kalau kau mengetuk pintu, kau harus menunggu sampai seseorang menjawab.

    “Masuklah,” seru suara dari dalam. Suaranya lemah tapi menembus.

    Aku membuka pintu. 

    Seorang lelaki tua berbadan kecil duduk di balik meja tua yang mungil di tengah ruangan. Bintik-bintik hitam ada di wajahnya seperti kawanan serangga. Lelaki tua itu botak dan mengenakan kacamata berlensa tebal. Kebotakannya terlihat tak sempurna; ia punya rambut putih keriting yang tertempel di kedua sisi kepalanya. Kelihatan seperti sebuah gunung setelah kebakaran hutan yang besar.

    “Selamat datang, bocahku,” kata lelaki tua itu. “Apa yang bisa aku bantu?”

    “Aku mencari beberapa buku,” kataku takut-takut. “Tetapi aku bisa lihat kalau kau sedang sibuk. Aku akan datang lagi nanti…”

    “Tidak, bocahku,” jawab lelaki tua itu. “Ini profesiku – aku tidak pernah terlalu sibuk! Katakan ragam buku yang kau cari dan aku akan berusaha untuk melacak keberadaan mereka.”

    Betapa cara bicara yang lucu, kukira. Dan wajahnya juga sama aneh. Beberapa helai rambut yang panjang menjuntai dari telinganya. Kulit yang menggantung di bawah dagunya seperti balon yang bocor.

    “Dan apa tepatnya buku yang kau cari, teman mudaku?”

    “Aku ingin belajar bagaimana pajak-pajak dikumpulkan pada masa Kekaisaran Ottoman,” kataku.

    Mata lelaki tua itu berkilat. “Ah, aku mengerti,” katanya. “Pengumpulan pajak pada masa Kekaisaran Ottoman. Materi yang mengagumkan!”

    (3)

    Ini membuatku gelisah. Sejujurnya, aku tak terlalu berhasrat untuk mempelajari pengumpulan pajak Ottoman–topik itu masuk begitu saja ke kepalaku ketika dalam perjalanan dari sekolah ke rumah. Aku hanya ingin tahu, bagaimana orang-orang Ottoman mengumpulkan pajak? Seperti itu. Dan sejak aku kecil ibuku bilang, bila kau tak tahu sesuatu, pergilah ke perpustakaan dan carilah.

    “Tak usah repot-repot,” kataku. “Tidak terlalu penting. Betapa pun, cukup akademis…” Aku hanya ingin keluar dari ruang mengerikan ini secepatnya.

    “Jangan meremehkanku,” bentak lelaki tua itu. “Kami punya sejumlah seri yang berhubungan dengan pengumpulan pajak dalam Kekaisaran Ottoman. Apakah kau sengaja datang ke sini untuk mencemooh perpustakaan ini? Apa tujuanmu?”

    “Tidak, Tuan,” gerutuku. “Sama sekali itu bukan tujuanku. Aku tak mencoba untuk membodohi siapa pun.”

    “Lantas tunggulah di sini seperti seorang bocah penurut.”

    “Ya, Tuan,” jawabku.

    Pria tua itu bergerak tiba-tiba dari kursinya. Punggung tertunduk, ia berjalan ke pintu baja di belakang ruangan, membukanya, dan menghilang. Aku berdiri di sana selama sepuluh menit, menunggu dia kembali. Beberapa kumbang hitam kecil mencakar bagian bawah tudung lampu. 

    Tak lama kemudian lelaki tua itu kembali, membawa tiga buku tebal. Buku-buku itu sudah sangat tua–aroma kertas kuno mengambang di udara.

    “Senangkan matamu dengan buku-buku ini,”  kata lelaki tua itu dengan senang. “Kami punya Sistem Pajak Ottoman, Buku Harian Seorang Kolektor Pajak Ottoman,  dan Pemberontakan-pemberontakan Pajak dan Penindasan, dalam Kekaisaran Ottoman-Turki. Kau harus akui, ini koleksi yang berkesan.”

    “Terima kasih banyak,” kataku dengan sopan. Aku mengambil buku-buku itu dan menuju ke pintu.

    “Tunggu di situ,” lelaki tua itu memanggilku dari belakang. “Tiga buku itu harus dibaca di sini–tak ada alasan apa pun buku-buku itu meninggalkan tempat ini.”

    (4)

    Tentu saja, setiap buku punya label merah, “Hanya Untuk Penggunaan Internal,” tertera di punggung buku.

    “Untuk membacanya, kau harus menggunakan ruang dalam,” kata lelaki tua itu.

    Aku memperhatikan jam tanganku. Jam 5:20. “Tetapi perpustakaan ini akan segera tutup, dan ibuku akan khawatir kalau aku tak ada di rumah pada waktunya untuk makan malam.”

    Alis mata lebat lelaki tua itu menyatu dalam garis lurus. “Waktu tutup bukanlah masalah.” Ia bermuka masam. “Mereka akan melakukan apa yang kukatakan–kalau aku bilang tak apa-apa, maka tak apa-apa. Pertanyaannya adalah, apakah kau menghargai bantuanku atau tidak? Kau kira kenapa aku membawa tiga buku berat itu ke sini? Untuk kesehatanku?”

    “Aku minta maaf,” sesalku. “Aku tidak pernah berniat untuk mengganggu. Aku tak tahu buku-buku ini tak bisa dibawa keluar.”

    Lelaki tua itu batuk keras-keras dan mengeluarkan gumpalan sesuatu ke dalam tisu. Bintik-bintik hitam di wajahnya berayun marah.

    “Bukan masalah apa yang kau tahu atau yang kau tidak tahu,” hardiknya. “Ketika aku seusiamu aku merasa beruntung bila punya kesempatan untuk membaca. Dan di sini kau sekarang, merengek tentang waktu dan telat makan malam. Betapa lancangnya!”

    “Baiklah, aku akan tetap di sini dan membaca,” kataku. “Tetapi hanya tiga puluh menit.” Aku tak terlalu pandai untuk menolak seseorang. “Tetapi aku tak bisa lebih lama dari itu. Ketika aku masih kecil, aku pernah digigit oleh anjing hitam yang besar dalam perjalanan pulang ke rumah dari sekolah, dan sejak itu ibuku mulai berlaku aneh  bila aku terlambat pulang sedikit saja.”

    Wajah lelaki tua itu terlihat mulai santai.

    “Jadi kau mau tetap di sini dan membaca?”

    “Ya. Tetapi hanya tiga puluh menit.”

    “Kalau begitu, ikut arah sini,” lelaki tua itu memberi isyarat. Di balik pintu dalam itu ada koridor yang berbayang diterangi oleh pijar lampu yang berkedip. Kami berlangkah ke arah lampu yang sekarat itu.

    (5)

    “Ikut saja aku,” kata lelaki tua itu.

    Kami telah menempuh hanya sebuah jarak yang pendek saat kami sampai di cabang koridor. Lelaki tua itu belok ke kanan. Tak jauh dari situ ada cabang lagi. Kali ini belok ke kiri. Koridor itu bercabang dan bercabang lagi, bertangkai berulang-ulang, dan setiap kali begitu, lelaki tua itu memilih rute kami tanpa ragu sedikit pun, pertama belok ke kanan, lalu ke kiri. Kadang-kadang ia membuka pintu dan kami masuk di koridor yang sama sekali berbeda.

    Pikiranku kalut. Sungguh aneh–bagaimana bisa perpustakaan kota kami punya semacam labirin besar di bawah tanah? Maksudku, perpustakaan-perpustakaan umum seperti ini selalu hemat uang, sehingga bahkan membangun labirin kecil sekali pun bukanlah tujuan mereka. Aku berpikir untuk menanyakan lelaki tua itu tentang hal ini, tetapi aku takut ia berteriak padaku lagi.

    Akhirnya, jalan yang ruwet itu berakhir di sebuah pintu baja yang besar. Tergantung di pintu itu tanda “ Ruang Baca.” Seluruh tempat itu tenang bagai kuburan di tengah malam.

    Lelaki tua itu mengeluarkan rangkaian kunci dari sakunya dan memilih satu kunci besar bergaya kuno. Ia masukkan kunci itu ke dalam lubang, melihatku sejenak dengan tatapan yang penuh arti, dan memutar kunci itu ke kanan. Ada suara bising ketika grendel kunci terbuka. 

    Pintu itu terkuak dengan lengkingan panjang dan tidak menyenangkan.

    “Nah, nah, kita sampai,” kata lelaki tua itu. “Masuklah kau ke dalam.”

    “Ke dalam sana?” tanyaku.

    “Begitulah.”

    “Tetapi di sana amat gelap,” protesku. Memang, di balik pintu ini gelap bagai lubang yang telah tertikam di kosmos.

    Bersambung

    Bagian berikutnya ditayangkan Rabu 22 Juli 2020.

    Haruki Murakami lahir di Kyoto pada 1949 dan sekarang tinggal dekat Tokyo. Karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari lima puluh bahasa, dan penghargaan internasional terakhir yang diterimanya adalah Jerusalem Prize, yang penerima sebelumnya termasuk J. M. Coetzee, Milan Kundera, dan V. S. Naipaul.

    The Strange Library oleh Haruki Murakami adalah sebuah novelette. Terbit di Jepang pada 2005 dengan ilustrasi oleh Maki Sasaki dengan judul Fushigi no Toshokan. Terbit dalam bahasa Inggris pada tahun 2014, diterjemahkan dari bahasa Jepang oleh Ted Goosen dan ilustrasi oleh Chip Kidd. Terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ini didasarkan pada teks bahasa Inggris.

  • Perjalanan Besar ke Atas Sana [Kurt Vonnegut]

    author = Devi Santi Ariani

    Kakek Fords menopang dagu dengan tangan yang menggenggam lengkungan tongkat jalannya. Ia menatap televisi 48” yang mendominasi ruangan. Di layar kaca, pembawa berita meringkas berita hari itu. Setiap tiga puluh detik, Kakek menghentakkan tongkatnya dan berteriak,”Hell! Kami sudah lakukan itu seratus tahun yang lalu!”

    Emerald dan Lou, masuk ke dalam ruangan dari balkon. Mereka mencari sesuatu yang langka di tahun 2185—privasi—dengan duduk di barisan paling belakang. Keduanya duduk di belakang ayah dan ibu Lou, saudara dan saudari ipar, anak dan menantu, cucu laki-laki dan istrinya, cucu perempuan dan suaminya, cicit laki-laki dan istrinya—dan tentu saja, Kakek, yang duduk di depan semua orang. Semua orang terlihat sebaya sesuai standar anti-gerasone kecuali Kakek, yang entah mengapa terlihat kuyu dan bongkok. Kecuali Kakek, semua orang terlihat seperti masih berumur akhir dua puluh atau awal tiga puluh. Kakek terlihat lebih tua karena ia sudah mencapai usia tujuh puluh ketika obat anti-gerasone diciptakan.

    “Sementara itu,” ujar pembawa berita, “Councill Bluff, Iowa, masih merasa terancam oleh tragedi stark. Namun, 200 penyelamat menolak untuk menyerah dan terus menggali dalam usaha penyelamatan Elbert Haggedorn, usia 183, yang telah terjepit selama dua hari dalam…”

    “Aku harap ia menonton sesuatu yang lebih ceria,” bisik Emerald pada Lou.

    “DIAM!” teriak Kakek. “Siapapun berikutnya yang berani buka mulut lagi waktu TV masih menyala tidak akan dapat uang sepeserpun dari warisanku—,” suaranya tiba-tiba memanis dan melunak, ia melanjutkan, “setelah bendera kotak-kotak melambai di arena balapan Indianapolis dan kakek tua ini memulai Perjalanan Besar ke Atas Sana.”

    Ia mendengus sedih dan haru sementara para ahli warisnya berusaha tidak membuat suara sekecil apa pun. Bagi mereka, ketajaman konsep Perjalanan Besar itu sudah sangat tumpul karena selalu dikatakan Kakek setiap hari selama lima puluh tahun.

    “Dr. Brainard Keyes Bullard,” lanjut pembawa berita, “Rektor Universitas Wyandotte, malam ini mengatakan bahwa seluruh penyakit di dunia ini berasal dari fakta bahwa pengetahuan manusia belum sejalan dengan pengetahuan mereka dengan dunia fisik.”

    Hell!” dengus Kakek. “Kami sudah bilang itu seratus tahun yang lalu!”

    “Malam ini, di Chicago,” pembawa berita melanjutkan, “perayaan spesial digelar di Rumah Sakit Chicago Lying-in. Tamu kehormatan acara tersebut adalah Lowell W. Hitz, usia nol. Hitz lahir pagi tadi sebagai bayi ke-dua puluh lima juta yang lahir di rumah sakit ini. Gambar si Pembawa Berita di televisi memudar digantikan gambar bayi Hitz yang meronta dan menangis kencang.

    Hell!” bisik Lou pada Emerald. “Kami sudah bilang itu seratus tahun yang lalu!”

    “Aku dengar tahu!” teriak Kakek. Ia mematikan televisi dan keturunannya yang ketakutan membatu menatap layar. “Kau, yang disana, nak—”

    “Aku tidak bermaksud apapun, kek,” ucap Lou yang berumur 103 tahun.

    “Ambil surat wasiatku. Kau tahu dimana. Kalian semua tahu dimana surat wasiatku. Ambil, boy!” Kakek menjentikkan jari-jarinya yang degil tak sabar.

    Lou mengangguk lemas dan segera pergi ke kamar Kakek, satu-satunya ruangan pribadi di apartemen Ford. Ruang lainnya hanya kamar mandi, ruang tengah, lorong besar tanpa jendela yang dilengkapi dapur kecil diujung karena seharusnya digunakan untuk ruang makan. Enam kasur dan empat kantong tidur tersebar di lorong dan ruang tengah, ditambah satu kasur dipan yang juga terletak di ruang tengah milik pasangan kesebelas—pasangan kesayangan Kakek saat itu.

    Di atas meja tulis kakek, tergeletak surat wasiatnya yang belepotan tinta, tertekuk-tekuk siku halamannya dan penuh ratusan noda coretan; penambahan, pengurangan, tuduhan, syarat, peringatan, saran dan tulisan-tulisan tentang filosofi sederhana. Dokumen itu sebenarnya, pikir Lou, hanya sebuah buku harian berusia lima puluh tahun. Semuanya berjejalan dalam lembar-lembar kertas yang kacau dan penuh dengan catatan tentang perselisihan hari demi hari yang sudah tak bisa terbaca lagi. Hari ini, hak waris Lou akan dicabut untuk kesebelas kalinya dan mungkin butuh enam bulan berperilaku baik baginya untuk kembali mendapat hak atas apartemen itu. Dan tentu, ia dan Em harus berpisah dengan kasur dipan di ruang tengah.

    Boy!” panggil Kakek.

    “Aku datang, Kek!” Lou bergegas kembali ke ruang tengah dan menyerahkan wasiat pada Kakek.

    “Pulpen!” tuntut Kakek.

    Sontak, sebelas pulpen ditawarkan padanya, masing-masing dari ke sebelas pasangan.

    “Jangan pulpen bocor jelek begitu,” ucapnya, menampik pulpen di tangan Lou. “Ha, itu.. yang bagus. Anak pintar, Willy.” Kakek menerima pulpen Willy. Ini petunjuk yang sudah ditunggu semua orang. Kemudian, Willy—Ayah Lou—adalah kesayangan Kakek yang baru.

    Willy yang terlihat hampir semuda Lou—meskipun ia berumur 142 tahun—tidak repot menyembunyikan kegembiraannya. Ia melirik malu-malu pada kasur dipan yang akan menjadi miliknya dan yang dari kasur itu, Lou dan Em akan pindah kembali ke matras di lorong. Mereka kembali ke tempat paling buruk, di sebelah pintu kamar mandi.

    Kakek tidak melewatkan satu drama pun yang ia tulis di sana. Dengan alis bertaut ia menyusuri setiap baris seolah surat wasiat itu belum pernah ia lihat sebelumnya. Kakek, dengan suara monoton yang dalam, membaca keras-keras. Suaranya menggema seperti nada bass pada organ katedral.

    “Saya, Harold D. Ford, bertempat tinggal di Gedung 257, Alden Village, Kota New York, Connecticut, dengan ini membuat, menerbitkan, dan menyatakan ini sebagai Wasiat dan Perjanjian terakhir dan mencabut semua format wasiat dan lampiran sebelumnya.” Ia menghela napas dengan sangat serius dan melanjutkan, tanpa menghilangkan satu kata pun, dan mengulang berkali-kali dengan penekanan—khususnya mengulang perincian yang terlampau rinci untuk sebuah pemakaman.

    Di akhir rincian tersebut, Kakek sangat terbawa emosi sampai-sampai Lou pikir Kakek mungkin sudah lupa kenapa awalnya surat wasiat itu dikeluarkan. Tapi, dengan gagah berani Kakek berhasil menanggulangi ledakan emosinya dan setelah sibuk mencoret dan menghapus sesuatu selama satu menit penuh, ia mulai menulis sambil bicara. Lou terlalu sering mendengar kata-kata itu hingga ia bisa saja menggantikan Kakek mendeklamasikannya.

    “Saya telah mengalami banyak sekali sakit hati sebelum meninggalkan tanah air mata ini menuju tempat yang lebih baik,” ujar Kakek sambil menulis. “Namun, rasa sakit yang paling dalam dari semuanya telah diberikan oleh—,” ia memandang sekeliling, mencoba mengingat siapa yang bersalah.

    Semua orang memandang Lou yang mengangkat tangan, pasrah.

    Kakek mengangguk, ingat dan melengkapi kalimatnya, “cicitku, Louis J. Ford.”

    “Cucu, Kek.” Ucap Lou.

    “Jangan bawel. Kau sudah cukup bersalah, anak muda,” ucap Kakek, tapi ia mengoreksi tulisannya. Dan, dari sana, ia melanjutkan kalimatnya tanpa kesalahan sedikitpun hingga bagian pencabutan hak waris dengan alasan ketidaksopanan.

    Pada paragraf selanjutnya, paragraf yang pernah menjadi milik setiap orang di ruangan itu, nama Lou dicoret dan digantikan Willy sebagai pewaris apartemen dan di atas itu semua, kepemilikan atas ranjang ganda di ruang tidur pribadi.

    “Jadi!” ucap Kakek berseri-seri. Ia menghapus tanggal di akhir surat wasiat dan menggantinya dengan tanggal hari itu, lengkap dengan waktu. “Sudah waktunya menonton the McGarvey Family.” The McGarvey Family adalah serial televisi yang telah diikuti Kakek sejak ia berumur 60, atau totalnya selama 112 tahun. “Aku tak sabar melihat apa yang akan terjadi,” ujarnya.

    Lou memisahkan diri dari kelompok dan berbaring di tempat tidurnya di samping pintu kamar mandi. Berharap Em akan bergabung dengannya, ia bertanya-tanya dimana istrinya.

    Ia tertidur selama beberapa menit, sampai seseorang melangkahinya menuju kamar mandi. Beberapa saat kemudian, ia mendengar suara gemericik seolah sesuatu tengah dituangkan ke dalam wastafel. Tiba-tiba, terpikir olehnya kalau-kalau Em, di dalam sana melakukan sesuatu yang buruk untuk menyakiti Kakek.

    “Em?” ia berbisik lewat lubang kunci. Tidak ada jawaban. Lou terus menempel pada pintu, mencoba mendengarkan suara dari dalam. Kunci pintunya sudah aus, bautnya nyaris tidak menempel ke soket pengunci yang menahan pintu selama beberapa detik lalu lepas. Pintu kamar mandi berayun ke dalam, terbuka.

    “Morty!” Lou tersentak.

    Cucu keponakan Lou, Mortimer, yang baru saja menikah dan membawa pulang istrinya ke kediaman Ford, menatap Lou dengan khawatir. Cepat-cepat Morty menendang pintu kamar mandi hingga menutup. Namun, gerakannya tidak cukup cepat untuk menghalangi Lou melihat apa yang ada dalam genggaman tangannya—botol besar obat anti-gerasone milik Kakek, yang ternyata telah setengah kosong dan sedang diisi kembali dengan air keran.

    Sesaat kemudian, Morty keluar sambil menatap Lou kemudian berlalu tanpa kata menuju pengantinnya yang cantik.

    Terkejut, Lou tidak tahu harus berbuat apa. Ia tidak bisa membiarkan Kakek masuk jebakan anti-gerasone itu—tapi, jika ia memperingatkan Kakek, Lou hampir yakin Kakek akan membuat hidup mereka (yang sudah tak tertahankan) di apartemen itu, lebih tersiksa.

    Lou melirik ruang tengah dan melihat bahwa keluarga Fords, termasuk Emerald, tengah beristirahat sejenak, menikmati ilusi yang dibuat the McGarvey pada hidup mereka. Diam-diam, ia masuk ke kamar mandi, mengunci pintu serapat mungkin dan mulai menuang isi botol Kakek ke dalam wastafel. Lou akan mengisi ulang botol itu dengan obat anti-gerasone dari 22 botol kecil yang ada di rak.

    Botol itu menampung empat liter air dan leher botolnya sangat kecil hingga Lou pikir mengosongkan botol itu akan memakan waktu seumur hidup. Selain itu, Lou yang gugup merasa bau obat anti-gerasone yang tercium seperti saus Worcestershire mulai menguar lewat celah pintu dan lubang kunci, memenuhi seluruh apartemen.

    Suara botol yang mengeluarkan air itu berdeguk monoton. Tiba-tiba, terdengar suara musik, gumaman dan kursi-kursi berdecit mundur dari ruang tengah. “Dengan demikian, berakhirlah,” ucap penyiar televisi, “episode ke 29.121 dari kehidupan tetangga saya dan Anda, the McGarvey.” Langkah kaki terdengar di sepanjang koridor. Sebuah ketukan mendarat di pintu kamar mandi.

    “Sebentar,” jawab Lou dengan riang. Ia menggoyangkan botol besar itu dengan putus asa, mencoba mempercepat alirannya. Telapak tangannya tergelincir di permukaan kaca yang basah dan botol berat itu terselip jatuh, hancur menghantam lantai ubin.

    Pintu kamar mandi didorong hingga terbuka dan Kakek ternganga menatap kekacauan yang dibuat cucunya. Lou merasakan sensasi rasa ditusuk yang mengerikan di belakang kepalanya. Ia menatap penuh perhatian di tengah rasa mual dan sesuatu yang hampir mirip akal sehat, ia menunggu Kakek bicara.

    “Yah, nak..” ucap Kakek akhirnya, “kelihatannya kau harus membersihkan itu.”

    Hanya itu yang ia katakan. Kakek berbalik, menyikut beberapa orang yang berdesakan di koridor agar membuka jalan untuknya, dan mengunci di diri kamar.

    Anggota keluarga Fords yang lain masih menatap Lou dalam diam hingga beberapa saat berlalu, dan kemudian bergegas kembali ke ruang tengah seolah akan tertular rasa bersalah Lou jika mereka menatap terlalu lama. Morty tinggal paling lama menatap Lou dengan pandangan bingung dan jengkel. Lalu, ia juga kembali ke ruang tengah, meninggalkan Emerald berdiri di ambang pintu.

    Air mata mengalir di pipinya. “Oh, kau domba yang malang—kumohon jangan terlihat buruk begitu! Ini semua salahku. Aku memaksamu melakukan ini dengan keluhan-keluhanku tentang kakek.”

    “Tidak,” ucap Lou setelah menemukan kembali suaranya, “sungguh bukan kau. Sejujurnya, Em, aku hanya—“

    “Kau tidak perlu menjelaskan apapun padaku, sayang. Aku di pihakmu, apapun yang terjadi.” Ia mencium pipi Lou dan berbisik di telinganya, “ini bukan pembunuhan, sayang. Itu tidak akan bisa membunuhnya. Bukan hal jahat untuk dilakukan. Itu hanya akan mempersiapkannya untuk pergi kapanpun Tuhan memutuskan Ia menginginkan Kakek.”

    “Apa yang akan terjadi selanjutnya, Em?” ucap Lou, hampa. “Apa yang akan ia lakukan?”

    Lou dan Em terjaga penuh kengerian hampir sepanjang malam, menunggu apa yang akan Kakek lakukan. Tapi, tidak satu suara pun terdengar dari kamar tidur yang suci itu. Dua jam sebelum fajar, mereka akhirnya tertidur.

    Pukul enam pagi adalah waktu untuk generasi mereka sarapan di dapur kecil di ujung lorong. Tidak ada yang bicara pada mereka. Mereka punya dua puluh menit untuk makan, namun Lou dan Em sangat kelelahan karena malam yang buruk hingga mereka hanya sanggup menelan dua suap rumput laut olahan berbentuk telur sebelum menyerahkan tempat mereka pada anak-anak.

    Kemudian, sesuai tradisi untuk siapapun yang telah dicoret hak warisnya, Lou mulai mempersiapkan sarapan untuk Kakek yang harus disajikan di ranjang, di atas nampan. Mereka mencoba bertingkah seriang mungkin. Hal paling berat adalah mempersiapkan telur sungguhan, bacon, dan oleomargarine, hal-hal yang menghasilkan banyak sekali pengeluaran dari harta Kakek.

    “Yah,” ujar Emerald, “aku tidak akan panik sampai ada hal pasti yang harus membuat kita panik.”

    “Mungkin ia tidak tahu apa yang sudah kuhancurkan kemarin,” ucap Lou penuh harap.

    “Mungkin ia pikir itu adalah jam kristalmu,” timpal Eddie, anak laki-laki mereka yang hanya memainkan sawdust cake dari buckwheat tanpa selera.

    “Jangan sarkastik pada ayahmu,” ucap Em, “dan juga jangan bicara dengan mulut penuh.”

    “Aku mau dengan senang hati melihat siapapun menelan semulut penuh benda ini tanpa mengeluh,” keluh Eddie, yang berumur 73. Ia melirik jam dinding. “Sudah waktunya Kakek sarapan, kau tahu.”

    “Ya, tentu saja.” Ucap Lou lemah. Ia mengangkat kedua bahunya. “Berikan nampannya, Em.”

    “Kita lakukan berdua.”

    Berjalan perlahan, tersenyum dengan berani.

    Em mengetuk pintu, “Kakek,” panggilnya ceria, “sarapan su-dah si-ap.”

    Tak ada jawaban dan Em mengetuk lagi, lebih keras.

    Pintu berayun terbuka. Di tengah ruangan, ranjang berkanopi yang lembut, empuk, dan luas—simbol kenyamanan keluarga Fords—tergeletak kosong.

    Bayangan kematian, yang tidak pernah dikenal keluarga Fords seperti halnya Zoroastrianism atau atau penyebab Pemberontakan India pada 1957, meredam semua suara, memperlambat detak jantung semua orang. Dalam keterkejutan, para ahli waris mulai menggeledah dengan hati-hati, di bawah perabotan dan di belakang gorden, mencari Kakek yang fana, si pemimpin klan.

    Tapi Kakek tak meninggalkan apapun kecuali sebuah catatan, yang telah Lou temukan di atas lemari, di bawah pemberat kertas, souvenir berharga dari Pekan Raya Dunia tahun 2000. Gemetar, Lou membaca dengan lantang:

    “Seseorang yang telah kutampung dan kulindungi dan kudidik semampuku selama ini telah berbalik menyerangku seperi anjing gila dengan mengencerkan anti-garasone milikku, atau setidaknya ia mencoba melakukannya. Aku tidak muda lagi. Seperti dulu, aku tidak sanggup lagi menghadapi beban hidup yang bisa menghancurkanku kapan saja. Maka, setelah pengalaman pahit semalam, kuucapkan selamat tinggal. Kekhawatiran dunia ini akan segera jatuh layaknya jubah berduri dan akhirnya akan kudapatkan kedamaian. Saat kau menemukan catatan ini, aku sudah tiada.”

    “Astaga,” ucap Willy terbata, “ia bahkan tidak sempat melihat akhir balapan Speedway Race 500 mil.”

    “Atau The Solar Series,” ucap Eddie dengan mata berkabung.

    “Atau apakah Mrs. Garvey bisa melihat lagi,” tambah Morty.

    “Ada lagi,” ucap Lou dan ia mulai membaca lagi, “aku, Harold D. Ford, bla.. bla.. bla.. dengan ini membuat, mencantumkan dan mengumumkan catatan ini sebagai surat wasiat dan keinginanku yang terakhir, membatalkan seluruh wasiat sebelumnya.”

    “Tidak!” erang Willy. “Jangan lagi!”

    “Aku menetapkan,” baca Lou, “bahwa seluruh properti dalam bentuk apapun, tidak dipecah namun dirancang untuk diwariskan sebagai milik bersama, tanpa memperhatikan generasi, sama rata dan berbagi bersama.”

    Semua pasang mata berbalik menatap ranjang .

    “Sama rata dan berbagi bersama?” tanya Morty.

    “Sebetulnya,” ucap Willy, yang paling tua, “seperti budaya jaman dahulu, ketika yang tertua memimpin dan bermarkas di sini dan—”

    “Aku setuju usul itu!” seru Em. “Lou sama berhaknya seperti dirimu, dan menurutku itu seharusnya menjadi hak dari anak tertua yang masih bekerja. Kau bisa bermalas-malasan di sini seharian, menunggu uang pensiunmu dan Lou tersandung-sandung untuk istirahat di ruangan ini malam hari setelah seharian bekerja, dan—”

    “Bagaimana dengan memberikan kesempatan pada seseorang yang belum pernah mendapatkan privasi sama sekali?” Eddie menuntut dengan keras. “Demi setan! Kalian orang tua punya banyak privasi ketika masih anak-anak. Aku lahir di tengah-tengah barak di lorong apartemen ini! Bagaimana kalau—”

    “Ya?” tantang Morty. “Tentu, kau selalu kesusahan dan hatiku teriris mendengarnya. Tapi cobalah kau berbulan madu di lorong sekali saja.”

    Diam!” teriak Willy dengan angkuh. “Siapapun berikutnya yang buka mulut akan menghabiskan enam bulan di depan kamar mandi. Sekarang keluar dari kamarku. Aku harus berpikir.”

    Sebuah vas hancur menghantam dinding, beberapa inci di atas kepalanya.

    Beberapa saat kemudian, keributan pecah dalam apartemen Fords. Masing-masing pasangan berjuang mengeluarkan pasangan lain dari kamar itu. Em dan Lou didorong ke ruang tengah, tempat mereka mendorong pasangan lain dan kembali berusaha masuk ke kamar.

    Setelah dua jam pergumulan dan tak satupun keputusan untuk berdamai terlihat, polisi menerobos masuk diikuti juru kamera televisi.

    Selama setengah jam, mobil polisi dan ambulans mengangkut anggota keluarga Fords pergi. Setelahnya, apartemen Fords kembali tenang dan lengang.

    Satu jam kemudian, rekaman akhir keributan itu disiarkan kepada 500.000.000 penonton di seluruh Pesisir Timur.

    Dalam kekosongan tiga ruangan apartemen di lantai 76, gedung 257 itu, televisi di ruang tengah ditinggalkan menyala. Sekali lagi, udara dipenuhi teriakan dan sungut marah, suara keributan yang tidak berbahaya pecah keluar dari pengeras suara.

    Keributan itu juga ditayangkan pada layar kaca televisi di kantor polisi. Tempat para polisi dan anggota keluarga Fords menonton dengan perhatian penuh.

    Em dan Lou bersebelahan menempati sel empat kali delapan meter, berselonjoran di ranjang masing-masing.

    “Em,” panggil Lou lewat pembatas, “kau punya wastafel sendiri juga?”

    “Tentu. Wastafel, ranjang, lampu—semuanya. Dan kita pikir kamar Kakek itu spesial. Sudah berapa lama ini terjadi?” Ia merentangkan tangannya. “Untuk pertama kalinya setelah empat puluh tahun, sayang, aku tidak lagi merasa gelisah—lihatlah aku!”

    “Baiklah, diam!” ucap sipir penjara, “atau kulempar kalian semua keluar dari sini. Dan orang pertama yang memberitahu siapapun di luar sana seberapa bagusnya penjara, ia tak akan pernah masuk lagi!”

    Para tahanan sontak diam.

    Ruang tengah apartemen itu menggelap beberapa saat ketika adegan keributan di layar televisi memudar, lalu cahaya kembali terang ketika wajah penyiar berita muncul di layar seperti matahari muncul dari balik awan. “Dan sekarang, kawan,” ucapnya, “akan kusampaikan pesan dari pembuat anti-gerasone, pesan untuk kalian yang berusia lebih dari 150 tahun. Apakah kehidupan sosial kalian terganggu oleh kulit keriput, kekakuan sendi, dan rambut beruban? Semua yang terjadi sebelum anti-gerasone diciptakan? Kalau iya, kalian tidak perlu menderita, merasa berbeda, dan terasingkan lebih lama lagi.

    “Setelah penelitian bertahun-tahun, kini telah tercipta Super-anti-gerasone! Dalam beberapa minggu—ya, minggu—kalian dapat terlihat, merasa dan bertingkah semuda anak cucu kalian! Tidakkah kalian ingin membayar 5.000 dolar untuk dapat membaur dengan orang lain? Tidak perlu! Untuk Super0-anti-gerasone yang aman dan telah diuji kalian hanya perlu membayar beberapa dolar saja perhari.

    “Untuk mendapatkan sample gratis, tulis nama dan alamat Anda di kartu pos satu dolar dan kirimkan ke ‘Super’, PO BOX 500.000 Schenectady, N. Y.”

    Kata-kata penyiar berita itu digarisbawahi suara goresan pena Kakek Ford, pena yang diberikan Willy pada malam sebelumnya. Ia datang beberapa menit yang lalu setelah menghabiskan waktu di kedai The Idle Hour, yang menghadap langsung pada gedung 257 dari seberang alun-alun The Alden Village Green. Ia memanggil petugas kebersihan untuk membereskan kamar itu. Ia juga menyewa pengacara terbaik di kota—seorang jenius yang belum pernah mendapat klien selama setahun satu hari—untuk menuntut pada para ahli warisnya. Kakek memindahkan ranjang ke depan televisi agar ia bisa menonton sambil berbaring, sesuatu yang ia impikan selama bertahun-tahun.

    “Schen-ec-ta-dy,” gumam Kakek. “Dapat!” wajahnya berubah drastis. Otot wajahnya terlihat santai, memperlihatkan kebaikan dan ketenangan batin yang tersembunyi di bawah garis temperamen yang keras. Hampir terlihat seperti ia sudah mendapatkan sample gratis Super-anti-gerasone miliknya. Ketika sesuatu di televisi membuatnya terhibur, ia tersenyum dengan ringan. Tidak seperti biasanya ketika ia nyaris tak berusaha menarik garis mulutnya barang satu milimeter saja.

    Hidupnya menyenangkan. Ia tak sabar melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.

  • Pembakaran Lumbung

    author = Kemal Fasas

    Aku bertemu dengannya di acara pernikahan seorang rekan kerja, dan kita menjadi bersahabat semenjak itu. Ini terjadi 3 tahun yang lalu. Umur kami berjarak hampir satu generasi-dia 20, aku sendiri 31-tapi itu tidak menjadi soal yang besar. Aku memiliki cukup banyak ihwal untuk dikhawatirkan saat itu, dan kalau boleh jujur, aku tidak sempat untuk memikirkan persoalan perbedaan usia. Dan juga perbedaan usia tidak mengganggu dia sejak awal. Dan aku sudah menikah, tapi itu tidak masalah juga. Sepertinya dia memikirkan bahwa hal-hal seperti umur dan keluarga dan pendapatan merupakan hal yang sama tingkatannya dengan ukuran sepatu dan vokal nada dan bentuk salah satu kuku, alias hal-hal yang jika hanya kita pikirkan tidak akan mengubahnya sedikit pun. Dan kata-katanya, ya, ada benarnya.

    Dia tengah bekerja sebagai model pengiklanan untuk penghasilan hidupnya sehari-hari sembari belajar pantomim di bawah seseorang, pengajar yang terkenal, sepertinya. Tetapi ia kerap kali sulit menemukan waktu untuk keluar ketika bekerja menjadi model, jadi pendapatan yang ia peroleh tidak terlalu banyak. Apa yang tidak tersanggupi, maka pacarnya lah yang akan menutupinya. Tentu saja, aku tidak tahu pasti. Dari apa yang Ia katakan, seakan-akan ia menunjukan bahwa itu lah yang terjadi.

    Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, ketika pertama kali aku bertemu ia memberitahuku bahwa ia sedang mempelajari pantomim. Pada satu malam, ketika kami tengah nongkrong di suatu bar, ia menunjukan kepadaku pertunjukan Kupasan Jeruk Keprok. Seperti namanya, Ia hanya mengupas jeruk. Di sisi kirinya sebuah mangkuk ditumpuk dengan jeruk hingga menjulang; lalu di sisi kanannya, sebuah mangkuk untuk kupasannya. Setidaknya itu gambarannya. Walaupun sebenarnya, tidak ada apapun disana sama sekali. Ia mengambil jeruk khayalan di tangannya, pelan-pelan mengupasnya, menaruh satu potongan didalam mulutnya, dan membuang bijinya. Ketika ia telah menghabiskan satu jeruk, Ia kumpulkan semua biji yang ada di kupasannya dan menyimpannya di mangkuk yang berada di samping kanannya. Dia mengulang gerakan ini berkali-kali. Ketika kau mencoba menjelaskannya dengan kata-kata, itu tidak terdengar spesial sama sekali. Tapi jika kau melihatnya dengan mata kepalamu sendiri untuk 10 atau 20 menit (Hampir tanpa berpikir, ia tetap mempertunjukannya) sedikit demi sedikit realitas terasa terhisap dari segala yang ada di sekelilingmu. Perasaan yang sangat asing.

    “Kau cukup mahir,” Kataku kepadanya.

    “Ini? Ini gampang. Ini sama sekali tidak membutuhkan bakat. Yang perlu kau lakukan hanya buat dirimu percaya bahwa ada jeruk disana. Dan kau lupakan bahwa jeruknya sama sekali tidak ada. Hanya itu”

    Aku bisa melihat bahwa kami akan segera akrab.

    Kami tidak terlalu sering keluar. Sekitar satu bulan sekali, dua kali paling banyak. Aku akan menelponnya dan bertanya kemana ia ingin pergi.  Kami akan makan sesuatu, minum beberapa minuman di bar, dan membicarakan badai yang berlangsung hari ini. Aku akan mendengar apa yang dibicarakan, ia akan mendengarkan apa yang ku bicarakan. Kami sulit menemukan suatu kesamaan untuk kami bicarakan, tapi itu tidak masalah. Bisa ku tebak kau akan mengatakan bahwa kita hanya sebatas teman. Tentu saja, aku yang membayar semuanya, setiap makanan dan minuman. Beberapa kali Ia akan meneleponku, biasanya ketika Ia kehabisan uang dan sedang lapar. Pada kesempatan itu Ia akan makan sampai dalam keadaan yang mustahil sekalipun.

    Aku benar-benar merasa tenang ketika bersamanya. Aku bisa menghapus segala beban dari pikiranku—semua pekerjaan yang tidak ingin ku kerjakan, juga campur aduk ketidakmasukakalan pikiran yang orang-orang bawa di dalam kepala mereka. Dia memiliki pengaruh itu untukku. Dia tidak membicarakan tentang apapun secara khusus. Seringkali aku hanya akan terus menganggukkan kepalaku, tidak benar-benar memperhatikan apa inti yang dibicarakannya. Tapi mendengarnya membuatku tenang, seperti aku sedang memandang selayang awan dari jarak kejauhan.

    ***

    Di musim semi tahun ini setelah kita bertemu, ayahnya meninggal dunia, dan dia menerima warisan berupa sedikit uang dari ayahnya. Setidaknya itu yang Ia katakan kepadaku. Dia bilang ia ingin menggunakan uangnya untuk pergi ke Afrika Utara. Aku tidak tahu mengapa ia memilih Afrika Utara, tapi ku biarkan saja, dan sekaligus memperkenalkan kepadanya seorang kenalan yang sedang bekerja di Kedutaan Aljazair di Tokyo. Akhirnya dia pergi menuju Aljazair. Ketika semua sudah tersiapkan, aku pergi mengantarnya ke bandara. Dia hanya membawa satu tas usang yang tua dengan beberapa baju ganti di dalamnya. Ketika melewati pengecekan bagasi, ia terlihat lebih mirip ia hendak kembali pulang ke Afrika Utara ketimbang jalan-jalan disana.

    “Apakah kamu akan kembali ke jepang?” Tanyaku, dengan bercanda.

    “Tentu saja aku akan kembali,” balasnya.

    Setelah tiga bulan ia baru kembali, dengan tujuh pon lebih ringan dan kulit yang lebih kecoklatan—dan dengan pacar baru. Ini terlihat seperti mereka berdua bertemu di suatu rumah makan di Aljazair. Dan karena tidak banyak orang jepang di sana, membuat mereka tambah dekat. Sejauh yang aku tahu, pria itu adalah pacar tetap pertamanya yang ia punya.

    Lelaki itu berumuran sekitar dua puluhan akhir, tinggi, berpakaian necis, dan baik dalam bertutur. Wajahnya kelihatan agak tidak begitu berekspresi, tapi Ia cukup tampan, dan ia hadir seperti tipe pria yang menyenangkan. Tangannya besar, dengan jemari yang panjang.

    Aku banyak mengetahui tentang pacar barunya karena aku pergi menjemput mereka di bandara. Sebuah kiriman telegram datang tiba-tiba dari Beirut hanya dengan tanggal dan nomor penerbangan. Ketika pesawatnya datang (empat jam telat, karena cuaca yang buruk) mereka berdua muncul dari gerbang bergandengan tangan, terlihat seperti pasangan pengantin muda yang serasi. Ia memperkenalkan pacarnya kepadaku, dan kami bersalaman. Pria itu memiliki jabat tangan yang kuat seperti dari seorang yang telah tinggal lama di luar negeri. Perempuan ini bilang Ia sangat ingin semangkuk tempura dan nasi, jadi kami pergi menuju rumah makan, dan ketika Ia menghabiskan waktu memakan tempura, aku dan pacarnya mengambil beberapa bir.

    “Aku sekarang bekerja di bisnis ekspor-impor,” katanya kepadaku. Tapi setelahnya pria tersebut tidak mengatakan lebih tentang itu. Mungkin ia tidak ingin membicarakan tentang pekerjaannya, atau mungkin ia berpikir bahwa itu hanya membosankan. Aku tidak bertanya apapun tentangnya.

    Ketika wanita ini menghabiskan tempuranya, ia menguap dengan dalam dan berkata bahwa Ia mengantuk. Ia kelihatan akan jatuh tertidur di tempat; Ia memiliki kebiasaan tekantuk-kantuk di waktu yang tidak bisa ditebak. Pria itu berkata ia akan mengantarnya pulang ke rumah dengan taksi. Ku katakan pada mereka bahwa kereta akan membingungkan untukku. Aku bahkan tidak tahu mengapa Aku repot-repot pergi keluar menuju bandara.

    “Aku senang bisa mengenalmu,” kata pria itu, terdengar agak seperti meminta maaf.

    “Aku juga,” balasku.

    ***

    Aku bertemu lagi dengan pacarnya beberapa kali setelah pertemuan itu. Tiap kali aku menemui wanita ini, disana pacarnya berada, berdiri di sampingnya. Dan jika aku ada pergi keluar dengan wanita ini maka pacarnya yang akan mengantarnya ke manapun dimana kami akan bertemu. Pria itu mengendarai  mobil sports berwarna silver buatan Jerman. Aku hampir tidak tahu sama sekali mengenai mobil, jadi Aku tidak bisa menjelaskannya dengan baik.

    “Dia pasti lumayan kaya, bukan begitu?” Tanyaku ke wanita ini sekali waktu.

    “Iya,” Dijawab dengan tidak tertarik. “Sepertinya begitu.”

    “Aku penasaran kalau kau bisa menghasilkan banyak uang di ekspor-impor.”

    “ekspor-impor?”

    “Itu yang pacarmu katakan kepadaku. Dia bilang Ia bekerja di ekspor-impor.”

    “Ya, aku rasa begitu. Tapi aku tidak tahu. Dia seperti tidak bekerja dimana-mana. Dia bertemu dengan banyak orang dan banyak menjawab panggilan telepon, tapi dia tidak terlihat menikmati pekerjaannya.”

    Sama halnya dengan Gatsby. Seorang pemuda penuh dengan teka-teki. Aku pikir, kau tidak akan tahu apa yang dia lakukan, sungguh, tapi pria itu terlihat tidak pernah kesulitan mencari uang.

    Perempuan itu menelponku di suatu Minggu sore di bulan Oktober. Istriku tengah keluar kota mengunjungi beberapa kerabat, jadi aku sendirian saja di rumah. Itu adalah hari yang indah, minggu yang cerah, dan aku sedang memandang pepohonan di kebun, sambil memakan apel. Aku pasti sudah memakan sekitar tujuh apel hari itu. Ini terjadi dari waktu ke waktu—seperti penyakit, aku terus mengidam apel.

    “Kami kebetulan berada di sekitar sini dan kupikir jika kami bisa mampir,” Kata perempuan tadi.

    “Kami?” Tanyaku.

    “Pacarku dan aku,” katanya.

    “Tentu, mampirlah,” kataku.

    “O.K—kita akan sampai sekitar setengah jam lagi,” katanya.

    Aku berbaring dengan teringa-inga diatas Kasur untuk sementara, lalu bangun dan mandi lalu bercukur. Aku tidak bisa memilih apakah aku seharusnya beres-beres rumah, dan akhirnya pun aku memilih untuk tidak melakukannya. Tidak ada cukup waktu untuk melakukan pekerjaan itu sepenuhnya, dan jika tidak bisa dilakukan dengan benar, pikirku, lebih baik sekalian tidak menghiraukannya sama sekali. Ruang tengah penuh dengan buku, majalah, surat, kaset, pensil, dan sweater, lagipula ruangan ini tidak terlalu berantakan juga.

    ***

    Setelah jam dua lebih, aku mendengar sebuah mobil berhenti di depan rumah. Ketika ku bukakan pintu, aku melihat mobil sports berwarna silver di trotoar. Perempuan itu mengeluarkan wajahnya dari jendela dan melambai. Aku tunjukan dimana mereka bisa parkir, tepat di belakang rumah.

    “Ya, kita sudah sampai!” Kata perempuan itu dengan tersenyum. Dia memakai kaos terang dengan jelas menunjukkan lekuk tubuhnya, dengan rok pendek berwarna hijau zaitun.

    Pria itu mengenakan jaket berwarna biru tua. Entah mengapa ia terlihat berbeda, mungkin karena jenggot tipisnya. Keluar dari mobil, pria itu melepas kacamata hitamnya dan memasukkannya ke dalam saku.

    “Aku minta maaf atas ini, mengunjungimu dengan mendadak di hari liburmu,” Kata pria itu.

    “Tidak masalah,” Kataku. “Hari ini liburku. Dan aku menerima kedatangan tamu dengan senang hati.”

    “Kami bawa makanan,” Kata Perempuan itu, dan ia mengangkut sekarung kantong kertas putih yang besar dari kursi belakang mobil.

    “Makanan?”

    “Tidak ada yang istimewa. Kami hanya bepikir bahwa ketika kita singgah di rumahmu di hari minggu lebih baik kami membawa sesuatu untuk dimakan,” kata Lelaki itu.

    “Bagus. Karena hari ini yang ku punya hanya apel.”

    Kita masuk ke dalam dan mengeluarkan makanan lalu menaruhnya di meja. Jenisnya cukup banyak: sandwich daging panggang, salad, salmon asap, dan es krim blueberry—dan masih ada yang lain lagi. Ketika Perempuan itu sedang menata semuanya di piring, Aku mengambil beberapa anggur putih dari kulkas dan membukanya. Sepertinya akan ada pesta kecil untuk diri kami sendiri.

    “Ayo makan. Aku sudah lapar,” kata wanita ini, selalu lapar seperti biasanya.

    Kami mengunyah sandwich punya kami masing-masing, memakan salad, dan lanjut menuju menghabiskan tuna asap. Ketika kami menghajar anggurnya, kita minum beberapa bir kalengan dari kulkas. Satu hal yang bisa kau selalu andalkan dari tempatku, adalah kulkas yang selalu dipenuhi dengan bir. Roman pacarnya itu sama sekali tidak berubah, tidak peduli seberapa banyak yang Ia minum. Aku sendiri memang peminum yang cukup handal. Perempuan itu juga minum beberapa kaleng bersama kami, dan kurang dari satu jam meja sudah dalam keadaan kosong. Perempuan itu memilah beberapa rekaman dari rak dan menyetelnya di pemutar musik. Album pertama yang terputar adalah milik Miles Davis.

    Kami membicarakan mengenai pemutar musik untuk sementara, dan pria itu diam sejenak. Lalu ia berkata, “Aku punya beberapa ganja, jika kau tidak keberatan untuk mengisapnya.”

    Aku tidak mengerti bagaimana seharusnya aku bereaksi. Aku baru saja berhenti merokok sebulan yang lalu; Itu pun aku tidak yakin apakah sebaiknya aku melepaskan kebiasaan itu selamanya atau tidak, ditambah aku sama sekali tidak tahu apa pengaruh dari mengisap ganja kepadaku. Tapi aku memutuskan untuk mencobanya.

    Kita duduk disana dengan diam untuk beberapa saat, mengganja tanpa ada berbicara. Miles Davis sudah habis, dan sebuah koleksi dari Strauss waltzes mulai berputar. Bukan susunan yang biasanya, pikirku. Tapi tidak begitu buruk.

    Setelah kita menghabiskan putaran pertama, Perempuan itu berkata ia mulai mengantuk. Dia tidak mendapatkan istirahat yang cukup semalam, dan 3 bir ditambah 3 ganja menandaskannya. Kutunjukan ia lantai atas dan membaringkannya di kasur. Dia meminta ingin meminjam kaos, dan ku beri ia satu. Dia tanggalkan pakaiannya sampai terlihat kutangnya, lalu ia kenakan kaos yang kuberikan; dan ia mulai berbaring di atas kasur. “Apakah kamu kedinginan?” tanyaku, tapi ia sudah ngorok duluan. Ku garuk kepalaku, lalu aku kembali ke lantai bawah.

    Di ruang duduk pacarnya sedang memulai putaran kedua. Pria itu memang sesuatu. Jika diberi pilihan, aku lebih memilih tidur bersama wanita tadi di kasur, tapi itu sudah terlanjur. Aku mulai mengisap putaran kedua bersama pria itu, Strauss waltzes masih berputar. Untuk beberapa sebab aku teringat sebuah drama yang kami lakukan saat sekolah dasar. Aku menjadi pemilik toko sarung tangan. Seekor bayi rubah datang untuk mencari sarung tangan, tapi ia tidak memiliki uang yang cukup untuk membelinya.

    “Kau tidak bisa membeli sarung tangan dengan jumlah segitu,” kataku. Sang penjahat.

    “Tapi ibu sangat kedinginan, seluruh tangannya pecah-pecah. Kumohon!” pinta bayi rubah.

    “Maaf, tapi ini tidak cukup. Simpan uangmu dan kembalilah lagi nanti. Jika kau—“

    “—terkadang aku membakar hangus lumbung,” kata pria itu.

    “Maaf?” kataku. Aku sedang ngelamun, aku pasti salah mendengarnya.

    “Terkadang aku membakar hangus lumbung,” katanya lagi.

    Ku tatap pria itu. Dia tengah memperhatikan desain koreknya dengan ujung jemarinya. Dia mengisap dalam-dalam asap marijuananya hingga masuk ke dalam paru parunya, menahannya disana selama sepuluh detik, lalu perlahan mengeluarkannya. Asapnya berputar-putar seperti ektoplasma tengah keluar dari mulutnya. “Aku membawa barang ini dari India,” katanya “Terbaik yang mereka punya. Kau mengisap ini dan semua jenis kenangan menyerbumu. Cahaya, bau, hal-hal seperti itu. Kualitas ingatanmu”—dia berhenti dengan tenang, dan, seolah-olah sedang mencari kata yang tepat, dengan enteng menjentikkan jari beberapa kali—“seperti sesuatu yang tidak pernah kau alami sebelumnya. Tidakkah kamu berpikir begitu?”

    Ya, aku juga berpikir begitu, kataku kepadanya. Aku tersesat di dalam kenangan yang kacau saat di panggung ketika sekolah dasar, dari suasana aroma cat dari papan kardus.

    “Aku ingin mendengar tentang lumbung tadi,” kataku.

    Dia menatapku. Wajahnya, seperti biasa, tanpa ekspresi.

    “Kau tidak keberatan ku beri tahu tentang itu?” tanyanya.

    “Silahkan,” balasku.

    “Sebenarnya sangat sederhana, sungguh. Kau siram bensin di sekelilingnya, lempar korek yang menyala dan whoosh! Selesai. Hanya membutuhkan kurang dari lima belas menit untuk membakarnya sampai hangus hingga ke tanah. Tentu saja, aku tidak membicarakan lumbung yang besar. Lebih tepatnya seperti gubuk, sebenarnya.”

    “Jadi…” kataku, dan berhenti. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana harus melanjutkan percakapan ini. “Jadi kenapa kau membakar lumbung?”

    “Apakah itu aneh?”

    “Aku tidak tahu. Kau membakar gedung, dan aku tidak. Tentu saja ada perbedaan besar diantara kedua itu.”

    Untuk sejenak ia duduk disana dengan kosong. Pikirannya terlihat berputar-putar, bagai dempul. Atau mungkin itu hanya khayalanku yang berputar-putar.

    “Kurang lebih aku membakar dua lumbung setiap dua bulan,” katanya. Dan ia mulai menjentikkan jarinya lagi. “Itu adalah jumlah yang tepat. Bagiku, setidaknya.”

    Aku mengangguk setengah-setengah. Jumlah yang tepat?

    “Jadi, apakah semua ini adalah lumbungmu yang kau bakar?” tanyaku.

    Dia melihatku seakan-akan ia tidak paham apa yang aku bicarakan. “Mengapa aku mau membakar lumbungku sendiri? Apa yang membuatmu berpikir aku memiliki banyak lumbung?”

    “Jadi, yang kau katakan padaku,” kataku, “adalah kau membakar lumbung punya orang lain, benar?”

    “Itu benar,” katanya. “Tentu saja itu benar. Lumbung punya orang lain. Jadi itu illegal. Seperti kamu dan aku duduk dan mengisap ganja—pastinya melanggar hukum.”

    Aku terdiam, melemaskan siku ku di lengan kursi.

    “Aku membakar lumbung orang lain tanpa izin mereka. Tentu saja, aku selalu memilih satu yang tidak akan menyebabkan alarm kebakaran menyala. Aku tidak ingin memulai kebakaran—aku hanya ingin membakar hangus lumbung.”

    Aku mengangguk, dan meregangkan tubuhku. “Tapi jika kau tertangkap kau berada dalam masalah besar. Bagaimanapun juga ini adalah pembakaran yang disengaja. Kau membuat keributan dan kau bisa berakhir di penjara.”

    “Aku tidak akan tertangkap,” katanya dengan biasa. “Aku menyiram bensinnya, menyalakan korek, dan cabut. Lalu Aku akan menikmati semuanya dari kejauhan dengan teropong. Aku tidak akan tertangkap. Polisi tidak akan menyisir jalanan dikarenakan lumbung kecil yang jelek terbakar hangus.”

    Dia mungkin benar, pikirku. Dan tidak ada akan pernah orang berpikir bahwa seorang pemuda dengan setelan rapih sambil mengendarai mobil impor yang mahal akan berkeliaran membakar gedung.

    “Apakah pacarmu mengetahui tentang hal ini?” tanyaku, sembari menunjuk lantai atas.

    “Dia tidak mengetahui apapun. Sebenarnya, aku tidak pernah memberitahu siapapun sebelumnya. Ini bukanlah jenis topik yang bisa kau bicarakan dengan siapapun.”

    “Lalu aku?”

    Dia merentangkan jari-jari tangan kirinya lalu menggosok pipinya. Cambangnya mengeluarkan suara gesekan yang kering, seperti serangga yang tengah merangkak melewati selembar kertas. “Kau adalah penulis, jadi ku pikir kau mesti tertarik dengan motif kelakuan manusia. Penulis memang seharusnya menghargai sesuatu karena apa adanya, sebelum mereka memutuskan penilaian. Lagipula, aku ingin membicarakannya dengan seseorang. Cara aku menjelaskannya mungkin sedikit aneh, ku rasa. Dunia penuh dengan lumbung, hampir semuanya tengah menungguku untuk membakar habis mereka. Suatu lumbung yang hanya berdiri sendirian di pinggir laut, sebuah lumbung di tengah sawah padi . . . apapun itu, semua jenis lumbung. Beri aku lima belas menit, dan aku akan membakar mereka hingga ke tanah, jadi nanti akan terlihat seperti tidak pernah ada lumbung itu sejak dari awal. Tidak akan ada yang  merasa tercekik karenanya. Ini semua hanya akan . . . menghilang. Whoosh!”

    “Tapi hanya kau yang dapat menentukan bahwa mana yang dapat dihancurkan, benar?”

    “Aku tidak menentukan apapun. Lumbung itu sendiri yang menunggu untuk dibakar. Aku hanya tinggal menerimanya. Aku hanya menerima apa adanya. Ini seperti turunnya hujan. Sungai meluap. Lalu suatu benda terbawa dengan arus. Apakah sang hujan yang dapat menentukan? Ini tidak seperti aku memutuskan untuk melakukan hal yang biadab. Aku memiliki kode moralitasku sendiri.”

    ***

    Kami duduk disana, hening dan terdiam untuk sejenak, menunggu, sepertinya, agar suasana mulai mereda. Aku tidak tahu apa yang harus ku katakan selanjutnya. Aku merasa seakan-akan tengah melihat dari jendela kereta menyaksikan pendar lanskap yang aneh, menyala dan meredup.

    “Mau bir lagi?” kataku setelah beberapa saat.

    “Terima kasih. Jika kau tidak keberatan.”

    Aku mengambil 4 kaleng dari dapur, bersama dengan beberapa keju Camembert. Kita meminum 2 bir untuk masing masing lalu memakan keju.

    “Kapan terakhir kali kau membakar lumbung?” tanyaku kepadanya.

    “Coba kupikir.” Pikirnya sejenak. “Musim panas ini, akhir agustus.”

    “Dan kapan ketika kau akan memulai pembakaranmu selanjutnya?”

    “Aku tidak tahu. Aku tidak memulainya dengan semacam jadwal, seperti melingkarkan tanggal di kalender. Aku membakar lumbung ketika Aku mendapatkan dorongan untuk melakukannya.”

    “Tapi ketika Kau ingin membakar salah satu, pasti ada yang tidak hanya menunggumu, benar kan?”

    “Tentu saja tidak,” katanya dengan berbisik. “Jadi aku tinggal memastikan pilihanku nantinya akan bagus atau tidak.”

    “Apakah kau, telah memilih lumbungmu berikutnya?”

    Garis kerutan terbentuk diantara matanya, lalu lewat hidungnya ia bernafas terburu-buru. “Iya, aku sudah menemukannya”

    Aku tidak mengatakan apa-apa, hanya menyesap apa yang tersisa dari birku.

    “Itu adalah lumbung yang indah. Sudah lama sejak aku pernah melihat satu yang begitu layak untuk dibakar. Sebenarnya, aku mampir kesini hari ini untuk menjenguknya.”

    “Maksudmu gedung itu di sekitar sini?”

    “Sangat dekat,” katanya.

    Dan percakapan tadi menutup pembahasan kami tentang lumbung.

    ***

    Pria itu membangunkan pacarnya saat pukul 5, dan meminta maaf lagi karena mengunjungiku tiba-tiba. Meskipun Pria itu telah minum banyak bir, dia sama sekali tidak terpengaruh oleh alkohol. Pria itu mengendarai mobilnya dari belakang rumah. Setelah kuperhatikan lagi, mobil itu memiliki satu retakan kecil, dekat lampu depannya.

    “Aku akan mengawasi lumbungnya,” kataku sekalian berpamitan.

    “Tentu,” katanya. “Omong-omong, ingat bahwa lumbung dekat sini, kan?”

    “Apa yang kau maksud, ‘lumbung’?” Tanya pacarnya.

    “Hanya sesuatu diantara yang kami, lelaki, bicarakan” Pria itu menjawab.

    “Baiklah,” Kata pacarnya.

    Lalu mereka melesap.

    ***

    Hari berikutnya, aku pergi menuju toko buku dan membeli peta untuk sebagian wilayah kota yang kutinggali. Peta ditangan, lalu aku berjalan sekitar, dengan pensil kutandai lokasi setiap lumbung. Setelah tiga hari, aku telah menjelajahi beberapa tempat hingga sejauh dua-setengah-mil. Rumahku berada di pinggiran kota, dengan beberapa ladang yang masih ada di sekitar sini, jadi memang masih ada banyak lumbung yang ada. Aku telah menghitungnya total ada enam belas.

    Lumbung yang pria itu rencanakan pastilah salah satu dari itu. Cara ia mengatakannya bahwa lumbungnya di dekat sini membuatku yakin pasti itu bukan melebihi wilayah yang telah ku tandai.

    Selanjutnya, aku telah memeriksa tiap dari enam belas gedung. Pertama aku menyisihkan satu yang terlalu dekat dengan rumah warga. Setelah itu, aku mencoret satu yang memiliki alat pertanian dengan pestisida di dalamnya-dengan kata lain, satu yang diasumsikan itu pastilah digunakan setiap hari. Aku yakin ia tidak akan ada keinginan untuk membakar salah satu dari yang telah kusebutkan.

    Tertinggal lima gedung. Lima lumbung yang bisa dibakar. Jenis yang bisa dibakar dalam waktu lima belas menit, dan dapat terbakar habis hingga ke tanah-lalu tidak akan ada yang akan merasa kehilangan. Akan tetapi, aku tidak bisa memutuskan yang mana dari lima tadi yang akan pria itu pilih. Ini adalah masalah preferensi. Aku mati-matian agar dapat mengetahui yang mana yang akan ia pilih.

    Ku bentangkan peta dan menghapus semua coretannya kecuali dari lima yang tadi. Lalu ku keluarkan penggaris siku-siku, penggaris kurva, dan ku petakan jalur terdekat yang memungkinkan diriku untuk melewati kelima gedung dan membawaku kembali ke rumah. Jalannya memutari sungai dan suatu bukit, dengan total jarak semua empat pertiga mil.

    Pada pukul enam pagi, ku kenakan pakaian jogging dan sepatu lari ku lalu berlari sepanjang perjalanan yang telah ku petakan. Karena aku biasanya lari pagi sampai tiga-setengah-mil setiap pagi, menambah jarak tidak menjadi masalah bagiku. Pemandangannya tidak begitu buruk, ada dua jalur kereta saling menyilang selama di perjalanan, itu sama sekali tidak melambatkanku.

    Jalurnya memutari lapangan atlet kampus yang berada dekat rumahku, lalu menyusuri sungai dan hampir dua mil lebih sampai di jalanan sepi yang berdebu. Lumbung pertama sampai setengah dari perjalanan. Lalu memotong jarak melewati hutan dan menanjak tanjakan yang sedikit miring. Sedikit lebih jauh di gudang yang lain, ada jalur pacu kuda, mungkin nantinya akan membuat keributan jika mereka melihat api, tapi hanya itu saja; mereka tidak akan terluka atau apapun.

    Lumbung yang ketiga dan keempat memiliki bentuk yang serupa, seperti dua anak kembar yang sama jeleknya. Mereka hanya berjarak sekitar dua ratus yard. Keduannya bobrok dan juga kotor. Jika kau akan membakar salah satu dari mereka, kau mungkin akan memilih keduanya sekalian.

    Lumbung terakhir berdiri bersampingan dengan penyebrangan kereta, di sekitar perjalanan sejauh tiga-setengah-mil. Lumbung itu jelas telah terbengkalai. Ia berhadapan dengan jalan dan memiliki papan tipis Pepsi-Cola yang terpaku dengannya. Bangunan itu sendiri—aku tidak yakin jika bisa disebut bangunan lagi—sebagian besar telah roboh. Dan gudang itu sesuai dengan deskripsi—sebuah bangunan yang hanya tinggal menunggu seseorang untuk menyerahkannya kepada api.

    Aku berhenti di depan lumbung terakhir, mengambil beberapa tarikan nafas, lalu menyeberangi jalur kereta dan menuju kembali ke rumah. Larinya membutuhkan tiga puluh satu menit lebih tiga puluh detik.

    Aku berlari melewati jalan yang sama setiap pagi dalam sebulan ini. Tapi tidak ada kutemukan lumbung yang telah terbakar habis. Terkadang datang pikiran bahwa mungkin pria itu sedang mencoba membuatku untuk membakar hangus gudang itu. Seakan-akan pria itu sedang mengisi kepalaku dengan pemandangan sebuah pembakaran lumbung dan pemandangan terus menggembung lagi dan lagi, seperti mengisi angin di ban sepeda. Ada beberapa waktu ketika aku berpikir bahwa, selama aku menunggu dia melakukannya, aku juga mungkin akan melangkah lalu menyalakan sebuah korek dan membakar satu gudang hingga habis. Ini hanya gudang tua yang bonyok, bukan? 

    Tapi itu terlalu keterlaluan. Lagipula, bukanlah aku yang membakar gudangnya, dialah yang membakarnya. Tidak peduli berapa banyak gambar pembakaran lumbung yang akan membengkak di dalam kepalaku, hanya saja aku bukan tipe pembakar-lumbung. Mungkin ia telah memutuskan lumbung yang lain di suatu tempat. Atau ia hanya sedang sibuk untuk mencari waktu untuk membakar satu lumbung.

    ***

    Aku tidak mendengar kabar tentang wanita itu sama sekali.

    Desember tiba, dengan berakhirnya musim gugur, angin pagi menjadi semakin dingin. Tidak ada perubahan pada lumbung-lumbungnya, hanya embun beku yang menyelimuti atapnya. Dunia telah bergerak seperti biasa.

    ***

    Kali berikutnya aku bertemu Lelaki itu di bulan Desember, ketika beberapa hari sebelum Natal. Dimanapun kau pergi, lagu-lagu natal akan mengiringi. Aku sedang sibuk jalan memutari kota membeli hadiah-hadiah untuk beberapa orang. Dekat Nogizaki, terlihat mobil Lelaki itu di tempat parkiran di suatu kedai kopi. Tidak salah lagi, mobil sports berwarna silver, dengan goresan kecil di samping lampu kiri depannya.

    Tanpa berpikir panjang, aku masuk ke dalam. Bagian dalam kedainya bernuansa gelap, dengan aroma kopi yang kuat. Tidak ada suara orang-orang, semua membisu, dan musik barok tengah berputar dengan lembut melatari tempat itu. Aku langsung menemukan pria itu. Duduk di samping jendela, sembari meminum kopi susu.

    Aku menyapa. Aku tidak memberi tahu ia aku telah melihat mobilnya terparkir di depan; Aku bilang bahwa aku kebetulan masuk ke kedai dan tidak sengaja bertemu dengannya.

    “Keberatan kalau ku duduk disini?” Tanyaku.

    “Tidak apa-apa,” Katanya.

    Kami ngobrol untuk sementara. Tapi percakapan kami tidak mengarah kemanapun. Kami tidak memilki banyak hal untuk sama-sama dibicarakan, dan pikirannya seperti berada di tempat lain. Walaupun begitu, ia tidak merasa keberatan membagi mejanya denganku. Pria itu memberi tahuku tentang pelabuhan di Tunisia. Dan tentang udang yang mereka tangkap disana. Ini tidak seperti pria itu merasa terpaksa untuk berbicara; dia hanya ingin memberitahuku tentang udang. Dan cerita mengalir hingga di pertengahan jalan, seperti tetesan air tengah diisap oleh pasir.

    Pria itu mengangkat tangannya, memanggil pelayan kemari, dan memesan cangkir kopi susunya yang kedua.

    “Omong-omong, apa ada yang terjadi dengan lumbung itu?” kuberanikan diri untuk menanyakannya.

    Muncul simpul senyuman bermain dari sudut bibirnya. “Ah-kau masih mengingatnya, ya” katanya. Pria itu mengambil saputangan dari sakunya, mengelap mulutnya, dan memasukkan saputangannya kembali ke saku. “Aku sudah membakarnya, tentu saja. Membakarnya hingga habis. Seperti yang telah ku katakan.”

    “Dekat rumahku?”

    “Iya. Sangat dekat.”

    “Kapan?”

    “Beberapa waktu yang lalu, sekitar sepuluh hari setelah kami mampir ke rumahmu.”

    Lalu ku katakan padanya bagaimana aku telah menandai lokasi lumbung-lumbung yang berada di peta—bagaimana aku lari pagi melewati mereka sekali sehari. “Agar aku tidak akan melewatkannya,” kataku.

    “Kau cukup jelimet sekali, ya” katanya dengan wajah yang cerah. “Teliti dan makul. Tapi kau pasti telah melewatkannya. Itu terkadang terjadi. Suatu hal yang begitu dekat, dan kau hanya melewatkannya.”

    “Baiklah, aku tidak paham.”

    Lalu Pria itu mengencangkan dasi dan melirik ke jam tangannya. “Lumbung itu sangat dekat.” Katanya. “Tapi aku harus pergi sekarang. Bagaimana jika nanti kita berbicara panjang lebar masalah itu lain kali? Maafkan aku, tapi seseorang sedang menungguku.”

    Tidak ada alasan untuk menahan pria itu lebih lama lagi. Dia berdiri lalu memasukkan rokok dan korek ke dalam sakunya.

    “Oh, omong-omong, apakah kau melihat pacarku sejak hari itu?” Tanya pria itu.

    “Tidak, aku belum. Kau belum melihatnya?”

    “Tidak. Sudah lama aku tidak melihatnya. Aku tidak bisa tahan lebih lama lagi. Dia tidak ada di apartemennya, aku tidak bisa menghubunginya lewat telepon, dan sudah lama dia tidak mengikuti kelas pantomim.”

    “Mungkin ia hanya pergi ke suatu tempat. Dia melakukannya beberapa kali.”

    Pria itu terdiam disana, kedua tangan di dalam sakunya, dan menatapi meja. “Tanpa uang, untuk sebulan setengah. Dia bukan tipe orang yang bisa mengatasinya sendirian, kau tahu.” Dia menjentikkan jemarinya dari dalam sakunya beberapa kali. “Dia bahkan tidak punya satu sen,” Pria itu melanjutkan. “Atau teman, keduanya ia tidak punya. Buku kontaknya penuh, tapi semua itu hanya nama. Tidak ada satu orang pun yang bisa ia andalkan. Hanya kau yang bisa ia percayai. Aku tidak mengatakan itu untuk berusaha menjadi sopan. Kau adalah seseorang yang spesial untuknya. Bahkan itu membuatku sedikit iri. Dan aku bukan semacam orang yang gampang iri.” Pria itu memberikan sekilas keluhan dan menengok jam tangannya lagi. “Aku harus pergi sekarang. Lain kali kita bertemu lagi kapan-kapan.”

    Aku hanya mengangguk. Kata yang tepat tidak kunjung keluar. Ini selalu seperti itu. Kapan pun aku bersama pria itu kata-kata hanya tidak mau mengalir.

    ***

    Aku berusaha menelepon wanita itu beberapa kali setelah pertemuan itu; sampai telepon perusahaan mematikan teleponnya. Aku sedikit cemas, jadi ku coba pergi menuju apartemennya. Pintunya terkunci. Setumpuk sisa-sisa surat memenuhi kotak suratnya. Aku tidak bisa menemukan pengawas gedungnya, aku bahkan tidak tahu apakah wanita ini masih tinggal disini apa tidak. Ku robek selembar kertas dari buku agendaku, dan menulis catatan berbunyi, “Hubungilah aku,” lalu kutulis namaku, dan memasukkannya di kotak suratnya.

    Tidak ada kata.

    Di lain waktu ketika aku mengunjungi apartemennya, ada papan nama punya orang lain yang terpampang di pintunya. Lalu ku coba mengetuk, tapi tidak ada yang menjawab. Sama seperti terakhir kali, pengawas gedungnya masih belum bisa ditemukan.

    Jadi aku menyerah.

    Itu hampir satu tahun yang lalu. Dia hanya menghilang begitu saja.

    ***

    Aku masih berlari melewati kelima lumbung itu tiap pagi. Tidak ada lumbung di daerah sekitar yang telah terbakar. Dan aku belum mendengar ada pembakaran lumbung. Desember datang lagi, dan burung musim dingin bertebangan dari atas kepala. Dan aku terus-menerus menua.

    Judul Asli: Barn Burning
    Penulis Karya Asli: Haruki Murakami
    Bahasa Asal Karya Asli: Jepang
    Bahasa sebelum diterjemahkan: Inggris, diterjemahkan oleh Jay Rubin
    Barn Burning oleh Haruki Murakami terbit pertama kali pada Januari 1983 dari kumpulan cerpen “The Elephant Vanishes”. Diterjemahkan dari Bahasa Inggris