Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Saddam HP
Ini adalah bagian kedua dari empat bagian terjemahan cerpen/novela Perpustakaan yang Aneh karya Haruki Murakami.
Bagian sebelumnya ada di sini. Bagian berikutnya ditayangkan Rabu, 29 Juli 2020.
(6)
Lelaki tua itu berbalik padaku dan menyeret dirinya ke atas sampai ketinggiannya yang penuh. Sekarang, tiba-tiba, ia besar. Mata yang di bawah alis mata tebalnya bercahaya seperti mata kambing saat senja.
“Apakah kau jenis bocah yang mencari kesalahan dari setiap hal kecil, meskipun sepele?”
“Tidak, Tuan. Aku tidak seperti itu. Tetapi bagiku bila – “
“Cukup ocehanmu,” kata lelaki tua itu. “Aku tak bisa membiarkan orang-orang yang menyebabkan sejumlah besar alasan, meremehkan usaha mereka yang telah berusaha untu membantu. Orang seperti itu adalah sampah.”
“Mohon maafkan aku,” pintaku. “Aku akan masuk.”
Kenapa aku berlaku seperti ini, setuju ketika saya sangat tidak setuju, membiarkan orang memaksaku untuk melakukan hal yang tak ingin kulakukan?
“Ada tangga tepat di sisi pintu ini,” kata lelaki tua itu. “Pegang kuat-kuat ketika menyusurinya supaya kau jangan terjungkal.”
Aku masuk duluan, melangkahkan kakiku maju. Ketika lelaki tua itu menutup pintu di belakang kami, segalanya sungguh-sungguh kelam. Aku bisa mendengar bunyi klik ketika ia memutar kunci.
“Kenapa kau kunci pintunya?”
“Itulah aturannya. Harus terkunci setiap waktu.”
Apa yang bisa kulakukan? Aku mulai menuruninya. Tangga itu sangat panjang. Cukup panjang, rasanya, bisa sampai Brazil. Susuran tangga ini dilapisi karat. Tak ada sinar cahaya di mana pun.
Akhirnya, kami sampai ke dasar tangga. Aku bisa melihat cahaya redup jauh di dalam, hanya cercah yang redup, sungguh, tetapi masih cukup kuat sampai membuat mataku pedih karena kegelapan yang panjang. Seseorang mendekatiku dari arah belakang ruangan dan menggenggam tanganku. Manusia kecil berpakaian kulit domba.
“Hei, terima kasih sudah datang,” kata manusia domba itu.
“Selamat sore,” jawabku.
(7)
Kulit domba itu benar-benar nyata, dan menutupi setiap senti tubuh manusia domba itu. Meskipun begitu, ada tempat terbuka di wajahnya, dari sana timbul sepasang matanya yang ramah. Kostum itu sangat cocok untuknya. Manusia domba itu melihat sejenak ke arahku; lalu matanya berpindah pada tiga buku di tanganku.
“Astaga, kau datang untuk membaca, sungguh?”
“Benar,” jawabku.
“Maksudmu kau sungguh-sungguh dan benar-benar datang untuk membaca buku-buku itu?”
Cara bicara manusia domba ini terasa aneh. Aku tak mampu mencerna beberapa katanya.
“Ayolah, jawablah,” pinta lelaki tua itu. “Kau datang ke sini untuk membaca, kan? Berikan dia jawaban langsung.”
“Ya. Aku datang ke sini untuk membaca.”
“Kau dengar dia,” pekik lelaki tua itu.
“Tetapi, Tuan,” kata manusia domba itu. “Ia hanya seorang anak kecil.”
“Diam!” teriak pria tua itu. Ia menarik ranting willow dari saku belakangnya dan memecut wajah manusia domba itu. “Bawa dia ke Ruang Baca sekarang!”
Manusia domba itu kelihatan kacau, tetapi ia tetap mengenggam tanganku. Ranting itu menyisakan bilur merah dekat bibirnya. “Oke, ayo kita berangkat.”
“Ke mana?”
“Ke Ruang Baca. Kau datang untuk membaca buku, kan?”
Manusia domba itu menuntunku turun ke lorong yang sempit. Lelaki tua itu mengikuti dekat di belakang kami. Ada ekor kecil yang teruntai di belakang pakaian manusia domba itu yang terayun ke kiri dan kanan setiap kali ia berlangkah, seperti pendulum.
“Nah, nah,” kata manusia domba itu, ketika kami sampai di ujung lorong. “Sampailah kita.”
“Tunggu dulu, Tuan Manusia Domba,” kataku. “Bukankah cuma kebetulan kalau ini adalah sel penjara?”
“Tentu saja,” jawabnya.
“Tepat sekali,” kata lelaki tua itu.
(8)
“Ini tak seperti yang kau katakan padaku,” kataku pada lelaki tua itu. “Aku datang sejauh ini hanya karena kau bilang kalau kita menuju ke ruang baca.”
“Kau sudah diantar,” kata manusia domba itu, dan mengangguk.
“Benar, saya membohongimu,” kata lelaki tua itu.
“Teganya kau…”
“Diam, bodoh,” hardik lelaki tua itu, mengambil ranting willow dari sakunya dan mengayunkannya ke kepalaku. Aku mundur dengan cepat. Aku tak ingin wajahku dilecut dengan benda itu.
“Masuk–jangan banyak tanya. Kau akan mengingat tiga seri buku itu dari awal sampai akhir,” kata lelaki tua itu. “Satu bulan dari sekarang aku akan mengujimu secara pribadi. Bila aku berkesimpulan kalau kau telah menguasai seluruh isinya, maka aku akan membebaskanmu.”
“Mustahil untuk mengingat tiga buku setebal ini,” kataku. “Dan ibuku akan sangat gelisah tentang keadaanku sekarang…”
Lelaki tua itu memperlihatkan giginya dan mengayunkan ranting itu dengan keras. Aku melompat, dan ayunan itu mengenai wajah manusia domba itu. Karena geram, lelaki tua itu memukul manusia domba itu lagi. Sangat tidak adil.
“Lempar dia ke dalam sel. Aku meninggalkan buku itu untukmu,” perintah lelaki tua itu, dan bergegas pergi.
“Apakah kau terluka?” tanyaku pada manusia domba.
“Tak apa-apa. Hei, aku sudah terbiasa,” katanya. Ia kelihatannya memang baik-baik saja.
“Aku benci melakukan ini, tetapi aku harus menguncimu.”
“Bagaimana kalau aku bilang tidak, bila aku menolak untuk masuk ke sana? Apa yang akan terjadi?”
“Maka ia akan memukulku lebih kuat lagi.”
Aku merasa prihatin pada manusia domba itu, maka aku masuk ke dalam sel. Ada ranjang yang sederhana, meja, wastafel, dan toilet. Sikat gigi dan cangkir terletak di samping wastafel. Tak kelihatan bersih. Odolnya rasa strawberry, rasa yang tak kusukai. Manusia domba itu bermain-main dengan lampu meja, menyalakan dan mematikannya.
“Hei, lihat ini,” katanya, menatapku dengan seringai. “Cukup rapi, hah?”
(9)
“Aku akan membawakanmu makan tiga kali sehari,” kata manusia domba itu. “Dan pada jam tiga, aku akan memberikanmu donat sebagai kudapan. Aku sendiri yang membakar donat itu, rasanya renyah dan nikmat.”
Donat yang hangat adalah salah satu favoritku sepanjang waktu.
“Oke, sekarang keluarkan jari kakimu.”
Aku keluarkan kedua kakiku.
Manusia domba itu menarik sebuah bola dan rantai yang kelihatan berat keluar dari bawah ranjang, memasang rantai itu di pergelangan kakiku, dan menguncinya. Ia menaruh kunci di saku bajunya.
“Rasanya agak dingin,” kataku.
“Jangan khawatir, kau akan terbiasa.”
“Tuan Manusia Domba, apakah aku sungguh harus tinggal di sini sebulan penuh?”
“Ya, tepat sekali.”
“Tetapi, bila aku mengingat semua dalam buku-buku itu, ia akan mengeluarkanku, kan?”
“Aku tak yakin itu akan terjadi.”
“Lalu apa yang akan terjadi padaku?”
Manusia domba itu menelengkan kepalanya ke satu sisi. “Wah, sangat sulit.”
“Tolong, katakan padaku. Ibuku menunggu aku pulang.”
“Oke, bocah. Aku akan langsung mengatakannya padamu. Bagian atas kepalamu akan digergaji dan otakmu akan dicucup habis.”
Aku syok mendengar kata-kata itu.
“Maksudmu,” kataku, ketika telah pulih, “maksudmu lelaki tua itu akan memakan otakku?”
“Ya, maafkan aku, tetapi begitulah yang akan terjadi,” kata manusia domba itu dengan enggan.
(10)
Aku duduk di ranjang dan menyembunyikan wajahku di dalam tangan. Kenapa hal ini seperti ini terjadi padaku? Yang aku lakukan hanya datang ke perpustakaan dan meminjam buku.
“Jangan terlalu berpikir susah,” hibur manusia domba itu. “Aku akan membawakanmu makanan. Makanan panas yang nikmat akan menghiburmu.”
“Tuan Manusia Domba,” tanyaku, “kenapa lelaki tua itu ingin memakan otakku?”
“Karena otak yang terbungkus dengan pengetahuan itu nikmat, itulah alasannya. Rasanya nikmat dan lembut. Dan juga sedikit kasar.”
“Jadi itulah alasannya ia menginginkan aku menghabiskan waktu sebulan untuk memadatkan informasi dalam otakku, untuk kemudian menghisapnya?”
“Tepat sekali.”
“Tidak kau pikir itu amat kejam?” tanyaku. “Berbicara dari sudut pandang orang yang dihisap, tentu saja.”
“Tetapi, hei, hal seperti ini terjadi di perpustakaan mana pun, kau tahu. Kurang atau lebih, seperti itu.”
Kabar ini mengherankanku. “Di perpustakaan mana pun?” kataku tergagap.
“Bila yang perpustakaan itu lakukan adalah memberikan pengetahuan secara gratis, apa bayarannya untuk mereka?”
“Tetapi itu tak memberikan perpustakaan itu hak untuk menggergaji bagian atas kepala orang dan memakan otak mereka. Tidakkah kau pikir itu terlalu jauh?”
Manusia domba itu melihatku dengan sedih. “Kau berhadapan dengan rencana yang sial, kurang lebih begitu. Semua sudah terjadi.”
“Tetapi ibuku akan khawatir menungguku. Bisakah kau membantuku keluar dari sini?”
“Tidak, tak akan bisa. Jika aku melakukannya, aku akan dibuang ke dalam kendi yang penuh dengan ulat bulu. Kendi yang besar, dengan sekitar selaksa capung merayap selama tiga hari penuh.”
“Mengerikan,” kataku.
“Kau tahu kan, aku tak bisa membuatmu melarikan diri, bocah. Aku minta maaf.”
(11)
Manusia domba itu berangkat, meninggalkanku sendiri di sel yang kecil itu. Aku menelungkupkan wajahku di matras yang kasar dan tersedu-sedu selama sejam penuh. Bantalku, yang berwarna biru dijejali dengan sekam sorgum, menitik basah akhirnya. Bola metal yang terikat ke kakiku berbobot satu ton.
Ketika aku mengecek jam tangan, tepat pukul 6:30. Ibuku pasti tengah menyiapkan makan malam dan menungguku pulang. Aku bisa melihatnya berlangkah di lantai dapur, matanya memandang jarum-jarum jam. Bila aku tak ada di rumah saat waktu tidur, emosinya mungkin akan tidak stabil. Begitulah tipe ibuku. Ketika sesuatu terjadi, ia selalu menduga yang terburuk, dan dugaannya semakin bertambah dengan cepat. Demikian juga ia terobsesi tentang semua hal buruk yang bisa terjadi atau ia pula terduduk di sofa dan menatap ke TV.
Pada pukul tujuh, seseorang mengetuk pintu. Ketukan yang kecil, yang teduh.
“Masuk,” kataku.
Sebuah kunci memutar dalam gembok, dan masuklah seorang gadis mendorong gerobak makanan. Ia sangat manis betapa melihatnya saja membuat mataku pedih. Ia tampaknya seusiaku. Lehernya, pergelangan tangan dan kakinya sangat ramping, kelihatan seolah-olah mampu mematahkan tekanan yang kecil. Rambutnya yang panjang, yang lurus berkilau bagai dipintal dengan permata. Ia memeriksa wajahku sepintas. Lalu mengambil hidangan di atas gerobak makanan dan mengaturnya di mejaku, tanpa sepatah kata pun. Aku tetap terdiam, terpesona oleh kecantikannya.
Makanan itu terlihat lezat. Ada sup bulu babi yang baru saja dimasak dan ikan tenggiri panggang (dengan krim asam), asparagus putih dibalut dengan biji wijen, salad selada dan mentimun, dan roti gulung hangat dengan segumpal mentega. Ada juga satu gelas besar jus anggur. Saat ia telah habis menatanya, gadis itu berbalik dan berbicara padaku dengan tangannya: Sekarang hapus air matamu. Waktunya makan.
(12)
“Apa kau tak punya suara?” tanyaku padanya.
Tidak. aku tak punya. Pita suaraku dirusak ketika masih kecil.
“Dirusak?” pekikku. “Oleh siapa?”
Ia tak menjawab. Malahan, ia tersenyum dengan manis. Senyum yang amat berseri sampai udara sekeliling terasa tipis.
Tolong pahami, katanya. Manusia domba itu tidaklah jahat. Ia berhati baik. Tetapi lelaki tua itu menakutinya.
“Aku mengerti,” kataku. “Tapi tetap saja…”
Ia mendekatiku dan menaruh tangannya di atas tanganku. Tangan yang kecil, yang lembut. Aku merasa hatiku akan patah menjadi dua.
Makanlah selagi panas, katanya. Makanan panas akan memberikanmu tenaga.
Ia membuka pintu dan meninggalkan ruangan, mendorong gerobak makanan di depannya. Gerakannya secepat angin bulan Mei.
Makanannya nikmat, tapi aku hanya memakan setengahnya. Bila aku tak mampu sampai ke rumah, kekhawatiran akan menggiring ibuku ke gangguan jiwa yang lain. Ia akan sangat mungkin lupa memberi makan burung jalak peliharaanku, dan mungkin saja akan lapar sampai mati.
Tetapi bagaimana aku bisa melarikan diri? Bola dan rantai yang berat terpasang di kakiku, dan pintunya digembok. Bahkan bila aku mampu menangani pintu, bisakah aku lolos lewat labirin koridor yang panjang itu? Aku mendesah dan menangis lagi. Tetapi bergelung di ranjang dan menangis tersedu tak akan membantu apa-apa, maka aku tenang dan menghabiskan santapanku.
Bersambung
Bagian berikutnya ditayangkan Rabu, 29 Juli 2020.
Haruki Murakami lahir di Kyoto pada 1949 dan sekarang tinggal dekat Tokyo. Karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari lima puluh bahasa, dan penghargaan internasional terakhir yang diterimanya adalah Jerusalem Prize, yang penerima sebelumnya termasuk J. M. Coetzee, Milan Kundera, dan V. S. Naipaul.
The Strange Library oleh Haruki Murakami adalah sebuah novelette. Terbit di Jepang pada 2005 dengan ilustrasi oleh Maki Sasaki dengan judul Fushigi no Toshokan. Terbit dalam bahasa Inggris pada tahun 2014, diterjemahkan dari bahasa Jepang oleh Ted Goosen dan ilustrasi oleh Chip Kidd. Terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ini didasarkan pada teks bahasa Inggris.