Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Puisi-puisi Naomi Shihab Nye

author = A. Nabil Wibisana

Brokat Merah

Kaum Arab kerap berkata,
Saat seorang asing tiba di depan pintumu
beri ia makan selama tiga hari
sebelum bertanya siapa ia,
dari mana asalnya,
ke mana ia menuju.
Dengan begitu, ia akan punya
cukup daya untuk menjawab.
Atau, selepas tiga hari, kau telah
berteman baik dengannya sehingga
pertanyaan-pertanyaan itu tak penting lagi.

Mari kita ulangi.
Kau mau nasi? Kacang pinus?
Pakailah bantal brokat merah ini.
Anakku akan menyediakan air minum
untuk kudamu.

Tidak, aku tak sibuk saat kau datang!
Aku tak merencanakan kesibukan pula.
Itu hanya perisai yang orang-orang pakai
untuk berlagak punya tujuan di dunia ini.

Aku menolak dibelenggu.
Piringmu menunggu.
Kami akan racik daun min segar
ke dalam tehmu.

Banyak yang Memintaku untuk Tidak Melupakan

Di mana kau menampung semua orang ini?
Pembuat sepatu yang terbatuk-batuk setengah mati.
Seorang pria yang memuntir jerami menjadi sapu.
Guruku, oh guruku. Aku selalu terisak
ketika memikirkan guruku.
Petani zaitun yang kehilangan setiap jengkal lahan,
kehilangan setiap pohon,
yang hanya bisa duduk sembari memegangi kepala
di ruang tamu putranya bertahun-tahun kemudian.
Kuselipkan mereka di laci bersama kancing manset dan dasi kupu-kupu.
Menyentuh mereka setiap malam sebelum aku terlelap.
Berdoa untuk kebahagiaan dan kedamaian mereka.
Kedamaian di hati. Tak heran kita semua terjerat masalah hati.
Tapi keadilan tak pernah tersenyum pada kita. Mengapa tidak?
Aku berupaya mengajak orang-orang Amerika untuk memikirkan mereka.
Tapi orang-orang itu terlalu terkungkung urusan-urusan mereka sendiri
untuk bisa membayangkan nasib kita. Meskipun sebenarnya, kau tak bisa
menyalahkan mereka pula. Seberapa banyak aku memikirkan Afrika?
Aku selalu bersedih untuk tempat-tempat rawan yang tak kuasa kupikirkan.

Bawang Merah

“Konon bawang merah berasal dari India. Di Mesir, bawang merah pernah
digunakan sebagai objek pemujaan—mengapa, aku belum mencari tahu.
Dari Mesir, bawang merah masuk ke Yunani, lalu ke Italia, dan akhirnya
ke seluruh wilayah Eropa.”

Better Living Cookbook

Saat memikirkan betapa jauh bawang merah telah mengembara
hingga tiba di panciku hari ini, aku bisa bersimpuh dan memuja
segala keajaiban kecil yang terlupakan,
kulit retak yang dikelupas di alas pengering,
lapisan putih berkilau yang begitu selaras,
bagaimana pisau membelah bawang merah
dan bawang merah bergelimpang di talenan,
sebuah sejarang terungkap.
Dan aku tak akan pernah menghardik bawang merah
karena menyebabkan tangis.
Air mata memang mesti menetes
untuk sesuatu yang mungil dan terlupakan.
Betapa pada santap siang, kita duduk mengomentari
bagaimana tekstur daging dan aroma rempah
tapi tak sekalipun membahas si bening bawang merah,
yang kini lumpuh, kini terbelah,
atau kerja abadi bawang merah:
Demi kepentingan yang lain,
ia sembunyi.

Pintu A-4

Saat berjalan santai di seputar ruang tunggu Bandara Albuquerque,
setelah tahu penerbanganku tertunda selama beberapa jam,
aku mendengar satu pengumuman: “Jika Anda berada di sekitar Pintu A-4
dan paham bahasa Arab, tolong segera mendatangi Pintu A-4.”

Nah—kau berhenti sejenak. Pintu A-4 adalah pintuku. Aku pergi ke sana.

Seorang perempuan tua dengan pakaian tradisional Palestina, gaun berhias
sulaman yang biasa dipakai nenekku, rebah di lantai, meratap. “Tolong,”
kata seorang pegawai maskapai. “Bicaralah padanya. Apa masalahnya?
Kami sampaikan pesawat akan terlambat dan ia langsung histeris.”

Aku membungkuk dan melingkarkan lenganku ke bahu perempuan tua itu,
bicara patah-patah. “Shu-dow-a, Shu-bid-uck Habibti? Stani schway,
Min fadlick, Shu-bit-se-wee?” Saat mendengar kata-kata yang ia akrabi,
meskipun diucapkan terbata-bata, ia berhenti menangis. Ia pikir pesawatnya
betul-betul dibatalkan. Ia mesti berada di El Paso untuk menjalani perwatan medis
yang penting esok hari. Aku berujar, “Tidak, kita tetap berangkat, hanya sedikit
terlambat, siapa yang akan menjemputmu? Mari kita hubungi.”

Kami menelepon putranya. Aku bicara padanya dalam bahasa Inggris.
Aku bilang aku akan menemani ibunya sampai kami naik pesawat nanti.
Ia bicara pada ibunya. Lalu kami menelepon putranya yang lain, sekadar
bersenang-senang. Lantas kami menelepon ayahku dan mereka berdua bercakap
dalam bahasa Arab dan, tentu saja, akhirnya tahu kalau mereka punya sepuluh
teman yang sama. Kemudian, kupikir apa salahnya menelepon beberapa penyair
Palestina yang kukenal dan membiarkan mereka berbincang? Percakapan yang
menghabiskan waktu dua jam.

Ia banyak tertawa saat itu. Berkisah tentang hidupnya, menepuk-nepuk lututku,
menjawab berbagai pertanyaan. Ia mengambil sekantung kue mamool buatan
sendiri—kue renyah dengan potongan kurma dan kacang yang dibaluri gula halus—
dari tasnya dan menawarkan kue itu pada para perempuan di sana. Aku takjub,
tak seorang pun menolak. Serupa sakramen. Turis dari Argentina, ibu-ibu dari
California, perempuan cantik dari Laredo—mulut kami semua belepotan gula halus.
Dan kami tersenyum. Rasanya tiada kue yang lebih lezat.

Lantas pihak maskapai membuka lemari pendingin dan dua pramugari berkeliling
membagikan jus apel pada kami semua dan gadis-gadis itu pun akhirnya ikut
berlumur gula halus. Dan kuperhatikan sahabat baruku—kini kami bergandeng
tangan—menyimpan sebuah pot tanaman di dalam tasnya, sejenis tanaman obat
dengan daun berbulu lembut. Tradisi lawas yang terus dipelihara. Selalu membawa
tanaman. Selalu berakar pada tempat asalmu.

Aku mengedarkan pandangan dan berpikir, inilah dunia yang ingin kutinggali.
Dunia yang dibagi bersama. Tiada seorang pun di ruang tunggu ini—selepas tangis
kebingungan itu terhenti—merasa was-was tentang orang lain. Mereka menyambut
kue itu. Aku pun ingin memeluk semua perempuan di sana.

Semua ini masih bisa terjadi di mana pun. Tak segalanya sirna.

Bahu

Seorang pria melintasi jalan raya di tengah hujan,
melangkah hati-hari, menengok dua kali ke utara dan selatan
sebab ia memanggul putranya di atas bahu.

Jangan ada mobil yang memercikkan genangan air.
Jangan ada mobil yang terlalu dekat pada bayangannya.

Pria ini membawa kargo paling berharga di dunia
meskipun ia tak ditandai.
Tiada keterangan tertulis di jaket si bocah: PECAH-BELAH,
PERLAKUKAN DENGAN HATI-HATI.

Telinganya dipenuhi embusan napas.
Ia mendengar senandung mimpi si bocah
jauh di dalam dirinya.

Kita tak akan bisa
hidup di dunia ini
jika kita tak mau berbuat yang sama
kepada sesama manusia.

Jalan hanya akan melebar.
Hujan tak akan berhenti turun.

Mengepal

Untuk pertama kali, di jalan di utara Tampico,
Aku merasa hidup tergelincir keluar dari diriku,
bunyi dentum di gurun, keras dan semakin keras.
Aku tujuh tahun saat itu, bersandar di kursi mobil
mengamati pohon-pohon palem yang berputar-putar
membentuk pola memusingkan di kaca jendela.
Perutku, melon yang terbelah lebar di bawah kulit.

“Bagaimana kau tahu kalau kau akan mati?”
aku bertanya pada ibuku.
Kami telah berkendara selama beberapa hari.
Dengan keyakinan yang garib, ia menjawab,
“Saat kau tak mampu lagi mengepal.”

Bertahun-tahun kemudian, aku tersenyum memikirkan
perjalanan itu, pos perbatasan yang mesti kami lintasi
secara terpisah, jejak kesengsaraan yang tak terjawab.
Aku yang tak mati, yang terus hidup, masih bersandar
di kursi belakang mobil dengan semua pertanyaanku,
mengepal dan membuka telapak tangan yang mungil.

—Enam puisi di atas diterjemahkan dari laman Academy of American Poets (http://poets.org/poems/naomi-shihab-nye), dengan judul asli, berturut-turut: 1) Red Brocade, 2) Many Asked Me Not to Forget Them, 3) The Traveling Onion, 4) Gate A-4, 5) Shoulders, dan 6) Making a Fist.

TENTANG PENYAIR

Naomi Shihab Nye, lahir di St. Louis, Missouri, Amerika Serikat pada 12 Maret 1952. Ayahnya seorang pengungsi Palestina, ibunya seorang Amerika keturunan Jerman-Swiss. Naomi melewati masa remajanya di Yerusalem dan San Antonio, Texas. Melalui puisi-puisinya, Naomi menyuarakan pengalaman seorang Arab-Amerika, khususnya yang berkaitan dengan tema warisan kultural dan perdamaian dalam spirit kemanusiaan. Buku kumpulan puisi yang telah diterbitkan, antara lain: Red Suitcase (1994), Fuel (1998), 19 Varieties of Gazalle: Poems of Middle East (2002), Transfer (2011), dan The Tiny Journalist (2019). Ia menerima sejumlah penghargaan, antara lain: Pushcart Prize, Guggenheim Fellow, Academy of American Poets’ Lavan Award, dan Lon Tinkle Award for Lifetime Achievement. Kini ia tinggal dan bekerja di San Antonio, Texas.