Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Pipa [Etgar Keret]

author = Ifan Afiansa

Ketika aku kelas tujuh, sekolah mendatangkan psikiater dan meminta kami untuk mengikuti serangkaian tes. Ia memperlihatkan duapuluh kartu, satu demi satu, dan menanyakan apakah ada yang salah dengan gambar di kartu tersebut. Menurutku kartu-kartu itu terlihat baik-baik saja, namun ia mendesakku dan kembali menunjukkan kartu pertama—satu-satunya kartu yang terdapat gambar anak kecil. “Ada yang salah dengan gambar ini?” ia bertanya dengan suara lesu. Aku berkata gambarnya terlihat baik-baik saja. Ia sungguh marah, dan berkata, “Dapatkah kau lihat ada seorang anak tanpa daun telinga?” Mendengar itu aku kembali menatap kartu tersebut, aku coba melihat seorang anak tanpa daun telinga. Namun, gambar itu terlihat baik-baik saja. Psikiater menggolongkanku sebegai ‘penderita gangguan persepsi akut’, dan mengirimkanku ke kelas pengolahan kayu. Sesampainya di sana, alergi serbuk kayuku kambuh, lalu mereka memindahkanku ke kelas pengolahan logam. Aku rasa cukup nyaman di sana, namun aku tidak sepenuhnya menikmati. Sejujurnya aku tidak nyaman digolongkan. Ketika aku lulus, aku mulai bekerja di pabrik pipa. Bosku merupakan insinyur dengan gelar diploma dari Fakultas Teknik. Seorang yang brilian. Jika kau menunjukkan gambar seorang anak kecil tanpa daun telinga atau sejenisnya, dia paham itu hanya buang waktu saja.

Setelah bekerja, aku menetap di pabrik, dan membuat pipa dengan bentuk aneh, salah satu bentuknya terlihat seperti ular yang meringkuk, aku melempar kelereng ke dalamnya. Aku tahu itu terdengar seperti remeh, aku pun tidak begitu menikmatinya, tetapi aku ingin melakukanya.

Suatu malam aku membuat pipa yang sangat rumit, dengan banyak lekukan dan belokannya, dan ketika aku melempar kelereng di dalamnya, kelerengnya tidak keluar di ujungnya. Awalnya aku pikir mungkin hanya macet di dalamnya, tetapi setelah mencoba dengan 20 butir lebih kelereng, aku menyadari kelereng itu menghilang begitu saja. Aku tahu apa yang aku katakan terasa sangat bodoh. Aku ingin setiap orang tahu jika kelereng-kelereng itu tidak hanya menghilang, tapi ketika aku memperlihatkan kelereng-kelereng itu memasuki ujung pipa, namun tidak keluar di ujung lainnya, hal ini tidak serta merta membuatku menjadi aneh. Saat ini terlihat baik-baik saja. Lalu aku memutuskan untuk membuat pipa yang lebih besar, dengan bentuk yang sama, hingga aku bisa merayap di dalamnya dan menghilang. Ketika ide itu terlintas, aku sangat senang dan tertawa terbahak-bahak. Kupikir ini kali pertama dalam hidup aku tertawa.

Mulai hari ini aku mengerjakan pipa raksasa. Setiap malam aku mengerjakannya, dan di pagi hari aku menyembunyikannya di gudang penyimpanan. Pekerjaan ini menghabiskan waktu 20 hari. Pada malam terakhir, aku menghabiskan lima jam untuk merakitnya dan sebagian lainnya aku habiskan berbaring di atas lantai.

Ketika aku lihat satu bagian utuh, sejenak rehat, aku ingat guru pelajaran sosialku berkata semenjak kali pertama manusia menggunakan pemukul, ia bukanlah orang terkuat ataupun tercerdas di sukunya. Hanya saja orang lain tidak butuh pemukul, sementara dia membutuhkannya. Dia lebih membutuhkan pemukul dibandingkan lainnya, untuk bertahan hidup dan berhias diri sebagai orang lemah. Aku tidak berpikir ada manusia di belahan dunia ini punya keinginan untuk menghilang lebih daripada aku, dan karenanya aku membuat pipa ini. Aku pun bukan insinyur brilian dengan gelar lulusan teknik yang menjalankan perusahaan.

Aku mulai merayap di dalam pipa, dan tidak berharap adanya ujung pipa. Mungkin di sana akan ada anak tanpa telinga, duduk di timbunan kelereng. Mungkin saja. Aku tidak tahu persisnya yang akan terjadi setelah melewati titik tertentu di pipa. Sejauh yang aku tahu, aku di sini.

Saat ini aku merasa aku adalah malaikat. Maksudku, aku punya dua sayap dan lingkaran di atas kepalaku dan ada seribu lainnya sepertiku. Ketika aku tiba di sana, mereka duduk melingkar dan bermain kelereng yang aku gelindingkan ke pipa beberapa minggu yang lalu.

Aku selalu berpikir bahwa surga adalah sebuah tempat untuk mereka yang menghabiskan seluruh hidupnya sebagai orang baik, kali ini tidak. Tuhan terlalu penyayang dan bermurah hati membuat keputusan serupa itu. Surga hanyalah sebuah tempat untuk mereka yang benar-benar tidak sanggup berbahagia di bumi. Di sini mereka berkata kepadaku bahwa orang yang bunuh diri akan kembali dihidupkan sebab faktanya mereka yang tidak suka pada kehidupan pertamanya bukan berarti mereka tidak layak untuk hidup dua kali. Namun, untuk yang benar-benar tidak pantas di dunia akan menguap di sini. Setiap dari mereka punya cara masing-masing untuk meraih surga.

Ada pilot yang sampai di sini dengan memutari satu titik di segitiga bermuda. Ada pula ibu rumah tangga yang kabur melalui bagian belakang kabinet di dapurnya untuk ke sini, dan pakar matematika yang menemukan distorsi topologi di angkasa lalu memaksakan diri melaluinya untuk sampai ke sini. Jadi, jika kau sungguh tidak bahagia kemarilah, apabila banyak orang bilang dirimu adalah penderita gangguan persepsi akut, carilah caramu untuk kemari, saat kau menemukannya seharusnya dengan murah hati kau membawakan beberapa kartu, karena kami lelah bermain kelereng.

 

 

Data Buku
Cerpen ini terdapat dalam buku The Bus Driver Who Wanted to be God and other stories (naskah asli berasal dari bahasa Ibrani sebelum dialihbahasakan ke bahasa Inggris oleh Miriam Shlesinger.) oleh Etgar Keret, terbit 2015 oleh Riverhead Books.

 

 

Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/