Author: kibulin

  • Si Pembohong Paling Ulung Sedunia [Etgar Keret]

    author = Ireisha Anindya

    Lihatlah dia yang berdiri di tengah jalan ketika hujan lebat, mengaku-aku tidak kedinginan kepada semua orang. Suhunya sudah nyaris mencapai titik beku tapi ia bahkan tidak bersin sedikit pun. Butir-butir hujan bergulir di keningnya seperti peluh keringat, dan mulutnya—sungguh, kau harus lihat sendiri: mulutnya benar-benar harus dimasukkan ke dalam fenomena kosmis, sebagai si lubang hitam yang melumat realitas untuk dimuncratkan keluar menjadi sama sekali berbeda. Kini ia berkata sungguh-sungguh bahwa masa depan yang gemilang menunggu anak-anak kita. Lalu entah berapa menit lagi ia akan menjelaskan bahwa Tuhan sungguhan ada, dan menurut-Nya kita ini baik-baik saja. Lantas ia akan duduk di sebuah café kecil, menyeruput teh lemon panas, lalu bersumpah baru minum kopi.

    Ia tak selalu seperti ini. Ketika masih kecil, ia sama sekali tidak bisa berbohong. Bahkan ketika jendela kaca kelasnya pecah, ia mengacungkan tangan dan mengakui bahwa ialah yang melemparkan batu. Akan tetapi, kejujurannya hanya membuatnya tercatat dalam rekam jejak kriminal di bawah usia sebagai pelaku vandalisme properti. Setelah mengarungi jalan panjang berliku dalam hidupnya, ia berbelok, memutar arah sepenuhnya, tak lagi kembali.

    Awalnya ia hanya berbohong pada orang asing, lalu orang-orang yang benar-benar ia sayangi, dan lantas kepada dirinya sendiri. Yang terakhirlah pamungkasnya. Hanya dalam satu menit, genangan kotor yang membuat kaus kakinya basah menjelma menjadi sesuatu yang hangat dan sehalus beludru. Cukup dengan satu kalimat—kekalahannya pun berubah menjadi penyerahan diri, kesepiannya menjadi pilihan, dan ajal yang semakin dekat sesungguhnya adalah tiket masuk surga.

    Ia tak naif. Tak semua orang mengapresiasinya, ia tahu. Akan ada orang-orang fanatik kelewat saklek yang menyanjung-nyanjung kebenaran nan menjemukan ibarat sesuatu yang teramat istimewa, alih-alih hal standar dan membosankan. Apa kau pernah melihat onggokan sampah membual? Atau berudu? Atau mungkin serangga? Tentu tidak. Cuma manusia, makhluk paling mutakhir, yang mampu mengubah dunia melalui kata-kata. Melalui kata-kata mereka bisa menciptakan realitas baru. Mungkin tidak benar-benar realitas, tetapi setidaknya sesuatu. Yang bisa dicengkram erat-erat, yang mungkin akan membuatmu bertahan, tak lantas tenggelam. 

    Sekarang, lihatlah dia beraksi. Di sebelah kanannya, ada istrinya dan kedua anaknya yang dicintai dengan sepenuh hati. Di sebelah kirinya, ada pelayan muda bertubuh langsing yang bercita-cita memperoleh gelar hubungan internasional. Diciumnya si pelayan sambil mengatakan bahwa ini tidak apa-apa pada dirinya sendiri. Lalu ia menjemput si kembar dari taman kanak-kanak dan memberitahu mereka bagaimana ia dan ibu mereka membawa mereka ke dunia ini. Satu menit lagi, ia akan menikmati rokoknya seusai bercinta, lantas ia akan katakan pada si pelayan langsing serta dirinya bahwa ia belum pernah merasakan cinta yang begitu menggetarkan hatinya sebelumnya. Cintanya laksana kekuatan alam, sebagaimana badai, yang akan menarikmu turut serta entah bagaimana, sehingga sia-sia saja dilawan. 

    Dua bulan dari sekarang, ia yang lelah dan terasing bersemayam dalam apartemen sewaannya di Petach Tikva. Di sana ia tak sabar menunggu akhir minggu selanjutnya ketika ia bisa tidur lelap di atas kasur sebelah si kembar. Mimpi-mimpi tidurnya di sana akan dihantui oleh perasaan bersalah. Ia akan bersikeras semua itu terjadi karena ia menyadari siapa dirinya. Karena ia memutuskan untuk menikmati hidup sepenuhnya, bukannya sekadar jenuh menonton di sisi sayap, seakan-akan ini film mancanegara yang diputar di bioskop independen—tontonan si pelayan yang mau tak mau terpaksa ia tonton.

    September nanti dia akan mewakili kami di Kejuaraan Berbohong Sedunia. Menurut komentator, ia nyaris dipastikan akan meraih medali. Mereka bilang, ia begitu ulung dan bila entah bagaimana caranya ia gagal, tak perlu diragukan lagi ia akan meyakinkan dirinya—plus kita semua—kalau dia yang keluar sebagai pemenang. Bagaimanapun, begitulah dirinya: si mental jawara. Pusatkan konsentrasi pada tujuanmu. Jangan segan memantati dan mengentuti kebenaran sekalian. Tak sedikit pun ia pernah menyesal dan kalaupun pernah—mana mungkin akan ia akui sedikit pun?

    Terjemahan dari “The Greatest Liar in The Worldâ€? karya Etgar Keret. Bahasa asal Ibrani, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dari terjemahan bahasa Inggris (penerjemah: Jessica Cohen) yang dimuat di Literary Hub.

  • Si Anak Panci, Alyosha [Leo Tolstoy]

    author = Devi Santi Ariani
  • Sesuatu yang Membelit Lehermu [Chimamanda Ngozi Adichie]

    author = A. Nabil Wibisana

    Kau berpikir semua orang di Amerika punya mobil dan pistol; paman dan bibi dan para sepupumu juga berpikir serupa. Segera setelah kau memenangkan lotre visa Amerika, mereka berpesan padamu: Dalam sebulan kau akan punya sebuah mobil bagus. Lalu tak lama kemudian, sebuah rumah besar. Tapi jangan membeli sepucuk pistol seperti orang-orang Amerika itu.

    Mereka berkumpul di satu ruangan di rumah tempat kau tinggal bersama ayah, ibu, dan tiga saudara kandungmu di Lagos. Mereka bersandar pada dinding polos tanpa cat sebab ruangan itu terlalu sempit untuk bisa menampung banyak kursi. Dengan suara lantang mereka mengucapkan selamat jalan padamu dan dengan berbisik-bisik mereka memintamu untuk mengirimkan benda-benda yang mereka inginkan dari Amerika. Dibandingkan rumah dan mobil bagus (dan barangkali pistol), benda-benda yang mereka inginkan remeh belaka—tas tangan, sepatu, parfum, dan pakaian. Kau berkata baiklah, tak masalah.  

    Pamanmu yang selama ini tinggal di Amerika, kerabat yang menuliskan nama semua anggota keluarga besar di lotre visa Amerika itu, berkata bahwa kau boleh tinggal bersamanya sampai kau bisa mandiri. Ia menjemputmu di bandara dan membelikanmu sebuah hotdog besar dengan ekstra mustar kuning yang membuatmu mual. Perkenalan dengan Amerika, ia berkata sambil terkekeh. Ia tinggal di sebuah kota kecil di Maine, di sebuah rumah berusia tiga puluh tahun yang terletak di tepi danau. Ia berujar bahwa perusahaan tempat ia bekerja telah menawarinya beberapa ribu dolar di atas upah rata-rata plus opsi saham karena mereka setengah mati ingin terlihat sebagai perusahaan yang mengusung nilai-nilai kemajemukan. Mereka memasang foto dirinya di setiap brosur, bahkan pada brosur yang tidak berhubungan langsung dengan unit kerjanya. Ia tertawa dan mengaku pekerjaannya baik-baik saja—pekerjaan yang layak dijalani di sebuah kota berpenduduk mayoritas orang kulit putih meskipun istrinya mesti berkendara selama satu jam untuk mencari salon yang sudi melayani orang kulit hitam. Trik untuk memahami Amerika adalah tahu bagaimana memberi-dan-menerima. Kau melepaskan banyak hal, tapi kau memeroleh banyak hal pula.

    Pamanmu mengajari cara melamar pekerjaan sebagai kasir di pom bensin di jalan utama kota dan ia pun mendaftarkanmu di kampus komunitas lokal, tempat kau bertemu gadis-gadis dengan paha padat, kuku yang dicat merah cerah, dan kulit yang sengaja dibiarkan terpapar sinar matahari sehingga tampak berwarna oranye. Mereka bertanya di mana kau belajar bicara bahasa Inggris dan apakah kau benar-benar punya rumah di Afrika dan apakah kau pernah melihat mobil sebelum tiba di Amerika. Mereka membelalak pada rambutmu. Apa rambutmu berdiri atau tergerai saat kau melepaskan kepang itu? Mereka ingin tahu. Semuanya berdiri? Bagaimana? Mengapa? Apa kau pakai sisir? Kau tersenyum kecut mendengar pertanyaan-pertanyaan mereka. Pamanmu pernah memperingatkan bahwa kau akan menghadapi semua itu: Campuran antara sikap masa bodoh dan angkuh. Lantas ia bercerita para tetangga pernah menyebut bahwa tupai-tupai menghilang beberapa bulan setelah ia pindah ke rumahnya. Mereka mendengar bahwa orang-orang Afrika makan segala jenis hewan liar. 

    Kau terbahak bersama pamanmu dan merasa nyaman tinggal di rumahnya; istrinya memanggilmu nwane, Saudari, dan dua anak-anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar memanggilmu Bibi. Mereka bercakap-cakap dalam bahasa Igbo dan menyantap garri untuk makan siang. Rasanya seperti di rumah. Sampai pamanmu turun ke rubanah tempat kau tidur bersama kotak-kotak karton usang dan menarikmu dengan kasar ke pelukannya, lalu meremas-remas pantatmu sambil mendesah. Ia sesungguhnya bukan pamanmu; ia sebenarnya adik dari suami bibimu, jadi memang tak ada hubungan darah. Setelah kau mendorongnya, ia duduk di dipanmu—bagaimanapun itu rumahnya—dan tersenyum, lalu berkata bahwa kau bukanlah kanak-kanak lagi di usia dua puluh dua. Jika kau membiarkannya, ia bisa melakukan banyak hal untukmu. Perempuan pintar melakukan itu sepanjang waktu. Bagaimana kau pikir perempuan-perempuan di Lagos itu bisa punya pekerjaan yang mentereng? Bahkan para perempuan di New York?

    Kau mengunci dirimu di kamar mandi sampai ia pergi menaiki tangga. Pagi harinya kau langsung keluar dari rumah itu, melangkah pelan di jalan panjang berangin dan mencium aroma ikan-ikan di danau. Kau melihatnya melintas—ia selalu mengantarmu sampai jalan utama—dan ia tidak membunyikan klakson. Kau penasaran apa yang akan ia sampaikan kepada istrinya jika perempuan itu bertanya mengapa kau pergi. Lantas kau ingat apa yang ia katakan, bahwa Amerika adalah memberi-dan-menerima.

    Kau berakhir di Connecticut, di satu kota kecil lain, sebab kota itu adalah pemberhentian terakhir bus Greyhound yang kautumpangi. Kau melangkah masuk ke restoran dengan kerai yang bersih-cerlang dan berkata kau bersedia bekerja dengan upah dua dolar lebih rendah daripada pelayan-pelayan lain. Si manajer, Juan, berambut hitam-pekat seperti tinta dan punya senyum lebar yang memperlihatkan gigi emasnya. Ia berkata ia tak pernah punya pegawai berkebangsaan Nigeria tapi percaya semua imigran adalah pekerja keras. Ia tahu, ia pernah dalam posisi itu. Ia menggajimu satu dolar lebih murah, tapi diam-diam; ia tak suka besaran pajak yang harus ia bayarkan.

    Kau tak mampu membiayai kuliah karena kini kau mesti membayar sewa untuk kamar sempit yang lantainya ditutupi karpet penuh noda. Lagipula, kota kecil Connecticut tak punya kampus komunitas lokal dan biaya kuliah di universitas negeri terlalu mahal. Jadi, kau berkunjung ke perpustakaan umum, kau mencari tahu silabus dari situs-situs universitas dan membaca beberapa buku yang disarankan. Kadangkala kau duduk di kasur lusuh dipanmu dan memikirkan rumah—bibimu yang menjajakan ikan kering dan pisang raja, membujuk pelanggan untuk membeli lalu memcaci mereka jika tak jadi membeli; pamanmu yang kerap mabuk arak lokal dan menjejalkan seluruh anggota keluarganya dengan tinggal bersama di satu kamar; teman-temanmu yang datang mengucapkan selamat tinggal sebelum kau pergi, yang ikut gembira dan mengaku iri karena kau memenangkan visa lotre Amerika; orang tuamu yang bergandengan tangan saat pergi ke gereja setiap Minggu pagi, sampai-sampai para tetangga menertawakan dan menggoda mereka; ayahmu yang membeli koran-koran lawas milik bosnya sehingga saudaramu bisa membaca tulisan-tulisan penting; ibumu yang upahnya nyaris tak cukup untuk membayar iuran SMP adik laki-lakimu, sekolah yang guru-gurunya akan memberi nilai A pada siapa pun yang sanggup menyelipkan amplop cokelat. 

    Kau tak perlu menyogok untuk mendapatkan nilai A, tak pernah menyelipkan amplop cokelat kepada seorang guru di SMP. Tapi tetap saja, kau memilih amplop cokelat panjang untuk mengirimkan setengah pendapatanmu dalam sebulan untuk orang tuamu ke alamat badan pemerintah tempat ibumu bekerja sebagai tenaga kebersihan; kau selalu menggunakan lembaran dolar yang diberikan Juan sebab lembaran uang itu tampak baru, tidak terlipat-lipat seperti uang tip. Setiap bulan kau mengirim. Kau membungkus rapi uang itu dengan kertas putih tapi kau tak menuliskan surat. Tiada kabar yang perlu ditulis.   

    Namun, beberapa minggu kemudian, kau ingin menuliskan sesuatu karena kau punya kisah yang ingin kaubagi. Kau ingin menulis tentang betapa terbukanya orang-orang Amerika, bagaimana bersemangatnya mereka saat bercerita tentang ibu mereka yang sedang melawan kanker, tentang kelahiran bayi prematur adik ipar mereka, tentang macam-macam hal yang semestinya ditutupi atau hanya perlu diungkapkan kepada anggota keluarga dekat. Kau ingin menulis tentang orang-orang yang menyisakan begitu banyak makanan di piring mereka dan meninggalkan gumpalan dolar di meja seakan-akan sebagai persembahan, sebagai penebusan atas makanan yang tak mereka habiskan. Kau ingin bercerita tentang seorang anak berumur sekitar lima tahun yang tiba-tiba menangis, menarik-narik rambut pirangnya, dan membuang daftar menu dari meja, dan alih-alih dimarahi, sikap si kecil itu justru dibela oleh orang tuanya sehingga mereka malah bangkit dan pergi meninggalkan restoran. Kau ingin bercerita tentang orang-orang kaya yang mengenakan pakaian lusuh dan sepatu kets koyak, yang terlihat seperti para penjaga malam di bangunan-bangunan besar di Lagos. Kau ingin bercerita bahwa orang-orang kaya Amerika kurus dan orang-orang miskinnya gemuk dan ternyata banyak warga Amerika tak punya rumah besar dan mobil bagus; kau masih tak yakin soal pistol itu sebab bisa saja mereka menyembunyikannya di saku mereka.  

    Kau ingin menulis bukan hanya kepada kedua orang tuamu, tapi kepada teman-teman, para sepupu, bibi, dan pamanmu pula. Tapi kau tak pernah punya uang lebih untuk membeli parfum, pakaian, atau tas tangan. Penghasilanmu dari kerja sebagai pelayan hanya cukup untuk membayar sewa kamar, jadi kau pun urung menulis kepada semua orang.

    Tak seorang pun tahu di mana kau berada sebab kau tak pernah memberi tahu siapa pun. Kadang-kadang kau merasa sebagai sosok tak terlihat dan ketika kau mencoba berjalan dari kamarmu menuju aula, kau pun membentur dinding sehingga lenganmu memar. Sekali waktu, Juan bertanya apakah kau punya pacar yang suka menghajarmu dan Juan berkata ia bisa membereskan orang sialan itu, tapi kau hanya tertawa penuh rahasia. 

    Pada malam hari, sesuatu terasa membelit lehermu, sesuatu yang nyaris membuatmu kehabisan napas, sebelum akhirnya kau terlelap.

    ***

    Banyak orang di restoran bertanya kapan kau tiba dari Jamaika, sebab mereka pikir semua orang kulit hitan yang berbicara dalam logat asing adalah warga Jamaika. Di sisi lain, beberapa orang yang menebak kau berasal dari Afrika berkata bahwa mereka sangat suka gajah dan ingin pergi bersafari ke Afrika.

    Jadi, saat ia bertanya padamu, dalam remang lampu restoran setelah kau menyebutkan menu spesial hari itu, dari negara Afrika mana kau berasal, kau menjawab Nigeria dan membayangkan ia akan mengatakan sesuatu seperti ia telah mendonasikan uang untuk program penanggulangan AIDS di Botswana. Tapi ia lanjut bertanya apakah kau berasal dari etnis Yoruba atau Igbo, sebab kau tak terlihat punya garis wajah seorang Fulani. Kau terkejut—kau pikir ia mestilah seorang profesor Antropologi di universitas negeri, meskipun ia tampak agak muda di usianya yang sekitar 20an akhir, tapi siapa yang tahu? Igbo, kau menjawab. Ia menanyakan namamu dan berkata Akunna adalah nama yang cantik. Untungnya, ia tidak bertanya apa arti namamu, sebab kau muak dengan reaksi orang-orang, “Harta Ayah? Maksudmu, ayahmu akan benar-benar menjualmu kepada seorang suami?” 

    Ia memberi tahu bahwa ia pernah melawat ke Ghana, Uganda, dan Tanzania, ia suka puisi Okot p’Bitek dan novel-novel Amos Tutuola dan telah cukup banyak membaca buku tentang kompleksitas sejarah negara-negara Afrika Sub-Sahara. Kau terlecut untuk merasa terhina, ingin menunjukkan perasaanmu saat kau membawakan pesanannya, sebab orang kulit putih yang mencintai Afrika terlalu banyak atau terlalu sedikit sama belaka—mereka cenderung merendahkan. Namun, ia tidak menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sombong seperti yang dilakukan Profesor Cobbledick di kampus komunitas lokal di Maine dahulu pada saat diskusi kelas yang membahas isu dekolonisasi Afrika. Ia tidak memperlihatkan ekspresi wajah seperti air muka Profesor Cobbledick, ekspresi wajah seseorang yang berpikir dirinya lebih baik daripada orang-orang yang ia pelajari. Ia datang lagi keesokan harinya dan duduk di meja yang sama dan ketika kau bertanya bagaimana rasanya hidangan ayam yang kausajikan, ia malah bertanya apakah kau tumbuh besar di Lagos. Ia kembali datang pada hari ketiga dan mulai berbincang sebelum memesan makanan, lalu ia berkisah tentang kunjungannya ke Bombay belum lama ini dan berkata ia ingin mengunjungi Lagos untuk menyaksikan langsung bagaimana kondisi orang-orang di sana, misalnya kehidupan orang-orang di pinggiran kota yang kumuh, sebab ia memang tak pernah mengikuti cara-cara konyol yang lazimnya dilakukan para turis di luar negeri. Ia terus bicara dan bicara sampai-sampai kau mesti mengingatkannya tentang peraturan restoran yang melarang para pelayan asyik bercengkerama dengan pelanggan. Ia mengelap tanganmu ketika kau tak sengaja menumpahkan air minum. Hari keempat, ketika kau melihatnya datang, kau meminta pada Juan untuk tidak ditugaskan melayaninya. Setelah sif kerjamu berakhir pada malam harinya, ia tengah menunggu di luar restoran, dengan earphone menempel di telinga, lalu ia mengajakmu pergi kencan dengan alasan namamu berima dengan hakuna matata dan Lion King adalah satu-satunya film kanak-kanak yang ia sukai. Kau tak pernah menonton Lion King. Kau menatapnya dalam terang cahaya dan baru menyadari warna matanya serupa warna emas-kehijaun minyak zaitun murni. Minyak zaitun murni adalah satu-satunya hal yang kaucintai, satu-satunya hal yang benar-benar kaucintai, di Amerika. 

    Ia seorang mahasiswa akhir di universitas negeri. Ia memberi tahu berapa usianya dan kau bertanya mengapa ia belum lulus juga. Lagipula, ini Amerika—tidak seperti di negerimu, banyak universitas kerap tutup sehingga para mahasiswa mesti menjalani studi tiga tahun lebih lama dari waktu normal dan para dosen berkali-kali mogok mengajar untuk menuntut gaji tapi tetap tidak dibayar. Ia menjawab bahwa ia cuti kuliah beberapa tahun untuk berkelana dan menemukan jati diri, sebagian besar pergi ke negeri-negeri di Afrika dan Asia. Kau bertanya apakah akhirnya ia bisa menemukan jati dirinya dan ia terbahak. Kau tidak tertawa. Kau tidak tahu bahwa beberapa orang bisa begitu saja memutuskan berhenti ke kampus, bahwa mereka bisa mendikte hidup. Kau terbiasa menerima apa yang hidup berikan, menulis apa pun yang hidup diktekan padamu.

    Kau menjawab tidak empat hari berturut-turut saat ia kembali mengajak pergi kencan, sebab kau tak nyaman dengan caranya menatap wajahmu, tatapan yang intens dan menawan, yang membuat kau ingin mengucapkan selamat tinggal tapi sekaligus enggan pergi darinya. Lantas, pada malam kelima, kau panik demi mengetahui ia tidak berdiri di luar pintu restoran ketika sif kerjamu berakhir. Kau berdoa untuk pertama kalinya setelah sekian lama dan ketika ia datang dari belakangmu dan menyapa hai, kau bilang ya, kau mau pergi kencan bersamanya, bahkan sebelum ia bertanya. Kau cemas ia tak akan mengajakmu lagi.

    Hari berikutnya, ia mengajakmu makan malam di restoran Chang dan kue keberuntunganmu punya dua potongan kertas. Keduanya kosong tanpa tulisan.

    ***

    Kau tahu kau merasa nyaman bersamanya saat kau mengaku menonton Jeopardy di sela-sela waktu kerjamu di restoran dan kau mengistimewakan orang-orang dengan urutan berikut: perempuan kulit berwarna, lelaki kulit berwarna, perempuan kulit putih, dan terakhir, lelaki kulit putih—yang artinya kau tak pernah mengistimewakan lelaki kulit putih. Ia tertawa dan berkata ia tidak terbiasa diistimewakan, sebab ibunya mengajar kajian perempuan di universitas.  

    Dan kau sadar hubungan kalian semakin dekat ketika kau memberi tahu bahwa ayahmu sebenarnya bukanlah seorang guru sekolah dasar di Lagos, melainkan seorang supir di perusahaan konstruksi. Kau bercerita padanya tentang sebuah peristiwa pada suatu hari di Lagos saat kau ikut bersama ayahmu di mobil Peugeot 504 yang dikemudikannya; saat itu hujan dan kursimu basah karena tetes-tetes air menembus lubang-lubang berkarat di atap mobil. Lalu lintas padat, selalu macet di Lagos, dan jika hujan turun, lalu lintas pastilah kacau-balau. Jalan raya berubah menjadi kubangan lumpur dan mobil-mobil terjebak dan beberapa sepupumu keluar untuk mendapatkan sejumlah uang dari bantuan mendorong mobil-mobil. Hujan, atau jalan berlumpur, membuat ayahmu terlambat menginjak rem hari itu. Kau mendengar bunyi tumbukan sebelum kau merasakan guncangan. Mobil yang ditabrak ayahmu adalah sebuah mobil besar, asing, dan berwarna hijau gelap dengan lampu depan keemasan yang mirip mata leopard. Ayahmu mulai terisak dan memohon, bahkan sebelum ia keluar dari mobil dan membungkuk nyaris rata di jalan, membuat klakson-klakson mobil lain mulai menyalak. Maaf Tuan, maaf Tuan, ia merapal. Jika kau menjualku dan keluargaku, kau tak bisa membeli bahkan satu roda mobilmu. Maaf Tuan.

    Lelaki besar yang duduk di kursi belakang tidak keluar, tapi supirnyalah yang turun ke jalan, mengamati kerusakan, melihat perilaku ayahmu dengan sudut matanya seolah-olah permohonan ayahmu adalah semacam aksi pornografi, adegan yang malu-malu ia nikmati. Akhirnya, ia melepaskan ayahmu. Mengibaskan tangan menyuruh ayahmu pergi. Mobil-mobil lain terus membunyikan klakson, orang-orang mengumpat. Saat ayahmu kembali masuk mobil, kau menolak menatapnya karena ia tampak serupa babi-babi yang bergelimang lumpur rawa di sekitar pasar. Ayahmu terlihat seperti nsi. Tahi.

    Setelah kau menceritakan kisah itu padanya, ia mengerutkan bibir dan memegang tanganmu dan berkata ia memahami apa yang kaurasakan. Kau melepaskan tanganmu dari genggamannya, tiba-tiba merasa jengkel, sebab ia berpikir dunia adalah, atau harusnya, dipenuhi orang-orang semacam dirinya. Kau memberitahunya tidak ada yang perlu dipahami, begitulah kehidupan.

    ***

    Ia menemukan satu toko Afrika dari halaman iklan Hartford dan mengajakmu berkendara ke sana. Karena caranya berjalan mengelilingi toko yang tampak akrab, caranya memiringkan botol tuak nira untuk memastikan seberapa banyak kandungan endapan yang ada, pemilik toko berkebangsaan Ghana itu bertanya apakah ia orang Afrika, maksudnya orang kulit putih Kenya atau Afrika Selatan, dan ia menjawab betul, tapi ia telah lama tinggal di Amerika. Ia tampak senang ketika si pemilik toko mempercayai ucapannya. Kau memasak malam itu dengan bahan-bahan yang ia beli, dan setelah ia menyantap garri dan sup onugbu, ia muntah di bak cuci piring. Tapi kau tidak marah, sebab kini kau bisa memasak sup onugbu dengan daging.

    Ia tidak makan daging karena menilai membunuh hewan adalah keliru besar; ia bilang tindakan itu melepaskan racun ketakutan dalam daging hewan dan racun ketakutan akhirnya membuat orang-orang paranoid. Di rumahmu dulu, potongan daging yang kausantap, jika memang tersedia daging di meja makan, adalah sebesar setengah jari telunjukmu. Tapi kau tidak memberi tahu hal itu padanya. Kua tak memberi tahu pula bahwa balok penyedap dawadawa yang ibumu masukkan ke semua jenis masakan, karena bubuk kari dan rempah thyme terlalu mahal, mengandung MSG, atau tepatnya, memang MSG. Ia menyebut MSG menyebabkan kanker, itulah sebabnya ia menyukai restoran Chang; Chang tidak menggunakan MSG dalam olahan masakannya.

    Suatu kali, saat kalian makan di restoran Chang, ia memberi tahu pelayan di sana bahwa ia baru saja mengunjungi Shanghai,  bahwa ia bisa bicara sedikit bahasa Mandarin. Si pelayan menyambut hangat dan memberi tahu sup terbaik di Shanghai dan bertanya, “Kau punya pacar di Shanghai sekarang?” Dan ia hanya tersenyum dan tidak mengatakan apa pun.

    Kau kehilangan selera makan, ruang di dalam dadamu terasa tersumbat. Malam itu, kau tak mendesah saat ia memasukimu, kau menggigit bibirmu dan pura-pura tak mencapai puncak sebab kau tahu ia akan khawatir. Beberapa saat kemudian, kau memberitahunya mengapa kau merasa gusar, bahwa meskipun kalian sering makan bersama di restoran Chang, meskipun kalian sering berciuman sebelum pesanan datang, pria Cina itu berasumsi kau mustahil kekasihnya, dan ia hanya tersenyum dan membisu. Sebelum meminta maaf, ia memandangmu dengan tatapan kosong dan kau tahu belaka ia tak mengerti.

    ***

    Ia membelikanmu sejumlah hadiah dan ketika kau keberatan mengenai harganya, ia mengatakan kakeknya di Boston kaya-raya tapi kau buru-buru menambahkan bahwa pria sepuh itu telah banyak berderma sehingga dana perwalian untuknya tidaklah besar. Hadiah-hadiahnya membuatmu takjub. Sebuah bola kaca seukuran kepalan tangan yang bisa kaugoyang-goyangkan untuk melihat figur gadis kecil berpakaian merah muda menari berputar-putar. Sebuah batu berkilau yang memantulkan warna benda apa pun yang disentuhnya. Sebuah sapu tangan mahal dengan lukisan tangan dari Meksiko. Akhirnya kau berkata padanya, suaramu merentangkan ironi, bahwa dalam hidupmu selama ini hadiah-hadiah selalu bermanfaat. Batu, misalnya, akan berguna jika kau bisa menggiling sesuatu dengannya. Ia tertawa keras lama sekali tapi kau tidak. Kau menyadari bahwa dalam hidupnya, ia bisa membeli hadiah semata sebagai hadiah, bukan sesuatu yang akan berfaedah. Saat ia mulai membelikanmu sepatu dan pakaian dan buku-buku, kau bilang padanya tak usah, kau tak menginginkan hadiah sama sekali. Tapi ia terus saja membeli sesuatu dan kau menyimpan semua itu untuk diberikan kepada para sepupu dan paman dan bibimu jika kau punya kesempatan pulang suatu hari nanti, walaupun sebenarnya kau tak tahu bagaimana caranya kau bisa membeli tiket pulang dan membayar sewa kamar. Ia bilang ia sungguh-sungguh ingin melihat Nigeria dan ia bisa membiayai tiket untuk kalian berdua. Kau tak ingin ia mengongkosimu untuk pulang kampung. Kau tak mau ia pergi ke Nigeria, untuk menambahkan Nigeria dalam daftar negara yang pernah ia kunjungi, negara-negara tempat ia bisa menatap heran pada kehidupan orang-orang miskin yang tak akan pernah bisa balik menatap heran pada kehidupannya. Kau memberi tahu apa yang kaupikirkan itu pada suatu hari yang cerah ketika ia mengajakmu pelesir ke muara Long Island. Kalian pun bertengkar, suaramu meninggi saat kalian berjalan di sepanjang perairan yang tenang itu. Ia bilang kau keliru menyebutnya sebagai seorang yang merasa benar sendiri. Kau bilang ia salah ketika menganggap orang-orang miskin India di Bombay adalah orang-orang India tulen. Apakah itu berarti ia bukanlah orang Amerika tulen, sebab ia tak seperti orang-orang miskin gemuk yang sering kalian lihat di Hartford? Ia buru-buru berjalan mendahuluimu, bagian atas tubuhnya polos dan tampak pucat, langkah-langkahnya yang tergesa-gesa itu menghamburkan butiran-butiran pasir, tapi akhirnya ia berbalik dan mengulurkan tangan untuk menggenggam tanganmu. Kalian berbaikan dan bercinta dan membelai rambut satu sama lain, rambutnya lembut dan kuning serupa rumbai rambut jagung muda, rambutmu gelap dan membal serupa isian bantal. Ia terpapar sinar matahari terlalu banyak, kulitnya tampak sewarna semangka matang dan kau menciumi punggungnya sebelum kau mengoleskan losion.

    Sesuatu yang membelit lehermu, sesuatu yang membuatmu nyaris tercekik sebelum kau terlelap itu, perlahan-lahan mengendur, mulai terlepas.

    ***

    Kau tahu dari reaksi orang-orang bahwa kalian tampak abnormal—yang artinya, terlalu buruk atau terlalu muluk. Lelaki dan perempuan tua kulit putih yang menggerutu dan menatap tajam padanya, lelaki kulit hitam yang menggeleng-gelengkan kepalanya padamu, perempuan kulit hitam yang sorot matanya seolah-olah menangisi hilangnya rasa percaya dirimu, iba terhadap kebencianmu terhadap diri sendiri. Atau perempuan kulit hitam yang sekilas tersenyum sebagai ungkapan solidaritas; lelaki kulit hitam yang mencoba terlalu keras untuk memaafkanmu, melontarkan sapaan hai yang janggal padanya; lelaki dan perempuan kulit putih yang berujar “wah pasangan yang serasi” dengan terlalu ceria, terlalu lantang, seakan-akan untuk membuktikan pikiran terbuka mereka pada diri sendiri.

    Namun, orang tuanya ternyata berbeda; mereka hampir membuatmu berpikir bahwa hubungan kalian normal belaka. Ibunya memberitahumu bahwa ia tak pernah membawa seorang gadis untuk menemui mereka, kecuali teman kencan malam perpisahan SMA dahulu. Ia meringis kaku dan menggenggam tanganmu. Taplak meja makan menutupi tangkup tanganmu. Ia meremas tanganmu dan kau meremas balik, dan kau bertanya-tanya mengapa ia begitu kaku, mengapa mata minyak-zaitun-murni miliknya terlihat berubah gelap saat ia berbicara kepada orang tuanya. Ibunya tampak senang ketika kau menjawab telah membaca novel-novel Nawal el Saadawi. Ayahnya bertanya seberapa mirip masakan India dengan masakan Nigeria dan menggodamu untuk membayar tagihan yang datang. Kau memandang mereka dan merasa bersyukur bahwa mereka tidak memeriksamu layaknya piala eksotis, seperti gading gajah.

    Setelah pertemuan itu selesai, ia memberitahumu tentang masalah-masalahnya dengan orang tuanya, bagaimana mereka membagi cinta seumpama memotong-motong kue ulang tahun, bagaimana mereka akan memberinya potongan lebih besar jika ia setuju untuk kuliah di jurusan hukum. Kau sebenarnya ingin bersimpati. Alih-alih, kau justru merasa marah. 

    Kau bertambah marah saat ia memberi tahu bahwa ia menolak ajakan orang tuanya untuk berlibur di Canada, di rumah peristirahatan mereka di wilayah pedesaan di Quebec, selama satu atau dua minggu. Mereka bahkan memintanya untuk mengajakmu. Ia memperlihatkan foto-foto pondok milik keluarga itu dan kau heran mengapa bangunan itu disebut pondok sebab di kampung halamanmu, bangunan yang sebesar itu hanyalah kantor-kantor bank atau gereja. Kau menjatuhkan gelas dan gelas itu pecah berkeping-keping saat membentur lantai kayu apartemennya. Ia bertanya apa ada yang salah dan kau menjawab tak ada, walaupun kau berpikir banyak sekali yang salah. Kemudian, di kamar mandi, kau mulai menangis. Kau melihat air pancuran melarutkan air matamu dan kau tak tahu mengapa kau menangis. 

    ***

    Akhirnya, kau menulis surat. Surat pendek kepada orang tuamu, yang kauselipkan di antara lembaran-lembaran dolar yang bagus. Kau pun menyertakan alamatmu di Amerika. Diantar kurir, kau mendapat surat balasan langsung beberapa hari kemudian. Ibumu menulis sendiri surat itu; kau bisa mengenalinya dari tulisan tangan yang mirip cakar ayam dan sejumlah kesalahan ejaan. 

    Ayahmu telah meninggal dunia; ia tergelincir bersama mobil perusahaan. Sudah lima bulan yang lalu, ibumu menulis. Mereka menggunakan sebagian uang kirimanmu untuk membiayai pemakaman yang layak: Mereka menyembelih seekor kambing untuk para pelayat dan memakamkan jasad ayahmu dalam peti mati yang pantas. Kau meringkuk di kasur, menekan lutut di dadamu, dan berusaha mengingat-ingat apa yang kaulakukan pada bulan-bulan setelah ayahmu tutup usia. Mungkin ayahmu berpulang pada hari ketika sekujur tubuhmu merinding, kaku serupa beras, yang tak bisa kaujelaskan sebab-musababnya. Juan menggodamu waktu itu, menyeretmu untuk mendekati panggangan di dapur sehingga kau bisa merasa hangat. Barangkali ayahmu meningal dunia saat kau sedang menuju museum Mystic atau sedang menonton teater di Manchester atau sedang makan malam di restoran Chang.

    Ia menggenggam tanganmu selama kau menangis, membelai-belai rambutmu, dan menawarimu tiket pulang, serta menemanimu pergi menemui keluargamu. Kau bilang tidak, kau mesti pergi sendiri. Ia bertanya apakah kau akan kembali dan kau mengingatkannya bahwa sebagai pemegang kartu hijau, kau akan kehilangan kartu izin tinggal itu jika kau tidak kembali ke Amerika dalam jangka waktu satu tahun. Ia berkata kau tahu apa yang ia maksud, apakah kau akan kembali, akan kembali? 

    Kau memalingkan wajah dan membisu, dan saat ia mengantarkanmu ke bandara, kau memeluk erat dirinya lama, lama sekali, sampai akhirnya kau pun melepaskannya.

    —Diterjemahkan dari cerpen “The Thing Around Your Neck” yang terhimpun dalam buku kumpulan cerpen dengan judul yang sama (Fourth Estate, 2009).

    Tentang Penulis

    Chimamanda Ngozi Adichie lahir dan besar di Nigeria. Pada usia 19 tahun, ia pergi ke Amerika Serikat untuk melanjutkan studi, kemudian lulus sarjana di Universitas Negeri Eastern Connecticut, mendapatkan gelar master dari Universitas John Hopkins dan Universitas Yale. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 30 bahasa dan terbit di berbagai media ternama, di antaranya The New Yorker, Granta, dan Zeotrope. Novel-novelnya telah memenangkan sejumlah penghargaan bergengsi, antara lain: Purple Hibiscus (2003) memenangkan Commonweath Writer’s Prize dan Hugston/Wright Legacy Award, Half Yellow Sun (2006) memenangkan Orange Prize, Americanah (2013) memenangkan National Book Critics Circle Award. Kumpulan cerpennya The Thing Around Your Neck (2009) masuk nomimasi dalam penghargaan Frank O’Connor International Short Story Award. Buku terbarunya adalah Dear Ijawele, or a Feminist Manifesto in Fifteen Suggestions (2107). Selain menulis, ia juga kerap diundang berceramah di berbagai penjuru dunia. Penerima MacArthur Foundation Fellowship ini kini membagi waktunya antara Amerika Serikat dan Nigeria.

  • Sebuah Lubang [Hassan Blasim]

    author = Wawan Kurniawan

    1

    Aku menyimpan potongan cokelat terakhir di dalam tas. Aku telah menyimpannya di kantongku. Aku mengambil beberapa botol air dari gudang. Aku punya cukup kaleng ikan salmon, jadi kusembunyikan kaleng yang tersisa di bawah tumpukan kertas toilet. Lalu, saat aku melangkah menuju pintu, tiga orang bertopeng yang membawa senjata masuk. Aku menembak dan satu dari mereka terjatuh ke lantai. Aku berlari keluar menuju pintu, tapi dua orang lainnya mengejarku. Aku melompati pagar lapangan sepak bola dan berlari menuju taman. Saat aku tiba di ujung taman, di tepi Natural History Museum, aku terjatuh ke dalam sebuah lubang.

    “Dengar, jangan takut.”

    Suaranya yang serak membuatku takut.

    “Kamu siapa?” tanyaku, yang lumpuh lantaran takut.

    “Apa kau kesakitan?”

    “Tidak”

    “Itu normal. Sudah bagian dari rangkaian ini.”

    Kegelapan perlahan lenyap saat dia menyalakan sebuah lilin.

    “Tarik napas dalam-dalam! Jangan khawatir!”

    Dia tertawa dengan aneh, penuh kesombongan dan penghinaan.

    Wajahnya gelap dan kasar, seperti dasar lumuran selai roti tawar. Seorang lelaki tua yang jompo. Dia tak mengenakan pakaian. Dia duduk di bangku kecil, dengan selembar kertas yang kotor di pahanya. Di sampingnya ada beberapa karung dan sejumlah sampah yang tampak lama ada di tempat ini. Jika dia tak menggerakkan kepalanya dia akan tampak seperti tokoh kartun, dia terlihat seperti pengemis pada umumnya. Dia miringkan kepalanya ke kiri dan kanan seperti kura-kura dalam beberapa cerita legenda.

    “Siapa kamu? Apakah aku jatuh dari lubang?”

    “Ya, kau terjatuh. Aku tinggal di tempat ini.”

    “Kau punya segelas air?”

    “Airnya tak mengalir. Mungkin beberapa saat lagi. Aku punya beberapa ganja.”

    “Ganja? Apa kau pendukung pemerintah atau oposisi?”

    “Persetan dengan semua itu.”

    “Tolong! Apa tempat ini aman?”

    Dia membakar gulungan ganja dan menawariku. Aku mengambil dan memeriksanya. Dia tampak curiga. Dia mengisap sebagian gulungan dan menyetel radio yang ada di sampingnya demi mencari siaran yang tengah memainkan lagu dalam bahasa yang aneh. Kedengarannya seperti lagu beat religi Afrika.

    “Kau orang asing?”

    “Kau tak menebak dari aksenku? Aku berbicara dengan  bahasamu, Nak! Tapi kau tak bisa bicara dengan bahasaku, sebab aku lebih dulu ada di lubang ini. Tapi kau akan bicara menggunakan bahasa ini dengan orang yang selanjutnya akan jatuh.”

    “Ah, Bung. Aku benci cara bicaramu.”

    Dia membuang muka, menyandarkan leher kura-kuranya ke depan, dan kembali menyalakan lilin. Sekarang aku bisa melihat tempat ini lebih jelas. Ada seonggok mayat. Aku memeriksanya dengan cahaya lilin, ada yang pahit terasa di mulutku. Mayat itu adalah tubuh seorang tentara, dan ada senapan di dekatnya. Kakinya terkoyak, mungkin karena beberapa pecahan peluru tajam. Dia seperti tentara dari masa lampau.

    “Benar, ini seorang tentara Rusia.”

    Dia telah membaca pikiranku, dan di wajahnya tampak senyum yang dibuat-buat.

    “Dan apa yang dia lakukan di negara kita? Apakah dia bekerja di kedutaan?”

    “Dia jatuh di hutan selama perang musim dingin antara Rusia dan Finlandia.”

    “Kau benar-benar gila!”

    “Dengar, aku tak punya waktu untuk orang sepertimu. Aku ingin bersikap sopan padamu, tapi sekarang kau mulai membuatku gugup. Hari ini mood-ku sedang buruk.”

    Aku mulai memeriksa lubangnya. Seperti sumur. Dindingnya dipenuhi lumpur yang lembap, tapi pori-pori dari lumpur itu mengeluarkan bau yang tajam, menyengat. Mungkin beraroma bunga-bunga! Aku mengangkat lilin untuk mencoba melihat seberapa dalam lubangnya. Dari dasar lubang sumur, cahaya taman tampak terlihat.

    “Kau percaya dengan Tuhan?” dia bertanya dengan suaranya yang aneh.

    “Kita semua ada dalam lindungan-Nya. Berdoalah pada-Nya, Bung, agar menyelamatkan kita dari bencana dalam hidup ini.”

    Dia membulatkan tangannya untuk membentuk sebuah megafon dan mulai berteriak histeris, “Wahai Tuhan yang Mahakuasa, Maha Esa, Maha Kudus, Tuhan yang Maha Besar, kirimkan jerapah atau seekor monyet yang setinggi seratus delapan puluh senti! Biarkan sesuatu selain manusia yang jatuh ke dalam lubang! Biarkan pohon yang kering jatuh ke dalam lubang! Lemparkan kami empat ular supaya kami bisa membuat tali dengan itu!”

    Seakan kegilaan lelaki tua yang seperti kura-kura inilah yang kubutuhkan! Aku menghiburnya dengan doa sarkastik miliknya dan kukatakan jika seseorang jatuh ke dalam lubang, itu akan terasa lebih mudah untuk keluar, karena lubangnya tak begitu dalam.

    “Kau benar, dan inilah orang ketiga!” katanya, sambil menunjuk tentara Rusia.

    “Tapi dia sudah meninggal.”

    “Meninggal di tempat ini, tapi tidak di lubang lain.”

    Seketika dia mengeluarkan sebuah pisau. Aku mengamatinya dengan waspada, barangkali saja dia akan menyerangku. Dia merangkak berlutut ke tubuh tentara dan mulai memotong-motong daging dan memakannya. Dia tak mempedulikanku, seakan aku tak ada di tempat itu.

     

    2

    Malam itu aku mengambil revolverku sebelum keluar menuju toko. Aku telah menutup tempat itu beberapa bulan yang lalu, saat pembunuhan dan penjarahan mulai menyebar di seluruh ibukota. Sekarang aku mampir ke toko dan saat ini sulit mendapat makan atau minum dari toko dekat rumah kami. Perekonomian dengan cepat ambruk, dan keadaan semakin memburuk akibat mogok kerja. Ada tanda-tanda pemberontakan, serta kekacauan menyebar setelah pemerintah memundurkan diri. Protes pertama dimulai di ibukota, dan dalam beberapa hari kepanikan dan kekerasan melanda negara. Gerombolan orang mulai menduduki semua gedung pemerintah. Mereka membentuk komite sementara dan berusaha memerintah. Tapi, keadaan tiba-tiba kembali suram. Orang-orang mengatakan itu karena pengusaha yang mendukung kelompok-kelompok terorganisir yang berhasil menguasai bagian utara negara. Orang kaya dan para pendukung buronan pemerintah meyakini bahwa kelompok berbasis agama baru akan berkuasa dan menerapkan ideologi obskurantisnya. Itulah yang disampaikan juru bicara wilayah utara, dan dia juga mengancam jika wilayah tersebut ingin memisahkan diri. Kaum ekstremis dalam kelompok berbasis agama tak tertarik pada pidato politisi atau revolusioner. Mereka diam-diam bekerja di belakang layar, dan dalam satu serangan yang mengguncang, mereka mengambil alih kendali basis rudal nuklir negara. “Umat manusia membawa kita dalam kehancuran, maka kembalilah ke lindungan Sang Pencipta.” Itulah motto mereka.

    Sedang bagi tentara, mereka bertugas dalam beberapa hal. Di titik pelabuhan utama, para tentara dengan mesin tembak membunuh lebih dari lima puluh orang yang mencoba mencuri bank pusat. Orang-orang mulai melawan tentara, yang mereka lihat sebagai lawan dari perubahan. Ada banyak perlengkapan senjata. Sekutu pihak selatan telah memberi perlengkapan senjata bagi penduduk. Di pusat kota beberapa orang yang masih berakal sehat meminta ketenangan dan jalan keluar dari kecamuk yang melanda negara. Tentara mengepung basis rudal dan mulai bernogosiasi bersama pimpinan pihak ekstremis, yang tinggal di antara kelompok bersenjata di negara lain. Dulunya dia seorang kolonel yang diusir dari kelompok tentara lantaran idenya yang terlalu extrem. Dia juga mengatakan jika dirinya memiliki slogan di jidatnya bertuliskan: SUCIKAN BUMI DARI IBLIS.

    Lelaki tua itu mengunyah daging dan kembali ke tempatnya seolah baru saja selesai makan sandwich. Dia membersihkan mulutnya dengan handuk kotor, mengeluarkan sebuah buku, dan mulai membaca. Aku mengeluarkan sebatang cokelat dan melahapnya dengan gugup. Orang tua itu sangat menjijikkan dan menyebalkan.

    Dia mendongak dari bukunya kemudian berkata, “Dengar, aku akan langsung pada intinya saja. Aku seorang jin.” Dia mengulurkan tangan untuk menjabatku.

    Aku menatapnya dengan penuh tanya.

    Apa yang kakekku pernah sampaikan beberapa minggu terakhir ini? Dia terus mengoceh di depan pohon delima (yang bisa dia lakukan di dunia ini hanyalah makan buah delima dan menatap pohon itu).

    Betapa aku ingin bangkit dan menendang lelaki tua ini. Aku menyadari bila dia melihatku dengan kedengkian dan senyum yang menghina. Kemudian dia mengatakan, “Kau tampak lebih berani dan tak menyebalkan dibanding orang Rusia ini. Dengar, aku tak tertarik denganmu dan orang-orang yang mengunjungi lubang. Semua yang kucari dalam cerita-ceritamu hanyalah hiburan. Ketika kau menghabiskan waktumu untuk rantai cerita yang tak berujung ini, kenikmatan bermainlah satu-satunya yang membuatmu dapat terus melakukannya. Pecundang seperti orang Rusia ini mengingatkanku pada absurditas permainan. Roman dari rasa takut mengubah rantai menjadi sebuah tiang gantung. Sesaat setelah teman Rusia kita terjatuh ke dalam lubang, itu membuatnya takut sebab aku ada di dalamnya. Dia mengarahkan senapan di kepalaku. Dan saat aku mengatakan jika aku adalah seorang jin, dia nyaris menggila. Dia menyimpan sebutir peluru. Jika itu tak mampu membunuhku, dia akan mati ketakutan, dan jika dia tak menembakkannya dia akan tetap disandera dengan paranoia yang dia miliki.”

    “Baiklah, lalu apa yang terjadi?”

    “Ha! Kuceritakan padanya jika aku mengetahui semua rahasia hidupnya, dan untuk membuatnya lebih ketakutan kusampaikan jika aku mengenal Nikolai, putra paling muda bibinya. Tentara itu risih saat mendengar nama itu. Kuceritakan bagaimana dia dan Nikolai memperkosa seorang gadis di desanya. Dia mundur lalu menembakkan sebutir peluru di kepalaku. Inilah rangkaian yang konyol, penuh dengan cerita manusia sepertimu. Apa kau percaya dengan yang kukatakan ini?”

    Dia membaca dari bukunya: “ ‘Kita hanyalah bayang-bayang eksotis di dunia ini.’ pembicaraan yang hambar, bukan? Hidup itu indah, Kawan. Nikmatilah dan kau tak perlu khawatir. Aku pernah mengajar untuk menulis puisi di Baghdad. Aku pikir sebentar lagi akan hujan. Suatu hari kita mungkin pahami salah satu rahasia atau bagaimana mengetahuinya. Tak ada bedanya. Yang penting adalah irama dalam rangkaian ini.”

    Aku teriak, “Kau memakan mayat seorang tentara, kau lelaki tua menjijikkan!”

    “Ha! Kau juga akan memakanku, dan mereka akan memakanmu atau menggunakanmu sebagai bahan bakar atau untuk minum.”

    Aku meninju wajahnya dan kembali berteriak: “Kalau kau bukan orang tua, kuhancurkan tengkorakmu, bajingan!”

    Dia tak peduli dengan yang kukatakan. Semua yang dia katakan tak perlu membuatku marah, sebab dia akan segera meninggalkan lubang dan aku akan jatuh di lubang yang lain dari waktu yang berbeda. Dia bilang bukunya akan diberikan padaku. Buku yang penuh dengan halusinasi. Buku yang penuh dengan penjelasan lengkap tentang energi rahasia yang diambil dari serangga untuk menciptakan organ tambahan untuk menguatkan hati, pankreas, jantung, dan semua organ tubuh lainnya.

     

    3

    Sebelum meninggalkan lubang, lelaki tua itu mengatakan padaku jika dia berasal dari Baghdad pada masa kekhalifahan Abbasiyah. Dia pernah jadi guru, penulis, dan seorang penemu. Dialah yang menyarankan kepada khalifah untuk menerangi jalan-jalan dengan lampion. Dia telah mengawasi pencahayaan masjid dan sekarang sibuk dengan rencana memperluas sistem pencahayaan rumah dengan metode yang lebih kontemporer. Para pencuri di Bagdhad marah karena lampionnya, dan suatu hari mereka mengejarnya setelah salat subuh. Dekat dari rumahnya, lelaki itu tersandung jubahnya sendiri dan terjatuh ke dalam lubangnya.

    Satu hal yang disampaikan orang Baghdad ini kepadaku bahwa tiap orang yang mengunjungi lubang itu segera menemukan bagaimana kejadian di masa lalu, masa sekarang, dan masa depan, dan para penemu permainan ini telah mendasarkannya pada serangkaian eksperimen yang mereka lakukan untuk memahaminya dengan cara kebetulan. Ada desas-desus jika mereka tak bisa mengendalikan permainan, yang terus menerus bergulir dan melewati garis-garis waktu.

    Dia juga mengatakan, “Siapa pun yang mencari jalan keluar dari sini wajib untuk mengembangkan seni permainan; jika tidak mereka akan tetap menjadi hantu sepertiku, bahagia dengan permainan … Ha, ha, ha. Aku muak untuk mencoba memecahkan simbol. Ada dua lawan di setiap permainan.  Setiap lawan punya kode privasi tersendiri. Itu akan jadi pertarungan yang berdarah, berulang dan menjijikkan. Sisanya hanyalah ingatan, yang dengan mudah mereka hapus. Saat harimu tiba, eksperimen tentang ingatan masih dalam masa percobaan mereka. Para ilmuwan terus bekerja selama lebih dari satu setengah abad setelah usaha pertama tersebut, yang tujuannya adalah untuk menemukan pusat ingatan di otak tikus. Ternyata tikus mampu mengingat apa saja yang telah mereka pelajari bahkan jika otak mereka hancur total di laboratorium. Itu akan jadi eksperimen menakjubkan jika diterapkan pada manusia. Apakah ingatan sebuah kartu kemenangan dalam permainan ini yang kita mainkan dengan serius sampai akhirnya berakhir, atau kita cukup bersenang-senang saja? Semua orang yang jatuh di sini menjadi makanan atau sumber untuk memuaskan naluri, atau energi atas sistem lain. Kita siapa . . sial, siapa kita sebenarnya? Tidak ada yang tahu!”

    Lelaki tua itu meninggal dan membuatku kehilangan harapan. Hari menjadi hancur dan kepingan salju jatuh dari mulut lubang. Tubuh orang Rusia tampak seperti hantu. Aku ingin kembali ke masa-masa lain yang mungkin pernah kujalani, jejak-jejaknya tersebar ke tempat-tempat yang sebelumnya kupikir secara imajiner. Kesadaranku bergerak seperti roller coaster di sebuah taman hiburan. Aku melihat kepingan salju berputar-putar. Visi tentara itu telah hilang. Mataku terbuka namun pikiranku terlelap. Aku mungkin telah tidur selama ratusan tahun. Aku membayangkan sel mati. Apakah aku benar-benar berada dalam pikiran atau di setiap sel tubuhku? Aroma bunga yang kuat memenuhi lubang itu. Aku memejamkan mata, tapi kemudian seorang gadis muda jatuh ke dalam lubang. Di punggungnya dia membawa sebuah tas elektronik yang diikatkan di dadanya dengan banyak tali pengikat, dan pahanya terikat sejumlah logam fosfor. Di tangannya dia memegang sesuatu yang tampak seperti alat ukur elektronik.

    “Kamu siapa?” Dia bertanya padaku, terengah-engah. Ada luka yang tampak di wajah cantiknya.

    “Aku seorang jin. Apa yang terjadi denganmu?”

    Aku merasa suaraku kembali ke zaman purba.

    “Sebuah robot analisis darah mengejarku,” katanya.

    Dia mengisap jarinya, yang bengkak seperti jamur.

    “Itu normal,” kataku dengan acuh, lalu merayap menuju mayat lelaki tua itu.

     

     

    Cerpen ini berasal dari Buku The Corpse Exhibition and Other Stories of Iraq karya Hassan Blasim.
    HASSAN BLASIM lahir di Baghdad pada tahun 1973 dan belajar di Baghdad Academy of Cinematic Arts. Seorang kritikus terhadap rezim Saddam Hussein, ia dianiaya dan pada tahun 1998 melarikan diri dari Bagdad ke Irak Kurdistan, di mana ia membuat film dan mengajarkan proses pembuatan film dengan nama samaran Ouazad Osman. Pada tahun 2004, setahun di dalam perang, ia melarikan diri ke Finlandia, di mana ia sekarang menetap. Seorang filmmaker, penyair, dan penulis fiksi, karyanya telah diterbitkan dalam berbagai majalah dan antologi dan merupakan salah seorang editor situs sastra Arab iraqstory.com. Karya fiksinya telah dua kali memenangkan English PEN Writers di Penghargaan Terjemahan dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Finlandia, Polandia, Spanyol, dan Italia.

  • Satu Hal Lagi [Raymond Carver]

    author = Ageng Indra

    ISTRI L.D., Maxine, mengusirnya pada malam ketika ia pulang kerja dan menemukan L.D. mabuk lagi dan menghina Rae, putri mereka yang berusia lima belas tahun. L.D. dan Rae duduk di meja makan, berdebat. Maxine tak sempat menaruh tas atau melepas mantelnya.

    “Bilang padanya, Ma.” kata Rae, “Bilang padanya apa yang sudah kita bahas.”

    L.D. memutar gelas di tangannya, tetapi tidak meminumnya. Maxine memberinya tatapan yang sengit dan menggelisahkan.

    “Jauhkan hidungmu dari hal-hal yang tidak kau mengerti,” kata L.D. Ia meneruskan, “Aku tak bisa menganggap serius siapa pun yang duduk sepanjang hari membaca majalah astrologi.”

    “Ini tak ada hubungannya dengan astrologi,” balas Rae. “Kau tak perlu menghinaku.”

    Mengenai Ray, ia sudah seminggu tidak pergi ke sekolah. Ia bilang, tak seorang pun bisa membuatnya pergi. Menurut Maxine, ini adalah bagian dari garis panjang tragedi yang diawali dengan menyewa rumah murah.

    “Kenapa kalian berdua tidak diam!” kata Maxine. “Ya Tuhan, kepalaku sudah pusing.”

    ‘Bilang padanya, Ma,” kata Rae. “Bilang padanya itu semua ada dalam kepalanya. Semua orang yang tahu apa pun tentang itu akan bilang padamu di mana itu berada.”

    “Bagaimana dengan kencing manis?” tanya L.D.. “Bagaimana dengan ayan? Bisakah otak mengendalikannya?”

    Ia mengangkat gelasnya di bawah mata Maxine dan menenggak habis isi gelasnya.

    “Kencing manis juga,” kata Rae. “Ayan. Apa pun! Otak adalah organ paling kuat dalam tubuh, asal kau tahu saja.”

    Gadis itu mengambil rokok ayahnya dan menyundut satu untuk dirinya sendiri.

    “Kanker. Bagaimana kalau kanker?” tanya L.D.

    Ia pikir ia telah memenyudutkan putrinya di situ. Ia melirik Maxine.

    “Aku tak tahu bagaimana kami memulai ini,” kata L.D pada Maxine.

    “Kanker,” kata Rae, dan menggeleng pelan, “Kanker juga. Kanker dimulai dari otak.”

    “Itu gila!” kata L.D. Ia memukul meja dengan telapak tangannya. Asbak terempas. Gelasnya jatuh ke samping dan menggelinding. “Kau gila, Rae! Apa kau sadar?”

    “Diam!” teriak Maxine.

    Ia melepas kancing mantelnya dan menaruh tasnya di meja. Ia menatap L.D. dan mengatakan, “L.D., aku mengerti. Begitu pun Rae. Begitu pun semua orang yang mengenalmu. Aku telah memikirkannya. Aku ingin kau keluar dari sini. Malam ini. Detik ini. Sekarang. Keluar dari sini sekarang juga.”

    L.D. tak punya niat untuk pergi ke mana pun. Ia menggeser pandangannya dari Maxine ke toples acar yang sudah bercokol di atas meja sejak makan siang. Diraihnya toples itu dan ia lemparkan ke jendela dapur.

    Rae terperanjat dari kursinya, “Astaga! Dia gila!”

    Ia berdiri di samping ibunya. Ia menarik napas pendek dari mulutnya.

    “Panggil polisi,” kata Maxine. “Dia bertindak kasar. Pergi dari sini sebelum ia menyakitimu. Panggil polisi.” kata Maxine.

    Mereka mulai mundur keluar dapur.

    “Aku pergi.” kata L.D. “Baiklah, aku pergi sekarang,” katanya. “Ini layak untukku. Kalian gila. Lagi pula, ini rumah sakit jiwa. Ada kehidupan lain di luar sana. Percaya padaku, ini bukan piknik. Ini rumah sakit jiwa.”

    Ia bisa merasakan hembusan angin dari lubang di jendela pada wajahnya.

    “Ke sanalah aku pergi. Ke luar,” katanya. “Ke luar sana,” ujarnya dan menunjuk.

    “Bagus,” kata Maxine.

    “Baiklah, aku pergi.” kata L.D.

    Ia menggebrakkan tangannya pada meja. Ia menendang mundur kursinya. Ia berdiri.

    “Kau tak akan melihatku lagi,” kata L.D.

    “Kau memberiku cukup banyak untuk diingat,” jawab Maxine.

    “Oke,” kata L.D.

    “Sana, pergi,” Kata Maxine. “Aku yang membayar sewa rumah ini, dan kubilang pergi. Sekarang.”

    “Aku pergi,” katanya. “Tak usah memaksaku,” tambahnya. “Aku pergi.”

    “Cepat pergi,” bentak Maxine.

    “Aku pergi dari rumah sakit jiwa ini.” kata L.D.

    Ia berjalan ke kamar dan mengambil salah satu koper istrinya dari lemari. Sebuah koper Naugahyide putih tua dengan genggaman patah. Istrinya dulu memenuhinya dengan setelan sweter dan membawa-bawanya semasa kuliah. L.D. juga kuliah dulu. Ia melempar koper ke atas kasur dan mulai memasukkan pakaian dalam, celana, baju, sweter, sabuk kulit dengan gesper kuningan, kaos kaki, dan hal lain yang ia miliki. Dari nakas, ia mengambil majalah untuk bahan bacaan. Ia mangambil asbak. Ia menaruh apa pun yang bisa masuk ke dalam koper, semua yang kopernya sanggup muat. Ia mengikat sisi yang bagus, mengencangkan tali pengikat, dan kemudian teringat peralatan mandi. Ia menemukan tas perlengkapan mandi di lemari dinding kamar mandi, terhalang topi mandi istrinya. Masuk ke dalamnya, gunting dan krim pencukur, dan bedak talek dan deodoran dan sikat gigi. Ia juga mengambil pasta gigi. Dan kemudian ia menemukan benang gigi.

    Ia bisa mendengar mereka di ruang tamu bicara bisik-bisik.

    Ia membasuh muka. Ia memasukkan sabun dan handuk ke tas perlengkapan mandi. Kemudian ia memasukkan sabun cuci piring dan gelas dari atas wastafel dan pemotong kuku dan pengeriting alis istrinya.

    Ia tidak bisa menutup tas perlengkapan mandinya, tetapi tak apa. Ia mengenakan mantelnya dan mengangkat koper. Ia menuju ruang tamu.

    Begitu melihatnya, Maxine melingkarkan lengannya di pundak Rae.

    “Beginilah,” kata L.D. “Ini perpisahan,” katanya. “Aku tak tahu apa lagi yang harus kukatakan kecuali kurasa aku tak akan melihat kalian lagi. Kau juga,” kata L.D. pada Rae. “Kau dan ide gilamu.”

    “Pergi,” kata Maxine. Ia memegang tangan Rae. “Tidakkah kau sudah cukup merusak rumah ini? Pergilah, L.D. Pergi dari sini dan tinggalkan kami dengan damai.”

    “Tetaplah ingat,” kata Rae, “Semua ada dalam kepalamu.”

    Ia memandang untuk terakhir kalinya ke sekeliling ruang tamu, kemudian memindah kopernya dari satu tangan ke tangan lain dan mengapit tas cukurnya di bawah ketiak. “Aku akan tetap menghubungi, Rae. Maxine, kau lebih baik pergi juga. Ini rumah sakit jiwa.”

    “Kau yang membuatnya jadi rumah sakit jiwa,” kata Maxine. “Kalau ini rumah sakit jiwa, itu karena kau yang membuatnya begitu.”

    Ia menaruh kopernya dan tas cukurnya di atas koper. Ia mengangkat tubuhnya dan memandang wajah mereka.

    Mereka berbalik.

    “Lihatlah, Ma,” kata Rae.

    “Aku tidak mengkhawatirkannya,” kata Maxine.

    L.D. mengapit tas cukur di bawah ketiaknya dan mengangkat koper.

    Ia bilang, “Aku hanya ingin mengatakan satu hal lagi.”

    Tetapi ia tak bisa memikirkan apa pun yang mungkin untuk dikatakan.

     

     

    Catatan:
    “One More Thing” dari What We Talk About When We Talk About Love (1981) oleh Raymond Carver, diterjemahkan dari Bahasa Inggris.

  • Sang Harimau (S. Rajaratnam)

    author = Silvia Anggraini Setiawan

    Fatima merasakan kuning pucatnya air sungai – sebuah hamparan emas berkilauan di antara sinar sinar mentari yang nyaris redup – mengalir dengan surut di sekitar dirinya. Dia berpegang pada tepian dan bergerak menjauh, menelusur, hingga air mencapai pinggangnya. Sarung basah terikat pada tubuhnya yang sintal dengan kulit kecokelatan, menonjolkan dadanya secara utuh, serta bayi yang dikandungnya. Wajahnya yang bulat dan tulang pipi yang nampak menonjol, yang mencirikan orang melayu, dipancarkan oleh sensualitasnya yang gelap, dan malahan  sisi melankolisnya yang terkesan lembut dalam mata hitamnya yang juling memberikannya sebuah ekspresi merenung ketimbang pandangan gembira dalam dirinya.

    Dengan sedikit hentakan di kepalanya, dia membebaskan rambut hitam mengkilapnya, dan membiarkan angin membisik dengan lembut di antara helai-helainya. Dari tempat dia berdiri dia tidak bisa mendengar maupun melihat desa yang dikaburkan tumbuhan jalar dan pepohonan di tikungan sungai. Di depannya membentang area penuh ilalang yang seolah tanpa batas, pohon-pohon tinggi, dan kesuburan daun-daunan yang mengagumkan. Keheningan yang menjemukan dari suatu sore kadang-kadang terganggu oleh tangisan unggas air yang kesepian. Seekor tikus mulai menyelam dengan cipratan air yang lembut ke dalam sungai, sementara hewan-hewan pemalu nan gugup berdesau dalam perjalanannya melalui rerumputan tinggi dan tumbuhan jalar. Udara penuh dengan bau bunga-bunga liar dan lumpur, juga daun. Sebuah perasaan kesepian dan kesedihan mendatanginya, seolah dirinya telah tersungkur ke dunia yang baru saja diciptakan, ketika bumi berupa rawa yang berkubang di mana-mana, menjadikannya rumah bagi monster-monster yang mengerikan.

    Itulah mengapa ketika dia mendengar geraman harimau yang rendah dan bergetar, hanya mempertajam ilusinya, hingga harimau itu mengaum marah dan meyakinkannya. Suara yang didengarnya itu, bukanlah seekor makhluk dari imajinasinya.

    Dibingkai oleh ilalang yang kemudian merunduk hingga mencapai tanah, wujudnya kepala dan bahu harimau itu nampak, tidak lebih dari 20 yard darinya. Matahari memendarkan kilat kesinisan pada tatapan matanya yang kuning. Telinganya tampak tertarik ke belakang, menunjukkan kewaspadaan. Dia menggerakan kepalanya dan menggeram, menampakkan lidah merah, dan taring kuningnya yang nampak seperti batang pohon.

    Fatima terhipnotis ke dalam rasa takut yang tidak tertahankan oleh tatapan sang harimau. Tiba-tiba kekakukan melingkupinya, mematikan pikirannya. Dia memberanikan diri unuk tidak bergerak atau mengalihkan pandangannya dari hewan itu, dia begitu kaku, seolah harimau itu disajikan benda tak bergerak  oleh pertemuan tak diduganya dengan seorang manusia.

    Fatima dan hewan itu saling pandang, dirinya takut, sementara hewan itu curiga. Di luar geraman yang muncul kadang-kadang, dari waktu ke waktu ancamannya jadi semakin berkurang, sang harimau menunjukkan tak satupun tanda bahwa dia ingin menyerangnya. Malahan, setelah beberapa waktu, hewan itu jadi kurang tertarik pada wanita itu. Cakarnya yang besar, menyembul di hadapannya, mulailah dia menggali ke dalam rumput yang basah. Ketika bergerak, perhatian hewan itu nampak tak teralihkan. Tatapan kedua matanya telah berubah. Dia nampak cemberut dan wajahnya menyiratkan rasa bosan yang teramat. Fatima menangkap perubahan yang mengejutkan dari suasana hati yang terpancar itu.

    Namun, senja yang mulai merayap dari balik bukit yang sejak tadi telah melenyapkan pemandangan warna-warni beberapa saat lalu, dan menggantinya dengan bayangan keabuabuan yang melayang tanpa terasa ke dalam kegelapan. Samar-samar kabut mulai muncul dari sungai dan telah menyebar menyelimuti daratan. Lengkingan jangkrik dan siulan burung hantu dari kejauhan menandakan transisi dari siang menuju malam.

    Kini yang dipunyai wanita itu hanyalah keheningan, yang muncul dari rasa takut pada harimau itu, dia merasakan kelelahan mulai merayap. Dia menggigil kedinginan, dan karena harimau itu tiada menunjukkan tanda apapun untuk enyah. Perasaan ini membuatnya putus asa. Tangannya menjelajah pada perutnya, kesadaran muncul. Ada jiwa lain yang juga hidup dalam tubuhnya, sebuah penentuan yang sengit untuk kabur. Dia masih bisa melihat bentuk samar sang harimau dalam keremangan. Fatima telah mempelajari hewan itu dengan sangat hati-hati. Dia bisa merasai kapan makhluk itu akan melepas pandangannya dari wanita itu. Dia menunggu,  tubuhnya tegang di dalam air. Memancarkan perasaan takutnya yang dahsyat. Dengan gerakan putus asa dia menyelam di bawah air. Dia berenang hingga menyentuh dasar sungai. Fatima menuju sisi yang berlawanan, ke arah desa. Sesekali dia muncul ke permukaan ketika dia merasa paru-parunya kehabisan udara. Dia merasa bingung dan tersesat di tengah sungai, tapi ketika dia mendengar geraman dari kejauhan, sebuah ketakutan yang dia tidak pernah rasakan, bahkan sejak pertemuannya dengan sang harimau, kini menguasainya.

    Dia berenang dengan panik menuju tepi hingga dia melihat lampu minyak bercahaya dari desa.

    Desa itu dipenuhi kepanikan ketika ibunya menyebarkan cerita yang dilebih-lebihkan dari versi cerita yang diceritakan anaknya sendiri, Fatima. Para wanita panik bagaikan ayam betina melihat elang yang berputar di atasnya, segera menarik anak-anak mereka ke dalam pelukan, kemudian mengunci pintu rapat-rapat, memanggil para lelaki untuk melakukan sesuatu terhadap harimau si tukang rampas itu. Para lelaki bergegas ke sana kemari, khawatir akan sapi dan kambingnya, sedangkan yang telah lanjut usia mengunyah buah pinang dan meminta apa yang diributkan itu.

    Fatima terbaring lemas di atas tikar ketika seorang kepala desa dan keramaian datang untuk menanyakan padanya di mana harimau itu. Ibu Fatima melanjutkan ceritanya dengan heboh mengenai pertemuan anaknya dengan “makhluk berbulu” hingga pemimpin dengan tampak tidak sabar meminta wanita tua itu untuk bersikap tenang. Lelaki itu beralih pada Fatima. Ada ketidaksabaran pada suaranya begitu dia menjawab pertanyaan itu, dia enggan meminta harimau itu untuk diburu dan dibunuh. Kepala desa itu mengerutkan kening keheranan.

    “Allah!” seru si wanita tua, sekali lagi berupaya untuk menjadi pusat perhatian. “Perlindungan Allahlah yang menyingkirkan anakku dari cakar ‘makhluk berbulu itu’.”

    Dia menarik tangan cokelatnya yang kurus, menunjukkan sikap berdoa pada Allah. Kepala desa itu mengangkat bahunya.

    “Ya itu pasti,” ucapnya, “tapi lain waktu Allah mungkin tidak akan sebegini pemurah. Seekor harimau, mungkin saja, mulai saat ini mabuk dengan bau bangkai manusia, bukan hal yang menyenangkan jika dia berkeliaran di dekat desa kita. Untuk kedamaian dan keselamatan para wanita dan anak-anak, makhluk mengerikan itu harus diburu dan dimusnahkan secepat mungkin.”

    Dia memperhatikan wajah para lelaki, diam dan gugup. Mereka benar-benar hidup dalam bahaya harimau yang berjalan di malam hari, khususnya ketika ilalang yang padat dan berbayang-bayang memberikannya posisi yang menguntungkan baginya untuk menyerang dengan cepat, tanpa suara.

    “Baiklah!”, ucap Pak Kepala.

    Para lelaki memperhatikan lantai dalam diam. Wajah sang kepala nampak tersentak dan dia hendak mencela para lelaki itu karena sifatnya yang pengecut. Seketika Mamood, anaknya yang berjiwa muda, datang dengan senapan tersampir di pundaknya.

    “Ada apa ini?” dia bertanya dengan penuh keingintahuan. “Katanya, ada harimau yang menyerang Fatima. Apa benar?”

    Ketika kepala desa itu menceritakan kenyataannya dengan singkat dan padat, Mamood menyentuh senapan laras gandanya yang baru dengan penuh ketidaksabaran, seperti semangat berburu telah bangkit. Awalnya dia mengira keinginannya untuk berburu harimau karena dia suka berburu. Faktanya, karena buruannya adalah harimaulah yang membuat dia lebih bersemangat.  

    “Itu benar,” seru Mamood, ketika kepala desa selesai menceritakannya. “Kita harus memikirkan nasib para wanita dan anak-anak. Orang-orang miskin itu tidak akan bergerak barang satu inchi pun dari rumahnya sampai mereka tahu harimau itu telah mati. Ini adalah tanggung jawab para lelaki untuk melindungi mereka. Sekarang siapa yang akan ikut dengan Mamood untuk membunuh harimau itu? Demi ibuku, aku akan membawa pulang bangkai makhluk itu sebelum matahari terbit, asal kalian mau membantuku.”

    Awalnya mereka nampak ragu, namun akhirnya belasan pria bergabung, terketuk oleh kata-kata Mamood yang dikenal sebagai si jago tembak.

    “Bagus!”, kata Mamood, memainkan jari-jarinya pada senapannya, “aku  tahu kalian bisa dipercaya”

    Lalu dia dan para lelaki itu pergi.

    “Percayalah padaku, anakku,” kata ibunya Fatima. Dia mengunci pintu usai mereka pergi, “pemuda bernama Mamood itu adalah harimau itu sendiri.”

    Fatima bangun dari tikarnya dan memandang ke luar jendela yang rendah. Bulan menebarkan lembut pada segala yang disinarinya, dan dia dapat melihat bulan itu, pecah seperti perak yang mencair, melintasi pohon palem yang gemerisik. Mereka bergerak dan saling berbicara dengan suara tertahan, namun juga masih terasa antusias, saat mereka mempersiapkan untuk perburuan. Fatima menatap orang-orang itu dengan wajah cemberut.

    Kini pergilah orang-orang itu hingga yang tersisa hanya bayangan mereka di balik pepohonan gelap juga angin yang gaduh. Dia pertajam pendengarannya, terdengar olehnya suara tawa sungai.

    Di suatu tempat, dia membayangkan seekor harimau yang membuatnya bertanya-tanya sepanjang malam itu. Dirinya berharap, harimau itu berada jauh dari jangkauan para pemburu.

    “Oh Allah!” ratap sang ibu sambil memukul-mukul buah pinang di sebuah wadah kayu, “malam ini pasti akan ada yang mati. Orang-orang mengincar makhluk buas yang liciknya sama saja dengan seratus rubah, bahkan bisa mengukur jarak dalam kegelapan itu. Aku yakin pasti akan ada tangis kehilangan sebelum malam berakhir.”

    “Mereka seharusnya melepaskan saja harimau itu,” kata Fatima, masih dengan menatap ke luar jendela. 

    “Itu mustahil,” kata wanita itu. “Seseorang harus membunuh harimau itu sebelum harimau itu yang membunuh kita. Itu baru benar.”

    “Mungkin saja hewan itu sudah terlanjur kabur atas kemauannya sendiri.”

    “Harimau yang datang ke sekitar desa tidak akan kembali sampai tujuannya terpenuhi,” teriak wanita tua itu. Suaranya nyaris menghilang. “Mereka secara umum adalah pembunuh yang mencari peruntungan di sekitar desa.”

    “Tapi yang satu ini tidak tampak seperti pembunuh,” protes Fatima.

    Ibunya mendengus kesal namun tidak lagi berkata apapun.

    “Harimau itu hanya 20 yard dariku dan bisa saja dia melompat ke arahku dengan mudah,” kata Fatima, “tapi dia tidak melakukannya. Kenapa? Apa kau bisa menjelaskannya padaku bu? Dia memang memperhatikanku, tapi aku juga menatapnya. Pada awalnya, matanya menatapku tapi kemudian keduanya nampak melembut dan bosan. Tidak ada kekejaman dia tidak tampak seperti pembunuh…”

    “Sekarang kau nampak tidak waras seperti ayahmu dulu,” sahut ibunya sambil memukul-mukul pinang dengan kasar. “Dulu dia sering mengatakan kalau angin sedang bernyanyi untuknyalah. Semoga Tuhan memaafkanku yang membicarakan mendiang ayahmu, tapi dia kadang-kadang seperti tidak waras.”

    Fatima nampak murung di sisi jendela sambil berusaha menangkap apa yang bisa didengarnya. Ada semacam keheningan yang janggal di desa itu seolah dibungkus dalam kain pemakaman. Kedua tangannya yang membengkak terkepal setiap dia tegang oleh keheningan itu menantikan suara yang menenangkan. Detak-detak dalam hatinya beriringan dengan pukulan yang dihasilkan ibunya di wadah pinang, tiba-tiba rasa sakit yang tajam menusuk ke arahnya. Tangannya beralih ke perutnya.

    “Ada apa Fatima?, ucap ibunya sambil mendongak.

    “Bukan apa-apa,” jawab Fatima menahannya. 

    “Minum dan berbaringlah,” ibunya memperingatkan. 

    Fatima tetap berdiri di sisi jendela dan merasakan sakit yang datang dan pergi. Dia menutup matanya dan membayangkan harimau itu meringkuk di antara ilalang, matanya sekarang menyala merah dan menatapnya, kemudian tampak bosan dan lembut.

    Tiba-tiba dia mendengar suara senapan yang ditarik. Kemudian disusul dengan suara tembakan. Tubuhnya bergetar hebat seolah tembakan itu ditujukan kepadanya. Kemudian terdengar suara auman seekor harimau, bukan geraman ringan seperti yang didengarnya malam itu, tapi penuh dengan kesakitan dan perlawanan. Selama beberapa saat suara tangisan hewan itu, panjang, seolah menyuarakan penderitaannya yang dalam, terdengar memenuhi hati dan telinganya. Dia ingin menggemakan ulang tangisan itu. Wajahnya tegang karena sakit,tubuhnya penuh keringat. Rintihan pecah di antara bibirnya yang sedari tadi tertutup. 

    “Alamak! Alamak!,” kata ibunya yang tua sambil menangis. “Kau tampak sakit. Ada apa? Kemari dan berbaringlah….. Apa ini…….”

    “Aku merasa sakit bu,,,,”, kata Fatima sambil terengah-engah.

    Wanita tua itu membawa anaknya ke atas tikar dan membaringkannya.

    “Oi…oi… apa ini sudah waktunya melahirkan!”, isak ibunya sedikit takut. “Berbaringlah di sini sementara aku mengambilkanmu air hangat untuk kau minum. Aku harus menunggu mereka pulang sebelum aku pergi untuk memanggil seorang dukun beranak. Ay, ini adalah malam yang bagus untuk seorang wanita tua!”

    Fatima berbaring di atas tikar, matanya terpejam saat ibunya merebus air dan menggumam.

    “Dengar,” ibunya berkata, “mereka kembali, aku bisa mendengar suara mereka.”

    Udara mendadak dipenuhi suara kegembiraan para lelaki dan wanita di luar rumah.

    Wanita tua itu membuka pintu dengan hati-hati, memanggil-manggil seorang di antara kerumunan. 

    “Bersoraklah untuk Mamood, Bi,” teriak seorang pemuda yang segera masuk. “Dia telah menembak harimau itu dan membunuhnya. Hewan itu besar. Tidak mengherankan kalau dibutuhkan usaha yang hebat sebelum dirinya terbunuh. Setelah dia tertembak dua kali, mereka harus memanahnya sampai dia mati. Dan tebaklah apa yang terjadi?”

    “Apa?”

    “Mereka bilang,” pemuda itu menerangkan, bicaranya agak tergagap, “setelah membunuh hewan itu, mereka mendengar suara suara. Dengan bantuan kilatan petir, mereka melihat tiga anak harimau yang amat kecil. Bayi-bayi itu nampak sulit membuka mata. Mamood berkata mereka berumur tidak kurang dari beberapa jam. Tidak heran kalau harimau itu melawan seperti kerasukan. Kata Mamood, dia bisa menjual bayi-bayi harimau itu dengan harga bagus.”

    Fatima terengah-engah dalam kesakitan. Keringatnya banjir bak mutiara keemasan di dahinya.

    “Ibu!”, isaknya

    Wanita tua itu mendorong pemuda yang keheranan itu ke arah pintu.

    “Tolong panggilkan seorang dukun beranak, nak,” teriaknya. “Cepaat! Ayoo! Dukun beranak.”

    Pemuda itu memandang, mengambil napas panjang, kemudian berlari mencari dukun beranak.

    The Tiger oleh S. Rajaratnam, diterjemahkan dari bahasa Inggris, naskah asli di sini.

  • Salju, Cermin, Apel [Neil Gaiman]

    author = Devi Santi Ariani

    Aku tidak tahu makhluk apa gadis ini. Tidak ada yang tahu. Dia membunuh ibunya sendiri ketika lahir, namun hal itu tidak cukup untuk menjelaskan apapun.

    Mereka menyebutku bijak, tetapi aku tahu diriku jauh dari bijak, karena semua yang telah kuramalkan sebelumnya, kenangan yang membeku di genangan air atau dalam cerminku yang dingin. Jika diriku bijak, aku tidak akan mencoba mengubah apa yang kulihat. Jika diriku bijak, aku akan bunuh diri sebelum bertemu dengan gadis itu, sebelum aku terpesona pada laki-laki itu. 

    Seorang penyihir bijaksana, begitu mereka menyebut diriku, dan aku telah melihat wajah laki-laki itu dalam mimpi-mimpiku dan dalam setiap refleksi sepanjang hidupku: enam belas tahun memimpikannya sebelum dia menarik kekang kudanya perlahan mendekati jembatan pagi itu, dan menanyakan namaku. Dia membantuku naik dan kami berkuda bersama menuju pondok kecilku, wajahku terkubur dalam rambut keemasannya. Dia meminta semua yang kumiliki; hak seorang raja, tentu saja.

    Janggutnya perunggu-kemerahan dalam cahaya pagi dan aku mengenalnya, bukan sebagai raja, karena saat itu aku tidak tahu apapun tentang raja, aku mengenalnya sebagai kekasihku. Dia mengambil semua yang dia inginkan dariku, hak raja, tentu saja, tetapi dia kembali padaku keesokan harinya dan malam selanjutnya: janggutnya begitu merah, matanya lebih biru dari langit musim panas, cokelat kulitnya begitu lembut sewarna gandum.

    Putrinya adalah anak tunggal: tidak lebih dari lima tahun ketika aku datang ke istana. Potret mendiang ibunya tergantung di kamarnya di menara keputrian; mendiang ratu bertubuh tinggi, rambutnya sewarna kayu gelap, matanya coklat tua. Dia tampak begitu berbeda dari sang putri yang sangat-sangat pucat.

    Gadis itu tidak pernah mau makan bersama kami.

    Aku tidak tahu dimana, di istana ini, dia makan.

    Aku punya kamarku sendiri. Suamiku sang raja, dia juga memiliki kamarnya sendiri. Ketika dia menginginkanku, dia akan memanggilku, dan aku akan pergi kepadanya, dan menghiburnya dan menghibur diriku sendiri bersamanya.

    Suatu malam, beberapa bulan setelah aku diboyong ke istana, sang putri datang ke kamarku. Dia berumur enam tahun. Diriku yang sedang menyulam di bawah cahaya lampu, menyipitkan mata di balik asap lampu penerangan yang mengepul tipis. Saat aku mendongak, dia berdiri di sana.

    “Putri?”

    Diam. Matanya sehitam batu bara, yang juga sehitam rambutnya; bibirnya lebih merah dari darah. Sang putri menatapku lalu tersenyum. Giginya tampak tajam, bahkan di bawah cahaya lampu.

    “Apa yang kau lakukan begitu jauh dari kamarmu?”

    “Aku lapar,” ujarnya, seperti anak-anak kebanyakan.

    Saat itu musim dingin, saat makanan segar sama halnya seperti memimpikan kehangatan dan sinar matahari; tapi aku punya untaian apel utuh, tanpa biji, dikeringkan, digantung dengan tali di balok kayu di atas ranjangku. Aku menarik satu apel untuknya.

    “Ini..”

    Musim gugur adalah waktu untuk mengeringkan, mengawetkan, memetik apel dan mengumpulkan lemak angsa. Musim dingin adalah waktu kelaparan, salju dan kematian; dan saat itu adalah waktu pesta pertengahan musim dingin ketika sudah saatnya membalurkan lemak angsa ke kulit babi utuh, mengisinya dengan apel kering musim gugur lalu memanggang dan membakarnya, dan kita bersiap untuk menyantap semuanya.

    Dia mengambil apel kering dariku dan mulai mengunyah dengan giginya yang kuning dan tajam.

    “Enak?”

    Dia mengangguk. Aku selalu takut pada sang putri kecil, tetapi saat itu diriku mulai terbuka padanya dan dengan jemariku, perlahan, aku membelai pipinya. Dia menatapku dan tersenyum—tersenyum sekilas—lalu menancapkan giginya ke pangkal ibu jariku, menyedot darah.

    Aku menjerit, karena kesakitan dan terkejut; tapi dia menatapku dan aku terdiam seketika.

    Sang Putri kecil menempelkan mulutnya ke tanganku dan menjilat, menghisap dan minum. Ketika selesai, dia meninggalkan kamarku. Di bawah tatapanku, luka yang dia buat mulai menutup,  berkoreng dan sembuh. Keesokan harinya hanya tersisa bekas luka yang terlihat seperti luka lama, seolah aku mungkin tanpa sengaja melukai tangan dengan pisau saku ketika aku masih kanak-kanak.

    Aku membeku karenanya, ditandai dan didominasi. Itu membuatku takut, lebih dari darah yang diminumnya. Setelah malam itu aku mengunci kamarku ketika senja, memalang pintu dengan palang kayu ek, dan meminta pandai besi membuat jeruji di jendelaku.

    Suamiku, kekasihku, rajaku, semakin jarang memanggilku dan ketika aku datang kepadanya, dia selalu lesu, pusing dan bingung. Dia tidak bisa lagi bercinta seperti pria seharusnya; dan dia tidak mengizinkanku menyenangkannya dengan mulutku: ketika aku mencoba, dia mulai menangis dan meraung-raung. Aku menarik mulutku dan memeluknya erat-erat, sampai tangisannya berhenti dan dia tertidur, seperti anak-anak.

    Aku mengelus kulitnya saat dia tertidur. Kulit yang penuh bekas luka. Tapi aku tidak bisa mengingat bekas luka itu dari hari-hari sebelum kami menikah, kecuali satu luka di sisi pinggangnya, luka tanduk babi hutan ketika dia pergi berburu saat masih muda.

    Tidak butuh waktu lama untuknya berubah menjadi bayangan dari laki-laki yang pernah kutemui dan kucintai di jembatan itu. Tulangnya terlihat biru dan putih di bawah kulitnya. Aku bersamanya sampai akhir: tangannya sedingin batu, matanya sewarna kabut kebiruan, rambut dan janggutnya memudar, tanpa nafsu dan lemas. Dia meninggal tanpa tenaga, kulitnya dari ujung kepala sampai ujung kaki penuh luka gigitan kecil. Bobot tubuhnya hampir tak tersisa. Tanah membeku dengan keras dan kami tidak bisa menggali kuburan untuknya, jadi kami membuat piramida dari batu di atas tubuhnya sebagai peringatan, karena hanya sedikit yang tersisa darinya untuk dilindungi dari binatang kelaparan dan burung-burung.

    Maka, tinggallah diriku sebagai ratu.

    Dan diriku begitu lugu, bodoh dan muda—delapan belas musim panas telah datang dan pergi sejak pertama kali aku melihat cahaya matahari—dan aku tidak melakukan apa yang harus aku lakukan. 

    Jika hari ini, aku akan menggorok jantungnya, tentu itu yang akan kulakukan. Tapi kemudian aku harus memenggal kepala, lengan dan kakinya. Aku ingin mencincang isi perutnya. Dan aku akan menonton, di alun-alun kota, saat algojo memanaskan api hingga berwarna putih lalu tanpa berkedip, melemparkan semua potongan tubuh gadis itu ke dalam api. Aku akan menyiapkan pemanah di sekitar alun-alun, yang akan menembak burung atau hewan yang mendekati api; gagak, anjing atau elang, atau tikus sekalipun. Dan aku tidak akan menutup mataku sampai sang putri menjadi abu, dan angin lembut menerbangkannya seperti salju.

    Aku tidak melakukannya, dan kami membayar atas kesalahan itu.

    Mereka bilang aku telah dibodohi; bahwa benda itu bukan jantungnya. Bahwa benda itu adalah jantung binatang—rusa jantan, mungkin, atau babi hutan. Itu yang mereka katakan dan mereka salah.

    Dan beberapa orang berkata (tapi gadis itu yang berbohong, bukan aku) bahwa aku menerima dan menyantap jantungnya. Kebohongan dan kebenaran yang setengah-setengah jatuh seperti salju, menutupi hal-hal yang bisa kuingat, hal-hal yang pernah kulihat. Pemandangan, terlihat asing setelah turunnya salju; begitulah gadis itu telah merubah hidupku.

    Ada bekas luka pada cintaku, pada paha ayahnya, pada testis dan alat kelaminnya saat mendiang raja mangkat.

    Aku tidak mengikuti mereka. Mereka membawanya di siang hari, ketika ia tertidur dan dalam kondisi lemah. Mereka membawanya ke jantung hutan, dan di sana mereka membuka pakaiannya, dan mereka menggorok jantungnya, dan meninggalkan mayat itu di parit agar hutan menelannya.

    Hutan itu penuh kegelapan, batas dari banyak kerajaan; tidak akan ada yang cukup bodoh untuk mengklaim wilayahnya. Para buronan hidup di dalam hutan, para perampok tinggal di hutan, begitu juga dengan serigala. Kau bisa berkuda membelah hutan selama dua belas hari tanpa bertemu siapapun; namun tetap ada berpasang-pasang mata yang mengawasimu sepanjang waktu.

    Mereka membawa jantungnya padaku. Aku tahu pasti jantung itu miliknya—tidak mungkin ada jantung babi atau rusa yang terus berdetak setelah digorok dari tubuhnya, seperti jantung ini.

    Aku membawanya ke kamarku.

    Aku tidak memakannya: aku menggantungnya di atas ranjang, mengikatnya pada seutas benang yang kurangkai dengan buah beri rowan, jingga kemerahan seperti dada burung robin, dan beberapa umbi bawang putih.

    Di luar, salju telah turun, menutupi jejak kaki para pemburuku, menutupi tubuh kecil yang terbaring jauh di dalam hutan.

    Sesuai permintaanku, pandai besi telah melepas palang besi dari jendelaku, dengan begitu aku menghabiskan lebih banyak waktu di kamarku setiap senja melewati hari-hari musim dingin yang singkat, memandangi hutan sampai kegelapan muncul.

    Seperti yang telah kukatakan, ada orang-orang yang menghuni hutan. Beberapa dari mereka akan keluar untuk Pekan Raya Musim Semi: orang-orang tamak, liar dan berbahaya: beberapa kerdil—kurcaci, cebol dan bongkok; yang lainnya bergigi besar dengan tatapan kosong yang bodoh; beberapa berjari seperti sirip atau capit kepiting. Mereka merayap keluar dari hutan setiap tahun untuk Pekan Raya Musim Semi yang digelar saat salju mencair.

    Sebagai gadis muda yang pernah bekerja di pekan raya itu, orang-orang hutan dulu membuatku takut. Aku meramal para pengunjung pekan raya, membaca nasib mereka pada genangan air tenang; dan ketika aku beranjak dewasa, membaca dari cakram kaca yang dipoles bagian belakangnya dengan perak—hadiah dari seorang pedagang yang berhasil menemukan kudanya yang hilang , setelah kuramal dengan genangan tinta.

    Para pemilik kios Pekan Raya takut pada para orang hutan; mereka akan memaku barang dagangan ke papan kios mereka—lempengan roti jahe atau ikat pinggang akan dipaku ke kayu dengan paku besi yang besar. Jika dagangan mereka tidak dipaku, para orang hutan akan mengambilnya lalu melarikan diri, mengunyah roti jahe dan mencambuk-cambukkan ikat pinggang curian.

    Orang-orang hutan itu memiliki uang, meskipun: tidak banyak, dari sana-sini, terkadang bernoda hijau karena umur atau tanah, wajah pada koin-koin mereka bahkan tidak bisa dikenali oleh penduduk tertua di antara kami. Mereka juga memiliki barang untuk barter, dan begitulah pekan raya ini terus digelar, melayani  para orang buangan dan kurcaci, melayani para perampok (jika mereka berhati-hati) yang memangsa para pengelana dari wilayah di seberang hutan, atau para kaum gipsi, atau kawanan rusa. (Perampokan yang diakui mata hukum. Rusa adalah milik ratu.)

    Tahun-tahun berlalu perlahan dan rakyat bersaksi bahwa diriku memimpin mereka dengan kebijaksanaan. Jantung itu masih tergantung di atas ranjang, berdetak lembut di malam hari. Jika ada seorangpun yang meratapi anak itu, aku tidak pernah tahu: gadis itu adalah sesuatu yang menakutkan, sejak dulu, dan mereka percaya telah terbebas darinya.

    Pekan Raya Musim Semi disusul Pekan Raya Musim Semi selanjutnya: kelimanya, masing-masing lebih menyedihkan, lebih melarat, lebih sepi dari sebelumnya. Lebih sedikit orang hutan yang keluar untuk membeli. Mereka yang keluar tampak sangat lemah dan lesu. Para pedagang berhenti memaku barang dagangan mereka. Di tahun kelima, cukup banyak orang hutan yang muncul dari hutan—sekelompok pria kerdil yang ketakutan.

    Pemimpin Pekan Raya dan pelayannya, datang padaku ketika Pekan Raya selesai. Aku tidak begitu mengenalnya sebelum aku menjadi ratu.

    “Saya tidak datang pada Anda sebagai ratu saya,” ucapnya

    Aku tidak menjawab. Aku mendengarkan.

    “Saya datang pada Anda, karena Anda bijaksana,” lanjutnya. “Ketika Anda masih anak-anak, Anda menemukan anak kuda yang tersesat dengan melihat ke dalam genangan tinta; ketika Anda remaja, Anda menemukan bayi yang hilang karena terpisah dari ibunya dengan melihat ke dalam cermin Anda. Anda mengetahui rahasia dan Anda mampu mencari hal-hal yang tersembunyi. Yang Mulia,” ia bertanya, “apa yang terjadi pada orang-orang hutan? Tidak akan ada Pekan Raya musim semi tahun depan. Pengelana dari kerajaan-kerajaan lain semakin sedikit, orang hutan pun hampir punah. Jika tahun ini pun seperti tahun lalu, kita semua akan kelaparan.”

    Aku memerintahkan pelayan untuk membawakan cerminku. Benda itu sederhana, sebuah kaca dengan sepuhan warna perak di bagian belakang, disimpan dengan hati-hati, dibalut kulit rusa di dalam peti, di kamarku.

    Mereka membawakannya padaku, lalu, aku melihat ke dalamnya:

    Ia berusia dua belas tahun dan bukan lagi anak-anak. Kulitnya masih pucat, mata dan rambutnya hitam pekat, bibirnya semerah darah. Dia mengenakan pakaian yang dikenakannya saat meninggalkan istana untuk  terakhir kalinya—blus dan rok—meskipun pakaian itu terlalu kecil dan penuh tambalan di sana-sini. Di atasnya, dia memakai sebuah jubah kulit dan sebagai ganti sepatu ia menggunakan tas kulit yang diikat dengan tali di atas kaki mungilnya. 

    Dia berdiri di dalam hutan, di samping sebuah pohon.

    Aku melihatnya, dengan mata batinku—aku melihatnya bergerak, melangkah, mengepak-ngepak, melayang dari pohon ke pohon, seperti binatang: kelelawar atau serigala. Dia mengikuti seseorang.

    Seorang biarawan. Laki-laki itu mengenakan kain, kakinya telanjang, berkeropeng dan keras. Janggut dan ubun-ubunnya gondrong, lebat dan tidak dicukur.

    Ia mengawasi dari balik pohon. Akhirnya, laki-laki itu berhenti untuk bermalam dan mulai membuat api, mengumpulkan ranting-ranting dan membongkar sarang burung robin untuk kayu bakar. Dia mengeluarkan kotak-api dari balik jubah, lalu membenturkan batu api ke baja sampai percikan api menyulut sumbu dan menyala. Dua telur yang dia temukan di sarang, ditelannya mentah-mentah. Telur-telur itu tentu tidak seberapa untuk laki-laki bertubuh besar seperti dirinya.

    Dia duduk di sana, di bawah cahaya api, dan gadis itu keluar dari tempat persembunyian. Ia berjongkok di seberang laki-laki itu, menatapnya. Dia menyeringai, seolah sudah lama sekali sejak terakhir kali melihat manusia lain, dan memanggil gadis itu mendekat.

    Gadis itu berdiri dan berjalan mengitari api, dan menunggu di jarak satu lengan. Laki-laki itu menarik jubahnya hingga menemukan sebuah koin—koin tembaga kecil—lalu melemparkannya. Gadis itu menangkap lalu mengangguk, dan berjalan mendekat. Laki-laki itu melepas tali pinggang dan jubahnya terbuka. Tubuhnya berbulu seperti beruang. Gadis itu mendorongnya terlentang. Satu tangan merayap, seperti laba-laba, melewati jalinan rambut yang lebat sampai ke kejantanannya; tangan yang lain bergerak di atas puting kiri. Dia menutup mata dengan satu tangan meraba-raba ke dalam rok. Gadis itu menurunkan mulutnya ke salah satu puting si laki-laki, kulit mulusnya yang putih di atas tubuh coklat berbulu.

    Dia membenamkan giginya jauh ke dalam dada si pria besar. Matanya terbuka, lalu menutup lagi dan gadis itu mulai minum.

    Gadis itu mengangkanginya dan mulai makan. Saat ia melakukannya, cairan kehitaman mulai mengalir di antara kedua kakinya.

    “Apakah Anda tahu apa yang menghalangi para pengembara singgah di kota kita? Apa yang terjadi dengan orang-orang hutan?” tanya Kepala Pekan Raya.

    Aku menutup cermin dengan kulit rusa betina, dan menyampaikan padanya bahwa diriku, secara pribadi akan mengurus hal ini dan membuat hutan kembali aman. 

    Harus kulakukan, meskipun gadis itu membuatku takut. Aku adalah sang ratu.

    Wanita bodoh pasti akan pergi ke hutan dan mencoba menangkap makhluk itu; tapi aku pernah bodoh dan tidak akan jatuh ke lubang yang sama.

    Aku menghabiskan waktu dengan buku-buku tua, karena bisa membaca. Aku menghabiskan waktu dengan wanita-wanita gipsi (yang telah melewati kerajaan kami dari balik gunung ke selatan, daripada melewati hutan ke utara lalu ke barat.)

    Aku mempersiapkan semuanya sendiri, dan mendapatkan bahan-bahan yang diperlukan dan ketika salju pertama mulai jatuh, saat itu aku siap.

    Telanjang, aku berdiri sendirian di menara paling tinggi, merendah di hadapan langit malam dan angin. Jika ada laki-laki yang melihatku di sana, aku pasti menarik perhatiannya; tapi tidak ada siapapun di sana. Awan menyelimuti langit, menyembunyikan dan menyingkap bulan yang memudar.

    Aku menggenggam pisau perak, dan mengiris lengan kiriku—sekali, dua kali, tiga kali. Darah menetes ke dalam bajan, merah tua tampak hitam di bawah sinar bulan.

    Aku menambahkan bubuk dari botol kecil yang tergantung di leherku. Debu cokelat, terbuat dari herba kering dan kulit katak serta beberapa benda lain. Bubuk itu mengentalkan darah dan mencegah pembekuan.

    Aku mengambil tiga apel, satu persatu, lalu perlahan menusuk kulitnya dengan jarum perak. Lalu, aku meletakkan apel itu ke dalam mangkuk perak dan mendiamkannya di sana sementara serpihan salju jatuh perlahan ke atas kulitku, ke atas apel itu dan ke dalam mangkuk berisi darah.

    Ketika fajar mulai menerangi langit, aku menutupi tubuhku dengan jubah abu-abu, dan mengambil apel merah itu dari mangkuk perak, satu persatu, memasukkan masing-masing apel ke keranjang dengan penjepit perak, berhati-hati untuk tidak menyentuhnya. Mangkuk perak itu kosong, tidak ada darah atau debu coklat tersisa, hanya residu-residu hitam.

    Aku menguburkan mangkuk itu di tanah. Lalu memantrai apel-apel itu (seperti dulu, bertahun-tahun yang lalu aku memantrai diriku sendiri) agar semuanya tampak seperti apel-apel yang paling lezat sedunia dengan rona semerah darah.

    Aku menarik tudung jubahku rendah menutupi wajah dan membawa pita serta hiasan rambut yang cantik dengan keranjangku, meletakkan semuanya untuk menutupi apel-apel itu. Aku berjalan sendirian ke dalam hutan hingga aku sampai di persembunyiannya: tebing yang tinggi dengan batuan paras tempat gua-gua terbuka melubangi dinding batu.

    Pepohonan dan bebatuan besar mengelilingi tempat itu, dan aku berjalan dengan tenang dari pohon ke pohon, tanpa menyenggol daun atau ranting yang tumbang. Akhirnya aku menemukan tempat untuk bersembunyi dan aku menunggu, dan aku mengawasi.

    Setelah beberapa jam, sekelompok kurcaci merangkak keluar dari mulut gua—pria-pria kecil berambut kusut, cacat dan berbulu lebat, penghuni tertua negeri ini. Kau tidak akan sering melihat mereka.

    Mereka menghilang ke dalam hutan dan tidak satupun dari mereka menyadari keberadaanku, meskipun salah satu dari mereka berhenti untuk mengencingi batu yang menyembunyikan tubuhku.

    Aku menunggu. Tidak ada lagi yang keluar dari gua.

    Aku mendekati mulut gua dan memanggil ke dalam dengan suara kering nenek tua.

    Luka di pangkal ibu jariku berdenyut-denyut ketika gadis itu datang mendekat, keluar dari kegelapan, telanjang dan sendirian.

    Usianya tiga belas tahun, anak tiriku, dan tidak ada yang menodai kulit putihnya yang sempurna kecuali bekas luka samar di payudara sebelah kirinya, tempat luka robek ketika pemburu menggorok jantungnya.

    Bagian dalam pahanya diwarnai hitam oleh kotoran yang basah.

    Dia menatapku, bersembunyi, seperti yang aku lakukan dengan jubahku. Dia menatapku dengan lapar. “Pita, nyonya,” ucapku serak. “Pita cantik untuk rambutmu..”

    Dia tersenyum dan memanggilku. Menarik; bekas luka di tanganku, menarikku ke arahnya. Aku melakukan apa yang telah kurencanakan, tetapi melakukannya terlalu cepat: aku menjatuhkan keranjangku, dan memekik seperti seperti nenek tua tidak berdaya lalu aku lari.

    Jubah abu-abu menyembunyikanku di balik warna hutan dan aku berlari dengan cepat; dia tidak bisa menangkapku.

    Aku segera kembali ke istana.

    Aku tidak melihatnya. Tapi mari kita bayangkan, gadis itu kembali, frustasi dan lapar, ke gua dan menemukan keranjangku yang jatuh di tanah.

    Apa yang dia lakukan?

    Aku lebih senang membayangkan dia akan bermain-main dengan pita-pita itu, memasang satu pita di rambutnya yang sehitam gagak, melingkarkan pita lain di leher pucatnya atau pinggangnya yang mungil.

    Kemudian, karena penasaran, dia memindahkan kain penutup untuk melihat apa lagi yang ada di dalam keranjang dan menemukan apel merah yang begitu merona.

    Baunya seperti apel segar, tentu saja; tetapi juga berbau darah. Dan dia lapar. Aku membayangkan dia mengambil sebuah apel, menekankan buah itu ke pipi, merasakan halus dan dinginnya buah itu.

    Dan dia membuka mulut dan menggigit …

    Saat aku sampai di kamarku, jantung yang tergantung di puncak ranjangku bersama dengan apel, ham dan sosis kering, telah berhenti berdetak. Jantung itu tergantung di sana, dengan tenang, tanpa gerakan, tanpa kehidupan, dan sekali lagi, aku merasa aman.

    Salju musim dingin kala itu tinggi dan dalam, dan terlambat mencair. Kami semua menunggu musim semi tiba.

    Pekan Raya Musim Semi sedikit meningkat tahun itu. Para orang-orang hutan muncul, meskipun sedikit dan pengembara dari kerajaan tetangga mulai berdatangan. 

    Aku melihat orang-orang hutan berbulu menawar potongan-potongan kaca dan bongkahan kristal serta batu kuarsa. Mereka membayar kaca dengan koin perak—rampasan dari anak tiriku, aku yakin. Ketika mengetahui apa yang mereka beli, penduduk kota bergegas kembali ke rumah mereka mengambil kristal keberuntungan mereka dan beberapa dari mereka mengambil beberapa potong kaca.

    Aku berpikir, terlintas, untuk membunuh mereka, tetapi aku tidak melakukannya. Selama jantung itu tergantung, diam dan dingin tidak berdetak, aku aman, begitu pula orang-orang hutan, dan begitu juga penduduk kota.

    Tahun kedua puluh lima hidupku tiba, dan anak tiriku telah memakan buah beracun dua musim dingin yang lalu, ketika Pangeran datang ke istanaku. Dia tinggi, sangat tinggi, dengan mata hijau yang dingin dan kulit gelap seperti orang-orang dari balik pegunungan.

    Dia berkuda dalam rombongan kecil: cukup besar untuk melindunginya, cukup kecil hingga tidak akan dipandang sebagai ancaman.

    Secara praktis: aku memikirkan aliansi kami, kerajaan yang terbentang dari hutan hingga ke selatan menuju laut; aku teringat akan cintaku yang berambut emas, tewas delapan tahun yang lalu; dan, malam itu, aku pergi ke kamar sang Pangeran.

    Aku bukanlah ratu yang polos, meskipun mendiang suamiku, rajaku, benar-benar adalah kekasih pertamaku, tidak peduli apa yang mereka katakan.

    Awalnya Sang Pangeran tampak bersemangat. Dia memintaku melepas pakaian dalamku dan berdiri di depan jendela yang terbuka lebar, jauh dari api, sampai kulitku dingin membeku. Kemudian dia memintaku berbaring, dengan tangan terlipat di payudara, mata terbuka lebar—tetapi hanya fokus menatap langit-langit. Dia memintaku untuk tidak bergerak dan bernapas sesedikit mungkin. Dia memintaku untuk diam. Dia merentangkan kakiku.

    Saat itulah dia memasukiku.

    Saat dia mulai bergerak di dalamku, aku merasakan pinggulku terangkat. Aku merasakan diriku mulai mengikutinya, gerakan demi gerakan, dorongan demi dorongan. Aku mengerang, tak bisa menahan diri.

    Kejantanannya melepaskanku. Aku mengulurkan tangan dan menyentuh benda kecil yang licin itu.

    “Kumohon,” ucapnya lembut. “Anda tidak boleh bergerak, atau berbicara. Berbaring saja di atas lantai batu, dingin dan cantik.”

    Aku mencoba, tetapi dia telah kehilangan apapun yang membuatnya bergairah dan beberapa saat kemudian, aku meninggalkan kamar Pangeran, umpatan yang keluar dari mulutnya dan isakan air mataku masih bergema di telinga.

    Dia pergi sebelum fajar dengan semua anak buahnya, dan mereka pergi ke hutan.

    Aku membayangkan pinggangnya, sekarang, ketika berkuda, simpul frustasi di dasar kejantanannya. Aku membayangkan bibir pucatnya terkatup rapat. Lalu aku membayangkan rombongan kecilnya melintasi hutan, akhirnya menemukan peti kaca dan kristal anak tiriku. Begitu pucat. Begitu dingin. Telanjang, di balik kaca dan sedikit lebih tua dari umur anak-anak perempuan, dan sudah mati.

    Dalam khayalanku, aku hampir bisa merasakan kejantanannya mengeras tiba-tiba di balik celananya, membayangkan nafsu yang membawanya saat itu, rasa syukur yang dia ucapkan atas keberuntungannya. Aku membayangkan dia bernegosiasi dengan kurcaci-kurcaci itu—menawarkan emas dan rempah-rempah untuk membeli mayat di tengah gundukan kristal.

    Apakah mereka menerima emas itu dengan mudah? Ataukah mereka mendongak untuk menyelidiki anak buah Pangeran di atas kuda-kuda mereka, dengan pedang tajam dan tombak hingga menyadari tidak ada pilihan lain?

    Aku tidak tahu. Aku tidak di sana; aku tidak mengawasi langsung. Aku hanya bisa membayangkan…

    Tangan-tangan, menyingkirkan kaca dan kristal dari tubuh dinginnya. Tangan-tangan, dengan lembut membelai pipinya yang dingin, menggerakkan lengannya yang kaku, bersukacita menemukan mayat itu masih segar dan lentur.

    Apa dia mencumbu gadis itu di sana, di depan semua orang? Ataukah dia membawanya ke sudut terpencil sebelum melakukannya?

    Aku tidak tahu.

    Apakah dia mengguncang potongan apel di tenggorokan gadis itu? Ataukah matanya perlahan terbuka ketika Pangeran bergerak bersama tubuhnya yang dingin; apakah mulutnya terbuka, bibir merahnya terbuka, gigi kuning tajamnya mendekat ke leher Pangeran yang berkulit gelap, darah yang memberikan kehidupan, membasuh tenggorokannya dari potongan apelku, milikku, racunku?

    Aku hanya bisa membayangkan; aku tidak tahu.

    Satu hal yang aku tahu pasti: aku terbangun tengah malam karena jantung itu berdenyut dan berdebar. Darah menetes ke wajahku. Aku terduduk. Tanganku terasa terbakar dan berdenyut seolah ibu jariku dipukul dengan batu.

    Suara menggedor muncul dari pintu. Aku takut, tetapi diriku adalah seorang ratu, dan aku tidak akan menunjukkan rasa takut. Aku membuka pintu.

    Pertama anak buahnya masuk ke kamarku dan berdiri mengelilingiku, dengan pedang tajam dan tombak panjang mereka.

    Lalu Sang Pangeran masuk dan meludahi wajahku.

    Akhirnya, gadis itu masuk, seperti yang dia lakukan ketika pertama kali aku menjadi ratu, ketika ia berumur enam tahun. Dia tidak berubah, tidak sama sekali.

    Dia menarik benang yang menggantungkan jantungnya. Dia menarik buah rowan kering, satu persatu; melepas umbi bawang putih kering lalu menarik jantungnya sendiri, jantung yang berdetak, jantung yang tidak lebih besar dari jantung kambing atau beruang betina—jantung yang berdenyut memompa darah ke tangannya.

    Kukunya pasti setajam kaca: dia membuka dadanya dengan kuku, tepat di garis luka yang dulu. Lubang itu menganga terbuka tanpa darah. Dia menjilat jantungnya ketika darah mengaliri punggung tangan, lalu mendorong benda kecil itu ke dalam lubang.

    Aku melihat dia melakukannya. Aku melihatnya menutup lubang daging itu sekali lagi. Aku melihat bekas luka ungu itu memudar.

    Sang Pangeran tampak khawatir sesaat, tetapi dia tetap melingkarkan lengan di bahu gadis itu, dan mereka berdiri berdampingan dan menunggu.

    Dan dia tetap dingin, kematian tetap bermekaran di bibirnya dan nafsu Pangeran tidak berkurang sama sekali.

    Mereka mengatakan padaku bahwa mereka akan menikah dan kerajaan memang akan bergabung. Mereka mengatakan padaku bahwa aku akan bersama mereka di hari pernikahan mereka.

    Di sini mulai terasa panas.

    Mereka menyebarkan kebohongan tentangku pada penduduk; sedikit kebenaran untuk menambah rasa hidangan, tetapi dicampur dengan begitu banyak kebohongan.

    Aku diikat dan ditahan di sel batu kecil, di bawah istana dan tetap di sana selama musim gugur. Hari ini mereka mengeluarkanku dari sel; menanggalkan kain pakaianku dan memandikanku, dan mencukur kepala dan pinggangku dan melumuri kulitku dengan lemak angsa.

    Salju turun saat mereka menggendongku—dua pria di kedua sisi tangan, dua pria di kedua sisi kaki—benar-benar terbuka dan terentang dan kedinginan, melalui kerumunan di pertengahan musim dingin; dan membawaku ke tempat pembakaran ini.

    Anak tiriku berdiri di sana bersama pangerannya. Dia mengawasiku penuh penghinaan, namun tetap diam.

    Saat mereka mendorongku masuk, sambil mencemooh dan menggerutu, aku melihat satu keping salju mendarat di pipi putihnya tanpa meleleh.

    Mereka menutup pintu tungku pembakaran di belakangku. Di sini semakin panas, dan di luar mereka bernyanyi dan bersorak dan menggedor-gedor sisi tungku pembakaran.

    Dia tidak tertawa, atau mengejek, atau bicara. Dia tidak mencemoohku atau berpaling. Dia menatapku; dan sesaat aku melihat diriku terpantul di matanya.

    Aku tidak akan berteriak. Aku tidak akan memberi mereka kepuasan itu. Mereka akan memiliki tubuhku, tapi jiwaku dan ceritaku adalah milikku dan akan mati bersamaku.

    Lemak angsa ini mulai meleleh dan berkilau di kulitku. Aku tidak akan bersuara sama sekali. Aku tidak akan memikirkan lagi tentang hari ini.

    Aku akan memikirkan kepingan salju yang mendarat di pipinya.

    Aku akan memikirkan rambutnya yang sehitam batu bara, bibirnya yang semerah darah, kulitnya; seputih salju.

  • Puisi Sederhana 쉽게 씨워진 시 [Yun Dong-Ju]

    author = Herlinda Yuniasti
    Mahasiswa Bahasa Korea FIB UGM angkatan 2011
    Pegawai pabrik micin
    Tinggal di Gresik, Jawa Timur, Indonesia

    서시 (序詩)

    죽는 날까지 하늘을 우러러
    한 점 부끄럼이 없기를,
    잎새에 이는 바람에도
    나는 괴로워했다.
    별을 노래하는 마음으로
    모든 죽어가는 것을 사랑해야지
    그리고 나한테 주어진 길을
    걸어가야겠다

    오늘 밤에도 별이 바람에 스치운다

    Prolog

    sampai hari kematianku, ku pandangi langit
    berharap tak ada satu pun yang akan membuatku malu,
    dedaunan yang tertiup angin pun
    turut menggangguku.
    Hati bernyanyi lagu tentang bintang
    kan kucintai semua yang pasti mati
    dan jalan yang diberikan untukku seorang
    biar kulalui

    Malam ini pun bintang beterbangan tertiup angin.

    쉽게 씨워진 시

    창밖에 밤비가 속살거려
    육첩방은 남의 나라,

    시인이란 슬픔 천명인줄 알면서도
    한줄 시를 적어볼까,

    땀내와 사랑내 포그니 품긴
    보내주신 학비봉투를 받어

    대학 노트를 끼고
    늙은 교수의 강의 들으려 간다.

    생각해 보면 어린 때 동무를
    하나, 둘, 죄다 잃어 버리고

    나는 무얼 바라
    나는 다만, 홀로 침전하는 것일까?

    인생은 살기 어렵다는데
    시가 이렇게 쉽게 씨워지는 것은
    부끄러운 일이다.

    육첩방은 남의 나라
    창밖에 빔비가 속살거이리는데,

    등불을 밝혀 어둠을 조곰 내몰고,
    시대처럼 올 아침을 기다리는 최후의 나,

    나는 나에게 적은 손을 내밀어
    눈물의 위안으로 잡는 최초의 악수

    Puisi Sederhana

    Hujan malam berbisik di luar jendela
    Dari kamar beralas tatami di negeri asing,

    Kutahu penyair adalah takdir yang menyedihkan
    Tapi biarkan kutulis selarik puisi,

    Kuterima amplop berisi uang sekolah
    Sesak aroma keringat dan kasih sayang

    Kuselip catatan di lenganku,
    Pergi mendengar kuliah dari dosen yang tua.

    Jika kuingat tentang teman-teman kecilku
    Satu-dua, mereka hilang

    Aku, apa yang kuharap
    Jika hanya aku, yang tenggelam sendiri?

    Konon hidup itu berat tapi puisi ini mudah saja ku tulis
    sungguh membuatku malu

    Dari kamar beralas tatami di negeri asing,
    Hujan malam berbisik di luar jendela

    Kunyalakan lampu, mengusir kegelapan,
    Aku yang terakhir, menunggu datangnya pagi seperti sebuah masa,

    Kuulurkan tangan kecilku pada diriku sendiri
    Jabat tangan pertama dalam tangis yang menenangkan

    자화상

    산모퉁이를 돌아 논가 외딴 우물을 홀로 찾아가선
    가만히 들여다 봅니다.

    우물 속에는 달이 밝고 구름이 흐르고 하늘이 펼치고
    파아란 바람이 불고 가을이 있습니다.

    그리고 한 사나이가 있습니다.
    어쩐지 그 사나이가 미워져 돌아갑니다.

    돌아가다 생각하니 그 사나이가 가엾어집니다.
    도로가 들여다보니 사나이는 그대로 있습니다.

    다시 그 사나이가 미워져 돌아갑니다.
    돌아가다 생각하니 그 사나이가 그리워집니다.

    우물 속에는 달이 밝고 구름이 흐르고 하늘이 펼치고
    파아란 바람이 불고 가을이 있고
    추억처럼 사나이가 있습니다.

    Potret Diri

    Di sudut bukit, sendirian kucari sebuah sumur terpencil
    Diam-diam kulihat ke dalamnya.

    Di kedalaman sumur, bulan bersinar terang, awan berjalan, langit terbentang
    angin bertiup, dan musim gugur.

    Juga seorang lelaki.
    Entah bagaimana, aku benci lelaki itu kemudian ku bergegas pergi

    Setelah kutinggalkan, lelaki itu terlihat menyedihkan.
    Lalu aku kembali, lelaki itu masih ada di sana.

    Kubenci ia lagi, dan meninggalkannya di sana.
    Setelah kutinggalkan, aku merindukannya.

    Di kedalaman sumur itu, bulan bersinar terang, awan berjalan, langit terbentang,
    angin bertiup, musim gugur,
    Juga seorang lelaki, layaknya sebuah kenangan

    Profil Yun Dong-Ju:

    Yun Dong-Ju adalah penyair Korea kelahiran 30 Desember 1917, di Longjin, Jilin, Tiongkok. Pada saat Yun Dong-Ju masih bersekolah di Yeonhui Technical School (yang sekarang adalah Yonsei University), Jepang mengeluarkan kebijakan kepada masyarakat Korea untuk mengubah nama mereka menjadi nama Jepang. Yun Dong-Ju mengubah namanya menjadi Hiranuma Doju, dan berkuliah ke Rikkyo University Tokyo, Jepang jurusan Sastra Inggris pada 1942 sebelum pindah ke Doshisha University Kyoto enam bulan setelahnya. Yun Dong-Ju ditangkap Jepang dengan dakwaan ikut serta gerakan kemerdekaan oleh mahasiswa-mahasiswa Korea di Jepang. Dia meninggal di Penjara Fukuoka, Jepang pada 16 Februari 1945 bersama dengan sekitar 1800 orang lainnya karena suntikan misterius. Enam bulan setelah kematiannya, Jepang kalah dalam peperangan dan Korea merdeka.

    Pada Januari 1948, buku kumpulan puisinya yang berjudul 하늘과 바람과 별과 시 (Langit, dan Angin, dan Bintang, dan Puisi) diterbitkan. Puisi-puisi Yun Dong-Ju terkenal dengan tema kehidupan manusia dan penderitaan, kekhawatiran terhadap realita negaranya yang menderita karena pendudukan Jepang.

    Kisah hidupnya telah difilmkan, berjudul : Dongju The Portrait of a Poet (2016)

  • Puisi-puisi Naomi Shihab Nye

    author = A. Nabil Wibisana

    Brokat Merah

    Kaum Arab kerap berkata,
    Saat seorang asing tiba di depan pintumu
    beri ia makan selama tiga hari
    sebelum bertanya siapa ia,
    dari mana asalnya,
    ke mana ia menuju.
    Dengan begitu, ia akan punya
    cukup daya untuk menjawab.
    Atau, selepas tiga hari, kau telah
    berteman baik dengannya sehingga
    pertanyaan-pertanyaan itu tak penting lagi.

    Mari kita ulangi.
    Kau mau nasi? Kacang pinus?
    Pakailah bantal brokat merah ini.
    Anakku akan menyediakan air minum
    untuk kudamu.

    Tidak, aku tak sibuk saat kau datang!
    Aku tak merencanakan kesibukan pula.
    Itu hanya perisai yang orang-orang pakai
    untuk berlagak punya tujuan di dunia ini.

    Aku menolak dibelenggu.
    Piringmu menunggu.
    Kami akan racik daun min segar
    ke dalam tehmu.

    Banyak yang Memintaku untuk Tidak Melupakan

    Di mana kau menampung semua orang ini?
    Pembuat sepatu yang terbatuk-batuk setengah mati.
    Seorang pria yang memuntir jerami menjadi sapu.
    Guruku, oh guruku. Aku selalu terisak
    ketika memikirkan guruku.
    Petani zaitun yang kehilangan setiap jengkal lahan,
    kehilangan setiap pohon,
    yang hanya bisa duduk sembari memegangi kepala
    di ruang tamu putranya bertahun-tahun kemudian.
    Kuselipkan mereka di laci bersama kancing manset dan dasi kupu-kupu.
    Menyentuh mereka setiap malam sebelum aku terlelap.
    Berdoa untuk kebahagiaan dan kedamaian mereka.
    Kedamaian di hati. Tak heran kita semua terjerat masalah hati.
    Tapi keadilan tak pernah tersenyum pada kita. Mengapa tidak?
    Aku berupaya mengajak orang-orang Amerika untuk memikirkan mereka.
    Tapi orang-orang itu terlalu terkungkung urusan-urusan mereka sendiri
    untuk bisa membayangkan nasib kita. Meskipun sebenarnya, kau tak bisa
    menyalahkan mereka pula. Seberapa banyak aku memikirkan Afrika?
    Aku selalu bersedih untuk tempat-tempat rawan yang tak kuasa kupikirkan.

    Bawang Merah

    “Konon bawang merah berasal dari India. Di Mesir, bawang merah pernah
    digunakan sebagai objek pemujaan—mengapa, aku belum mencari tahu.
    Dari Mesir, bawang merah masuk ke Yunani, lalu ke Italia, dan akhirnya
    ke seluruh wilayah Eropa.”

    Better Living Cookbook

    Saat memikirkan betapa jauh bawang merah telah mengembara
    hingga tiba di panciku hari ini, aku bisa bersimpuh dan memuja
    segala keajaiban kecil yang terlupakan,
    kulit retak yang dikelupas di alas pengering,
    lapisan putih berkilau yang begitu selaras,
    bagaimana pisau membelah bawang merah
    dan bawang merah bergelimpang di talenan,
    sebuah sejarang terungkap.
    Dan aku tak akan pernah menghardik bawang merah
    karena menyebabkan tangis.
    Air mata memang mesti menetes
    untuk sesuatu yang mungil dan terlupakan.
    Betapa pada santap siang, kita duduk mengomentari
    bagaimana tekstur daging dan aroma rempah
    tapi tak sekalipun membahas si bening bawang merah,
    yang kini lumpuh, kini terbelah,
    atau kerja abadi bawang merah:
    Demi kepentingan yang lain,
    ia sembunyi.

    Pintu A-4

    Saat berjalan santai di seputar ruang tunggu Bandara Albuquerque,
    setelah tahu penerbanganku tertunda selama beberapa jam,
    aku mendengar satu pengumuman: “Jika Anda berada di sekitar Pintu A-4
    dan paham bahasa Arab, tolong segera mendatangi Pintu A-4.”

    Nah—kau berhenti sejenak. Pintu A-4 adalah pintuku. Aku pergi ke sana.

    Seorang perempuan tua dengan pakaian tradisional Palestina, gaun berhias
    sulaman yang biasa dipakai nenekku, rebah di lantai, meratap. “Tolong,”
    kata seorang pegawai maskapai. “Bicaralah padanya. Apa masalahnya?
    Kami sampaikan pesawat akan terlambat dan ia langsung histeris.”

    Aku membungkuk dan melingkarkan lenganku ke bahu perempuan tua itu,
    bicara patah-patah. “Shu-dow-a, Shu-bid-uck Habibti? Stani schway,
    Min fadlick, Shu-bit-se-wee?” Saat mendengar kata-kata yang ia akrabi,
    meskipun diucapkan terbata-bata, ia berhenti menangis. Ia pikir pesawatnya
    betul-betul dibatalkan. Ia mesti berada di El Paso untuk menjalani perwatan medis
    yang penting esok hari. Aku berujar, “Tidak, kita tetap berangkat, hanya sedikit
    terlambat, siapa yang akan menjemputmu? Mari kita hubungi.”

    Kami menelepon putranya. Aku bicara padanya dalam bahasa Inggris.
    Aku bilang aku akan menemani ibunya sampai kami naik pesawat nanti.
    Ia bicara pada ibunya. Lalu kami menelepon putranya yang lain, sekadar
    bersenang-senang. Lantas kami menelepon ayahku dan mereka berdua bercakap
    dalam bahasa Arab dan, tentu saja, akhirnya tahu kalau mereka punya sepuluh
    teman yang sama. Kemudian, kupikir apa salahnya menelepon beberapa penyair
    Palestina yang kukenal dan membiarkan mereka berbincang? Percakapan yang
    menghabiskan waktu dua jam.

    Ia banyak tertawa saat itu. Berkisah tentang hidupnya, menepuk-nepuk lututku,
    menjawab berbagai pertanyaan. Ia mengambil sekantung kue mamool buatan
    sendiri—kue renyah dengan potongan kurma dan kacang yang dibaluri gula halus—
    dari tasnya dan menawarkan kue itu pada para perempuan di sana. Aku takjub,
    tak seorang pun menolak. Serupa sakramen. Turis dari Argentina, ibu-ibu dari
    California, perempuan cantik dari Laredo—mulut kami semua belepotan gula halus.
    Dan kami tersenyum. Rasanya tiada kue yang lebih lezat.

    Lantas pihak maskapai membuka lemari pendingin dan dua pramugari berkeliling
    membagikan jus apel pada kami semua dan gadis-gadis itu pun akhirnya ikut
    berlumur gula halus. Dan kuperhatikan sahabat baruku—kini kami bergandeng
    tangan—menyimpan sebuah pot tanaman di dalam tasnya, sejenis tanaman obat
    dengan daun berbulu lembut. Tradisi lawas yang terus dipelihara. Selalu membawa
    tanaman. Selalu berakar pada tempat asalmu.

    Aku mengedarkan pandangan dan berpikir, inilah dunia yang ingin kutinggali.
    Dunia yang dibagi bersama. Tiada seorang pun di ruang tunggu ini—selepas tangis
    kebingungan itu terhenti—merasa was-was tentang orang lain. Mereka menyambut
    kue itu. Aku pun ingin memeluk semua perempuan di sana.

    Semua ini masih bisa terjadi di mana pun. Tak segalanya sirna.

    Bahu

    Seorang pria melintasi jalan raya di tengah hujan,
    melangkah hati-hari, menengok dua kali ke utara dan selatan
    sebab ia memanggul putranya di atas bahu.

    Jangan ada mobil yang memercikkan genangan air.
    Jangan ada mobil yang terlalu dekat pada bayangannya.

    Pria ini membawa kargo paling berharga di dunia
    meskipun ia tak ditandai.
    Tiada keterangan tertulis di jaket si bocah: PECAH-BELAH,
    PERLAKUKAN DENGAN HATI-HATI.

    Telinganya dipenuhi embusan napas.
    Ia mendengar senandung mimpi si bocah
    jauh di dalam dirinya.

    Kita tak akan bisa
    hidup di dunia ini
    jika kita tak mau berbuat yang sama
    kepada sesama manusia.

    Jalan hanya akan melebar.
    Hujan tak akan berhenti turun.

    Mengepal

    Untuk pertama kali, di jalan di utara Tampico,
    Aku merasa hidup tergelincir keluar dari diriku,
    bunyi dentum di gurun, keras dan semakin keras.
    Aku tujuh tahun saat itu, bersandar di kursi mobil
    mengamati pohon-pohon palem yang berputar-putar
    membentuk pola memusingkan di kaca jendela.
    Perutku, melon yang terbelah lebar di bawah kulit.

    “Bagaimana kau tahu kalau kau akan mati?”
    aku bertanya pada ibuku.
    Kami telah berkendara selama beberapa hari.
    Dengan keyakinan yang garib, ia menjawab,
    “Saat kau tak mampu lagi mengepal.”

    Bertahun-tahun kemudian, aku tersenyum memikirkan
    perjalanan itu, pos perbatasan yang mesti kami lintasi
    secara terpisah, jejak kesengsaraan yang tak terjawab.
    Aku yang tak mati, yang terus hidup, masih bersandar
    di kursi belakang mobil dengan semua pertanyaanku,
    mengepal dan membuka telapak tangan yang mungil.

    —Enam puisi di atas diterjemahkan dari laman Academy of American Poets (http://poets.org/poems/naomi-shihab-nye), dengan judul asli, berturut-turut: 1) Red Brocade, 2) Many Asked Me Not to Forget Them, 3) The Traveling Onion, 4) Gate A-4, 5) Shoulders, dan 6) Making a Fist.

    TENTANG PENYAIR

    Naomi Shihab Nye, lahir di St. Louis, Missouri, Amerika Serikat pada 12 Maret 1952. Ayahnya seorang pengungsi Palestina, ibunya seorang Amerika keturunan Jerman-Swiss. Naomi melewati masa remajanya di Yerusalem dan San Antonio, Texas. Melalui puisi-puisinya, Naomi menyuarakan pengalaman seorang Arab-Amerika, khususnya yang berkaitan dengan tema warisan kultural dan perdamaian dalam spirit kemanusiaan. Buku kumpulan puisi yang telah diterbitkan, antara lain: Red Suitcase (1994), Fuel (1998), 19 Varieties of Gazalle: Poems of Middle East (2002), Transfer (2011), dan The Tiny Journalist (2019). Ia menerima sejumlah penghargaan, antara lain: Pushcart Prize, Guggenheim Fellow, Academy of American Poets’ Lavan Award, dan Lon Tinkle Award for Lifetime Achievement. Kini ia tinggal dan bekerja di San Antonio, Texas.

  • Puisi-Puisi Kim Chun Su

    author = Herlinda Yuniasti

    샤갈의 마을에 내리는 눈

    샤갈의 마을에는 3월(三月)에 눈이 온다.
    봄을 바라고 섰는 사나이의 관자놀이에
    새로 돋은 정맥(靜脈)이
    바르르 떤다.
    바르르 떠는 사나이의 관자놀이에
    새로 돋은 정맥(靜脈)을 어루만지며
    눈은 수천 수만의 날개를 달고
    하늘에서 내려와 샤갈의 마을의
    지붕과 굴뚝을 덮는다.
    3월(三月)에 눈이 오면
    샤갈의 마을의 쥐똥만한 겨울 열매들은
    다시 올리브빛으로 물이 들고
    밤에 아낙들은
    그 해의 제일 아름다운 불을
    아궁이에 지핀다.

    Salju turun di desa Chagall

    Bulan Maret, salju turun di desa Chagall.
    Di pelipis pemuda yang berdiri melihat musim semi itu
    Muncul pembuluh vena baru
    Yang bergetar.
    Usaplah pembuluh vena yang baru muncul
    Di pelipis pemuda yang bergetar itu
    Salju punya ribuan sayap
    Lalu ia turun dari surga
    Menutup cerobong asap dan atap desa Chagall.
    Bila salju turun di bulan Maret
    Buah-buahan musim dingin di desa Chagall
    Kembali berwarna hijau pudar
    Dan di malam hari, para wanita
    Membuat api terindah tahun itu
    Di perapian.

    내가 그의 이름을 불러 주기 전에는
    그는 다만
    하나의 몸짓에 지나지 않았다.

    내가 그의 이름을 불러 주었을 때
    그는 나에게로 와서
    꽃이 되었다.

    내가 그의 이름을 불러 준 것처럼
    나의 이 빛깔과 향기에 알맞는
    누가 나의 이름을 불러 다오.
    그에게로 가서 나도
    그의 꽃이 되고 싶다.

    우리들은 모두
    무엇이 되고 싶다.
    너는 나에게 나는 너에게
    잊혀지지 않는 하나의 의미가 되고 싶다.

    Bunga

    Sebelum kupanggil namanya
    Ia
    Hanya sebuah gerak tubuh.

    Saat kupanggil namanya
    Ia
    datang padaku menjadi bunga.

    Seperti saat kupanggil namanya
    Panggillah aku dengan cahaya
    dan wangi yang selaras.
    Aku juga ingin
    Menghampirinya, menjadi bunga.

    Kita semua
    Ingin menjadi sesuatu.
    Kau bagiku, aku bagimu
    Menjadi suatu makna tak terlupakan

    꽃을 위한 서시(序詩)

    나는 시방 위험(危險)한 짐승이다.
    나의 손이 닿으면 너는
    미지(未知)의 까마득한 어둠이 된다.

    존재(存在)의 흔들리는 가지 끝에서
    너는 이름도 없이 피었다 진다.

    눈시울에 젖어 드는 이 무명(無名)의 어둠에
    추억(追憶)의 한 접시 불을 밝히고
    나는 한밤내 운다.

    나의 울음은 차츰 아닌밤 돌개바람이 되어
    탑(塔)을 흔들다가
    돌에까지 스미면 금(金)이 될 것이다.

    …… 얼굴을 가리운 나의 신부(新婦)여.

    Prolog untuk Setangkai Bunga

    Aku kini binatang berbahaya.
    Bila tersentuh tanganku, kau
    ‘kan jadi kegelapan samar tak dikenal.

    Di ujung ranting yang bergoyang
    Kau mekar tanpa nama.

    Dalam gelap tanpa nama ini, basah kuyup karna salju
    Sepiring api kenangan menyala
    Dan kumenangis sepanjang malam.

    Tangisku perlahan menjadi badai.
    Mengguncang menara
    Hingga menjadi emas bila meresap di bebatuan.

    …… oh, pengantin wanitaku yang tertutup wajahnya.

    나목(裸木)과 시(詩)

    겨울하늘은 어떤 불가사의의 깊이에로 사라져가고,
    있는 듯 없는 듯 무한은
    무성하던 잎과 열매를 떨어뜨리고
    무화과나무를 관체로 서게 하였는데,
    그 예민한 가지 끝에
    닿을 듯 닿을 듯 하는 것이
    시일까
    언어는 말을 잃고
    잠자는 순간
    무한은 미소하며 오는데
    무성하던 잎과 열매는 역사의 사건으로 떨어져 가고,
    그 예민한 가지 끝에
    명멸하는
    시일까.

    Pohon Gundul dan Puisi

    Langit musim dingin lenyap di kedalaman misterius,
    Keabadian, seperti ada dan tiada
    Menggugurkan buah dan dedaunan yang lebat
    Dan membuat pohon ara berdiri gundul,
    Apakah itu puisi
    Yang seolah mencapai ujung
    Ranting yang sensitif itu?
    Saat bahasa terlelap
    Dan kehilangan kata-kata
    Keabadian tersenyum kecil
    Buah dan dedaunan yang lebat jatuh sebagai sejarah,
    Apakah itu puisi
    Yang berkedip di ujung
    Ranting yang sensitif itu?

    Kim Chun Su:

    Penyair Korea kelahiran 1922 di Chungmu, sebuah kota di pesisir Selatan Korea. Salah satu sastrawan modern Korea yang mendapatkan banyak cinta dari masyarakat dari dulu hingga sekarang. Puisinya berjudul ‘Bunga’ adalah karya representatifnya. Puisi ‘Bunga’ ditulis pada 1952. Saat itu Semenanjung Korea sedang perang (1950-1953), dan banyak korban yang berguguran. Kim Chun Su lantas berpikir, mengapa orang dengan mudahnya saling membunuh? Bagaimanakah cara hidup humanis itu? Kemudian Ia menjawab pertanyaan itu melalui puisi ‘Bunga’. Mulailah berbagi kasih dengan orang lain dari hal paling sederhana, yaitu saling memanggil nama masing-masing.

    Kim Chun-Su sempat berkuliah di Departemen Seni Universitas Nihon di Tokyo, tetapi tidak sampai lulus karena ditangkap oleh polisi militer Jepang dan dibui selama 7 bulan di Yokohama dan Tokyo. Saat pembebasan Korea, Kim Chun Su menjadi guru SMA di kampung halamannya sambil berpartisipasi dalam gerakan budaya lokal dengan penyair lain, seniman, dan musisi lokal. Pada 1961 Kim Chun Su menjadi pengajar di Universitas Kyungbuk Daegu, dan pada 1979 mengajar di Universitas Yeungnam.