Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Satu Hal Lagi [Raymond Carver]

author = Ageng Indra

ISTRI L.D., Maxine, mengusirnya pada malam ketika ia pulang kerja dan menemukan L.D. mabuk lagi dan menghina Rae, putri mereka yang berusia lima belas tahun. L.D. dan Rae duduk di meja makan, berdebat. Maxine tak sempat menaruh tas atau melepas mantelnya.

“Bilang padanya, Ma.” kata Rae, “Bilang padanya apa yang sudah kita bahas.”

L.D. memutar gelas di tangannya, tetapi tidak meminumnya. Maxine memberinya tatapan yang sengit dan menggelisahkan.

“Jauhkan hidungmu dari hal-hal yang tidak kau mengerti,” kata L.D. Ia meneruskan, “Aku tak bisa menganggap serius siapa pun yang duduk sepanjang hari membaca majalah astrologi.”

“Ini tak ada hubungannya dengan astrologi,” balas Rae. “Kau tak perlu menghinaku.”

Mengenai Ray, ia sudah seminggu tidak pergi ke sekolah. Ia bilang, tak seorang pun bisa membuatnya pergi. Menurut Maxine, ini adalah bagian dari garis panjang tragedi yang diawali dengan menyewa rumah murah.

“Kenapa kalian berdua tidak diam!” kata Maxine. “Ya Tuhan, kepalaku sudah pusing.”

‘Bilang padanya, Ma,” kata Rae. “Bilang padanya itu semua ada dalam kepalanya. Semua orang yang tahu apa pun tentang itu akan bilang padamu di mana itu berada.”

“Bagaimana dengan kencing manis?” tanya L.D.. “Bagaimana dengan ayan? Bisakah otak mengendalikannya?”

Ia mengangkat gelasnya di bawah mata Maxine dan menenggak habis isi gelasnya.

“Kencing manis juga,” kata Rae. “Ayan. Apa pun! Otak adalah organ paling kuat dalam tubuh, asal kau tahu saja.”

Gadis itu mengambil rokok ayahnya dan menyundut satu untuk dirinya sendiri.

“Kanker. Bagaimana kalau kanker?” tanya L.D.

Ia pikir ia telah memenyudutkan putrinya di situ. Ia melirik Maxine.

“Aku tak tahu bagaimana kami memulai ini,” kata L.D pada Maxine.

“Kanker,” kata Rae, dan menggeleng pelan, “Kanker juga. Kanker dimulai dari otak.”

“Itu gila!” kata L.D. Ia memukul meja dengan telapak tangannya. Asbak terempas. Gelasnya jatuh ke samping dan menggelinding. “Kau gila, Rae! Apa kau sadar?”

“Diam!” teriak Maxine.

Ia melepas kancing mantelnya dan menaruh tasnya di meja. Ia menatap L.D. dan mengatakan, “L.D., aku mengerti. Begitu pun Rae. Begitu pun semua orang yang mengenalmu. Aku telah memikirkannya. Aku ingin kau keluar dari sini. Malam ini. Detik ini. Sekarang. Keluar dari sini sekarang juga.”

L.D. tak punya niat untuk pergi ke mana pun. Ia menggeser pandangannya dari Maxine ke toples acar yang sudah bercokol di atas meja sejak makan siang. Diraihnya toples itu dan ia lemparkan ke jendela dapur.

Rae terperanjat dari kursinya, “Astaga! Dia gila!”

Ia berdiri di samping ibunya. Ia menarik napas pendek dari mulutnya.

“Panggil polisi,” kata Maxine. “Dia bertindak kasar. Pergi dari sini sebelum ia menyakitimu. Panggil polisi.” kata Maxine.

Mereka mulai mundur keluar dapur.

“Aku pergi.” kata L.D. “Baiklah, aku pergi sekarang,” katanya. “Ini layak untukku. Kalian gila. Lagi pula, ini rumah sakit jiwa. Ada kehidupan lain di luar sana. Percaya padaku, ini bukan piknik. Ini rumah sakit jiwa.”

Ia bisa merasakan hembusan angin dari lubang di jendela pada wajahnya.

“Ke sanalah aku pergi. Ke luar,” katanya. “Ke luar sana,” ujarnya dan menunjuk.

“Bagus,” kata Maxine.

“Baiklah, aku pergi.” kata L.D.

Ia menggebrakkan tangannya pada meja. Ia menendang mundur kursinya. Ia berdiri.

“Kau tak akan melihatku lagi,” kata L.D.

“Kau memberiku cukup banyak untuk diingat,” jawab Maxine.

“Oke,” kata L.D.

“Sana, pergi,” Kata Maxine. “Aku yang membayar sewa rumah ini, dan kubilang pergi. Sekarang.”

“Aku pergi,” katanya. “Tak usah memaksaku,” tambahnya. “Aku pergi.”

“Cepat pergi,” bentak Maxine.

“Aku pergi dari rumah sakit jiwa ini.” kata L.D.

Ia berjalan ke kamar dan mengambil salah satu koper istrinya dari lemari. Sebuah koper Naugahyide putih tua dengan genggaman patah. Istrinya dulu memenuhinya dengan setelan sweter dan membawa-bawanya semasa kuliah. L.D. juga kuliah dulu. Ia melempar koper ke atas kasur dan mulai memasukkan pakaian dalam, celana, baju, sweter, sabuk kulit dengan gesper kuningan, kaos kaki, dan hal lain yang ia miliki. Dari nakas, ia mengambil majalah untuk bahan bacaan. Ia mangambil asbak. Ia menaruh apa pun yang bisa masuk ke dalam koper, semua yang kopernya sanggup muat. Ia mengikat sisi yang bagus, mengencangkan tali pengikat, dan kemudian teringat peralatan mandi. Ia menemukan tas perlengkapan mandi di lemari dinding kamar mandi, terhalang topi mandi istrinya. Masuk ke dalamnya, gunting dan krim pencukur, dan bedak talek dan deodoran dan sikat gigi. Ia juga mengambil pasta gigi. Dan kemudian ia menemukan benang gigi.

Ia bisa mendengar mereka di ruang tamu bicara bisik-bisik.

Ia membasuh muka. Ia memasukkan sabun dan handuk ke tas perlengkapan mandi. Kemudian ia memasukkan sabun cuci piring dan gelas dari atas wastafel dan pemotong kuku dan pengeriting alis istrinya.

Ia tidak bisa menutup tas perlengkapan mandinya, tetapi tak apa. Ia mengenakan mantelnya dan mengangkat koper. Ia menuju ruang tamu.

Begitu melihatnya, Maxine melingkarkan lengannya di pundak Rae.

“Beginilah,” kata L.D. “Ini perpisahan,” katanya. “Aku tak tahu apa lagi yang harus kukatakan kecuali kurasa aku tak akan melihat kalian lagi. Kau juga,” kata L.D. pada Rae. “Kau dan ide gilamu.”

“Pergi,” kata Maxine. Ia memegang tangan Rae. “Tidakkah kau sudah cukup merusak rumah ini? Pergilah, L.D. Pergi dari sini dan tinggalkan kami dengan damai.”

“Tetaplah ingat,” kata Rae, “Semua ada dalam kepalamu.”

Ia memandang untuk terakhir kalinya ke sekeliling ruang tamu, kemudian memindah kopernya dari satu tangan ke tangan lain dan mengapit tas cukurnya di bawah ketiak. “Aku akan tetap menghubungi, Rae. Maxine, kau lebih baik pergi juga. Ini rumah sakit jiwa.”

“Kau yang membuatnya jadi rumah sakit jiwa,” kata Maxine. “Kalau ini rumah sakit jiwa, itu karena kau yang membuatnya begitu.”

Ia menaruh kopernya dan tas cukurnya di atas koper. Ia mengangkat tubuhnya dan memandang wajah mereka.

Mereka berbalik.

“Lihatlah, Ma,” kata Rae.

“Aku tidak mengkhawatirkannya,” kata Maxine.

L.D. mengapit tas cukur di bawah ketiaknya dan mengangkat koper.

Ia bilang, “Aku hanya ingin mengatakan satu hal lagi.”

Tetapi ia tak bisa memikirkan apa pun yang mungkin untuk dikatakan.

 

 

Catatan:
“One More Thing” dari What We Talk About When We Talk About Love (1981) oleh Raymond Carver, diterjemahkan dari Bahasa Inggris.