Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Perjalanan Besar ke Atas Sana [Kurt Vonnegut]

author = Devi Santi Ariani

Kakek Fords menopang dagu dengan tangan yang menggenggam lengkungan tongkat jalannya. Ia menatap televisi 48” yang mendominasi ruangan. Di layar kaca, pembawa berita meringkas berita hari itu. Setiap tiga puluh detik, Kakek menghentakkan tongkatnya dan berteriak,”Hell! Kami sudah lakukan itu seratus tahun yang lalu!”

Emerald dan Lou, masuk ke dalam ruangan dari balkon. Mereka mencari sesuatu yang langka di tahun 2185—privasi—dengan duduk di barisan paling belakang. Keduanya duduk di belakang ayah dan ibu Lou, saudara dan saudari ipar, anak dan menantu, cucu laki-laki dan istrinya, cucu perempuan dan suaminya, cicit laki-laki dan istrinya—dan tentu saja, Kakek, yang duduk di depan semua orang. Semua orang terlihat sebaya sesuai standar anti-gerasone kecuali Kakek, yang entah mengapa terlihat kuyu dan bongkok. Kecuali Kakek, semua orang terlihat seperti masih berumur akhir dua puluh atau awal tiga puluh. Kakek terlihat lebih tua karena ia sudah mencapai usia tujuh puluh ketika obat anti-gerasone diciptakan.

“Sementara itu,” ujar pembawa berita, “Councill Bluff, Iowa, masih merasa terancam oleh tragedi stark. Namun, 200 penyelamat menolak untuk menyerah dan terus menggali dalam usaha penyelamatan Elbert Haggedorn, usia 183, yang telah terjepit selama dua hari dalam…”

“Aku harap ia menonton sesuatu yang lebih ceria,” bisik Emerald pada Lou.

“DIAM!” teriak Kakek. “Siapapun berikutnya yang berani buka mulut lagi waktu TV masih menyala tidak akan dapat uang sepeserpun dari warisanku—,” suaranya tiba-tiba memanis dan melunak, ia melanjutkan, “setelah bendera kotak-kotak melambai di arena balapan Indianapolis dan kakek tua ini memulai Perjalanan Besar ke Atas Sana.”

Ia mendengus sedih dan haru sementara para ahli warisnya berusaha tidak membuat suara sekecil apa pun. Bagi mereka, ketajaman konsep Perjalanan Besar itu sudah sangat tumpul karena selalu dikatakan Kakek setiap hari selama lima puluh tahun.

“Dr. Brainard Keyes Bullard,” lanjut pembawa berita, “Rektor Universitas Wyandotte, malam ini mengatakan bahwa seluruh penyakit di dunia ini berasal dari fakta bahwa pengetahuan manusia belum sejalan dengan pengetahuan mereka dengan dunia fisik.”

Hell!” dengus Kakek. “Kami sudah bilang itu seratus tahun yang lalu!”

“Malam ini, di Chicago,” pembawa berita melanjutkan, “perayaan spesial digelar di Rumah Sakit Chicago Lying-in. Tamu kehormatan acara tersebut adalah Lowell W. Hitz, usia nol. Hitz lahir pagi tadi sebagai bayi ke-dua puluh lima juta yang lahir di rumah sakit ini. Gambar si Pembawa Berita di televisi memudar digantikan gambar bayi Hitz yang meronta dan menangis kencang.

Hell!” bisik Lou pada Emerald. “Kami sudah bilang itu seratus tahun yang lalu!”

“Aku dengar tahu!” teriak Kakek. Ia mematikan televisi dan keturunannya yang ketakutan membatu menatap layar. “Kau, yang disana, nak—”

“Aku tidak bermaksud apapun, kek,” ucap Lou yang berumur 103 tahun.

“Ambil surat wasiatku. Kau tahu dimana. Kalian semua tahu dimana surat wasiatku. Ambil, boy!” Kakek menjentikkan jari-jarinya yang degil tak sabar.

Lou mengangguk lemas dan segera pergi ke kamar Kakek, satu-satunya ruangan pribadi di apartemen Ford. Ruang lainnya hanya kamar mandi, ruang tengah, lorong besar tanpa jendela yang dilengkapi dapur kecil diujung karena seharusnya digunakan untuk ruang makan. Enam kasur dan empat kantong tidur tersebar di lorong dan ruang tengah, ditambah satu kasur dipan yang juga terletak di ruang tengah milik pasangan kesebelas—pasangan kesayangan Kakek saat itu.

Di atas meja tulis kakek, tergeletak surat wasiatnya yang belepotan tinta, tertekuk-tekuk siku halamannya dan penuh ratusan noda coretan; penambahan, pengurangan, tuduhan, syarat, peringatan, saran dan tulisan-tulisan tentang filosofi sederhana. Dokumen itu sebenarnya, pikir Lou, hanya sebuah buku harian berusia lima puluh tahun. Semuanya berjejalan dalam lembar-lembar kertas yang kacau dan penuh dengan catatan tentang perselisihan hari demi hari yang sudah tak bisa terbaca lagi. Hari ini, hak waris Lou akan dicabut untuk kesebelas kalinya dan mungkin butuh enam bulan berperilaku baik baginya untuk kembali mendapat hak atas apartemen itu. Dan tentu, ia dan Em harus berpisah dengan kasur dipan di ruang tengah.

Boy!” panggil Kakek.

“Aku datang, Kek!” Lou bergegas kembali ke ruang tengah dan menyerahkan wasiat pada Kakek.

“Pulpen!” tuntut Kakek.

Sontak, sebelas pulpen ditawarkan padanya, masing-masing dari ke sebelas pasangan.

“Jangan pulpen bocor jelek begitu,” ucapnya, menampik pulpen di tangan Lou. “Ha, itu.. yang bagus. Anak pintar, Willy.” Kakek menerima pulpen Willy. Ini petunjuk yang sudah ditunggu semua orang. Kemudian, Willy—Ayah Lou—adalah kesayangan Kakek yang baru.

Willy yang terlihat hampir semuda Lou—meskipun ia berumur 142 tahun—tidak repot menyembunyikan kegembiraannya. Ia melirik malu-malu pada kasur dipan yang akan menjadi miliknya dan yang dari kasur itu, Lou dan Em akan pindah kembali ke matras di lorong. Mereka kembali ke tempat paling buruk, di sebelah pintu kamar mandi.

Kakek tidak melewatkan satu drama pun yang ia tulis di sana. Dengan alis bertaut ia menyusuri setiap baris seolah surat wasiat itu belum pernah ia lihat sebelumnya. Kakek, dengan suara monoton yang dalam, membaca keras-keras. Suaranya menggema seperti nada bass pada organ katedral.

“Saya, Harold D. Ford, bertempat tinggal di Gedung 257, Alden Village, Kota New York, Connecticut, dengan ini membuat, menerbitkan, dan menyatakan ini sebagai Wasiat dan Perjanjian terakhir dan mencabut semua format wasiat dan lampiran sebelumnya.” Ia menghela napas dengan sangat serius dan melanjutkan, tanpa menghilangkan satu kata pun, dan mengulang berkali-kali dengan penekanan—khususnya mengulang perincian yang terlampau rinci untuk sebuah pemakaman.

Di akhir rincian tersebut, Kakek sangat terbawa emosi sampai-sampai Lou pikir Kakek mungkin sudah lupa kenapa awalnya surat wasiat itu dikeluarkan. Tapi, dengan gagah berani Kakek berhasil menanggulangi ledakan emosinya dan setelah sibuk mencoret dan menghapus sesuatu selama satu menit penuh, ia mulai menulis sambil bicara. Lou terlalu sering mendengar kata-kata itu hingga ia bisa saja menggantikan Kakek mendeklamasikannya.

“Saya telah mengalami banyak sekali sakit hati sebelum meninggalkan tanah air mata ini menuju tempat yang lebih baik,” ujar Kakek sambil menulis. “Namun, rasa sakit yang paling dalam dari semuanya telah diberikan oleh—,” ia memandang sekeliling, mencoba mengingat siapa yang bersalah.

Semua orang memandang Lou yang mengangkat tangan, pasrah.

Kakek mengangguk, ingat dan melengkapi kalimatnya, “cicitku, Louis J. Ford.”

“Cucu, Kek.” Ucap Lou.

“Jangan bawel. Kau sudah cukup bersalah, anak muda,” ucap Kakek, tapi ia mengoreksi tulisannya. Dan, dari sana, ia melanjutkan kalimatnya tanpa kesalahan sedikitpun hingga bagian pencabutan hak waris dengan alasan ketidaksopanan.

Pada paragraf selanjutnya, paragraf yang pernah menjadi milik setiap orang di ruangan itu, nama Lou dicoret dan digantikan Willy sebagai pewaris apartemen dan di atas itu semua, kepemilikan atas ranjang ganda di ruang tidur pribadi.

“Jadi!” ucap Kakek berseri-seri. Ia menghapus tanggal di akhir surat wasiat dan menggantinya dengan tanggal hari itu, lengkap dengan waktu. “Sudah waktunya menonton the McGarvey Family.” The McGarvey Family adalah serial televisi yang telah diikuti Kakek sejak ia berumur 60, atau totalnya selama 112 tahun. “Aku tak sabar melihat apa yang akan terjadi,” ujarnya.

Lou memisahkan diri dari kelompok dan berbaring di tempat tidurnya di samping pintu kamar mandi. Berharap Em akan bergabung dengannya, ia bertanya-tanya dimana istrinya.

Ia tertidur selama beberapa menit, sampai seseorang melangkahinya menuju kamar mandi. Beberapa saat kemudian, ia mendengar suara gemericik seolah sesuatu tengah dituangkan ke dalam wastafel. Tiba-tiba, terpikir olehnya kalau-kalau Em, di dalam sana melakukan sesuatu yang buruk untuk menyakiti Kakek.

“Em?” ia berbisik lewat lubang kunci. Tidak ada jawaban. Lou terus menempel pada pintu, mencoba mendengarkan suara dari dalam. Kunci pintunya sudah aus, bautnya nyaris tidak menempel ke soket pengunci yang menahan pintu selama beberapa detik lalu lepas. Pintu kamar mandi berayun ke dalam, terbuka.

“Morty!” Lou tersentak.

Cucu keponakan Lou, Mortimer, yang baru saja menikah dan membawa pulang istrinya ke kediaman Ford, menatap Lou dengan khawatir. Cepat-cepat Morty menendang pintu kamar mandi hingga menutup. Namun, gerakannya tidak cukup cepat untuk menghalangi Lou melihat apa yang ada dalam genggaman tangannya—botol besar obat anti-gerasone milik Kakek, yang ternyata telah setengah kosong dan sedang diisi kembali dengan air keran.

Sesaat kemudian, Morty keluar sambil menatap Lou kemudian berlalu tanpa kata menuju pengantinnya yang cantik.

Terkejut, Lou tidak tahu harus berbuat apa. Ia tidak bisa membiarkan Kakek masuk jebakan anti-gerasone itu—tapi, jika ia memperingatkan Kakek, Lou hampir yakin Kakek akan membuat hidup mereka (yang sudah tak tertahankan) di apartemen itu, lebih tersiksa.

Lou melirik ruang tengah dan melihat bahwa keluarga Fords, termasuk Emerald, tengah beristirahat sejenak, menikmati ilusi yang dibuat the McGarvey pada hidup mereka. Diam-diam, ia masuk ke kamar mandi, mengunci pintu serapat mungkin dan mulai menuang isi botol Kakek ke dalam wastafel. Lou akan mengisi ulang botol itu dengan obat anti-gerasone dari 22 botol kecil yang ada di rak.

Botol itu menampung empat liter air dan leher botolnya sangat kecil hingga Lou pikir mengosongkan botol itu akan memakan waktu seumur hidup. Selain itu, Lou yang gugup merasa bau obat anti-gerasone yang tercium seperti saus Worcestershire mulai menguar lewat celah pintu dan lubang kunci, memenuhi seluruh apartemen.

Suara botol yang mengeluarkan air itu berdeguk monoton. Tiba-tiba, terdengar suara musik, gumaman dan kursi-kursi berdecit mundur dari ruang tengah. “Dengan demikian, berakhirlah,” ucap penyiar televisi, “episode ke 29.121 dari kehidupan tetangga saya dan Anda, the McGarvey.” Langkah kaki terdengar di sepanjang koridor. Sebuah ketukan mendarat di pintu kamar mandi.

“Sebentar,” jawab Lou dengan riang. Ia menggoyangkan botol besar itu dengan putus asa, mencoba mempercepat alirannya. Telapak tangannya tergelincir di permukaan kaca yang basah dan botol berat itu terselip jatuh, hancur menghantam lantai ubin.

Pintu kamar mandi didorong hingga terbuka dan Kakek ternganga menatap kekacauan yang dibuat cucunya. Lou merasakan sensasi rasa ditusuk yang mengerikan di belakang kepalanya. Ia menatap penuh perhatian di tengah rasa mual dan sesuatu yang hampir mirip akal sehat, ia menunggu Kakek bicara.

“Yah, nak..” ucap Kakek akhirnya, “kelihatannya kau harus membersihkan itu.”

Hanya itu yang ia katakan. Kakek berbalik, menyikut beberapa orang yang berdesakan di koridor agar membuka jalan untuknya, dan mengunci di diri kamar.

Anggota keluarga Fords yang lain masih menatap Lou dalam diam hingga beberapa saat berlalu, dan kemudian bergegas kembali ke ruang tengah seolah akan tertular rasa bersalah Lou jika mereka menatap terlalu lama. Morty tinggal paling lama menatap Lou dengan pandangan bingung dan jengkel. Lalu, ia juga kembali ke ruang tengah, meninggalkan Emerald berdiri di ambang pintu.

Air mata mengalir di pipinya. “Oh, kau domba yang malang—kumohon jangan terlihat buruk begitu! Ini semua salahku. Aku memaksamu melakukan ini dengan keluhan-keluhanku tentang kakek.”

“Tidak,” ucap Lou setelah menemukan kembali suaranya, “sungguh bukan kau. Sejujurnya, Em, aku hanya—“

“Kau tidak perlu menjelaskan apapun padaku, sayang. Aku di pihakmu, apapun yang terjadi.” Ia mencium pipi Lou dan berbisik di telinganya, “ini bukan pembunuhan, sayang. Itu tidak akan bisa membunuhnya. Bukan hal jahat untuk dilakukan. Itu hanya akan mempersiapkannya untuk pergi kapanpun Tuhan memutuskan Ia menginginkan Kakek.”

“Apa yang akan terjadi selanjutnya, Em?” ucap Lou, hampa. “Apa yang akan ia lakukan?”

Lou dan Em terjaga penuh kengerian hampir sepanjang malam, menunggu apa yang akan Kakek lakukan. Tapi, tidak satu suara pun terdengar dari kamar tidur yang suci itu. Dua jam sebelum fajar, mereka akhirnya tertidur.

Pukul enam pagi adalah waktu untuk generasi mereka sarapan di dapur kecil di ujung lorong. Tidak ada yang bicara pada mereka. Mereka punya dua puluh menit untuk makan, namun Lou dan Em sangat kelelahan karena malam yang buruk hingga mereka hanya sanggup menelan dua suap rumput laut olahan berbentuk telur sebelum menyerahkan tempat mereka pada anak-anak.

Kemudian, sesuai tradisi untuk siapapun yang telah dicoret hak warisnya, Lou mulai mempersiapkan sarapan untuk Kakek yang harus disajikan di ranjang, di atas nampan. Mereka mencoba bertingkah seriang mungkin. Hal paling berat adalah mempersiapkan telur sungguhan, bacon, dan oleomargarine, hal-hal yang menghasilkan banyak sekali pengeluaran dari harta Kakek.

“Yah,” ujar Emerald, “aku tidak akan panik sampai ada hal pasti yang harus membuat kita panik.”

“Mungkin ia tidak tahu apa yang sudah kuhancurkan kemarin,” ucap Lou penuh harap.

“Mungkin ia pikir itu adalah jam kristalmu,” timpal Eddie, anak laki-laki mereka yang hanya memainkan sawdust cake dari buckwheat tanpa selera.

“Jangan sarkastik pada ayahmu,” ucap Em, “dan juga jangan bicara dengan mulut penuh.”

“Aku mau dengan senang hati melihat siapapun menelan semulut penuh benda ini tanpa mengeluh,” keluh Eddie, yang berumur 73. Ia melirik jam dinding. “Sudah waktunya Kakek sarapan, kau tahu.”

“Ya, tentu saja.” Ucap Lou lemah. Ia mengangkat kedua bahunya. “Berikan nampannya, Em.”

“Kita lakukan berdua.”

Berjalan perlahan, tersenyum dengan berani.

Em mengetuk pintu, “Kakek,” panggilnya ceria, “sarapan su-dah si-ap.”

Tak ada jawaban dan Em mengetuk lagi, lebih keras.

Pintu berayun terbuka. Di tengah ruangan, ranjang berkanopi yang lembut, empuk, dan luas—simbol kenyamanan keluarga Fords—tergeletak kosong.

Bayangan kematian, yang tidak pernah dikenal keluarga Fords seperti halnya Zoroastrianism atau atau penyebab Pemberontakan India pada 1957, meredam semua suara, memperlambat detak jantung semua orang. Dalam keterkejutan, para ahli waris mulai menggeledah dengan hati-hati, di bawah perabotan dan di belakang gorden, mencari Kakek yang fana, si pemimpin klan.

Tapi Kakek tak meninggalkan apapun kecuali sebuah catatan, yang telah Lou temukan di atas lemari, di bawah pemberat kertas, souvenir berharga dari Pekan Raya Dunia tahun 2000. Gemetar, Lou membaca dengan lantang:

“Seseorang yang telah kutampung dan kulindungi dan kudidik semampuku selama ini telah berbalik menyerangku seperi anjing gila dengan mengencerkan anti-garasone milikku, atau setidaknya ia mencoba melakukannya. Aku tidak muda lagi. Seperti dulu, aku tidak sanggup lagi menghadapi beban hidup yang bisa menghancurkanku kapan saja. Maka, setelah pengalaman pahit semalam, kuucapkan selamat tinggal. Kekhawatiran dunia ini akan segera jatuh layaknya jubah berduri dan akhirnya akan kudapatkan kedamaian. Saat kau menemukan catatan ini, aku sudah tiada.”

“Astaga,” ucap Willy terbata, “ia bahkan tidak sempat melihat akhir balapan Speedway Race 500 mil.”

“Atau The Solar Series,” ucap Eddie dengan mata berkabung.

“Atau apakah Mrs. Garvey bisa melihat lagi,” tambah Morty.

“Ada lagi,” ucap Lou dan ia mulai membaca lagi, “aku, Harold D. Ford, bla.. bla.. bla.. dengan ini membuat, mencantumkan dan mengumumkan catatan ini sebagai surat wasiat dan keinginanku yang terakhir, membatalkan seluruh wasiat sebelumnya.”

“Tidak!” erang Willy. “Jangan lagi!”

“Aku menetapkan,” baca Lou, “bahwa seluruh properti dalam bentuk apapun, tidak dipecah namun dirancang untuk diwariskan sebagai milik bersama, tanpa memperhatikan generasi, sama rata dan berbagi bersama.”

Semua pasang mata berbalik menatap ranjang .

“Sama rata dan berbagi bersama?” tanya Morty.

“Sebetulnya,” ucap Willy, yang paling tua, “seperti budaya jaman dahulu, ketika yang tertua memimpin dan bermarkas di sini dan—”

“Aku setuju usul itu!” seru Em. “Lou sama berhaknya seperti dirimu, dan menurutku itu seharusnya menjadi hak dari anak tertua yang masih bekerja. Kau bisa bermalas-malasan di sini seharian, menunggu uang pensiunmu dan Lou tersandung-sandung untuk istirahat di ruangan ini malam hari setelah seharian bekerja, dan—”

“Bagaimana dengan memberikan kesempatan pada seseorang yang belum pernah mendapatkan privasi sama sekali?” Eddie menuntut dengan keras. “Demi setan! Kalian orang tua punya banyak privasi ketika masih anak-anak. Aku lahir di tengah-tengah barak di lorong apartemen ini! Bagaimana kalau—”

“Ya?” tantang Morty. “Tentu, kau selalu kesusahan dan hatiku teriris mendengarnya. Tapi cobalah kau berbulan madu di lorong sekali saja.”

Diam!” teriak Willy dengan angkuh. “Siapapun berikutnya yang buka mulut akan menghabiskan enam bulan di depan kamar mandi. Sekarang keluar dari kamarku. Aku harus berpikir.”

Sebuah vas hancur menghantam dinding, beberapa inci di atas kepalanya.

Beberapa saat kemudian, keributan pecah dalam apartemen Fords. Masing-masing pasangan berjuang mengeluarkan pasangan lain dari kamar itu. Em dan Lou didorong ke ruang tengah, tempat mereka mendorong pasangan lain dan kembali berusaha masuk ke kamar.

Setelah dua jam pergumulan dan tak satupun keputusan untuk berdamai terlihat, polisi menerobos masuk diikuti juru kamera televisi.

Selama setengah jam, mobil polisi dan ambulans mengangkut anggota keluarga Fords pergi. Setelahnya, apartemen Fords kembali tenang dan lengang.

Satu jam kemudian, rekaman akhir keributan itu disiarkan kepada 500.000.000 penonton di seluruh Pesisir Timur.

Dalam kekosongan tiga ruangan apartemen di lantai 76, gedung 257 itu, televisi di ruang tengah ditinggalkan menyala. Sekali lagi, udara dipenuhi teriakan dan sungut marah, suara keributan yang tidak berbahaya pecah keluar dari pengeras suara.

Keributan itu juga ditayangkan pada layar kaca televisi di kantor polisi. Tempat para polisi dan anggota keluarga Fords menonton dengan perhatian penuh.

Em dan Lou bersebelahan menempati sel empat kali delapan meter, berselonjoran di ranjang masing-masing.

“Em,” panggil Lou lewat pembatas, “kau punya wastafel sendiri juga?”

“Tentu. Wastafel, ranjang, lampu—semuanya. Dan kita pikir kamar Kakek itu spesial. Sudah berapa lama ini terjadi?” Ia merentangkan tangannya. “Untuk pertama kalinya setelah empat puluh tahun, sayang, aku tidak lagi merasa gelisah—lihatlah aku!”

“Baiklah, diam!” ucap sipir penjara, “atau kulempar kalian semua keluar dari sini. Dan orang pertama yang memberitahu siapapun di luar sana seberapa bagusnya penjara, ia tak akan pernah masuk lagi!”

Para tahanan sontak diam.

Ruang tengah apartemen itu menggelap beberapa saat ketika adegan keributan di layar televisi memudar, lalu cahaya kembali terang ketika wajah penyiar berita muncul di layar seperti matahari muncul dari balik awan. “Dan sekarang, kawan,” ucapnya, “akan kusampaikan pesan dari pembuat anti-gerasone, pesan untuk kalian yang berusia lebih dari 150 tahun. Apakah kehidupan sosial kalian terganggu oleh kulit keriput, kekakuan sendi, dan rambut beruban? Semua yang terjadi sebelum anti-gerasone diciptakan? Kalau iya, kalian tidak perlu menderita, merasa berbeda, dan terasingkan lebih lama lagi.

“Setelah penelitian bertahun-tahun, kini telah tercipta Super-anti-gerasone! Dalam beberapa minggu—ya, minggu—kalian dapat terlihat, merasa dan bertingkah semuda anak cucu kalian! Tidakkah kalian ingin membayar 5.000 dolar untuk dapat membaur dengan orang lain? Tidak perlu! Untuk Super0-anti-gerasone yang aman dan telah diuji kalian hanya perlu membayar beberapa dolar saja perhari.

“Untuk mendapatkan sample gratis, tulis nama dan alamat Anda di kartu pos satu dolar dan kirimkan ke ‘Super’, PO BOX 500.000 Schenectady, N. Y.”

Kata-kata penyiar berita itu digarisbawahi suara goresan pena Kakek Ford, pena yang diberikan Willy pada malam sebelumnya. Ia datang beberapa menit yang lalu setelah menghabiskan waktu di kedai The Idle Hour, yang menghadap langsung pada gedung 257 dari seberang alun-alun The Alden Village Green. Ia memanggil petugas kebersihan untuk membereskan kamar itu. Ia juga menyewa pengacara terbaik di kota—seorang jenius yang belum pernah mendapat klien selama setahun satu hari—untuk menuntut pada para ahli warisnya. Kakek memindahkan ranjang ke depan televisi agar ia bisa menonton sambil berbaring, sesuatu yang ia impikan selama bertahun-tahun.

“Schen-ec-ta-dy,” gumam Kakek. “Dapat!” wajahnya berubah drastis. Otot wajahnya terlihat santai, memperlihatkan kebaikan dan ketenangan batin yang tersembunyi di bawah garis temperamen yang keras. Hampir terlihat seperti ia sudah mendapatkan sample gratis Super-anti-gerasone miliknya. Ketika sesuatu di televisi membuatnya terhibur, ia tersenyum dengan ringan. Tidak seperti biasanya ketika ia nyaris tak berusaha menarik garis mulutnya barang satu milimeter saja.

Hidupnya menyenangkan. Ia tak sabar melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.