Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Silvia Anggraini Setiawan
Fatima merasakan kuning pucatnya air sungai – sebuah hamparan emas berkilauan di antara sinar sinar mentari yang nyaris redup – mengalir dengan surut di sekitar dirinya. Dia berpegang pada tepian dan bergerak menjauh, menelusur, hingga air mencapai pinggangnya. Sarung basah terikat pada tubuhnya yang sintal dengan kulit kecokelatan, menonjolkan dadanya secara utuh, serta bayi yang dikandungnya. Wajahnya yang bulat dan tulang pipi yang nampak menonjol, yang mencirikan orang melayu, dipancarkan oleh sensualitasnya yang gelap, dan malahan sisi melankolisnya yang terkesan lembut dalam mata hitamnya yang juling memberikannya sebuah ekspresi merenung ketimbang pandangan gembira dalam dirinya.
Dengan sedikit hentakan di kepalanya, dia membebaskan rambut hitam mengkilapnya, dan membiarkan angin membisik dengan lembut di antara helai-helainya. Dari tempat dia berdiri dia tidak bisa mendengar maupun melihat desa yang dikaburkan tumbuhan jalar dan pepohonan di tikungan sungai. Di depannya membentang area penuh ilalang yang seolah tanpa batas, pohon-pohon tinggi, dan kesuburan daun-daunan yang mengagumkan. Keheningan yang menjemukan dari suatu sore kadang-kadang terganggu oleh tangisan unggas air yang kesepian. Seekor tikus mulai menyelam dengan cipratan air yang lembut ke dalam sungai, sementara hewan-hewan pemalu nan gugup berdesau dalam perjalanannya melalui rerumputan tinggi dan tumbuhan jalar. Udara penuh dengan bau bunga-bunga liar dan lumpur, juga daun. Sebuah perasaan kesepian dan kesedihan mendatanginya, seolah dirinya telah tersungkur ke dunia yang baru saja diciptakan, ketika bumi berupa rawa yang berkubang di mana-mana, menjadikannya rumah bagi monster-monster yang mengerikan.
Itulah mengapa ketika dia mendengar geraman harimau yang rendah dan bergetar, hanya mempertajam ilusinya, hingga harimau itu mengaum marah dan meyakinkannya. Suara yang didengarnya itu, bukanlah seekor makhluk dari imajinasinya.
Dibingkai oleh ilalang yang kemudian merunduk hingga mencapai tanah, wujudnya kepala dan bahu harimau itu nampak, tidak lebih dari 20 yard darinya. Matahari memendarkan kilat kesinisan pada tatapan matanya yang kuning. Telinganya tampak tertarik ke belakang, menunjukkan kewaspadaan. Dia menggerakan kepalanya dan menggeram, menampakkan lidah merah, dan taring kuningnya yang nampak seperti batang pohon.
Fatima terhipnotis ke dalam rasa takut yang tidak tertahankan oleh tatapan sang harimau. Tiba-tiba kekakukan melingkupinya, mematikan pikirannya. Dia memberanikan diri unuk tidak bergerak atau mengalihkan pandangannya dari hewan itu, dia begitu kaku, seolah harimau itu disajikan benda tak bergerak oleh pertemuan tak diduganya dengan seorang manusia.
Fatima dan hewan itu saling pandang, dirinya takut, sementara hewan itu curiga. Di luar geraman yang muncul kadang-kadang, dari waktu ke waktu ancamannya jadi semakin berkurang, sang harimau menunjukkan tak satupun tanda bahwa dia ingin menyerangnya. Malahan, setelah beberapa waktu, hewan itu jadi kurang tertarik pada wanita itu. Cakarnya yang besar, menyembul di hadapannya, mulailah dia menggali ke dalam rumput yang basah. Ketika bergerak, perhatian hewan itu nampak tak teralihkan. Tatapan kedua matanya telah berubah. Dia nampak cemberut dan wajahnya menyiratkan rasa bosan yang teramat. Fatima menangkap perubahan yang mengejutkan dari suasana hati yang terpancar itu.
Namun, senja yang mulai merayap dari balik bukit yang sejak tadi telah melenyapkan pemandangan warna-warni beberapa saat lalu, dan menggantinya dengan bayangan keabuabuan yang melayang tanpa terasa ke dalam kegelapan. Samar-samar kabut mulai muncul dari sungai dan telah menyebar menyelimuti daratan. Lengkingan jangkrik dan siulan burung hantu dari kejauhan menandakan transisi dari siang menuju malam.
Kini yang dipunyai wanita itu hanyalah keheningan, yang muncul dari rasa takut pada harimau itu, dia merasakan kelelahan mulai merayap. Dia menggigil kedinginan, dan karena harimau itu tiada menunjukkan tanda apapun untuk enyah. Perasaan ini membuatnya putus asa. Tangannya menjelajah pada perutnya, kesadaran muncul. Ada jiwa lain yang juga hidup dalam tubuhnya, sebuah penentuan yang sengit untuk kabur. Dia masih bisa melihat bentuk samar sang harimau dalam keremangan. Fatima telah mempelajari hewan itu dengan sangat hati-hati. Dia bisa merasai kapan makhluk itu akan melepas pandangannya dari wanita itu. Dia menunggu, tubuhnya tegang di dalam air. Memancarkan perasaan takutnya yang dahsyat. Dengan gerakan putus asa dia menyelam di bawah air. Dia berenang hingga menyentuh dasar sungai. Fatima menuju sisi yang berlawanan, ke arah desa. Sesekali dia muncul ke permukaan ketika dia merasa paru-parunya kehabisan udara. Dia merasa bingung dan tersesat di tengah sungai, tapi ketika dia mendengar geraman dari kejauhan, sebuah ketakutan yang dia tidak pernah rasakan, bahkan sejak pertemuannya dengan sang harimau, kini menguasainya.
Dia berenang dengan panik menuju tepi hingga dia melihat lampu minyak bercahaya dari desa.
Desa itu dipenuhi kepanikan ketika ibunya menyebarkan cerita yang dilebih-lebihkan dari versi cerita yang diceritakan anaknya sendiri, Fatima. Para wanita panik bagaikan ayam betina melihat elang yang berputar di atasnya, segera menarik anak-anak mereka ke dalam pelukan, kemudian mengunci pintu rapat-rapat, memanggil para lelaki untuk melakukan sesuatu terhadap harimau si tukang rampas itu. Para lelaki bergegas ke sana kemari, khawatir akan sapi dan kambingnya, sedangkan yang telah lanjut usia mengunyah buah pinang dan meminta apa yang diributkan itu.
Fatima terbaring lemas di atas tikar ketika seorang kepala desa dan keramaian datang untuk menanyakan padanya di mana harimau itu. Ibu Fatima melanjutkan ceritanya dengan heboh mengenai pertemuan anaknya dengan “makhluk berbulu” hingga pemimpin dengan tampak tidak sabar meminta wanita tua itu untuk bersikap tenang. Lelaki itu beralih pada Fatima. Ada ketidaksabaran pada suaranya begitu dia menjawab pertanyaan itu, dia enggan meminta harimau itu untuk diburu dan dibunuh. Kepala desa itu mengerutkan kening keheranan.
“Allah!” seru si wanita tua, sekali lagi berupaya untuk menjadi pusat perhatian. “Perlindungan Allahlah yang menyingkirkan anakku dari cakar ‘makhluk berbulu itu’.”
Dia menarik tangan cokelatnya yang kurus, menunjukkan sikap berdoa pada Allah. Kepala desa itu mengangkat bahunya.
“Ya itu pasti,” ucapnya, “tapi lain waktu Allah mungkin tidak akan sebegini pemurah. Seekor harimau, mungkin saja, mulai saat ini mabuk dengan bau bangkai manusia, bukan hal yang menyenangkan jika dia berkeliaran di dekat desa kita. Untuk kedamaian dan keselamatan para wanita dan anak-anak, makhluk mengerikan itu harus diburu dan dimusnahkan secepat mungkin.”
Dia memperhatikan wajah para lelaki, diam dan gugup. Mereka benar-benar hidup dalam bahaya harimau yang berjalan di malam hari, khususnya ketika ilalang yang padat dan berbayang-bayang memberikannya posisi yang menguntungkan baginya untuk menyerang dengan cepat, tanpa suara.
“Baiklah!”, ucap Pak Kepala.
Para lelaki memperhatikan lantai dalam diam. Wajah sang kepala nampak tersentak dan dia hendak mencela para lelaki itu karena sifatnya yang pengecut. Seketika Mamood, anaknya yang berjiwa muda, datang dengan senapan tersampir di pundaknya.
“Ada apa ini?” dia bertanya dengan penuh keingintahuan. “Katanya, ada harimau yang menyerang Fatima. Apa benar?”
Ketika kepala desa itu menceritakan kenyataannya dengan singkat dan padat, Mamood menyentuh senapan laras gandanya yang baru dengan penuh ketidaksabaran, seperti semangat berburu telah bangkit. Awalnya dia mengira keinginannya untuk berburu harimau karena dia suka berburu. Faktanya, karena buruannya adalah harimaulah yang membuat dia lebih bersemangat.
“Itu benar,” seru Mamood, ketika kepala desa selesai menceritakannya. “Kita harus memikirkan nasib para wanita dan anak-anak. Orang-orang miskin itu tidak akan bergerak barang satu inchi pun dari rumahnya sampai mereka tahu harimau itu telah mati. Ini adalah tanggung jawab para lelaki untuk melindungi mereka. Sekarang siapa yang akan ikut dengan Mamood untuk membunuh harimau itu? Demi ibuku, aku akan membawa pulang bangkai makhluk itu sebelum matahari terbit, asal kalian mau membantuku.”
Awalnya mereka nampak ragu, namun akhirnya belasan pria bergabung, terketuk oleh kata-kata Mamood yang dikenal sebagai si jago tembak.
“Bagus!”, kata Mamood, memainkan jari-jarinya pada senapannya, “aku tahu kalian bisa dipercaya”
Lalu dia dan para lelaki itu pergi.
“Percayalah padaku, anakku,” kata ibunya Fatima. Dia mengunci pintu usai mereka pergi, “pemuda bernama Mamood itu adalah harimau itu sendiri.”
Fatima bangun dari tikarnya dan memandang ke luar jendela yang rendah. Bulan menebarkan lembut pada segala yang disinarinya, dan dia dapat melihat bulan itu, pecah seperti perak yang mencair, melintasi pohon palem yang gemerisik. Mereka bergerak dan saling berbicara dengan suara tertahan, namun juga masih terasa antusias, saat mereka mempersiapkan untuk perburuan. Fatima menatap orang-orang itu dengan wajah cemberut.
Kini pergilah orang-orang itu hingga yang tersisa hanya bayangan mereka di balik pepohonan gelap juga angin yang gaduh. Dia pertajam pendengarannya, terdengar olehnya suara tawa sungai.
Di suatu tempat, dia membayangkan seekor harimau yang membuatnya bertanya-tanya sepanjang malam itu. Dirinya berharap, harimau itu berada jauh dari jangkauan para pemburu.
“Oh Allah!” ratap sang ibu sambil memukul-mukul buah pinang di sebuah wadah kayu, “malam ini pasti akan ada yang mati. Orang-orang mengincar makhluk buas yang liciknya sama saja dengan seratus rubah, bahkan bisa mengukur jarak dalam kegelapan itu. Aku yakin pasti akan ada tangis kehilangan sebelum malam berakhir.”
“Mereka seharusnya melepaskan saja harimau itu,” kata Fatima, masih dengan menatap ke luar jendela.
“Itu mustahil,” kata wanita itu. “Seseorang harus membunuh harimau itu sebelum harimau itu yang membunuh kita. Itu baru benar.”
“Mungkin saja hewan itu sudah terlanjur kabur atas kemauannya sendiri.”
“Harimau yang datang ke sekitar desa tidak akan kembali sampai tujuannya terpenuhi,” teriak wanita tua itu. Suaranya nyaris menghilang. “Mereka secara umum adalah pembunuh yang mencari peruntungan di sekitar desa.”
“Tapi yang satu ini tidak tampak seperti pembunuh,” protes Fatima.
Ibunya mendengus kesal namun tidak lagi berkata apapun.
“Harimau itu hanya 20 yard dariku dan bisa saja dia melompat ke arahku dengan mudah,” kata Fatima, “tapi dia tidak melakukannya. Kenapa? Apa kau bisa menjelaskannya padaku bu? Dia memang memperhatikanku, tapi aku juga menatapnya. Pada awalnya, matanya menatapku tapi kemudian keduanya nampak melembut dan bosan. Tidak ada kekejaman dia tidak tampak seperti pembunuh…”
“Sekarang kau nampak tidak waras seperti ayahmu dulu,” sahut ibunya sambil memukul-mukul pinang dengan kasar. “Dulu dia sering mengatakan kalau angin sedang bernyanyi untuknyalah. Semoga Tuhan memaafkanku yang membicarakan mendiang ayahmu, tapi dia kadang-kadang seperti tidak waras.”
Fatima nampak murung di sisi jendela sambil berusaha menangkap apa yang bisa didengarnya. Ada semacam keheningan yang janggal di desa itu seolah dibungkus dalam kain pemakaman. Kedua tangannya yang membengkak terkepal setiap dia tegang oleh keheningan itu menantikan suara yang menenangkan. Detak-detak dalam hatinya beriringan dengan pukulan yang dihasilkan ibunya di wadah pinang, tiba-tiba rasa sakit yang tajam menusuk ke arahnya. Tangannya beralih ke perutnya.
“Ada apa Fatima?, ucap ibunya sambil mendongak.
“Bukan apa-apa,” jawab Fatima menahannya.
“Minum dan berbaringlah,” ibunya memperingatkan.
Fatima tetap berdiri di sisi jendela dan merasakan sakit yang datang dan pergi. Dia menutup matanya dan membayangkan harimau itu meringkuk di antara ilalang, matanya sekarang menyala merah dan menatapnya, kemudian tampak bosan dan lembut.
Tiba-tiba dia mendengar suara senapan yang ditarik. Kemudian disusul dengan suara tembakan. Tubuhnya bergetar hebat seolah tembakan itu ditujukan kepadanya. Kemudian terdengar suara auman seekor harimau, bukan geraman ringan seperti yang didengarnya malam itu, tapi penuh dengan kesakitan dan perlawanan. Selama beberapa saat suara tangisan hewan itu, panjang, seolah menyuarakan penderitaannya yang dalam, terdengar memenuhi hati dan telinganya. Dia ingin menggemakan ulang tangisan itu. Wajahnya tegang karena sakit,tubuhnya penuh keringat. Rintihan pecah di antara bibirnya yang sedari tadi tertutup.
“Alamak! Alamak!,” kata ibunya yang tua sambil menangis. “Kau tampak sakit. Ada apa? Kemari dan berbaringlah….. Apa ini…….”
“Aku merasa sakit bu,,,,”, kata Fatima sambil terengah-engah.
Wanita tua itu membawa anaknya ke atas tikar dan membaringkannya.
“Oi…oi… apa ini sudah waktunya melahirkan!”, isak ibunya sedikit takut. “Berbaringlah di sini sementara aku mengambilkanmu air hangat untuk kau minum. Aku harus menunggu mereka pulang sebelum aku pergi untuk memanggil seorang dukun beranak. Ay, ini adalah malam yang bagus untuk seorang wanita tua!”
Fatima berbaring di atas tikar, matanya terpejam saat ibunya merebus air dan menggumam.
“Dengar,” ibunya berkata, “mereka kembali, aku bisa mendengar suara mereka.”
Udara mendadak dipenuhi suara kegembiraan para lelaki dan wanita di luar rumah.
Wanita tua itu membuka pintu dengan hati-hati, memanggil-manggil seorang di antara kerumunan.
“Bersoraklah untuk Mamood, Bi,” teriak seorang pemuda yang segera masuk. “Dia telah menembak harimau itu dan membunuhnya. Hewan itu besar. Tidak mengherankan kalau dibutuhkan usaha yang hebat sebelum dirinya terbunuh. Setelah dia tertembak dua kali, mereka harus memanahnya sampai dia mati. Dan tebaklah apa yang terjadi?”
“Apa?”
“Mereka bilang,” pemuda itu menerangkan, bicaranya agak tergagap, “setelah membunuh hewan itu, mereka mendengar suara suara. Dengan bantuan kilatan petir, mereka melihat tiga anak harimau yang amat kecil. Bayi-bayi itu nampak sulit membuka mata. Mamood berkata mereka berumur tidak kurang dari beberapa jam. Tidak heran kalau harimau itu melawan seperti kerasukan. Kata Mamood, dia bisa menjual bayi-bayi harimau itu dengan harga bagus.”
Fatima terengah-engah dalam kesakitan. Keringatnya banjir bak mutiara keemasan di dahinya.
“Ibu!”, isaknya
Wanita tua itu mendorong pemuda yang keheranan itu ke arah pintu.
“Tolong panggilkan seorang dukun beranak, nak,” teriaknya. “Cepaat! Ayoo! Dukun beranak.”
Pemuda itu memandang, mengambil napas panjang, kemudian berlari mencari dukun beranak.
The Tiger oleh S. Rajaratnam, diterjemahkan dari bahasa Inggris, naskah asli di sini.