Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Salju, Cermin, Apel [Neil Gaiman]

author = Devi Santi Ariani

Aku tidak tahu makhluk apa gadis ini. Tidak ada yang tahu. Dia membunuh ibunya sendiri ketika lahir, namun hal itu tidak cukup untuk menjelaskan apapun.

Mereka menyebutku bijak, tetapi aku tahu diriku jauh dari bijak, karena semua yang telah kuramalkan sebelumnya, kenangan yang membeku di genangan air atau dalam cerminku yang dingin. Jika diriku bijak, aku tidak akan mencoba mengubah apa yang kulihat. Jika diriku bijak, aku akan bunuh diri sebelum bertemu dengan gadis itu, sebelum aku terpesona pada laki-laki itu. 

Seorang penyihir bijaksana, begitu mereka menyebut diriku, dan aku telah melihat wajah laki-laki itu dalam mimpi-mimpiku dan dalam setiap refleksi sepanjang hidupku: enam belas tahun memimpikannya sebelum dia menarik kekang kudanya perlahan mendekati jembatan pagi itu, dan menanyakan namaku. Dia membantuku naik dan kami berkuda bersama menuju pondok kecilku, wajahku terkubur dalam rambut keemasannya. Dia meminta semua yang kumiliki; hak seorang raja, tentu saja.

Janggutnya perunggu-kemerahan dalam cahaya pagi dan aku mengenalnya, bukan sebagai raja, karena saat itu aku tidak tahu apapun tentang raja, aku mengenalnya sebagai kekasihku. Dia mengambil semua yang dia inginkan dariku, hak raja, tentu saja, tetapi dia kembali padaku keesokan harinya dan malam selanjutnya: janggutnya begitu merah, matanya lebih biru dari langit musim panas, cokelat kulitnya begitu lembut sewarna gandum.

Putrinya adalah anak tunggal: tidak lebih dari lima tahun ketika aku datang ke istana. Potret mendiang ibunya tergantung di kamarnya di menara keputrian; mendiang ratu bertubuh tinggi, rambutnya sewarna kayu gelap, matanya coklat tua. Dia tampak begitu berbeda dari sang putri yang sangat-sangat pucat.

Gadis itu tidak pernah mau makan bersama kami.

Aku tidak tahu dimana, di istana ini, dia makan.

Aku punya kamarku sendiri. Suamiku sang raja, dia juga memiliki kamarnya sendiri. Ketika dia menginginkanku, dia akan memanggilku, dan aku akan pergi kepadanya, dan menghiburnya dan menghibur diriku sendiri bersamanya.

Suatu malam, beberapa bulan setelah aku diboyong ke istana, sang putri datang ke kamarku. Dia berumur enam tahun. Diriku yang sedang menyulam di bawah cahaya lampu, menyipitkan mata di balik asap lampu penerangan yang mengepul tipis. Saat aku mendongak, dia berdiri di sana.

“Putri?”

Diam. Matanya sehitam batu bara, yang juga sehitam rambutnya; bibirnya lebih merah dari darah. Sang putri menatapku lalu tersenyum. Giginya tampak tajam, bahkan di bawah cahaya lampu.

“Apa yang kau lakukan begitu jauh dari kamarmu?”

“Aku lapar,” ujarnya, seperti anak-anak kebanyakan.

Saat itu musim dingin, saat makanan segar sama halnya seperti memimpikan kehangatan dan sinar matahari; tapi aku punya untaian apel utuh, tanpa biji, dikeringkan, digantung dengan tali di balok kayu di atas ranjangku. Aku menarik satu apel untuknya.

“Ini..”

Musim gugur adalah waktu untuk mengeringkan, mengawetkan, memetik apel dan mengumpulkan lemak angsa. Musim dingin adalah waktu kelaparan, salju dan kematian; dan saat itu adalah waktu pesta pertengahan musim dingin ketika sudah saatnya membalurkan lemak angsa ke kulit babi utuh, mengisinya dengan apel kering musim gugur lalu memanggang dan membakarnya, dan kita bersiap untuk menyantap semuanya.

Dia mengambil apel kering dariku dan mulai mengunyah dengan giginya yang kuning dan tajam.

“Enak?”

Dia mengangguk. Aku selalu takut pada sang putri kecil, tetapi saat itu diriku mulai terbuka padanya dan dengan jemariku, perlahan, aku membelai pipinya. Dia menatapku dan tersenyum—tersenyum sekilas—lalu menancapkan giginya ke pangkal ibu jariku, menyedot darah.

Aku menjerit, karena kesakitan dan terkejut; tapi dia menatapku dan aku terdiam seketika.

Sang Putri kecil menempelkan mulutnya ke tanganku dan menjilat, menghisap dan minum. Ketika selesai, dia meninggalkan kamarku. Di bawah tatapanku, luka yang dia buat mulai menutup,  berkoreng dan sembuh. Keesokan harinya hanya tersisa bekas luka yang terlihat seperti luka lama, seolah aku mungkin tanpa sengaja melukai tangan dengan pisau saku ketika aku masih kanak-kanak.

Aku membeku karenanya, ditandai dan didominasi. Itu membuatku takut, lebih dari darah yang diminumnya. Setelah malam itu aku mengunci kamarku ketika senja, memalang pintu dengan palang kayu ek, dan meminta pandai besi membuat jeruji di jendelaku.

Suamiku, kekasihku, rajaku, semakin jarang memanggilku dan ketika aku datang kepadanya, dia selalu lesu, pusing dan bingung. Dia tidak bisa lagi bercinta seperti pria seharusnya; dan dia tidak mengizinkanku menyenangkannya dengan mulutku: ketika aku mencoba, dia mulai menangis dan meraung-raung. Aku menarik mulutku dan memeluknya erat-erat, sampai tangisannya berhenti dan dia tertidur, seperti anak-anak.

Aku mengelus kulitnya saat dia tertidur. Kulit yang penuh bekas luka. Tapi aku tidak bisa mengingat bekas luka itu dari hari-hari sebelum kami menikah, kecuali satu luka di sisi pinggangnya, luka tanduk babi hutan ketika dia pergi berburu saat masih muda.

Tidak butuh waktu lama untuknya berubah menjadi bayangan dari laki-laki yang pernah kutemui dan kucintai di jembatan itu. Tulangnya terlihat biru dan putih di bawah kulitnya. Aku bersamanya sampai akhir: tangannya sedingin batu, matanya sewarna kabut kebiruan, rambut dan janggutnya memudar, tanpa nafsu dan lemas. Dia meninggal tanpa tenaga, kulitnya dari ujung kepala sampai ujung kaki penuh luka gigitan kecil. Bobot tubuhnya hampir tak tersisa. Tanah membeku dengan keras dan kami tidak bisa menggali kuburan untuknya, jadi kami membuat piramida dari batu di atas tubuhnya sebagai peringatan, karena hanya sedikit yang tersisa darinya untuk dilindungi dari binatang kelaparan dan burung-burung.

Maka, tinggallah diriku sebagai ratu.

Dan diriku begitu lugu, bodoh dan muda—delapan belas musim panas telah datang dan pergi sejak pertama kali aku melihat cahaya matahari—dan aku tidak melakukan apa yang harus aku lakukan. 

Jika hari ini, aku akan menggorok jantungnya, tentu itu yang akan kulakukan. Tapi kemudian aku harus memenggal kepala, lengan dan kakinya. Aku ingin mencincang isi perutnya. Dan aku akan menonton, di alun-alun kota, saat algojo memanaskan api hingga berwarna putih lalu tanpa berkedip, melemparkan semua potongan tubuh gadis itu ke dalam api. Aku akan menyiapkan pemanah di sekitar alun-alun, yang akan menembak burung atau hewan yang mendekati api; gagak, anjing atau elang, atau tikus sekalipun. Dan aku tidak akan menutup mataku sampai sang putri menjadi abu, dan angin lembut menerbangkannya seperti salju.

Aku tidak melakukannya, dan kami membayar atas kesalahan itu.

Mereka bilang aku telah dibodohi; bahwa benda itu bukan jantungnya. Bahwa benda itu adalah jantung binatang—rusa jantan, mungkin, atau babi hutan. Itu yang mereka katakan dan mereka salah.

Dan beberapa orang berkata (tapi gadis itu yang berbohong, bukan aku) bahwa aku menerima dan menyantap jantungnya. Kebohongan dan kebenaran yang setengah-setengah jatuh seperti salju, menutupi hal-hal yang bisa kuingat, hal-hal yang pernah kulihat. Pemandangan, terlihat asing setelah turunnya salju; begitulah gadis itu telah merubah hidupku.

Ada bekas luka pada cintaku, pada paha ayahnya, pada testis dan alat kelaminnya saat mendiang raja mangkat.

Aku tidak mengikuti mereka. Mereka membawanya di siang hari, ketika ia tertidur dan dalam kondisi lemah. Mereka membawanya ke jantung hutan, dan di sana mereka membuka pakaiannya, dan mereka menggorok jantungnya, dan meninggalkan mayat itu di parit agar hutan menelannya.

Hutan itu penuh kegelapan, batas dari banyak kerajaan; tidak akan ada yang cukup bodoh untuk mengklaim wilayahnya. Para buronan hidup di dalam hutan, para perampok tinggal di hutan, begitu juga dengan serigala. Kau bisa berkuda membelah hutan selama dua belas hari tanpa bertemu siapapun; namun tetap ada berpasang-pasang mata yang mengawasimu sepanjang waktu.

Mereka membawa jantungnya padaku. Aku tahu pasti jantung itu miliknya—tidak mungkin ada jantung babi atau rusa yang terus berdetak setelah digorok dari tubuhnya, seperti jantung ini.

Aku membawanya ke kamarku.

Aku tidak memakannya: aku menggantungnya di atas ranjang, mengikatnya pada seutas benang yang kurangkai dengan buah beri rowan, jingga kemerahan seperti dada burung robin, dan beberapa umbi bawang putih.

Di luar, salju telah turun, menutupi jejak kaki para pemburuku, menutupi tubuh kecil yang terbaring jauh di dalam hutan.

Sesuai permintaanku, pandai besi telah melepas palang besi dari jendelaku, dengan begitu aku menghabiskan lebih banyak waktu di kamarku setiap senja melewati hari-hari musim dingin yang singkat, memandangi hutan sampai kegelapan muncul.

Seperti yang telah kukatakan, ada orang-orang yang menghuni hutan. Beberapa dari mereka akan keluar untuk Pekan Raya Musim Semi: orang-orang tamak, liar dan berbahaya: beberapa kerdil—kurcaci, cebol dan bongkok; yang lainnya bergigi besar dengan tatapan kosong yang bodoh; beberapa berjari seperti sirip atau capit kepiting. Mereka merayap keluar dari hutan setiap tahun untuk Pekan Raya Musim Semi yang digelar saat salju mencair.

Sebagai gadis muda yang pernah bekerja di pekan raya itu, orang-orang hutan dulu membuatku takut. Aku meramal para pengunjung pekan raya, membaca nasib mereka pada genangan air tenang; dan ketika aku beranjak dewasa, membaca dari cakram kaca yang dipoles bagian belakangnya dengan perak—hadiah dari seorang pedagang yang berhasil menemukan kudanya yang hilang , setelah kuramal dengan genangan tinta.

Para pemilik kios Pekan Raya takut pada para orang hutan; mereka akan memaku barang dagangan ke papan kios mereka—lempengan roti jahe atau ikat pinggang akan dipaku ke kayu dengan paku besi yang besar. Jika dagangan mereka tidak dipaku, para orang hutan akan mengambilnya lalu melarikan diri, mengunyah roti jahe dan mencambuk-cambukkan ikat pinggang curian.

Orang-orang hutan itu memiliki uang, meskipun: tidak banyak, dari sana-sini, terkadang bernoda hijau karena umur atau tanah, wajah pada koin-koin mereka bahkan tidak bisa dikenali oleh penduduk tertua di antara kami. Mereka juga memiliki barang untuk barter, dan begitulah pekan raya ini terus digelar, melayani  para orang buangan dan kurcaci, melayani para perampok (jika mereka berhati-hati) yang memangsa para pengelana dari wilayah di seberang hutan, atau para kaum gipsi, atau kawanan rusa. (Perampokan yang diakui mata hukum. Rusa adalah milik ratu.)

Tahun-tahun berlalu perlahan dan rakyat bersaksi bahwa diriku memimpin mereka dengan kebijaksanaan. Jantung itu masih tergantung di atas ranjang, berdetak lembut di malam hari. Jika ada seorangpun yang meratapi anak itu, aku tidak pernah tahu: gadis itu adalah sesuatu yang menakutkan, sejak dulu, dan mereka percaya telah terbebas darinya.

Pekan Raya Musim Semi disusul Pekan Raya Musim Semi selanjutnya: kelimanya, masing-masing lebih menyedihkan, lebih melarat, lebih sepi dari sebelumnya. Lebih sedikit orang hutan yang keluar untuk membeli. Mereka yang keluar tampak sangat lemah dan lesu. Para pedagang berhenti memaku barang dagangan mereka. Di tahun kelima, cukup banyak orang hutan yang muncul dari hutan—sekelompok pria kerdil yang ketakutan.

Pemimpin Pekan Raya dan pelayannya, datang padaku ketika Pekan Raya selesai. Aku tidak begitu mengenalnya sebelum aku menjadi ratu.

“Saya tidak datang pada Anda sebagai ratu saya,” ucapnya

Aku tidak menjawab. Aku mendengarkan.

“Saya datang pada Anda, karena Anda bijaksana,” lanjutnya. “Ketika Anda masih anak-anak, Anda menemukan anak kuda yang tersesat dengan melihat ke dalam genangan tinta; ketika Anda remaja, Anda menemukan bayi yang hilang karena terpisah dari ibunya dengan melihat ke dalam cermin Anda. Anda mengetahui rahasia dan Anda mampu mencari hal-hal yang tersembunyi. Yang Mulia,” ia bertanya, “apa yang terjadi pada orang-orang hutan? Tidak akan ada Pekan Raya musim semi tahun depan. Pengelana dari kerajaan-kerajaan lain semakin sedikit, orang hutan pun hampir punah. Jika tahun ini pun seperti tahun lalu, kita semua akan kelaparan.”

Aku memerintahkan pelayan untuk membawakan cerminku. Benda itu sederhana, sebuah kaca dengan sepuhan warna perak di bagian belakang, disimpan dengan hati-hati, dibalut kulit rusa di dalam peti, di kamarku.

Mereka membawakannya padaku, lalu, aku melihat ke dalamnya:

Ia berusia dua belas tahun dan bukan lagi anak-anak. Kulitnya masih pucat, mata dan rambutnya hitam pekat, bibirnya semerah darah. Dia mengenakan pakaian yang dikenakannya saat meninggalkan istana untuk  terakhir kalinya—blus dan rok—meskipun pakaian itu terlalu kecil dan penuh tambalan di sana-sini. Di atasnya, dia memakai sebuah jubah kulit dan sebagai ganti sepatu ia menggunakan tas kulit yang diikat dengan tali di atas kaki mungilnya. 

Dia berdiri di dalam hutan, di samping sebuah pohon.

Aku melihatnya, dengan mata batinku—aku melihatnya bergerak, melangkah, mengepak-ngepak, melayang dari pohon ke pohon, seperti binatang: kelelawar atau serigala. Dia mengikuti seseorang.

Seorang biarawan. Laki-laki itu mengenakan kain, kakinya telanjang, berkeropeng dan keras. Janggut dan ubun-ubunnya gondrong, lebat dan tidak dicukur.

Ia mengawasi dari balik pohon. Akhirnya, laki-laki itu berhenti untuk bermalam dan mulai membuat api, mengumpulkan ranting-ranting dan membongkar sarang burung robin untuk kayu bakar. Dia mengeluarkan kotak-api dari balik jubah, lalu membenturkan batu api ke baja sampai percikan api menyulut sumbu dan menyala. Dua telur yang dia temukan di sarang, ditelannya mentah-mentah. Telur-telur itu tentu tidak seberapa untuk laki-laki bertubuh besar seperti dirinya.

Dia duduk di sana, di bawah cahaya api, dan gadis itu keluar dari tempat persembunyian. Ia berjongkok di seberang laki-laki itu, menatapnya. Dia menyeringai, seolah sudah lama sekali sejak terakhir kali melihat manusia lain, dan memanggil gadis itu mendekat.

Gadis itu berdiri dan berjalan mengitari api, dan menunggu di jarak satu lengan. Laki-laki itu menarik jubahnya hingga menemukan sebuah koin—koin tembaga kecil—lalu melemparkannya. Gadis itu menangkap lalu mengangguk, dan berjalan mendekat. Laki-laki itu melepas tali pinggang dan jubahnya terbuka. Tubuhnya berbulu seperti beruang. Gadis itu mendorongnya terlentang. Satu tangan merayap, seperti laba-laba, melewati jalinan rambut yang lebat sampai ke kejantanannya; tangan yang lain bergerak di atas puting kiri. Dia menutup mata dengan satu tangan meraba-raba ke dalam rok. Gadis itu menurunkan mulutnya ke salah satu puting si laki-laki, kulit mulusnya yang putih di atas tubuh coklat berbulu.

Dia membenamkan giginya jauh ke dalam dada si pria besar. Matanya terbuka, lalu menutup lagi dan gadis itu mulai minum.

Gadis itu mengangkanginya dan mulai makan. Saat ia melakukannya, cairan kehitaman mulai mengalir di antara kedua kakinya.

“Apakah Anda tahu apa yang menghalangi para pengembara singgah di kota kita? Apa yang terjadi dengan orang-orang hutan?” tanya Kepala Pekan Raya.

Aku menutup cermin dengan kulit rusa betina, dan menyampaikan padanya bahwa diriku, secara pribadi akan mengurus hal ini dan membuat hutan kembali aman. 

Harus kulakukan, meskipun gadis itu membuatku takut. Aku adalah sang ratu.

Wanita bodoh pasti akan pergi ke hutan dan mencoba menangkap makhluk itu; tapi aku pernah bodoh dan tidak akan jatuh ke lubang yang sama.

Aku menghabiskan waktu dengan buku-buku tua, karena bisa membaca. Aku menghabiskan waktu dengan wanita-wanita gipsi (yang telah melewati kerajaan kami dari balik gunung ke selatan, daripada melewati hutan ke utara lalu ke barat.)

Aku mempersiapkan semuanya sendiri, dan mendapatkan bahan-bahan yang diperlukan dan ketika salju pertama mulai jatuh, saat itu aku siap.

Telanjang, aku berdiri sendirian di menara paling tinggi, merendah di hadapan langit malam dan angin. Jika ada laki-laki yang melihatku di sana, aku pasti menarik perhatiannya; tapi tidak ada siapapun di sana. Awan menyelimuti langit, menyembunyikan dan menyingkap bulan yang memudar.

Aku menggenggam pisau perak, dan mengiris lengan kiriku—sekali, dua kali, tiga kali. Darah menetes ke dalam bajan, merah tua tampak hitam di bawah sinar bulan.

Aku menambahkan bubuk dari botol kecil yang tergantung di leherku. Debu cokelat, terbuat dari herba kering dan kulit katak serta beberapa benda lain. Bubuk itu mengentalkan darah dan mencegah pembekuan.

Aku mengambil tiga apel, satu persatu, lalu perlahan menusuk kulitnya dengan jarum perak. Lalu, aku meletakkan apel itu ke dalam mangkuk perak dan mendiamkannya di sana sementara serpihan salju jatuh perlahan ke atas kulitku, ke atas apel itu dan ke dalam mangkuk berisi darah.

Ketika fajar mulai menerangi langit, aku menutupi tubuhku dengan jubah abu-abu, dan mengambil apel merah itu dari mangkuk perak, satu persatu, memasukkan masing-masing apel ke keranjang dengan penjepit perak, berhati-hati untuk tidak menyentuhnya. Mangkuk perak itu kosong, tidak ada darah atau debu coklat tersisa, hanya residu-residu hitam.

Aku menguburkan mangkuk itu di tanah. Lalu memantrai apel-apel itu (seperti dulu, bertahun-tahun yang lalu aku memantrai diriku sendiri) agar semuanya tampak seperti apel-apel yang paling lezat sedunia dengan rona semerah darah.

Aku menarik tudung jubahku rendah menutupi wajah dan membawa pita serta hiasan rambut yang cantik dengan keranjangku, meletakkan semuanya untuk menutupi apel-apel itu. Aku berjalan sendirian ke dalam hutan hingga aku sampai di persembunyiannya: tebing yang tinggi dengan batuan paras tempat gua-gua terbuka melubangi dinding batu.

Pepohonan dan bebatuan besar mengelilingi tempat itu, dan aku berjalan dengan tenang dari pohon ke pohon, tanpa menyenggol daun atau ranting yang tumbang. Akhirnya aku menemukan tempat untuk bersembunyi dan aku menunggu, dan aku mengawasi.

Setelah beberapa jam, sekelompok kurcaci merangkak keluar dari mulut gua—pria-pria kecil berambut kusut, cacat dan berbulu lebat, penghuni tertua negeri ini. Kau tidak akan sering melihat mereka.

Mereka menghilang ke dalam hutan dan tidak satupun dari mereka menyadari keberadaanku, meskipun salah satu dari mereka berhenti untuk mengencingi batu yang menyembunyikan tubuhku.

Aku menunggu. Tidak ada lagi yang keluar dari gua.

Aku mendekati mulut gua dan memanggil ke dalam dengan suara kering nenek tua.

Luka di pangkal ibu jariku berdenyut-denyut ketika gadis itu datang mendekat, keluar dari kegelapan, telanjang dan sendirian.

Usianya tiga belas tahun, anak tiriku, dan tidak ada yang menodai kulit putihnya yang sempurna kecuali bekas luka samar di payudara sebelah kirinya, tempat luka robek ketika pemburu menggorok jantungnya.

Bagian dalam pahanya diwarnai hitam oleh kotoran yang basah.

Dia menatapku, bersembunyi, seperti yang aku lakukan dengan jubahku. Dia menatapku dengan lapar. “Pita, nyonya,” ucapku serak. “Pita cantik untuk rambutmu..”

Dia tersenyum dan memanggilku. Menarik; bekas luka di tanganku, menarikku ke arahnya. Aku melakukan apa yang telah kurencanakan, tetapi melakukannya terlalu cepat: aku menjatuhkan keranjangku, dan memekik seperti seperti nenek tua tidak berdaya lalu aku lari.

Jubah abu-abu menyembunyikanku di balik warna hutan dan aku berlari dengan cepat; dia tidak bisa menangkapku.

Aku segera kembali ke istana.

Aku tidak melihatnya. Tapi mari kita bayangkan, gadis itu kembali, frustasi dan lapar, ke gua dan menemukan keranjangku yang jatuh di tanah.

Apa yang dia lakukan?

Aku lebih senang membayangkan dia akan bermain-main dengan pita-pita itu, memasang satu pita di rambutnya yang sehitam gagak, melingkarkan pita lain di leher pucatnya atau pinggangnya yang mungil.

Kemudian, karena penasaran, dia memindahkan kain penutup untuk melihat apa lagi yang ada di dalam keranjang dan menemukan apel merah yang begitu merona.

Baunya seperti apel segar, tentu saja; tetapi juga berbau darah. Dan dia lapar. Aku membayangkan dia mengambil sebuah apel, menekankan buah itu ke pipi, merasakan halus dan dinginnya buah itu.

Dan dia membuka mulut dan menggigit …

Saat aku sampai di kamarku, jantung yang tergantung di puncak ranjangku bersama dengan apel, ham dan sosis kering, telah berhenti berdetak. Jantung itu tergantung di sana, dengan tenang, tanpa gerakan, tanpa kehidupan, dan sekali lagi, aku merasa aman.

Salju musim dingin kala itu tinggi dan dalam, dan terlambat mencair. Kami semua menunggu musim semi tiba.

Pekan Raya Musim Semi sedikit meningkat tahun itu. Para orang-orang hutan muncul, meskipun sedikit dan pengembara dari kerajaan tetangga mulai berdatangan. 

Aku melihat orang-orang hutan berbulu menawar potongan-potongan kaca dan bongkahan kristal serta batu kuarsa. Mereka membayar kaca dengan koin perak—rampasan dari anak tiriku, aku yakin. Ketika mengetahui apa yang mereka beli, penduduk kota bergegas kembali ke rumah mereka mengambil kristal keberuntungan mereka dan beberapa dari mereka mengambil beberapa potong kaca.

Aku berpikir, terlintas, untuk membunuh mereka, tetapi aku tidak melakukannya. Selama jantung itu tergantung, diam dan dingin tidak berdetak, aku aman, begitu pula orang-orang hutan, dan begitu juga penduduk kota.

Tahun kedua puluh lima hidupku tiba, dan anak tiriku telah memakan buah beracun dua musim dingin yang lalu, ketika Pangeran datang ke istanaku. Dia tinggi, sangat tinggi, dengan mata hijau yang dingin dan kulit gelap seperti orang-orang dari balik pegunungan.

Dia berkuda dalam rombongan kecil: cukup besar untuk melindunginya, cukup kecil hingga tidak akan dipandang sebagai ancaman.

Secara praktis: aku memikirkan aliansi kami, kerajaan yang terbentang dari hutan hingga ke selatan menuju laut; aku teringat akan cintaku yang berambut emas, tewas delapan tahun yang lalu; dan, malam itu, aku pergi ke kamar sang Pangeran.

Aku bukanlah ratu yang polos, meskipun mendiang suamiku, rajaku, benar-benar adalah kekasih pertamaku, tidak peduli apa yang mereka katakan.

Awalnya Sang Pangeran tampak bersemangat. Dia memintaku melepas pakaian dalamku dan berdiri di depan jendela yang terbuka lebar, jauh dari api, sampai kulitku dingin membeku. Kemudian dia memintaku berbaring, dengan tangan terlipat di payudara, mata terbuka lebar—tetapi hanya fokus menatap langit-langit. Dia memintaku untuk tidak bergerak dan bernapas sesedikit mungkin. Dia memintaku untuk diam. Dia merentangkan kakiku.

Saat itulah dia memasukiku.

Saat dia mulai bergerak di dalamku, aku merasakan pinggulku terangkat. Aku merasakan diriku mulai mengikutinya, gerakan demi gerakan, dorongan demi dorongan. Aku mengerang, tak bisa menahan diri.

Kejantanannya melepaskanku. Aku mengulurkan tangan dan menyentuh benda kecil yang licin itu.

“Kumohon,” ucapnya lembut. “Anda tidak boleh bergerak, atau berbicara. Berbaring saja di atas lantai batu, dingin dan cantik.”

Aku mencoba, tetapi dia telah kehilangan apapun yang membuatnya bergairah dan beberapa saat kemudian, aku meninggalkan kamar Pangeran, umpatan yang keluar dari mulutnya dan isakan air mataku masih bergema di telinga.

Dia pergi sebelum fajar dengan semua anak buahnya, dan mereka pergi ke hutan.

Aku membayangkan pinggangnya, sekarang, ketika berkuda, simpul frustasi di dasar kejantanannya. Aku membayangkan bibir pucatnya terkatup rapat. Lalu aku membayangkan rombongan kecilnya melintasi hutan, akhirnya menemukan peti kaca dan kristal anak tiriku. Begitu pucat. Begitu dingin. Telanjang, di balik kaca dan sedikit lebih tua dari umur anak-anak perempuan, dan sudah mati.

Dalam khayalanku, aku hampir bisa merasakan kejantanannya mengeras tiba-tiba di balik celananya, membayangkan nafsu yang membawanya saat itu, rasa syukur yang dia ucapkan atas keberuntungannya. Aku membayangkan dia bernegosiasi dengan kurcaci-kurcaci itu—menawarkan emas dan rempah-rempah untuk membeli mayat di tengah gundukan kristal.

Apakah mereka menerima emas itu dengan mudah? Ataukah mereka mendongak untuk menyelidiki anak buah Pangeran di atas kuda-kuda mereka, dengan pedang tajam dan tombak hingga menyadari tidak ada pilihan lain?

Aku tidak tahu. Aku tidak di sana; aku tidak mengawasi langsung. Aku hanya bisa membayangkan…

Tangan-tangan, menyingkirkan kaca dan kristal dari tubuh dinginnya. Tangan-tangan, dengan lembut membelai pipinya yang dingin, menggerakkan lengannya yang kaku, bersukacita menemukan mayat itu masih segar dan lentur.

Apa dia mencumbu gadis itu di sana, di depan semua orang? Ataukah dia membawanya ke sudut terpencil sebelum melakukannya?

Aku tidak tahu.

Apakah dia mengguncang potongan apel di tenggorokan gadis itu? Ataukah matanya perlahan terbuka ketika Pangeran bergerak bersama tubuhnya yang dingin; apakah mulutnya terbuka, bibir merahnya terbuka, gigi kuning tajamnya mendekat ke leher Pangeran yang berkulit gelap, darah yang memberikan kehidupan, membasuh tenggorokannya dari potongan apelku, milikku, racunku?

Aku hanya bisa membayangkan; aku tidak tahu.

Satu hal yang aku tahu pasti: aku terbangun tengah malam karena jantung itu berdenyut dan berdebar. Darah menetes ke wajahku. Aku terduduk. Tanganku terasa terbakar dan berdenyut seolah ibu jariku dipukul dengan batu.

Suara menggedor muncul dari pintu. Aku takut, tetapi diriku adalah seorang ratu, dan aku tidak akan menunjukkan rasa takut. Aku membuka pintu.

Pertama anak buahnya masuk ke kamarku dan berdiri mengelilingiku, dengan pedang tajam dan tombak panjang mereka.

Lalu Sang Pangeran masuk dan meludahi wajahku.

Akhirnya, gadis itu masuk, seperti yang dia lakukan ketika pertama kali aku menjadi ratu, ketika ia berumur enam tahun. Dia tidak berubah, tidak sama sekali.

Dia menarik benang yang menggantungkan jantungnya. Dia menarik buah rowan kering, satu persatu; melepas umbi bawang putih kering lalu menarik jantungnya sendiri, jantung yang berdetak, jantung yang tidak lebih besar dari jantung kambing atau beruang betina—jantung yang berdenyut memompa darah ke tangannya.

Kukunya pasti setajam kaca: dia membuka dadanya dengan kuku, tepat di garis luka yang dulu. Lubang itu menganga terbuka tanpa darah. Dia menjilat jantungnya ketika darah mengaliri punggung tangan, lalu mendorong benda kecil itu ke dalam lubang.

Aku melihat dia melakukannya. Aku melihatnya menutup lubang daging itu sekali lagi. Aku melihat bekas luka ungu itu memudar.

Sang Pangeran tampak khawatir sesaat, tetapi dia tetap melingkarkan lengan di bahu gadis itu, dan mereka berdiri berdampingan dan menunggu.

Dan dia tetap dingin, kematian tetap bermekaran di bibirnya dan nafsu Pangeran tidak berkurang sama sekali.

Mereka mengatakan padaku bahwa mereka akan menikah dan kerajaan memang akan bergabung. Mereka mengatakan padaku bahwa aku akan bersama mereka di hari pernikahan mereka.

Di sini mulai terasa panas.

Mereka menyebarkan kebohongan tentangku pada penduduk; sedikit kebenaran untuk menambah rasa hidangan, tetapi dicampur dengan begitu banyak kebohongan.

Aku diikat dan ditahan di sel batu kecil, di bawah istana dan tetap di sana selama musim gugur. Hari ini mereka mengeluarkanku dari sel; menanggalkan kain pakaianku dan memandikanku, dan mencukur kepala dan pinggangku dan melumuri kulitku dengan lemak angsa.

Salju turun saat mereka menggendongku—dua pria di kedua sisi tangan, dua pria di kedua sisi kaki—benar-benar terbuka dan terentang dan kedinginan, melalui kerumunan di pertengahan musim dingin; dan membawaku ke tempat pembakaran ini.

Anak tiriku berdiri di sana bersama pangerannya. Dia mengawasiku penuh penghinaan, namun tetap diam.

Saat mereka mendorongku masuk, sambil mencemooh dan menggerutu, aku melihat satu keping salju mendarat di pipi putihnya tanpa meleleh.

Mereka menutup pintu tungku pembakaran di belakangku. Di sini semakin panas, dan di luar mereka bernyanyi dan bersorak dan menggedor-gedor sisi tungku pembakaran.

Dia tidak tertawa, atau mengejek, atau bicara. Dia tidak mencemoohku atau berpaling. Dia menatapku; dan sesaat aku melihat diriku terpantul di matanya.

Aku tidak akan berteriak. Aku tidak akan memberi mereka kepuasan itu. Mereka akan memiliki tubuhku, tapi jiwaku dan ceritaku adalah milikku dan akan mati bersamaku.

Lemak angsa ini mulai meleleh dan berkilau di kulitku. Aku tidak akan bersuara sama sekali. Aku tidak akan memikirkan lagi tentang hari ini.

Aku akan memikirkan kepingan salju yang mendarat di pipinya.

Aku akan memikirkan rambutnya yang sehitam batu bara, bibirnya yang semerah darah, kulitnya; seputih salju.