Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Kemal Fasas
Aku bertemu dengannya di acara pernikahan seorang rekan kerja, dan kita menjadi bersahabat semenjak itu. Ini terjadi 3 tahun yang lalu. Umur kami berjarak hampir satu generasi-dia 20, aku sendiri 31-tapi itu tidak menjadi soal yang besar. Aku memiliki cukup banyak ihwal untuk dikhawatirkan saat itu, dan kalau boleh jujur, aku tidak sempat untuk memikirkan persoalan perbedaan usia. Dan juga perbedaan usia tidak mengganggu dia sejak awal. Dan aku sudah menikah, tapi itu tidak masalah juga. Sepertinya dia memikirkan bahwa hal-hal seperti umur dan keluarga dan pendapatan merupakan hal yang sama tingkatannya dengan ukuran sepatu dan vokal nada dan bentuk salah satu kuku, alias hal-hal yang jika hanya kita pikirkan tidak akan mengubahnya sedikit pun. Dan kata-katanya, ya, ada benarnya.
Dia tengah bekerja sebagai model pengiklanan untuk penghasilan hidupnya sehari-hari sembari belajar pantomim di bawah seseorang, pengajar yang terkenal, sepertinya. Tetapi ia kerap kali sulit menemukan waktu untuk keluar ketika bekerja menjadi model, jadi pendapatan yang ia peroleh tidak terlalu banyak. Apa yang tidak tersanggupi, maka pacarnya lah yang akan menutupinya. Tentu saja, aku tidak tahu pasti. Dari apa yang Ia katakan, seakan-akan ia menunjukan bahwa itu lah yang terjadi.
Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, ketika pertama kali aku bertemu ia memberitahuku bahwa ia sedang mempelajari pantomim. Pada satu malam, ketika kami tengah nongkrong di suatu bar, ia menunjukan kepadaku pertunjukan Kupasan Jeruk Keprok. Seperti namanya, Ia hanya mengupas jeruk. Di sisi kirinya sebuah mangkuk ditumpuk dengan jeruk hingga menjulang; lalu di sisi kanannya, sebuah mangkuk untuk kupasannya. Setidaknya itu gambarannya. Walaupun sebenarnya, tidak ada apapun disana sama sekali. Ia mengambil jeruk khayalan di tangannya, pelan-pelan mengupasnya, menaruh satu potongan didalam mulutnya, dan membuang bijinya. Ketika ia telah menghabiskan satu jeruk, Ia kumpulkan semua biji yang ada di kupasannya dan menyimpannya di mangkuk yang berada di samping kanannya. Dia mengulang gerakan ini berkali-kali. Ketika kau mencoba menjelaskannya dengan kata-kata, itu tidak terdengar spesial sama sekali. Tapi jika kau melihatnya dengan mata kepalamu sendiri untuk 10 atau 20 menit (Hampir tanpa berpikir, ia tetap mempertunjukannya) sedikit demi sedikit realitas terasa terhisap dari segala yang ada di sekelilingmu. Perasaan yang sangat asing.
“Kau cukup mahir,” Kataku kepadanya.
“Ini? Ini gampang. Ini sama sekali tidak membutuhkan bakat. Yang perlu kau lakukan hanya buat dirimu percaya bahwa ada jeruk disana. Dan kau lupakan bahwa jeruknya sama sekali tidak ada. Hanya itu”
Aku bisa melihat bahwa kami akan segera akrab.
Kami tidak terlalu sering keluar. Sekitar satu bulan sekali, dua kali paling banyak. Aku akan menelponnya dan bertanya kemana ia ingin pergi. Kami akan makan sesuatu, minum beberapa minuman di bar, dan membicarakan badai yang berlangsung hari ini. Aku akan mendengar apa yang dibicarakan, ia akan mendengarkan apa yang ku bicarakan. Kami sulit menemukan suatu kesamaan untuk kami bicarakan, tapi itu tidak masalah. Bisa ku tebak kau akan mengatakan bahwa kita hanya sebatas teman. Tentu saja, aku yang membayar semuanya, setiap makanan dan minuman. Beberapa kali Ia akan meneleponku, biasanya ketika Ia kehabisan uang dan sedang lapar. Pada kesempatan itu Ia akan makan sampai dalam keadaan yang mustahil sekalipun.
Aku benar-benar merasa tenang ketika bersamanya. Aku bisa menghapus segala beban dari pikiranku—semua pekerjaan yang tidak ingin ku kerjakan, juga campur aduk ketidakmasukakalan pikiran yang orang-orang bawa di dalam kepala mereka. Dia memiliki pengaruh itu untukku. Dia tidak membicarakan tentang apapun secara khusus. Seringkali aku hanya akan terus menganggukkan kepalaku, tidak benar-benar memperhatikan apa inti yang dibicarakannya. Tapi mendengarnya membuatku tenang, seperti aku sedang memandang selayang awan dari jarak kejauhan.
***
Di musim semi tahun ini setelah kita bertemu, ayahnya meninggal dunia, dan dia menerima warisan berupa sedikit uang dari ayahnya. Setidaknya itu yang Ia katakan kepadaku. Dia bilang ia ingin menggunakan uangnya untuk pergi ke Afrika Utara. Aku tidak tahu mengapa ia memilih Afrika Utara, tapi ku biarkan saja, dan sekaligus memperkenalkan kepadanya seorang kenalan yang sedang bekerja di Kedutaan Aljazair di Tokyo. Akhirnya dia pergi menuju Aljazair. Ketika semua sudah tersiapkan, aku pergi mengantarnya ke bandara. Dia hanya membawa satu tas usang yang tua dengan beberapa baju ganti di dalamnya. Ketika melewati pengecekan bagasi, ia terlihat lebih mirip ia hendak kembali pulang ke Afrika Utara ketimbang jalan-jalan disana.
“Apakah kamu akan kembali ke jepang?” Tanyaku, dengan bercanda.
“Tentu saja aku akan kembali,” balasnya.
Setelah tiga bulan ia baru kembali, dengan tujuh pon lebih ringan dan kulit yang lebih kecoklatan—dan dengan pacar baru. Ini terlihat seperti mereka berdua bertemu di suatu rumah makan di Aljazair. Dan karena tidak banyak orang jepang di sana, membuat mereka tambah dekat. Sejauh yang aku tahu, pria itu adalah pacar tetap pertamanya yang ia punya.
Lelaki itu berumuran sekitar dua puluhan akhir, tinggi, berpakaian necis, dan baik dalam bertutur. Wajahnya kelihatan agak tidak begitu berekspresi, tapi Ia cukup tampan, dan ia hadir seperti tipe pria yang menyenangkan. Tangannya besar, dengan jemari yang panjang.
Aku banyak mengetahui tentang pacar barunya karena aku pergi menjemput mereka di bandara. Sebuah kiriman telegram datang tiba-tiba dari Beirut hanya dengan tanggal dan nomor penerbangan. Ketika pesawatnya datang (empat jam telat, karena cuaca yang buruk) mereka berdua muncul dari gerbang bergandengan tangan, terlihat seperti pasangan pengantin muda yang serasi. Ia memperkenalkan pacarnya kepadaku, dan kami bersalaman. Pria itu memiliki jabat tangan yang kuat seperti dari seorang yang telah tinggal lama di luar negeri. Perempuan ini bilang Ia sangat ingin semangkuk tempura dan nasi, jadi kami pergi menuju rumah makan, dan ketika Ia menghabiskan waktu memakan tempura, aku dan pacarnya mengambil beberapa bir.
“Aku sekarang bekerja di bisnis ekspor-impor,” katanya kepadaku. Tapi setelahnya pria tersebut tidak mengatakan lebih tentang itu. Mungkin ia tidak ingin membicarakan tentang pekerjaannya, atau mungkin ia berpikir bahwa itu hanya membosankan. Aku tidak bertanya apapun tentangnya.
Ketika wanita ini menghabiskan tempuranya, ia menguap dengan dalam dan berkata bahwa Ia mengantuk. Ia kelihatan akan jatuh tertidur di tempat; Ia memiliki kebiasaan tekantuk-kantuk di waktu yang tidak bisa ditebak. Pria itu berkata ia akan mengantarnya pulang ke rumah dengan taksi. Ku katakan pada mereka bahwa kereta akan membingungkan untukku. Aku bahkan tidak tahu mengapa Aku repot-repot pergi keluar menuju bandara.
“Aku senang bisa mengenalmu,” kata pria itu, terdengar agak seperti meminta maaf.
“Aku juga,” balasku.
***
Aku bertemu lagi dengan pacarnya beberapa kali setelah pertemuan itu. Tiap kali aku menemui wanita ini, disana pacarnya berada, berdiri di sampingnya. Dan jika aku ada pergi keluar dengan wanita ini maka pacarnya yang akan mengantarnya ke manapun dimana kami akan bertemu. Pria itu mengendarai mobil sports berwarna silver buatan Jerman. Aku hampir tidak tahu sama sekali mengenai mobil, jadi Aku tidak bisa menjelaskannya dengan baik.
“Dia pasti lumayan kaya, bukan begitu?” Tanyaku ke wanita ini sekali waktu.
“Iya,” Dijawab dengan tidak tertarik. “Sepertinya begitu.”
“Aku penasaran kalau kau bisa menghasilkan banyak uang di ekspor-impor.”
“ekspor-impor?”
“Itu yang pacarmu katakan kepadaku. Dia bilang Ia bekerja di ekspor-impor.”
“Ya, aku rasa begitu. Tapi aku tidak tahu. Dia seperti tidak bekerja dimana-mana. Dia bertemu dengan banyak orang dan banyak menjawab panggilan telepon, tapi dia tidak terlihat menikmati pekerjaannya.”
Sama halnya dengan Gatsby. Seorang pemuda penuh dengan teka-teki. Aku pikir, kau tidak akan tahu apa yang dia lakukan, sungguh, tapi pria itu terlihat tidak pernah kesulitan mencari uang.
Perempuan itu menelponku di suatu Minggu sore di bulan Oktober. Istriku tengah keluar kota mengunjungi beberapa kerabat, jadi aku sendirian saja di rumah. Itu adalah hari yang indah, minggu yang cerah, dan aku sedang memandang pepohonan di kebun, sambil memakan apel. Aku pasti sudah memakan sekitar tujuh apel hari itu. Ini terjadi dari waktu ke waktu—seperti penyakit, aku terus mengidam apel.
“Kami kebetulan berada di sekitar sini dan kupikir jika kami bisa mampir,” Kata perempuan tadi.
“Kami?” Tanyaku.
“Pacarku dan aku,” katanya.
“Tentu, mampirlah,” kataku.
“O.K—kita akan sampai sekitar setengah jam lagi,” katanya.
Aku berbaring dengan teringa-inga diatas Kasur untuk sementara, lalu bangun dan mandi lalu bercukur. Aku tidak bisa memilih apakah aku seharusnya beres-beres rumah, dan akhirnya pun aku memilih untuk tidak melakukannya. Tidak ada cukup waktu untuk melakukan pekerjaan itu sepenuhnya, dan jika tidak bisa dilakukan dengan benar, pikirku, lebih baik sekalian tidak menghiraukannya sama sekali. Ruang tengah penuh dengan buku, majalah, surat, kaset, pensil, dan sweater, lagipula ruangan ini tidak terlalu berantakan juga.
***
Setelah jam dua lebih, aku mendengar sebuah mobil berhenti di depan rumah. Ketika ku bukakan pintu, aku melihat mobil sports berwarna silver di trotoar. Perempuan itu mengeluarkan wajahnya dari jendela dan melambai. Aku tunjukan dimana mereka bisa parkir, tepat di belakang rumah.
“Ya, kita sudah sampai!” Kata perempuan itu dengan tersenyum. Dia memakai kaos terang dengan jelas menunjukkan lekuk tubuhnya, dengan rok pendek berwarna hijau zaitun.
Pria itu mengenakan jaket berwarna biru tua. Entah mengapa ia terlihat berbeda, mungkin karena jenggot tipisnya. Keluar dari mobil, pria itu melepas kacamata hitamnya dan memasukkannya ke dalam saku.
“Aku minta maaf atas ini, mengunjungimu dengan mendadak di hari liburmu,” Kata pria itu.
“Tidak masalah,” Kataku. “Hari ini liburku. Dan aku menerima kedatangan tamu dengan senang hati.”
“Kami bawa makanan,” Kata Perempuan itu, dan ia mengangkut sekarung kantong kertas putih yang besar dari kursi belakang mobil.
“Makanan?”
“Tidak ada yang istimewa. Kami hanya bepikir bahwa ketika kita singgah di rumahmu di hari minggu lebih baik kami membawa sesuatu untuk dimakan,” kata Lelaki itu.
“Bagus. Karena hari ini yang ku punya hanya apel.”
Kita masuk ke dalam dan mengeluarkan makanan lalu menaruhnya di meja. Jenisnya cukup banyak: sandwich daging panggang, salad, salmon asap, dan es krim blueberry—dan masih ada yang lain lagi. Ketika Perempuan itu sedang menata semuanya di piring, Aku mengambil beberapa anggur putih dari kulkas dan membukanya. Sepertinya akan ada pesta kecil untuk diri kami sendiri.
“Ayo makan. Aku sudah lapar,” kata wanita ini, selalu lapar seperti biasanya.
Kami mengunyah sandwich punya kami masing-masing, memakan salad, dan lanjut menuju menghabiskan tuna asap. Ketika kami menghajar anggurnya, kita minum beberapa bir kalengan dari kulkas. Satu hal yang bisa kau selalu andalkan dari tempatku, adalah kulkas yang selalu dipenuhi dengan bir. Roman pacarnya itu sama sekali tidak berubah, tidak peduli seberapa banyak yang Ia minum. Aku sendiri memang peminum yang cukup handal. Perempuan itu juga minum beberapa kaleng bersama kami, dan kurang dari satu jam meja sudah dalam keadaan kosong. Perempuan itu memilah beberapa rekaman dari rak dan menyetelnya di pemutar musik. Album pertama yang terputar adalah milik Miles Davis.
Kami membicarakan mengenai pemutar musik untuk sementara, dan pria itu diam sejenak. Lalu ia berkata, “Aku punya beberapa ganja, jika kau tidak keberatan untuk mengisapnya.”
Aku tidak mengerti bagaimana seharusnya aku bereaksi. Aku baru saja berhenti merokok sebulan yang lalu; Itu pun aku tidak yakin apakah sebaiknya aku melepaskan kebiasaan itu selamanya atau tidak, ditambah aku sama sekali tidak tahu apa pengaruh dari mengisap ganja kepadaku. Tapi aku memutuskan untuk mencobanya.
Kita duduk disana dengan diam untuk beberapa saat, mengganja tanpa ada berbicara. Miles Davis sudah habis, dan sebuah koleksi dari Strauss waltzes mulai berputar. Bukan susunan yang biasanya, pikirku. Tapi tidak begitu buruk.
Setelah kita menghabiskan putaran pertama, Perempuan itu berkata ia mulai mengantuk. Dia tidak mendapatkan istirahat yang cukup semalam, dan 3 bir ditambah 3 ganja menandaskannya. Kutunjukan ia lantai atas dan membaringkannya di kasur. Dia meminta ingin meminjam kaos, dan ku beri ia satu. Dia tanggalkan pakaiannya sampai terlihat kutangnya, lalu ia kenakan kaos yang kuberikan; dan ia mulai berbaring di atas kasur. “Apakah kamu kedinginan?” tanyaku, tapi ia sudah ngorok duluan. Ku garuk kepalaku, lalu aku kembali ke lantai bawah.
Di ruang duduk pacarnya sedang memulai putaran kedua. Pria itu memang sesuatu. Jika diberi pilihan, aku lebih memilih tidur bersama wanita tadi di kasur, tapi itu sudah terlanjur. Aku mulai mengisap putaran kedua bersama pria itu, Strauss waltzes masih berputar. Untuk beberapa sebab aku teringat sebuah drama yang kami lakukan saat sekolah dasar. Aku menjadi pemilik toko sarung tangan. Seekor bayi rubah datang untuk mencari sarung tangan, tapi ia tidak memiliki uang yang cukup untuk membelinya.
“Kau tidak bisa membeli sarung tangan dengan jumlah segitu,” kataku. Sang penjahat.
“Tapi ibu sangat kedinginan, seluruh tangannya pecah-pecah. Kumohon!” pinta bayi rubah.
“Maaf, tapi ini tidak cukup. Simpan uangmu dan kembalilah lagi nanti. Jika kau—“
“—terkadang aku membakar hangus lumbung,” kata pria itu.
“Maaf?” kataku. Aku sedang ngelamun, aku pasti salah mendengarnya.
“Terkadang aku membakar hangus lumbung,” katanya lagi.
Ku tatap pria itu. Dia tengah memperhatikan desain koreknya dengan ujung jemarinya. Dia mengisap dalam-dalam asap marijuananya hingga masuk ke dalam paru parunya, menahannya disana selama sepuluh detik, lalu perlahan mengeluarkannya. Asapnya berputar-putar seperti ektoplasma tengah keluar dari mulutnya. “Aku membawa barang ini dari India,” katanya “Terbaik yang mereka punya. Kau mengisap ini dan semua jenis kenangan menyerbumu. Cahaya, bau, hal-hal seperti itu. Kualitas ingatanmu”—dia berhenti dengan tenang, dan, seolah-olah sedang mencari kata yang tepat, dengan enteng menjentikkan jari beberapa kali—“seperti sesuatu yang tidak pernah kau alami sebelumnya. Tidakkah kamu berpikir begitu?”
Ya, aku juga berpikir begitu, kataku kepadanya. Aku tersesat di dalam kenangan yang kacau saat di panggung ketika sekolah dasar, dari suasana aroma cat dari papan kardus.
“Aku ingin mendengar tentang lumbung tadi,” kataku.
Dia menatapku. Wajahnya, seperti biasa, tanpa ekspresi.
“Kau tidak keberatan ku beri tahu tentang itu?” tanyanya.
“Silahkan,” balasku.
“Sebenarnya sangat sederhana, sungguh. Kau siram bensin di sekelilingnya, lempar korek yang menyala dan whoosh! Selesai. Hanya membutuhkan kurang dari lima belas menit untuk membakarnya sampai hangus hingga ke tanah. Tentu saja, aku tidak membicarakan lumbung yang besar. Lebih tepatnya seperti gubuk, sebenarnya.”
“Jadi…” kataku, dan berhenti. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana harus melanjutkan percakapan ini. “Jadi kenapa kau membakar lumbung?”
“Apakah itu aneh?”
“Aku tidak tahu. Kau membakar gedung, dan aku tidak. Tentu saja ada perbedaan besar diantara kedua itu.”
Untuk sejenak ia duduk disana dengan kosong. Pikirannya terlihat berputar-putar, bagai dempul. Atau mungkin itu hanya khayalanku yang berputar-putar.
“Kurang lebih aku membakar dua lumbung setiap dua bulan,” katanya. Dan ia mulai menjentikkan jarinya lagi. “Itu adalah jumlah yang tepat. Bagiku, setidaknya.”
Aku mengangguk setengah-setengah. Jumlah yang tepat?
“Jadi, apakah semua ini adalah lumbungmu yang kau bakar?” tanyaku.
Dia melihatku seakan-akan ia tidak paham apa yang aku bicarakan. “Mengapa aku mau membakar lumbungku sendiri? Apa yang membuatmu berpikir aku memiliki banyak lumbung?”
“Jadi, yang kau katakan padaku,” kataku, “adalah kau membakar lumbung punya orang lain, benar?”
“Itu benar,” katanya. “Tentu saja itu benar. Lumbung punya orang lain. Jadi itu illegal. Seperti kamu dan aku duduk dan mengisap ganja—pastinya melanggar hukum.”
Aku terdiam, melemaskan siku ku di lengan kursi.
“Aku membakar lumbung orang lain tanpa izin mereka. Tentu saja, aku selalu memilih satu yang tidak akan menyebabkan alarm kebakaran menyala. Aku tidak ingin memulai kebakaran—aku hanya ingin membakar hangus lumbung.”
Aku mengangguk, dan meregangkan tubuhku. “Tapi jika kau tertangkap kau berada dalam masalah besar. Bagaimanapun juga ini adalah pembakaran yang disengaja. Kau membuat keributan dan kau bisa berakhir di penjara.”
“Aku tidak akan tertangkap,” katanya dengan biasa. “Aku menyiram bensinnya, menyalakan korek, dan cabut. Lalu Aku akan menikmati semuanya dari kejauhan dengan teropong. Aku tidak akan tertangkap. Polisi tidak akan menyisir jalanan dikarenakan lumbung kecil yang jelek terbakar hangus.”
Dia mungkin benar, pikirku. Dan tidak ada akan pernah orang berpikir bahwa seorang pemuda dengan setelan rapih sambil mengendarai mobil impor yang mahal akan berkeliaran membakar gedung.
“Apakah pacarmu mengetahui tentang hal ini?” tanyaku, sembari menunjuk lantai atas.
“Dia tidak mengetahui apapun. Sebenarnya, aku tidak pernah memberitahu siapapun sebelumnya. Ini bukanlah jenis topik yang bisa kau bicarakan dengan siapapun.”
“Lalu aku?”
Dia merentangkan jari-jari tangan kirinya lalu menggosok pipinya. Cambangnya mengeluarkan suara gesekan yang kering, seperti serangga yang tengah merangkak melewati selembar kertas. “Kau adalah penulis, jadi ku pikir kau mesti tertarik dengan motif kelakuan manusia. Penulis memang seharusnya menghargai sesuatu karena apa adanya, sebelum mereka memutuskan penilaian. Lagipula, aku ingin membicarakannya dengan seseorang. Cara aku menjelaskannya mungkin sedikit aneh, ku rasa. Dunia penuh dengan lumbung, hampir semuanya tengah menungguku untuk membakar habis mereka. Suatu lumbung yang hanya berdiri sendirian di pinggir laut, sebuah lumbung di tengah sawah padi . . . apapun itu, semua jenis lumbung. Beri aku lima belas menit, dan aku akan membakar mereka hingga ke tanah, jadi nanti akan terlihat seperti tidak pernah ada lumbung itu sejak dari awal. Tidak akan ada yang merasa tercekik karenanya. Ini semua hanya akan . . . menghilang. Whoosh!”
“Tapi hanya kau yang dapat menentukan bahwa mana yang dapat dihancurkan, benar?”
“Aku tidak menentukan apapun. Lumbung itu sendiri yang menunggu untuk dibakar. Aku hanya tinggal menerimanya. Aku hanya menerima apa adanya. Ini seperti turunnya hujan. Sungai meluap. Lalu suatu benda terbawa dengan arus. Apakah sang hujan yang dapat menentukan? Ini tidak seperti aku memutuskan untuk melakukan hal yang biadab. Aku memiliki kode moralitasku sendiri.”
***
Kami duduk disana, hening dan terdiam untuk sejenak, menunggu, sepertinya, agar suasana mulai mereda. Aku tidak tahu apa yang harus ku katakan selanjutnya. Aku merasa seakan-akan tengah melihat dari jendela kereta menyaksikan pendar lanskap yang aneh, menyala dan meredup.
“Mau bir lagi?” kataku setelah beberapa saat.
“Terima kasih. Jika kau tidak keberatan.”
Aku mengambil 4 kaleng dari dapur, bersama dengan beberapa keju Camembert. Kita meminum 2 bir untuk masing masing lalu memakan keju.
“Kapan terakhir kali kau membakar lumbung?” tanyaku kepadanya.
“Coba kupikir.” Pikirnya sejenak. “Musim panas ini, akhir agustus.”
“Dan kapan ketika kau akan memulai pembakaranmu selanjutnya?”
“Aku tidak tahu. Aku tidak memulainya dengan semacam jadwal, seperti melingkarkan tanggal di kalender. Aku membakar lumbung ketika Aku mendapatkan dorongan untuk melakukannya.”
“Tapi ketika Kau ingin membakar salah satu, pasti ada yang tidak hanya menunggumu, benar kan?”
“Tentu saja tidak,” katanya dengan berbisik. “Jadi aku tinggal memastikan pilihanku nantinya akan bagus atau tidak.”
“Apakah kau, telah memilih lumbungmu berikutnya?”
Garis kerutan terbentuk diantara matanya, lalu lewat hidungnya ia bernafas terburu-buru. “Iya, aku sudah menemukannya”
Aku tidak mengatakan apa-apa, hanya menyesap apa yang tersisa dari birku.
“Itu adalah lumbung yang indah. Sudah lama sejak aku pernah melihat satu yang begitu layak untuk dibakar. Sebenarnya, aku mampir kesini hari ini untuk menjenguknya.”
“Maksudmu gedung itu di sekitar sini?”
“Sangat dekat,” katanya.
Dan percakapan tadi menutup pembahasan kami tentang lumbung.
***
Pria itu membangunkan pacarnya saat pukul 5, dan meminta maaf lagi karena mengunjungiku tiba-tiba. Meskipun Pria itu telah minum banyak bir, dia sama sekali tidak terpengaruh oleh alkohol. Pria itu mengendarai mobilnya dari belakang rumah. Setelah kuperhatikan lagi, mobil itu memiliki satu retakan kecil, dekat lampu depannya.
“Aku akan mengawasi lumbungnya,” kataku sekalian berpamitan.
“Tentu,” katanya. “Omong-omong, ingat bahwa lumbung dekat sini, kan?”
“Apa yang kau maksud, ‘lumbung’?” Tanya pacarnya.
“Hanya sesuatu diantara yang kami, lelaki, bicarakan” Pria itu menjawab.
“Baiklah,” Kata pacarnya.
Lalu mereka melesap.
***
Hari berikutnya, aku pergi menuju toko buku dan membeli peta untuk sebagian wilayah kota yang kutinggali. Peta ditangan, lalu aku berjalan sekitar, dengan pensil kutandai lokasi setiap lumbung. Setelah tiga hari, aku telah menjelajahi beberapa tempat hingga sejauh dua-setengah-mil. Rumahku berada di pinggiran kota, dengan beberapa ladang yang masih ada di sekitar sini, jadi memang masih ada banyak lumbung yang ada. Aku telah menghitungnya total ada enam belas.
Lumbung yang pria itu rencanakan pastilah salah satu dari itu. Cara ia mengatakannya bahwa lumbungnya di dekat sini membuatku yakin pasti itu bukan melebihi wilayah yang telah ku tandai.
Selanjutnya, aku telah memeriksa tiap dari enam belas gedung. Pertama aku menyisihkan satu yang terlalu dekat dengan rumah warga. Setelah itu, aku mencoret satu yang memiliki alat pertanian dengan pestisida di dalamnya-dengan kata lain, satu yang diasumsikan itu pastilah digunakan setiap hari. Aku yakin ia tidak akan ada keinginan untuk membakar salah satu dari yang telah kusebutkan.
Tertinggal lima gedung. Lima lumbung yang bisa dibakar. Jenis yang bisa dibakar dalam waktu lima belas menit, dan dapat terbakar habis hingga ke tanah-lalu tidak akan ada yang akan merasa kehilangan. Akan tetapi, aku tidak bisa memutuskan yang mana dari lima tadi yang akan pria itu pilih. Ini adalah masalah preferensi. Aku mati-matian agar dapat mengetahui yang mana yang akan ia pilih.
Ku bentangkan peta dan menghapus semua coretannya kecuali dari lima yang tadi. Lalu ku keluarkan penggaris siku-siku, penggaris kurva, dan ku petakan jalur terdekat yang memungkinkan diriku untuk melewati kelima gedung dan membawaku kembali ke rumah. Jalannya memutari sungai dan suatu bukit, dengan total jarak semua empat pertiga mil.
Pada pukul enam pagi, ku kenakan pakaian jogging dan sepatu lari ku lalu berlari sepanjang perjalanan yang telah ku petakan. Karena aku biasanya lari pagi sampai tiga-setengah-mil setiap pagi, menambah jarak tidak menjadi masalah bagiku. Pemandangannya tidak begitu buruk, ada dua jalur kereta saling menyilang selama di perjalanan, itu sama sekali tidak melambatkanku.
Jalurnya memutari lapangan atlet kampus yang berada dekat rumahku, lalu menyusuri sungai dan hampir dua mil lebih sampai di jalanan sepi yang berdebu. Lumbung pertama sampai setengah dari perjalanan. Lalu memotong jarak melewati hutan dan menanjak tanjakan yang sedikit miring. Sedikit lebih jauh di gudang yang lain, ada jalur pacu kuda, mungkin nantinya akan membuat keributan jika mereka melihat api, tapi hanya itu saja; mereka tidak akan terluka atau apapun.
Lumbung yang ketiga dan keempat memiliki bentuk yang serupa, seperti dua anak kembar yang sama jeleknya. Mereka hanya berjarak sekitar dua ratus yard. Keduannya bobrok dan juga kotor. Jika kau akan membakar salah satu dari mereka, kau mungkin akan memilih keduanya sekalian.
Lumbung terakhir berdiri bersampingan dengan penyebrangan kereta, di sekitar perjalanan sejauh tiga-setengah-mil. Lumbung itu jelas telah terbengkalai. Ia berhadapan dengan jalan dan memiliki papan tipis Pepsi-Cola yang terpaku dengannya. Bangunan itu sendiri—aku tidak yakin jika bisa disebut bangunan lagi—sebagian besar telah roboh. Dan gudang itu sesuai dengan deskripsi—sebuah bangunan yang hanya tinggal menunggu seseorang untuk menyerahkannya kepada api.
Aku berhenti di depan lumbung terakhir, mengambil beberapa tarikan nafas, lalu menyeberangi jalur kereta dan menuju kembali ke rumah. Larinya membutuhkan tiga puluh satu menit lebih tiga puluh detik.
Aku berlari melewati jalan yang sama setiap pagi dalam sebulan ini. Tapi tidak ada kutemukan lumbung yang telah terbakar habis. Terkadang datang pikiran bahwa mungkin pria itu sedang mencoba membuatku untuk membakar hangus gudang itu. Seakan-akan pria itu sedang mengisi kepalaku dengan pemandangan sebuah pembakaran lumbung dan pemandangan terus menggembung lagi dan lagi, seperti mengisi angin di ban sepeda. Ada beberapa waktu ketika aku berpikir bahwa, selama aku menunggu dia melakukannya, aku juga mungkin akan melangkah lalu menyalakan sebuah korek dan membakar satu gudang hingga habis. Ini hanya gudang tua yang bonyok, bukan?
Tapi itu terlalu keterlaluan. Lagipula, bukanlah aku yang membakar gudangnya, dialah yang membakarnya. Tidak peduli berapa banyak gambar pembakaran lumbung yang akan membengkak di dalam kepalaku, hanya saja aku bukan tipe pembakar-lumbung. Mungkin ia telah memutuskan lumbung yang lain di suatu tempat. Atau ia hanya sedang sibuk untuk mencari waktu untuk membakar satu lumbung.
***
Aku tidak mendengar kabar tentang wanita itu sama sekali.
Desember tiba, dengan berakhirnya musim gugur, angin pagi menjadi semakin dingin. Tidak ada perubahan pada lumbung-lumbungnya, hanya embun beku yang menyelimuti atapnya. Dunia telah bergerak seperti biasa.
***
Kali berikutnya aku bertemu Lelaki itu di bulan Desember, ketika beberapa hari sebelum Natal. Dimanapun kau pergi, lagu-lagu natal akan mengiringi. Aku sedang sibuk jalan memutari kota membeli hadiah-hadiah untuk beberapa orang. Dekat Nogizaki, terlihat mobil Lelaki itu di tempat parkiran di suatu kedai kopi. Tidak salah lagi, mobil sports berwarna silver, dengan goresan kecil di samping lampu kiri depannya.
Tanpa berpikir panjang, aku masuk ke dalam. Bagian dalam kedainya bernuansa gelap, dengan aroma kopi yang kuat. Tidak ada suara orang-orang, semua membisu, dan musik barok tengah berputar dengan lembut melatari tempat itu. Aku langsung menemukan pria itu. Duduk di samping jendela, sembari meminum kopi susu.
Aku menyapa. Aku tidak memberi tahu ia aku telah melihat mobilnya terparkir di depan; Aku bilang bahwa aku kebetulan masuk ke kedai dan tidak sengaja bertemu dengannya.
“Keberatan kalau ku duduk disini?” Tanyaku.
“Tidak apa-apa,” Katanya.
Kami ngobrol untuk sementara. Tapi percakapan kami tidak mengarah kemanapun. Kami tidak memilki banyak hal untuk sama-sama dibicarakan, dan pikirannya seperti berada di tempat lain. Walaupun begitu, ia tidak merasa keberatan membagi mejanya denganku. Pria itu memberi tahuku tentang pelabuhan di Tunisia. Dan tentang udang yang mereka tangkap disana. Ini tidak seperti pria itu merasa terpaksa untuk berbicara; dia hanya ingin memberitahuku tentang udang. Dan cerita mengalir hingga di pertengahan jalan, seperti tetesan air tengah diisap oleh pasir.
Pria itu mengangkat tangannya, memanggil pelayan kemari, dan memesan cangkir kopi susunya yang kedua.
“Omong-omong, apa ada yang terjadi dengan lumbung itu?” kuberanikan diri untuk menanyakannya.
Muncul simpul senyuman bermain dari sudut bibirnya. “Ah-kau masih mengingatnya, ya” katanya. Pria itu mengambil saputangan dari sakunya, mengelap mulutnya, dan memasukkan saputangannya kembali ke saku. “Aku sudah membakarnya, tentu saja. Membakarnya hingga habis. Seperti yang telah ku katakan.”
“Dekat rumahku?”
“Iya. Sangat dekat.”
“Kapan?”
“Beberapa waktu yang lalu, sekitar sepuluh hari setelah kami mampir ke rumahmu.”
Lalu ku katakan padanya bagaimana aku telah menandai lokasi lumbung-lumbung yang berada di peta—bagaimana aku lari pagi melewati mereka sekali sehari. “Agar aku tidak akan melewatkannya,” kataku.
“Kau cukup jelimet sekali, ya” katanya dengan wajah yang cerah. “Teliti dan makul. Tapi kau pasti telah melewatkannya. Itu terkadang terjadi. Suatu hal yang begitu dekat, dan kau hanya melewatkannya.”
“Baiklah, aku tidak paham.”
Lalu Pria itu mengencangkan dasi dan melirik ke jam tangannya. “Lumbung itu sangat dekat.” Katanya. “Tapi aku harus pergi sekarang. Bagaimana jika nanti kita berbicara panjang lebar masalah itu lain kali? Maafkan aku, tapi seseorang sedang menungguku.”
Tidak ada alasan untuk menahan pria itu lebih lama lagi. Dia berdiri lalu memasukkan rokok dan korek ke dalam sakunya.
“Oh, omong-omong, apakah kau melihat pacarku sejak hari itu?” Tanya pria itu.
“Tidak, aku belum. Kau belum melihatnya?”
“Tidak. Sudah lama aku tidak melihatnya. Aku tidak bisa tahan lebih lama lagi. Dia tidak ada di apartemennya, aku tidak bisa menghubunginya lewat telepon, dan sudah lama dia tidak mengikuti kelas pantomim.”
“Mungkin ia hanya pergi ke suatu tempat. Dia melakukannya beberapa kali.”
Pria itu terdiam disana, kedua tangan di dalam sakunya, dan menatapi meja. “Tanpa uang, untuk sebulan setengah. Dia bukan tipe orang yang bisa mengatasinya sendirian, kau tahu.” Dia menjentikkan jemarinya dari dalam sakunya beberapa kali. “Dia bahkan tidak punya satu sen,” Pria itu melanjutkan. “Atau teman, keduanya ia tidak punya. Buku kontaknya penuh, tapi semua itu hanya nama. Tidak ada satu orang pun yang bisa ia andalkan. Hanya kau yang bisa ia percayai. Aku tidak mengatakan itu untuk berusaha menjadi sopan. Kau adalah seseorang yang spesial untuknya. Bahkan itu membuatku sedikit iri. Dan aku bukan semacam orang yang gampang iri.” Pria itu memberikan sekilas keluhan dan menengok jam tangannya lagi. “Aku harus pergi sekarang. Lain kali kita bertemu lagi kapan-kapan.”
Aku hanya mengangguk. Kata yang tepat tidak kunjung keluar. Ini selalu seperti itu. Kapan pun aku bersama pria itu kata-kata hanya tidak mau mengalir.
***
Aku berusaha menelepon wanita itu beberapa kali setelah pertemuan itu; sampai telepon perusahaan mematikan teleponnya. Aku sedikit cemas, jadi ku coba pergi menuju apartemennya. Pintunya terkunci. Setumpuk sisa-sisa surat memenuhi kotak suratnya. Aku tidak bisa menemukan pengawas gedungnya, aku bahkan tidak tahu apakah wanita ini masih tinggal disini apa tidak. Ku robek selembar kertas dari buku agendaku, dan menulis catatan berbunyi, “Hubungilah aku,” lalu kutulis namaku, dan memasukkannya di kotak suratnya.
Tidak ada kata.
Di lain waktu ketika aku mengunjungi apartemennya, ada papan nama punya orang lain yang terpampang di pintunya. Lalu ku coba mengetuk, tapi tidak ada yang menjawab. Sama seperti terakhir kali, pengawas gedungnya masih belum bisa ditemukan.
Jadi aku menyerah.
Itu hampir satu tahun yang lalu. Dia hanya menghilang begitu saja.
***
Aku masih berlari melewati kelima lumbung itu tiap pagi. Tidak ada lumbung di daerah sekitar yang telah terbakar. Dan aku belum mendengar ada pembakaran lumbung. Desember datang lagi, dan burung musim dingin bertebangan dari atas kepala. Dan aku terus-menerus menua.
Judul Asli: Barn Burning
Penulis Karya Asli: Haruki Murakami
Bahasa Asal Karya Asli: Jepang
Bahasa sebelum diterjemahkan: Inggris, diterjemahkan oleh Jay Rubin
Barn Burning oleh Haruki Murakami terbit pertama kali pada Januari 1983 dari kumpulan cerpen “The Elephant Vanishes”. Diterjemahkan dari Bahasa Inggris