Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Saddam HP
Ini adalah bagian terakhir dari empat bagian terjemahan cerpen/novela Perpustakaan yang Aneh karya Haruki Murakami.
Bagian sebelumnya ada di sini.
(21)
Di suatu tempat jam berbunyi sembilan kali. Manusia domba berdiri dan menggoncangkan lengan bajunya beberapa kali untuk mengakrabkan kembali kostum domba dengan tubuhnya. Saatnya telah tiba bagi kami untuk pergi. Ia melepaskan bola dan rantai dari kakiku.
Kami keluar ruangan dan menuruni koridor yang remang. Kakiku kosong, sebab aku meninggalkan sepatuku di sel. Ibuku akan marah besar bila ia tahu aku meninggalkan sepatuku di suatu tempat. Itu sepatu kulit yang amat bagus, dan ibuku memberinya sebagai kado ulang tahunku. Namun, itu tidak sepadan, mempertaruhkan kesempatan ini sebab suara sepatu bisa membangunkan lelaki tua itu.
Aku memikirkan sepatu itu saat berjalan ke pintu baja besar. Manusia domba yang memimpin. Aku setengah lebih tinggi, sehingga kedua telinganya turun naik di hidungku setiap waktu.
“Hei, Tuan Manusia Domba,” bisikku padanya.
“Apa?” bisiknya kembali.
“Seberapa bagus pendengaran lelaki tua itu?”
“Malam ini adalah bulan baru, maka ia akan cepat tidur di kamarnya. Tetapi ia punya intuisi yang tajam, seperti yang sudah kau lihat. Jadi alangkah baiknya kau lupakan soal sepatumu. Sepatu bisa kau ganti, tetapi kau tak bisa mengganti otakmu atau hidupmu.”
“Kau benar, Tuan Manusia Domba,”
“Jika ia bangun dan mengejarku dengan ranting willow, berakhir sudah. Lantas aku tak berguna untukmu. Saat ia mencambukiku, aku tak berdaya–rasanya seperti aku menjadi budaknya.”
“Apa ranting itu punya kekuatan spesial?”
“Benar sekali,” kata manusia domba itu. Ia berpikir sejenak. “Ranting itu hanya ranting willow biasa. Tetapi entahlah.”
(22)
“Tetapi saat ia mulai memukulmu dengan ranting itu, kau tak berdaya, kan?”
“Kira-kira begitu. Jadi sebaiknya kau lupakan sepatumu.”
“Akan kulupakan” kataku.
Kami berjalan sedikit lebih jauh menuruni koridor panjang itu tanpa bicara.
“Hei,” kata manusia domba.
“Ada apa?”
“Kau lupa sepatu, kan?”
“Ya, aku lupa sepatuku,” jawabku. Bagaimanapun juga, terima kasih atas pertanyaan itu, sepatu yang sudah coba kulupakan, kembali ke benakku.
Tangga itu dingin dan licin, tepi depan anak tangga batu itu usang karena digunakan. Hampir setiap kali aku melangkah rasanya seperti seekor kumbang. Ketika kau memanjat dengan kaki kosong dalam puncak kegelapan, itu bukan perasaan yang luar biasa. Terkadang benda itu lembut dan licin, terkadang genting. Aku pikir, harusnya aku mengenakan sepatuku.
Setelah waktu lama, sampailah kami di puncak tangga dan tiba di pintu baja. Manusia domba menarik gantungan kunci dari sakunya.
“Lakukan ini dengan pelan. Tak ingin membangunkan lelaki tua itu.”
“Benar,” kataku.
Ia memasukkan sebuah kunci dan memutarnya ke arah kiri. Ada suara yang besar, dan pintu terbuka dengan bunyi seretan yang panjang. Tidak pelan sama sekali.
“Mulai dari sini, jaringan jalan ini makin ruwet,” kataku.
“Kau benar,” kata manusia domba. “Ada sebuah jalan, sekarang baru kupikirkan. Tak bisa mengingatnya dengan baik, tetapi kita akan menemukannya nanti.”
Mendengar hal itu membuatku sedikit gelisah. Yang mengecoh dari labirin adalah kau tak tahu jalan benar yang kau pilih sampai kau tiba di ujungnya. Bila kau telah salah memilih jalan, biasanya sudah terlambat bagimu untuk kembali dan memulai lagi. Itulah masalah dengan labirin.
(23)
Seperti yang kubayangkan, manusia domba harus mencoba beberapa rute dan mengulangnya beberapa kali. Namun aku bisa merasakan bahwa bagaimana pun juga, kami makin dekat dan makin dekat dengan tujuan kami. Terkadang ia akan berhenti untuk menjalari jarinya sepanjang dinding dan menjilatinya dengan konsentrasi yang menakjubkan. Atau berjongkok untuk menekan telinganya di lantai. Atau bercakap dengan suara rendah dengan laba-laba yang bersarang di loteng. Berhadapan dengan jalur yang bercabang, ia akan berputar di tempat, seperti angin puyuh, sebelum memilih jalan mana yang harus ia ambil. Begitulah tingkah yang manusia domba gunakan untuk memilih rute untuk keluar dari labirin. Jauh dari cara yang kebanyakan orang bisa ingat.
Sementara itu, waktu terus berjalan. Fajar hampir tiba, malam puncak kelam bulan baru tampak melunak sedikit demi sedikit.
Aku dan manusia domba bergegas. Kami tahu kami harus menggapai pintu terakhir sebelum siang. Kalau tidak, lelaki tua akan bangun demi mengetahui kami kabur dan melakukan pengejaran.
“Kau pikir kita akan berhasil?” tanyaku.
“Ya, kelihatannya bagus. Mulai dari sini, akan sangat mudah.”
Jelas saja manusia domba tahu sisa jalannya. Kami berlari menuruni koridor, lalu berbalik ke satu arah, lalu arah yang lain, tanpa berhenti. Akhirnya, koridor terakhir ada di depan. Kami bisa melihat pintu di ujung jalan, dan cahaya bocor melalui retakannya.
“Lihat, sudah kubilang kan,” ucap manusia domba dengan bangga. “Aku sudah tahu selama ini. Yang harus kita lakukan hanya melewati pintu ini. Lantas aku dan kau akan bebas.”
*
Ia membuka pintu dan ada lelaki tua, menunggu kami.
(24)
Ruangan itu adalah ruangan yang sama tempat pertama kali aku bertemu dengannya. Ruang 107, di ruang bawah tanah perpustakaan. Ia duduk di depan mejanya, matanya terpaku padaku.
Di samping lelaki tua itu duduk seekor anjing hitam yang besar. Seekor anjing dengan mata hijau dan kalung bertabur permata.
Anjing itu punya kaki yang kuat, dan enam cakar di tiap tapak. Telinganya bercabang di ujung, dan hidungnya berwarna cokelat kemerah-merahan terbakar matahari. Anjing itulah yang menggigitku bertahun-tahun yang lalu. Tubuh burung jalak peliharaanku yang berdarah terjepit di antara gigi-giginya.
Aku keluarkan tangisan kecil dan hampir limbung ke belakang, tetapi manusia domba menangkapku.
“Kami telah menunggu dan menunggu,” kata lelaki tua. “Apa yang membuatmu begitu lama? He?”
“Aku bisa menjelaskan semuanya, Tuan,” manusia domba memulainya.
“Diam, kau bodoh,” pekik lelaki tua. Ia keluarkan ranting willow dari saku belakangnya dan mencambuki mejanya. Anjing itu mendengarkan, dan manusia domba terdiam. Ruangan itu tetap seperti mayat.
“Maka, sekarang,” kata lelaki tua itu. “Bagaiamana saya mengatur kalian berdua?”
“Jadi kau tidak tertidur, dengan bulan baru?” tanyaku dengan penuh rasa takut.
“Kau orang yang lancang,” cibir lelaki tua. “Aku tak tahu darimana kau kumpulkan informasimu, tetapi aku tak mudah dibodohi. Aku bisa membaca kalian berdua semudah aku membaca bintik semangka di siang hari.”
Ruangan itu menjadi kelam di mataku. Kecerobohanku menghancurkan semuanya–bahkan burung jalak peliharaanku telah dikurbankan.
Aku telah kehilangan sepatuku yang bagus, dan tak mampu lagi melihat ibuku.
“Dan kau,” kata lelaki tua, menunjuk rantingnya ke arah manusia domba. “Aku akan mencincangmu lembut dan cermat dan menyuapkanmu ke lipan.”
Manusia domba bersembunyi di belakangku, sekujur tubuhnya gemetar.
(25)
“Dan untukmu, teman mudaku,” kata lelaki tua itu, menunjuk padaku, “Kau akan menjadi makanan anjing ini. Anjing ini akan melahapmu hidup-hidup. Kau akan mati pelan-pelan. Kau akan mati menjerit. Tetapi otakmu adalah milikku. Otakmu tentu tidak lagi selembut seharusnya bila kau telah menamatkan buku-buku itu, tetapi aku tidak akan pilih-pilih. Aku akan menghisapnya sampai tetes terakhir.”
Lelaki tua itu memperlihatkan giginya dalam senyuman yang jahat. Mata hijau anjing itu mengilau dengan kegirangan.
Saat itulah aku menyadari bahwa burung jalak di antara gigi anjing itu bertumbuh.
Saat berukuran sebesar ayam, jalak itu memaksa rahang anjing terbuka seperti dongkrak mobil. Anjing itu mencoba untuk melolong, tetapi sudah terlambat. Mulut anjing itu koyak–terdengar bunyi tulang gemeretak. Lelaki tua itu dengan kalut mencambuki burung jalak dengan ranting willownya. Tetapi tubuh burung itu tetap mengembung sampai seukuran banteng, menekan cepat lelaki tua itu ke tembok. Ruang kecil itu dipenuhi suara kibasan sayap yang sangat kuat.
Larilah. Sekarang kesempatanmu, kata burung jalak itu. Suara itu milik si gadis.
“Tetapi bagaimana denganmu?” tanyaku pada jalak-yang-adalah-si-gadis.
Jangan khawatirkan aku. Aku akan menyusulmu nanti. Cepatlah, sekarang. Jika kau tak segera bergegas, kau akan hilang selamanya, kata si-gadis-yang-adalah-burung-jalak.
Aku melakukan seperti yang ia katakan. Memegang erat-erat tangan manusia domba, aku lari dari ruangan itu. Aku tak pernah melihat ke belakang.
Masih terlalu pagi saat itu, dan perpustakaan lengang. Kami menaiki tangga dan melewati aula utama menuju Ruang Baca, membuka dengan paksa sebuah jendela, dan berguling ke luar. Lalu kami lari sebisa kami ke parkiran, di mana kami roboh di rumputan. Kami berbaring di sana, mencari udara sambil mata kami yang tertutup. Aku tak membuka mataku cukup lama.
Ketika terbuka, manusia domba itu telah hilang. Aku berdiri dan mencari sekeliling. Aku memanggil namanya keras-keras. Tetapi tak ada jawaban. Matahari pagi menjatuhkan cahaya pertamanya ke atas dedaunan pohon. Manusia domba itu lenyap tanpa satu kata pun padaku. Seperti embun pagi yang menguap.
(26)
Ibuku telah menyiapkan makanan pagi yang panas di atas meja dan menungguku pulang. Ia tak menanyakanku apa pun. Tidak tentang kenapa aku tak pulang rumah setelah sekolah, atau di mana aku habiskan tiga malam ini, atau kenapa aku tak bersepatu–tak satu pun pertanyaan atau omelan. Rasanya sama sekali bukan ibuku.
Burung jalak peliharaanku telah hilang. Hanya tersisa sangkar kosongnya. Aku tak bertanya tentang apa yang terjadi. Rasanya yang terbaik adalah menjauhkan topik itu sama sekali. Raut muka ibuku rasanya agak menghitam, bagai bayangan yang mengelilinginya. Tetapi itu mungkin tak lebih dari kesanku saja.
Setelah itu, aku tak pernah lagi mengunjungi perpustakaan itu lagi. Aku tahu aku harusnya mencari satu orang yang berkepentingan mengurus tempat itu untuk menjelaskan apa yang telah terjadi padaku, dan mengatakan padanya tentang ruangan seperti sel yang tersembunyi jauh di bawah tanah. Kalau tidak, anak yang lain mungkin saja akan merasakan pengalaman mengerikan yang telah kulalui. Namun demikian, pemandangan gedung perpustakaan yang samar telah cukup untuk menghentikan langkahku.
Aku pun terkadang memikirkan kembali sepatu kulit baru yang tertinggal di ruang bawah tanah itu. Sepatu itu mengarahkan ingatanku juga pada manusia domba dan gadis manis tanpa suara. Apa mereka sungguh nyata? Berapa banyak yang kuingat itu yang benar-benar terjadi? Sejujurnya, aku tak yakin. Yang kuyakin pasti adalah aku kehilangan sepatuku dan burung jalak peliharaanku.
Ibuku meninggal selasa lalu. Ia telah menderita karena penyakit misterius, dan pagi itu ia berpulang. Penguburannya sederhana, dan sekarang aku benar-benar sendiri. Tiada ibu. Tiada burung jalak peliharaanku. Tiada manusia domba. Tiada gadis. Aku terbaring sendiri di kegelapan jam dua dini hari dan memikirkan tentang sel di ruang bawah tanah perpustakaan. Tentang bagaimana rasanya sendiri, dan kedalaman kelam yang menyelubungiku. Kekelaman yang sehitam malam bulan baru.
Haruki Murakami lahir di Kyoto pada 1949 dan sekarang tinggal dekat Tokyo. Karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari lima puluh bahasa, dan penghargaan internasional terakhir yang diterimanya adalah Jerusalem Prize, yang penerima sebelumnya termasuk J. M. Coetzee, Milan Kundera, dan V. S. Naipaul.
The Strange Library oleh Haruki Murakami adalah sebuah novelette. Terbit di Jepang pada 2005 dengan ilustrasi oleh Maki Sasaki dengan judul Fushigi no Toshokan. Terbit dalam bahasa Inggris pada tahun 2014, diterjemahkan dari bahasa Jepang oleh Ted Goosen dan ilustrasi oleh Chip Kidd. Terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ini didasarkan pada teks bahasa Inggris.