Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Saddam HP
Ini adalah bagian ketiga dari empat bagian terjemahan cerpen/novela Perpustakaan yang Aneh karya Haruki Murakami.
Bagian sebelumnya ada di sini. Bagian berikutnya ditayangkan Rabu, 5 Agustus 2020.
(13)
Aku memutuskan hal terbaik yang bisa aku lakukan adalah duduk dan membaca. Jika aku berusaha menemukan cara melarikan diri, pertama aku mestinya harus melumpuhkan musuhku. Artinya berpura-pura mengikuti suruhannya. Aku sangka tak terlalu rumit. Toh, aku tipe anak yang biasa mengikuti aturan.
Aku ambil Buku Harian Seorang Kolektor Pajak Ottoman dan mulai membaca. Buku itu ditulis dalam bahasa Turki klasik; namun, anehnya, aku merasa amat mudah memahaminya. Tak hanya itu, tetapi juga setiap halaman tersangkut di ingatanku, kata demi kata. Karena beberapa hal, otakku diguyur segala yang kubaca. Seraya membalik halaman buku, aku menjadi kolektor pajak Turki Ibnu Armut Hasir, yang berjalan di sepanjang jalan Istanbul dengan pedang melengkung di pinggangnya, mengumpulkan pajak. Udara dipenuhi dengan aroma buah dan ayam, tembakau dan kopi; tergantung berat di seluruh kota, seperti sungai yang tergenang. Penjaja berjongkok sepanjang jalan, meneriakkan dagangan mereka: korma, jeruk Turki, dan sejenisnya. Hasir adalah orang yang tenang, cukup santai dengan tiga istri dan enam anak. Ia juga punya peliharaan seekor burung betet seimut burung jalakku.
Jam sembilan lewat sedikit, manusia domba muncul di pintuku membawa cokelat dan kue.
“Nah, kau istimewa!” katanya. “Tetapi, hei, bagaimana bila istirahat sejenak dengan cokelat panas?”
Aku meletakkan buku itu dan mengambil cokelat dan kue.
“Hei, Tuan Manusia Domba,” kataku. “Siapa gadis manis yang datang beberapa waktu lalu?”
“Datang lagi? Gadis manis yang mana?”
“Yang membawakanku makan malam.”
“Aneh,” manusia domba itu berkata dengan pandangan bingung. “Aku yang membawakanmu makan malam. Kau berbaring di ranjangmu, tersedu-sedu dalam tidurmu. Dan seperti yang kau lihat, aku bukan gadis manis, hanya manusia domba.”
Apakah aku telah bermimpi?
(14)
Namun keesokan malamnya, gadis misterius itu muncul lagi. Kali ini ia membawa sosis Toulouse dengan salad kentang, ikan kakap kembung, salad pucuk lobak, roti croissant yang besar, dan teh hitam dibubuhi madu. Hanya melihatnya, aku langsung merasa lapar.
Santai saja. Pastikan kau makan semuanya! gadis itu berkata dengan tangannya.
“Tolong katakan padaku siapa dirimu sebenarnya,” kataku.
Aku adalah aku, itu saja.
“Tetapi manusia domba itu bilang kau tak nyata. Dan selain itu pula–”
Gadis itu mengangkat jari ke bibirnya yang mungil. Aku menahan lidahku.
Manusia domba itu punya dunia sendiri. Aku punya duniaku sendiri. Begitu pula kau. Bukan begitu?
“Ya, tentu saja.”
Jadi hanya karena aku tak nyata dalam dunia si manusia domba, bukan berarti aku tak nyata sama sekali.
“Aku mengerti,” kataku. “Dunia kita campur aduk–duniamu, duniaku, dan dunia manusia domba. Kadang-kadang dunia kita tumpang tindih, terkadang tidak. Itu maksudmu, kan?”
Ia mengangguk kecil dua kali.
Aku tak sepenuhnya bodoh. Tetapi pikiranku memang kian payah sejak anjing hitam besar itu menggigitku, dan menjadi tidak beres sejak itu.
Gadis itu duduk di ranjang dan menatapku saat aku duduk dan menghabiskan hidangan. Tangannya yang mungil mengatup dengan sopan di atas lututnya. Ia kelihatan seperti arca kaca tipis yang menyerap sinar mentari pagi.
(15)
“Aku sangat ingin mengenalkanmu pada ibuku dan burung jalak peliharaanku,” kataku pada gadis itu. “Jalakku sangat pintar, dan sangat imut.”
Gadis itu memiringkan kepalanya sedikit ke satu sisi.
“Ibuku juga ramah. Tetapi ia terlalu khawatir padaku. Sebab seekor anjing pernah menggigitku ketika aku masih kecil.”
Anjing macam apa?
“Seekor anjing hitam yang besar. Anjing itu punya kalung leher kulit bertabur permata, dan bermata hijau, dan kaki yang kokoh, dan enam cakar di tiap tapak. Ujung telinganya terbagi dua, dan hidungnya cokelat kemerah-merahan, seperti terbakar matahari. Kau pernah digigit anjing?”
Tidak pernah, kata gadis itu. Sekarang lupakan anjing itu dan habiskan makan malammu.
Aku berhenti bicara dan menghabiskan makananku. Lalu kuminum teh madu itu. Membuatku nyaman dan hangat.
“Aku harus lari dari tempat ini,” kataku. “Ibuku khawatir, dan burung jalakku akan mati jika tak kuberi makan.”
Apa kau akan membawaku bersamamu?
“Tentu saja,” jawabku. “Tetapi aku tak yakin aku akan berhasil. Sebuah bola besi terikat di pergelangan kakiku, dan koridor itu berupa labirin. Dan manusia domba itu akan mendapat hukuman yang mengerikan saat lelaki tua itu sadar kalau aku pergi. Karena membiarkanku kabur.”
Kita bisa membawa manusia domba itu bersama kita. Kita bertiga bisa bersama-sama melarikan diri.
“Apa kau pikir ia akan bergabung bersama kita?”
Gadis itu tersenyum cerah padaku.
Maka, seperti malam sebelumnya, ia menyelinap dengan cepat lewat celah pintu yang sedikit terbuka dan pergi.
(16)
Aku sedang membaca di meja saat aku dengar suara gembok berputar, dan manusia domba itu masuk dengan satu nampan donat dan segelas limun.
“Ini donat yang kujanjikan padamu kali lalu, langsung dari wajan.”
Aku menutup buku dan menggigit cepat sepotong donat. Terasa sangat nikmat, renyah di luar, di dalamnya sangat lembut meleleh di mulutku.
“Ini donat terbaik yang pernah kumakan,” kataku.
“Aku baru saja membakarnya,” kata manusia domba. “Kau tahu aku membuatnya dengan tergesa-gesa.”
“Aku berani bertaruh bila kau membuka kedai donat, akan laku besar.”
“Ya, aku pernah memikirkannya. Betapa luar biasa.”
“Aku tahu kau bisa melakukannya.”
“Tetapi siapa yang cukup menyukaiku untuk datang ke kedaiku? Aku berpakaian lucu, dan ini gigiku. Aku tidak mengawasi mereka dengan sangat baik.”
“Aku akan menolongmu,” kataku. “Aku akan menjual donat, dan berbicara dengan pelanggan, dan mengatur uang dan periklanan. Aku bahkan akan menyajikan hidangan. Yang harus kau lakukan adalah bekerja di belakang membuat donat. Aku akan mengajarkanmu cara menyikat gigimu.”
“Akan sangat menakjubkan,” kata manusia domba itu.
(17)
Ketika manusia domba itu pergi, aku kembali membaca buku. Seperti sebelumnya, aku menjadi Ibnu Armut Hasir, pengarang Buku Harian seorang Kolektor Pajak Ottoman. Aku berjalan di jalan-jalan Istanbul sepanjang hari, mengumpulkan pajak, tetapi saat malam tiba, aku kembali pulang rumah untuk memberi makan burung betetku.
Bulan sabit putih setipis pisau cukur terapung di langit malam. Aku bisa mendengar seseorang memainkan serunai di kejauhan. Menyalakan dupa di kamarku, pembantu Afrikaku bergerak-gerak, mengusir nyamuk dengan sesuatu yang mirip pemukul lalat.
Seorang gadis muda yang cantik, satu dari tiga istriku, menungguku di kamar tidur. Dialah yang menyiapkan hidangan bagiku tiap malam.
Ini bulan yang cerah, katanya padaku. Esok adalah bulan baru, dan langit akan gelap.
“Kita harus memberi makan burung betet,” kataku.
Bukankah kau sudah memberi makan burung betet beberapa waktu lalu? tanyanya.
“Benar, sudah kulakukan,” kata diriku yang adalah Ibnu Armut Hasir.
Tubuh gadis yang selembut sutra itu berkilau dalam cahaya bulan sabit setipis pisau cukur itu. Aku terpesona.
Ini bulan yang cerah, ulangnya. Bulan baru akan mempengaruhi nasib kita.
“Menakjubkan,” kataku.
(18)
Seperti lumba-lumba buta, malam bulan baru mendekat diam-diam.
Lelaki tua itu datang dan mengecekku malam itu. Ia sangat senang karena menemukanku tengah hanyut dalam bukuku. Melihatnya begitu gembira juga membuatku sedikit senang. Tak peduli situasi seperti apa sekarang, aku masih mendapat kesenangan menyaksikan sukacita orang lain.
“Aku harus memberikanmu nilai tambah,” katanya sambil menggaruk rahangnya. “Kau telah berlangkah jauh dari yang kuperkirakan. Kau bocah yang sungguh.”
“Terima kasih, Tuan,” jawabku. Aku juga senang dipuji.
“Semakin cepat kau memasukkan buku itu ke ingatanmu, semakin cepat kau bisa pergi,” kata lelaki tua itu padaku. Ia mengangkat satu jarinya ke udara. “Mengerti?”
“Ya,” kataku.
“Apa ada yang mengganggumu?”
“Ya,” kataku. “Bisakah kau katakan padaku kalau ibuku dan burung jalakku baik-baik saja? Aku sangat khawatir.”
Lelaki tua itu mengerutkan muka. “Dunia ini mengikuti jalannya sendiri,” katanya. “Masing-masing punya pemikirannya sendiri, masing-masing menginjak jalannya sendiri. Begitu pula dengan ibumu, dan begitu pula dengan jalakmu. Begitu pula dengan setiap orang. Dunia ini mengikuti jalannya sendiri.”
Aku tak mengerti apa yang ia bicarakan., tetapi aku dengan patuh mengatakan ya ketika ia selesai bicara.
(19)
Gadis itu muncul tak lama setelah lelaki tua itu pergi. Seperti biasa, ia menyelinap lewat celah pintu.
“Malam ini adalah malam bulan baru,” kataku.
Gadis itu duduk dengan tenang di ranjang. Ia kelihatannya capek. Ia kehilangan warnanya dan menjadi transparan, sehingga mampu kulihat dinding di belakangnya.
Ini karena bulan baru, katanya. Merampas kita habis-habisan.
“Yang mampu bulan itu lakukan padaku adalah membuat mataku sedikit pedih.”
Gadis itu melihat padaku dan mengangguk. Bulan itu tidak berpengaruh padamu. Kau akan baik-baik saja. Aku yakin kau akan punya cara untuk keluar dari sini.
“Dan kau?”
Jangan khawatirkan aku. Kelihatannya kita tak mungkin sama-sama mengatasinya, tapi aku yakin aku bisa bergabung denganmu nanti.
“Tetapi bagaimana aku bisa menemukan jalan pulang tanpamu?”
Ia tak menjawab. Ia malah mendekat dan mendaratkan ciuman kecil di pipiku. Lalu menyelinap lewat pintu dan lenyap. Aku duduk di ranjang, linglung, untuk waktu lama. Ciuman itu amat menggoncangku, aku tak mampu berpikir lurus. Pada waktu bersamaan, keresahanku berubah menjadi sebuah keresahan yang agak berkurang kecemasannya. Dan semacam keresahan yang tidak secara khusus resah, dan pada akhirnya, keresahan yang tak mampu diungkapkan.
(20)
Tak lama setelah itu, manusia domba kembali. Ia menggenggam sebuah pinggan dengan tumpukan donat yang tinggi.
“Hei, ada apa? Kau kelihatan kosong. Apa kau sakit?
“Tidak, aku barusan berpikir.”
“Apa benar yang kudengar–kau berencana untuk melarikan diri malam ini? Aku bisa ikut?”
“Tentu saja kau bisa ikut. Tetapi siapa yang bilang padamu?”
“Aku melewati seorang gadis di koridor satu menit yang lalu, dan dia yang bilang padaku. Bilang kita akan pergi bersama. Aku heran ada seorang gadis manis di sekitar sini–apa ia temanmu?”
“Yahh, mmm…” aku tergagap.
“Aku mengerti. Ya ampun, rasanya luar biasa punya seseorang yang keren seperti itu sebagai teman.”
“Jika kita bisa keluar dari sini, Tuan Manusia Domba, aku bertaruh kau akan punya kawan-kawan yang keren.”
“Menakjubkan,” kata manusia domba. “Tetapi bila kita tidak berhasil, neraka akan menanti kita.”
“Mengatakan ‘neraka akan menanti,’ maksudmu kendi berisi selaksa ulat bulu?”
“Begitulah kira-kira,” kata manusia domba dengan sedih hati.
Pikiran tentang sebuah kendi berisi selaksa ulat bulu selama tiga hari menegakkan bulu romaku. Namun kehangatan donat yang baru di panggang dalam perutku dan ciuman gadis di pipiku menghilangkan semua ketakutanku. Aku ambil tiga potong donat dan manusia domba mengambil enam.
“Aku kebingungan karena perut kosong,” kata manusia domba itu, dengan maksud membela diri. Ia menyeka gula di sudut mulutnya dengan jarinya yang bulat pendek.
Bersambung
Bagian berikutnya ditayangkan Rabu, 5 Agustus 2020.
Haruki Murakami lahir di Kyoto pada 1949 dan sekarang tinggal dekat Tokyo. Karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari lima puluh bahasa, dan penghargaan internasional terakhir yang diterimanya adalah Jerusalem Prize, yang penerima sebelumnya termasuk J. M. Coetzee, Milan Kundera, dan V. S. Naipaul.
The Strange Library oleh Haruki Murakami adalah sebuah novelette. Terbit di Jepang pada 2005 dengan ilustrasi oleh Maki Sasaki dengan judul Fushigi no Toshokan. Terbit dalam bahasa Inggris pada tahun 2014, diterjemahkan dari bahasa Jepang oleh Ted Goosen dan ilustrasi oleh Chip Kidd. Terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ini didasarkan pada teks bahasa Inggris.