Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Perpustakaan yang Aneh [Haruki Murakami] (1 dari 4)

author = Saddam HP

Ini adalah bagian pertama dari empat bagian terjemahan cerpen/novela Perpustakaan yang Aneh karya Haruki Murakami.
Bagian berikutnya ditayangkan Rabu 22 Juli 2020.

(1)

Perpustakaan itu lebih hening daripada biasanya.

Sepatu kulitku yang baru berkeletak di atas linoleum kelabu. Suaranya yang keras, bunyinya yang kering terasa tak seperti langkah kakiku yang normal. Setiap kali aku kenakan sepatu baru, butuh beberapa saat untuk terbiasa dengan suaranya.

Seorang wanita yang belum pernah kulihat sebelumnya, duduk di meja sirkulasi, membaca buku tebal. Buku yang amat lebar. Ia seolah-olah sedang membaca sisi buku yang kanan dengan mata kanan, dan membaca bagian kiri dengan mata kiri.

“Permisi,” kataku.

Ia menghempaskan buku ke bawah meja dan berupaya menatapku.

“Aku datang untuk mengembalikan ini,” kataku, menempatkan buku-buku yang kubawa ke konter. Satu buku berjudul Bagaimana Membuat Kapal Selam, dan satunya lagi berjudul Memoar seorang Gembala.

Pustakawati itu membalik kover buku-buku itu untuk mengecek tanggal peminjaman. Belum lewat batas waktu. Aku selalu tepat waktu, dan tak pernah mengembalikan barang terlambat. Ibuku mengajarkanku begitu. Begitu pula para gembala. Bila mereka tidak mematuhi jadwal mereka, domba-domba akan sangat liar.

Pustakawati itu memberi stempel “Dikembalikan” ke kartu dengan tulisan hiasan dan melanjutkan bacaannya.

“Aku juga sedang mencari beberapa buku,” kataku.

“Belok kanan di bagian bawah tangga,” jawabnya tanpa melihat ke atas. “Langsung saja lewat koridor ke Ruang 107.”

(2)

Aku menuruni banyak anak tangga, belok kanan, dan berjalan sepanjang koridor yang redup sampai, cukup pasti, aku berhadapan dengan pintu bertanda 107. Aku mengunjungi perpustakaan banyak kali, tapi kenyataan bahwa ada ruang bawah tanah adalah kabar baru bagiku.

Aku mengetuk. Sebuah ketukan yang normal, ketukan sehari-hari, namun berbunyi seakan-akan seseorang memukul gerbang neraka dengan tongkat bisbol. Suaranya bergema secara mengerikan sepanjang koridor. Aku berbalik untuk lari, tetapi aku betul-betul tak berlangkah, meski aku ingin melakukannya. Itu bukanlah cara aku dibesarkan. Ibuku mengajarkanku kalau kau mengetuk pintu, kau harus menunggu sampai seseorang menjawab.

“Masuklah,” seru suara dari dalam. Suaranya lemah tapi menembus.

Aku membuka pintu. 

Seorang lelaki tua berbadan kecil duduk di balik meja tua yang mungil di tengah ruangan. Bintik-bintik hitam ada di wajahnya seperti kawanan serangga. Lelaki tua itu botak dan mengenakan kacamata berlensa tebal. Kebotakannya terlihat tak sempurna; ia punya rambut putih keriting yang tertempel di kedua sisi kepalanya. Kelihatan seperti sebuah gunung setelah kebakaran hutan yang besar.

“Selamat datang, bocahku,” kata lelaki tua itu. “Apa yang bisa aku bantu?”

“Aku mencari beberapa buku,” kataku takut-takut. “Tetapi aku bisa lihat kalau kau sedang sibuk. Aku akan datang lagi nanti…”

“Tidak, bocahku,” jawab lelaki tua itu. “Ini profesiku – aku tidak pernah terlalu sibuk! Katakan ragam buku yang kau cari dan aku akan berusaha untuk melacak keberadaan mereka.”

Betapa cara bicara yang lucu, kukira. Dan wajahnya juga sama aneh. Beberapa helai rambut yang panjang menjuntai dari telinganya. Kulit yang menggantung di bawah dagunya seperti balon yang bocor.

“Dan apa tepatnya buku yang kau cari, teman mudaku?”

“Aku ingin belajar bagaimana pajak-pajak dikumpulkan pada masa Kekaisaran Ottoman,” kataku.

Mata lelaki tua itu berkilat. “Ah, aku mengerti,” katanya. “Pengumpulan pajak pada masa Kekaisaran Ottoman. Materi yang mengagumkan!”

(3)

Ini membuatku gelisah. Sejujurnya, aku tak terlalu berhasrat untuk mempelajari pengumpulan pajak Ottoman–topik itu masuk begitu saja ke kepalaku ketika dalam perjalanan dari sekolah ke rumah. Aku hanya ingin tahu, bagaimana orang-orang Ottoman mengumpulkan pajak? Seperti itu. Dan sejak aku kecil ibuku bilang, bila kau tak tahu sesuatu, pergilah ke perpustakaan dan carilah.

“Tak usah repot-repot,” kataku. “Tidak terlalu penting. Betapa pun, cukup akademis…” Aku hanya ingin keluar dari ruang mengerikan ini secepatnya.

“Jangan meremehkanku,” bentak lelaki tua itu. “Kami punya sejumlah seri yang berhubungan dengan pengumpulan pajak dalam Kekaisaran Ottoman. Apakah kau sengaja datang ke sini untuk mencemooh perpustakaan ini? Apa tujuanmu?”

“Tidak, Tuan,” gerutuku. “Sama sekali itu bukan tujuanku. Aku tak mencoba untuk membodohi siapa pun.”

“Lantas tunggulah di sini seperti seorang bocah penurut.”

“Ya, Tuan,” jawabku.

Pria tua itu bergerak tiba-tiba dari kursinya. Punggung tertunduk, ia berjalan ke pintu baja di belakang ruangan, membukanya, dan menghilang. Aku berdiri di sana selama sepuluh menit, menunggu dia kembali. Beberapa kumbang hitam kecil mencakar bagian bawah tudung lampu. 

Tak lama kemudian lelaki tua itu kembali, membawa tiga buku tebal. Buku-buku itu sudah sangat tua–aroma kertas kuno mengambang di udara.

“Senangkan matamu dengan buku-buku ini,”  kata lelaki tua itu dengan senang. “Kami punya Sistem Pajak Ottoman, Buku Harian Seorang Kolektor Pajak Ottoman,  dan Pemberontakan-pemberontakan Pajak dan Penindasan, dalam Kekaisaran Ottoman-Turki. Kau harus akui, ini koleksi yang berkesan.”

“Terima kasih banyak,” kataku dengan sopan. Aku mengambil buku-buku itu dan menuju ke pintu.

“Tunggu di situ,” lelaki tua itu memanggilku dari belakang. “Tiga buku itu harus dibaca di sini–tak ada alasan apa pun buku-buku itu meninggalkan tempat ini.”

(4)

Tentu saja, setiap buku punya label merah, “Hanya Untuk Penggunaan Internal,” tertera di punggung buku.

“Untuk membacanya, kau harus menggunakan ruang dalam,” kata lelaki tua itu.

Aku memperhatikan jam tanganku. Jam 5:20. “Tetapi perpustakaan ini akan segera tutup, dan ibuku akan khawatir kalau aku tak ada di rumah pada waktunya untuk makan malam.”

Alis mata lebat lelaki tua itu menyatu dalam garis lurus. “Waktu tutup bukanlah masalah.” Ia bermuka masam. “Mereka akan melakukan apa yang kukatakan–kalau aku bilang tak apa-apa, maka tak apa-apa. Pertanyaannya adalah, apakah kau menghargai bantuanku atau tidak? Kau kira kenapa aku membawa tiga buku berat itu ke sini? Untuk kesehatanku?”

“Aku minta maaf,” sesalku. “Aku tidak pernah berniat untuk mengganggu. Aku tak tahu buku-buku ini tak bisa dibawa keluar.”

Lelaki tua itu batuk keras-keras dan mengeluarkan gumpalan sesuatu ke dalam tisu. Bintik-bintik hitam di wajahnya berayun marah.

“Bukan masalah apa yang kau tahu atau yang kau tidak tahu,” hardiknya. “Ketika aku seusiamu aku merasa beruntung bila punya kesempatan untuk membaca. Dan di sini kau sekarang, merengek tentang waktu dan telat makan malam. Betapa lancangnya!”

“Baiklah, aku akan tetap di sini dan membaca,” kataku. “Tetapi hanya tiga puluh menit.” Aku tak terlalu pandai untuk menolak seseorang. “Tetapi aku tak bisa lebih lama dari itu. Ketika aku masih kecil, aku pernah digigit oleh anjing hitam yang besar dalam perjalanan pulang ke rumah dari sekolah, dan sejak itu ibuku mulai berlaku aneh  bila aku terlambat pulang sedikit saja.”

Wajah lelaki tua itu terlihat mulai santai.

“Jadi kau mau tetap di sini dan membaca?”

“Ya. Tetapi hanya tiga puluh menit.”

“Kalau begitu, ikut arah sini,” lelaki tua itu memberi isyarat. Di balik pintu dalam itu ada koridor yang berbayang diterangi oleh pijar lampu yang berkedip. Kami berlangkah ke arah lampu yang sekarat itu.

(5)

“Ikut saja aku,” kata lelaki tua itu.

Kami telah menempuh hanya sebuah jarak yang pendek saat kami sampai di cabang koridor. Lelaki tua itu belok ke kanan. Tak jauh dari situ ada cabang lagi. Kali ini belok ke kiri. Koridor itu bercabang dan bercabang lagi, bertangkai berulang-ulang, dan setiap kali begitu, lelaki tua itu memilih rute kami tanpa ragu sedikit pun, pertama belok ke kanan, lalu ke kiri. Kadang-kadang ia membuka pintu dan kami masuk di koridor yang sama sekali berbeda.

Pikiranku kalut. Sungguh aneh–bagaimana bisa perpustakaan kota kami punya semacam labirin besar di bawah tanah? Maksudku, perpustakaan-perpustakaan umum seperti ini selalu hemat uang, sehingga bahkan membangun labirin kecil sekali pun bukanlah tujuan mereka. Aku berpikir untuk menanyakan lelaki tua itu tentang hal ini, tetapi aku takut ia berteriak padaku lagi.

Akhirnya, jalan yang ruwet itu berakhir di sebuah pintu baja yang besar. Tergantung di pintu itu tanda “ Ruang Baca.” Seluruh tempat itu tenang bagai kuburan di tengah malam.

Lelaki tua itu mengeluarkan rangkaian kunci dari sakunya dan memilih satu kunci besar bergaya kuno. Ia masukkan kunci itu ke dalam lubang, melihatku sejenak dengan tatapan yang penuh arti, dan memutar kunci itu ke kanan. Ada suara bising ketika grendel kunci terbuka. 

Pintu itu terkuak dengan lengkingan panjang dan tidak menyenangkan.

“Nah, nah, kita sampai,” kata lelaki tua itu. “Masuklah kau ke dalam.”

“Ke dalam sana?” tanyaku.

“Begitulah.”

“Tetapi di sana amat gelap,” protesku. Memang, di balik pintu ini gelap bagai lubang yang telah tertikam di kosmos.

Bersambung

Bagian berikutnya ditayangkan Rabu 22 Juli 2020.

Haruki Murakami lahir di Kyoto pada 1949 dan sekarang tinggal dekat Tokyo. Karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari lima puluh bahasa, dan penghargaan internasional terakhir yang diterimanya adalah Jerusalem Prize, yang penerima sebelumnya termasuk J. M. Coetzee, Milan Kundera, dan V. S. Naipaul.

The Strange Library oleh Haruki Murakami adalah sebuah novelette. Terbit di Jepang pada 2005 dengan ilustrasi oleh Maki Sasaki dengan judul Fushigi no Toshokan. Terbit dalam bahasa Inggris pada tahun 2014, diterjemahkan dari bahasa Jepang oleh Ted Goosen dan ilustrasi oleh Chip Kidd. Terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ini didasarkan pada teks bahasa Inggris.