Author: kibulin

  • Jim [Roberto Bolaño]

    author = Andreas Nova

    Dulu aku punya seorang teman bernama Jim, dan dia adalah orang Amerika Utara yang paling menyedihkan yang pernah aku jumpai. Aku telah melihat banyak pria putus asa. Tapi tak ada yang semenyedihkan Jim. Suatu ketika dia pergi ke Peru-seharusnya lebih dari enam bulan, tapi tidak lama kemudian saya melihatnya lagi. Anak-anak jalanan di Meksiko pernah bertanya kepadanya, Jim, puisi itu apa? Mendengar mereka, Jim menatap awan dan kemudian dia mulai memuntahkan jawabannya. Kosakata, kefasihan, pencarian kebenaran. Pencerahan. Rasanya seperti kamu melihat penampakan Bunda Maria. Dia pernah dibegal beberapa kali di Amerika Tengah, itu mengejutkan, karena dia adalah seorang mantan marinir dan pernah bertempur di Vietnam. Tidak ada lagi perang, begitu kata Jim. Aku seorang penyair sekarang, mencari hal-hal luar biasa, mencoba mengungkapkannya dalam kata-kata biasa yang umum digunakan. Jadi menurutmu ada kata-kata biasa yang umum digunakan? Aku pikir ada, begitu kata Jim. Istrinya adalah seorang penyair Chicana1)Perempuan keturunan Meksiko atau blasteran Meksiko-Amerika Serikat; Sering sekali dia mengancam akan meninggalkan Jim. Dia menunjukkan fotonya padaku. Dia tidak terlalu cantik. Wajahnya menunjukkan penderitaan, dan di dalam penderitaan itu, ada kekecewaan. Aku membayangkan istrinya berada di sebuah apartemen di San Francisco atau sebuah rumah di Los Angeles, dengan jendela ditutup dan tirai terbuka, duduk di meja, makan seiris roti dan semangkuk sup hijau. Jim menyukai wanita berambut gelap, perempuan yang menyimpan sejarah rahasia, tanpa menjelaskannya lebih lanjut. Sedangkan aku sebaliknya, aku menyukai perempuan berambut pirang. Suatu ketika aku melihatnya menyaksikan tragafuegos2)Pemakan api di sebuah jalan di Mexico City. Aku melihatnya dari belakang, dan tidak menyapanya, tapi aku yakin kalau itu Jim. Rambut kusutnya, kemeja putih kotor, seolah-olah masih terbebani ranselnya. Entah bagaimana lehernya, lehernya merah, membangkitkan bayangan tentang hukuman gantung tanpa peradilan di negara ini—sebuah lanskap monokrom, tanpa papan reklame atau neonbox pom bensin—negara yang ada namun terasa tiada: satu hamparan tanah kosong yang kabur. Selanjutnya, kamar berdinding batu bata atau bunker dari tempat kami melarikan diri masih berdiri di sana, menunggu kepulangan kami. Jim memasukkan tangan ke kedua sakunya. Pemakan api melambaikan obornya dan tertawa keras. Wajahnya yang cemberut tak bernyawa: ia bisa berusia tiga puluh lima atau lima belas tahun. Dia bertelanjang dada dan ada bekas luka memanjang dari pusarnya sampai ke tulang dada. Sering sekali dia mengisi mulutnya dengan cairan yang mudah terbakar dan meludahkan api yang panjang laksana ular. Orang-orang di jalan akan memperhatikannya sebentar, mengagumi keahliannya, dan terus melanjutkan perjalanan mereka, kecuali Jim, yang tetap berada di pinggir trotoar, tetap diam, seolah mengharapkan sesuatu yang lebih dari si pemakan api, semburan kesepuluh (yang biasanya sembilan), atau seolah-olah dia melihat wajah seorang teman lama atau seseorang yang pernah dia bunuh. Aku mengamatinya cukup lama. Saat itu aku berusia delapan belas atau sembilan belas tahun dan percaya bahwa aku makhluk abadi. Jika aku menyadari bahwa aku tidak abadi, aku sudah pasti berbalik dan pergi. Setelah beberapa lama aku bosan melihat punggung Jim dan tatapan si pemakan api. Jadi aku mendekat dan memanggil namanya. Jim seperti tidak mendengarku. Saat dia berbalik aku melihat wajahnya berkeringat. Dia tampak demam, dan butuh beberapa saat untuk mengenaliku; Dia menyapaku dengan anggukan dan kemudian kembali melihat si pemakan api. Aku berdiri di sampingnya, melihat dia sedang menangis. Mungkin dia demam. Aku juga menemukan sesuatu yang mengejutkanku—lebih terkejut daripada saat menulis ini: Si pemakan api melakukan pertunjukan khusus untuk Jim, seolah semua orang yang lewat di tikungan jalan di Mexico City sama sekali tidak ada. Terkadang nyala api masuk ke tempat kami berdiri. Tunggu apa lagi, kataku, kau ingin terpanggang di jalan? Itu adalah sebuah kata-kata yang bodoh, aku mengatakannya tanpa berpikir, tapi kemudian aku terjatuh: itulah yang Jim tunggu. Tahun itu, sepertinya aku ingat, ada sebuah lagu yang terus mereka mainkan di beberapa tempat yang lebih funky, Chingado y hechizado3)Kacau dan terkesima. Itu adalah Jim: chingado dan hechizado. Mantra Meksiko telah mengikatnya dan sekarang dia melihat iblisnya tepat di wajah. Ayo keluar dari sini, kataku. Aku bertanya juga kepadanya apakah dia teler, atau merasa sakit. Dia menggelengkan kepalanya. Si pemakan api menatap kami. Kemudian, dengan pipinya terengah-engah seperti Aeolus, dewa angin, dia mulai mendekati kami. Dalam sepersekian detik aku menyadari bahwa itu bukan embusan angin yang akan kita dapatkan. Ayo pergi, kataku, dan menarik Jim menjauh dari tepi trotoar yang berbahaya. Kami pergi dari jalan dan menuju Reforma4) Paseo de la Reforma; jalan utama yang besar dan sangat lebar yang membelah diagonal di jantung Mexico City. Nama Reforma diambil dari sebuah peristiwa bersejarah saat Meksiko melakukan reformasi yang menggulingkan kekaisaran Maximilian., dan setelah beberapa lama kami berpisah. Jim tidak mengucapkan sepatah kata pun sepanjang waktu itu. Aku tidak pernah melihatnya lagi.

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

    References   [ + ]

    1. Perempuan keturunan Meksiko atau blasteran Meksiko-Amerika Serikat
    2. Pemakan api
    3. Kacau dan terkesima
    4. Paseo de la Reforma; jalan utama yang besar dan sangat lebar yang membelah diagonal di jantung Mexico City. Nama Reforma diambil dari sebuah peristiwa bersejarah saat Meksiko melakukan reformasi yang menggulingkan kekaisaran Maximilian.

  • Jazz dan Tuak Nira [Emmanuel Boundzéki Dongala]

    author = Bagus Panuntun

    Diterjemahkan secara kolaboratif oleh Bagus Panuntun dan Gustu Wino.

    I

    Mereka datang dari langit berupa dua bola cahaya yang saling mengitari seperti sepasang kunang-kunang. Mereka terbang melewati seorang perempuan yang sedang bekerja di ladang dan mendarat perlahan di sampingnya. Panik melihat dua makhluk asing turun dari piring terbang itu, si perempuan lari terbirit meninggalkan barang-barang berharga termasuk keledainya. Kedua makhluk itu lalu mendekati si keledai, meletakkan satu tangan di atas pusar mereka, menundukkan kepala (sebagai tanda hormat ?), dan menekan sebuah tombol di mini kaset yang mereka bawa; satu kalimat dalam bahasa Swahili terdengar:

    • Bisakah kau mengantar kami ke tempat presiden?

    Tapi keledai itu justru ketakutan dan berlari ke arah desa. Kedua makhluk itu mengikutinya karena mengira si keledai mengantar mereka ke rumah presiden bangsa manusia. Pada saat bersamaan, perempuan tadi telah sampai di desa dengan nafas ngos-ngosan, buah dadanya menjuntai, dan wajahnya tersayat ranting-ranting semak belukar. Ia lalu berteriak hingga membangunkan penduduk satu desa : “Cepat… lari cepat… Ada pi..piring terbang. Ada makhluk aneh warnanya biru logam. Tubuhnya mirip manusia tapi rambutnya hijau. Jalannya tersentak-sentak dan sangat menyeramkan.”

    Semua warga terkesiap. Anak-anak bersembunyi di kolong ranjang, para perempuan memasang jimat dan grigri di sekeliling rumah, dan para pria mengangkat senjata, dari mulai panah sampai tombak. Sedangkan para veteran perang menyusun strategi yang pernah mereka pelajari saat membantu Prancis di dua perang dunia, lalu mengambil senapan dan mengambil posisi mengelilingi kota.

    Keledai itu sampai di desa sambil meringkik tapi terhenti dengan tubuh dihujani peluru dan anak panah. Begitu pula dengan dua makhluk tadi. Tanpa sempat bergerak dan mengucapkan sepatah kata pun, tubuh mereka telah diberondong senjata hingga keduanya ambruk, yang satu tersungkur dan yang satu terlentang. Gumpalan-gumpalan darah biru pirus mengucur dari bekas luka mereka. Mayat-mayat itu lalu mengering begitu saja, berubah menjadi debu biru dan menguap di hadapan warga yang masih terperangah. Saat itulah, kawan-kawan mereka yang masih menunggu di pesawat memahami apa yang terjadi. Kedua piring terbang itu segera tinggal landas dan menghilang dalam cakrawala.

    II

    Mereka datang lagi dari empat penjuru mata angin, berlalu-lalang, bersinar, dan menari-nari gila di langit sebelum mendarat. Ada puluhan, ratusan, bahkan ribuan piring terbang yang mendarat dan menutupi sabana Kongo hingga melembak ke sungai Kinshasa. Mereka yang jatuh di sungai seketika tenggelam atau perlahan terseret arus dan terjebak pusaran air lalu hanyut terbawa riam ke hilir dan terbentur granit-granit raksasa. Sebagian lainnya meledak begitu saja ketika menyentuh air, membuat kuda nil dan buaya-buaya mengamuk, sementara burung-burung air melarikan diri ke padang teratai dan memekik ketakutan. 

    Makhluk itu datang dengan jumlah puluhan, ratusan, ribuan.  Langit pun menjadi sesak. Mereka mendarat di Brazzaville dan Kinshasa. Di Brazzaville, mereka jatuh di atas gedung-gedung hingga membuat bangunan-bangunan itu hancur dan terbakar. 3 piring terbang jatuh di atas Istana Presiden, menembus atap, dan terjun di ruang kamar sebelum akhirnya meledak : hanya lencana-lencana sang Presiden saja yang sempat terselamatkan. Mereka juga jatuh di atas Kedutaan Uni Soviet, di atas Bundaran Perdamaian, di atas gedung Radio Kota yang tidak mengudara lagi, dsb.

    Dan semua kepanikan ini barulah permulaan.

    III

    Amerika serikat menawarkan apa yang mereka sebut “saturation bombing”, bom karpet yang pernah mereka gunakan di Dresden, Jerman, dan dimutakhirkan di Vietnam. Tentu sudah jadi resiko penduduk lokal jika dalam proses pemutakhiran itu, mereka ikut terbunuh. Lagipula, tidak hanya bumi tetap berputar sejak puluhan ribu suku indian dibantai, tapi Amerika juga tetap menjadi negara adidaya. Rusia sebaliknya, mereka hanya menawarkan metode lama dengan intervensi militer: mengirim tank-tank dan kendaraan tempur lapis baja seperti yang pernah mereka lakukan di Hungaria, Cekoslovakia, dan Afghanistan. Menanggapi situasi ini, Cina mengusulkan mengirim puluhan juta pasukannya ke Lembah Kongo; sehingga andaipun ada beberapa juta pasukan yang terbunuh, jumlah mereka akan tetap cukup untuk menaklukan para makhluk penjajah yang menurut mereka hanya seperti macan kertas. Kuba, belajar dari Vietnam dan Korea Utara, mengusulkan metode perang gerilya : jika penjajah maju, kita mundur; jika mereka mundur, kita yang maju, dengan begitu kita bisa menebak kelemahan dan kekuatan mereka. Afrika Selatan mengusulkan pemasangan pagar berduri, semacam garis ala Perdana Menteri Verwoerd, di sekeliling wilayah yang terkontaminasi musuh dan menempatkan para prajurit kulit putih totok di sepanjang garis tersebut. Lalu, semisal kita berada di sana, kita dapat dengan mudah memantau dan menempatkan di luar pagar orang-orang kulit hitam, Arab, Cina, Indian Amerika, India, Papua, Melayu, Eskimo… (cukup, kita tak punya banyak waktu untuk menyebut semua bangsa di dunia.) Delegasi Namibia sepertinya sadar bahwa usulan Afrika Selatan akan mengorbankan kemanusiaan. Akan tetapi, delegasi Afrika Selatan menjawab bahwa Si Tuan Namibia menggunakan kata “kemanusiaan” secara berlebihan. Toh seandainya yang dimaksud delegasi Namibia itu benar, hal itu bukanlah pengorbanan yang terlalu besar asal bisa menyelamatkan bangsa kulit putih. 

    Mendengar itu, delegasi-delegasi Asia-Afrika keluar dari ruang musyawarah sebagai tanda protes…

    Sementara itu, makhluk-makhluk asing tetap datang dalam jumlah puluhan, ratusan, ribuan. Mereka memenuhi Lembah Kongo hingga menyebar ke Douala, Abidjan, Tenkodogo, Timbuktu dan telah menguasai seluruh wilayah utara Kongo. Mereka juga menyerbu wilayah selatan dan langsung mengancam tambang-tambang penting di Katanga – tempat yang dulu disebut Shaba.

    Tak ada solusi yang benar-benar berjalan, semuanya buntu. Delegasi Uni Soviet menyalahkan Amerika yang tidak melakukan apapun untuk mengantisipasi invasi tersebut dan mencurigai Amerika sebagai dalang di balik semua ini. Fakta bahwa Kedutaan Besar Uni Soviet telah diserang sembilan puluh sembilan kali cukup membuktikan kecurigaan tersebut. Delegasi Amerika membalas dengan tegas bahwa Kedutaan Besar mereka di Boko juga telah diserang. Lagipula kata Amerika, sudah jadi rahasia umum kalau Soviet selalu ingin menyabotase pekerjaan Dewan Keamanan PBB. Siapa tahu kalau balik semua ini ada persekongkolan untuk melakukan sovietisasi dunia? Tapi delegasi Soviet segera mengingatkan delegasi lain bunyi semboyan Amerika : “lebih baik mati daripada merah!”. Di antara mereka, delegasi eSwatini yang sudah terbiasa dengan keributan siang malam  di harem – ia punya 14 istri dan 33 anak – memotong pembicaraan delegasi Soviet dan Amerika agar perdebatan sepenting ini tidak melenceng terlalu jauh. Bagaimanapun, percuma saja merundingkan penyebab bencana ini berlarut-larut. Sebab, setelah bertanya pada para leluhur yang mengetahui segala bentuk derita manusia, ia sudah mendapat jawaban: semua ini hanya sihir orang kulit putih rasis untuk membasmi semua bangsa kulit berwarna, sebagaimana yang pernah mereka lakukan pada orang kulit kuning di Song-My dan di My-Lai, orang kulit hitam di Sharpeville dan Soweto, dan anggota Black Panther di Amerika Serikat. Perkataan ini, yang disiarkan radio PBB via satelit Terra I, menyulut emosi orang-orang Harlem dan membuat para militant Black Power melakukan protes sambil membawa potret Malcolm X, Lumumba, Nelson Mandela dan Paul Robenson. Sementara itu, delegasi Prancis Jawara Kartesian, Jawara Afrika, Jawara Dunia Ketiga, mengingatkan seluruh delegasi untuk tidak menerima solusi manapun terutama dari Soviet dan Amerika, yang menurutnya akan berakibat lebih buruk daripada ancaman yang sedang menimpa dunia sekarang. Setelah itu, ia justru berhikayat tentang kisah sukses intervensi militer Prancis di Afrika. Namun, segera terhenti oleh protes delegasi-delegasi Asia-Afrika.

    Perundingan masih berujung buntu.

    Sementara itu di belahan bumi utara, makhluk-makhluk asing telah mencapai Eropa dan Amerika. Di Aulnay-sous-Bois, pinggiran kota Paris, piring-piring terbang itu jatuh di atas paviliun Monsieur dan Madame Millet. Di Litchfield, kota kecil negara bagian Connecticut, Amerika, mereka jatuh di atas rumah dokter Huvelle yang langsung panik dan mengungsi ke rumah tetangganya, seorang arsitek Inggris. Mereka juga masih berjatuhan di Afrika. Di Afrika Tengah, mereka datang bersamaan dengan intervensi Prancis. Di Komoro, mereka datang ketika Presiden dibunuh oleh pasukan bunuh diri yang dikirim antek imperialisme. Mereka juga telah menguasai sepenuhnya tambang-tambang Shaba dan beberapa telah sampai di sungai Limpopo…

    Delegasi Belgia bersikeras agar keputusan segera diambil, bahkan jika itu berpihak pada NATO. Pasca serangan di Johannesbourg, delegasi Afrika Selatan – yang air mukanya sudah sepucat kain kafan – berdiri dan menyatakan siap menerima solusi konkret dari siapapun bahkan dari orang non-kulit putih. Lalu, delegasi Kenya berdiri  mengusulkan untuk, mengikuti tradisi Afrika, mencari kepala suku makhluk asing tersebut. Ujarnya, kita harus mengundang tetua-tetua mereka untuk duduk berunding di bawah pohon keramat sambil minum tuak nira. Pada kesempatan itulah, kita bisa mengamati dan mempelajari mereka.

    Usulan terakhir diterima dengan bulat.

    IV

    Tentu saja ! Jazz dan tuak nira ! Tuak nira punya efek menenangkan (hasil penelitian Laboratorium Beaujolais, Prancis) dan mereka pasti sangat menyukainya. Musik John Coltrane akan membuat mereka dalam kondisi katatonik seperti melayang di nirwana (Laboratorium Katmandou, Nepal). Apalagi, disambung dengan musik kosmik Sun Râ yang akan membuat mereka semakin lincah (Laboratorium Wernher-Braun bekerjasama dengan Laboratorium Gagarin dari Moskow). Ini satu-satunya solusi yang akan berhasil. Kita tak akan bisa melukai, menusuk, apalagi membakar mereka. Mereka juga tidak suka whisky, air, apalagi perempuan. Tak satupun! Hanya jazz dan tuak nira!

    Jutaan piringan John Coltrane pun dicetak dengan sembunyi-sembunyi. Sepanjang sejarah, belum pernah pertanian tropis dan industri tuak mendapat omset semelonjak ini dan belum pernah pula para agronom dan ahli tanah dibutuhkan seperti sekarang. Selain itu, Sun Râ dianggap seperti raja dan kelompok orkestra ini mendapat tawaran panggung yang tak terhitung jumlahnya. 

    V

    Pesta akhirnya tiba. Untuk memperingati sepuluh tahun penjajahan Bumi atau la Grande Conquête—seperti yang disebut dokumen-dokumen resmi sejarah—semua presiden dan pemimpin-pemimpin negara di Bumi datang ke ibukota Kongo. Titik awal terjadinya kolonisasi. Kepala negara Afrika Selatan diperbolehkan datang dengan syarat tidak berjabat tangan dengan Sun Râ yang saat ini tengah diidolakan semua orang. Pun jika ia merengek atau bertekuk lutut, larangan tetap larangan !

    Lalu tiba saatnya pidato dari makhluk penjajah. Makhluk luar angkasa ini menyanjung keberanian, sains, kecerdasan, kebajikan, dan lain-lain, yang telah mereka bawa, yang tanpanya Bumi tidak akan seperti sekarang. Presiden Organisasi Persatuan Afrika juga memberikan pidato : “kami penduduk bumi, hasil percampuran budaya antar semesta, mencoba membaurkan budaya dua dunia sebaik mungkin. Di satu sisi, ada kontribusi intelektual dan ilmu pengetahuan dari sahabat kita, penakluk semesta, yang telah menyinari dunia hingga bintang Sirius dan Vega. Di sisi lain, ada budaya bumi yang mengatur semua hal berdasarkan ritme siang dan malam, budaya candra (seks, waktu bercinta, dan emosi), dan budaya surya (rasionalisme, individualisme, absurditas).” Kemudian ada pula pidato dari para presiden: Presiden Jendral Besar, Presiden Komandan, Presiden Kolonel, Presiden Rakyat, Presiden Penyair, dan Menteri-menterinya. Di akhir perayaan, pada acara ramah tamah, kepala suku penjajah mengingatkan sembari bercanda tentang legenda dewa anggur di bumi bernama Bacchus. Untuk menunjukkan jika mereka peduli pada tradisi bumi, mereka melakukan penghormatan kepada Bacchus dengan meneguk satu-satunya hal terdahsyat yang pernah mereka temukan di Bumi: tuak nira. Delegasi Bumi menyusul berdiri dan mengatakan bahwa ada tradisi lain yang tidak kalah penting di Bumi yakni, memberikan ciuman hangat di leher tamu. Setelah mendapat ciuman, kepala suku penakluk semesta pun mengangkat gelasnya dan mulai menenggak tuaknya. Semua yang hadir berebut jutaan liter tuak yang disediakan gratis di seluruh dunia. Selama tuak belum tandas, mereka akan minum, minum, dan minum sampai tuntas…

    Lalu tiba-tiba, terdengar suara merdu saksofon John Coltrane dari semua sudut Bumi. Dari rumah-rumah, dari bawah tanah, bahkan dari langit. Makhluk-makhluk itu lalu menggoyangkan kepala dan mengikuti ritme musik dengan tatapan kosong. Tak berselang lama, sejauh mata memandang, hanya ada tubuh-tubuh yang menari gila seperti kesurupan. Siapapun, bahkan presiden Amerika Serikat tidak dapat menahan godaan suasana di sekelilingnya! Ia bertepuk tangan dan menghentakkan lantai dengan sepatu boot cowboy-nya sembari berteriak “I’ve got rhythm, man! And soul!”. Presiden Republik Sosialis Uni Soviet tidak mau kalah. Ia melakukan tarian ala Georgia dan memekik “tovaritch, tovaritch!”. Saat orkestra Sun Râ memanaskan suasana hingga mencapai klimaksnya, makhluk-makhluk asing itu tiba-tiba menguap dan sekejap sirna di udara.

    Merasa bahagia, seluruh manusia melanjutkan tariannya, saling mencumbu, dan merayakan kemerdekaan yang mereka raih kembali. Berkat peristiwa ini, Sun Râ menjadi musisi jazz kulit hitam pertama yang menjadi presiden Amerika Serikat. Sejak saat itu pula, setiap tahunnya, peminum tuak paling ulung di dunia dinobatkan sebagai Sekjen PBB. Dan sejak saat itu, musik jazz akhirnya menguasai dunia.

    Epilog: Setahun setelah peristiwa itu, John Coltrane mendapat gelar Santo Trane dari Paus. Komposisi pertama dari karyanya, A LOVE SUPREME, menggantikan GLORIA dalam Misa Katolik.

  • Gadis [Jamaica Kincaid]

    author = Edwin Anugerah Pradana

    Cuci pakaian putih di hari Senin, kemudian keringkan di atas tumpukan batu; cuci pakaian yang berwarna selain putih pada hari Selasa, dan gantung di tali jemuran; kenakan topi ketika berjalan di bawah terik matahari; goreng labu dengan minyak yang sudah sangat panas; langsung rendam pakaian dalammu setelah kau memakainya; pastikan kau mengenakan baju yang bersih ketika membeli kapas karena itu akan sulit untuk dibersihkan; rendam ikan asin selama satu malam sebelum kau memasaknya; apakah benar kau menyanyikan lagu cabul di sekolah Minggu?; pastikan makanan yang kau santap tidak menyinggung perasaan orang lain; di hari Senin, cobalah berjalan layaknya seorang putri, hentikan kebiasaan berjalanmu yang buruk itu; jangan menyanyikan lagu cabul di sekolah Minggu; kau tidak boleh berbicara dengan laki-laki urakan, bahkan jika hanya menunjukkan arah jalan; jangan makan buah-buahan di pinggir jalan, menjijikkan dan terlalu banyak lalat. 

    “Tapi aku tidak menyanyikan lagu cabul sama sekali di sekolah Mingguku”.

    Begini cara untuk menjahit kancing baju; ini adalah cara untuk membuat lubang cantelan dari kancing yang sudah kau jahit itu; ini adalah cara bagaimana mengelim sebuah gaun agar kau tak tampak buruk seburuk gaya berjalanmu; ini adalah cara menyetrika kemeja khaki ayahmu tanpa membuatnya kusut; ini adalah cara menanam okra—pastikan itu cukup jauh dari rumah agar tidak mengundang semut rangrang; pastikan talas yang kau tanam mendapat air yang cukup, sebab itu akan membuatnya mudah dikonsumsi; ini adalah cara menyapu pojok ruangan; ini adalah cara menyapu seluruh ruangan; ini cara menyapu halaman; ini adalah cara tersenyum pada orang yang tidak terlalu kau sukai; ini adalah cara tersenyum pada orang yang sama sekali tidak kau sukai; ini adalah cara tersenyum pada orang yang sangat kau sukai; ini adalah cara menata meja untuk menikmati teh; ini adalah cara menata meja untuk makan malam; ini adalah cara menata meja untuk makan malam dengan tamu spesial; ini adalah cara menata meja untuk sarapan; ini adalah cara untuk bersikap pada pria yang tidak terlalu kau kenal, dan ini akan mencegah mereka menyadari akan cara berjalanmu yang buruk itu; pastikan kau mencuci setiap hari, bahkan ketika kekeringan pun; jangan bermain kelereng—kau bukan anak laki-laki, kau tahu itu; jangan memetik bunga milik orang lain—atau mungkin mengambil sesuatu; jangan melempari burung-burung hitam dengan batu—sebab mungkin kau tidak paham mana yang benar-benar burung hitam; ini adalah cara membuat kue puding; ini adalah cara membuat doukona; ini adalah cara membuat pot merica; ini adalah cara membuat jamu untuk flu; ini adalah cara membuat jamu pencegah kehamilan; ini adalah cara memancing ikan; ini adalah cara mengembalikan ikan yang tidak kau inginkan, juga menjauhkanmu dari kesialan; ini adalah cara untuk mengintimidasi seorang pria; ini adalah bagaimana pria mengintimidasimu; ini adalah cara untuk mencintai seorang pria, dan jika ini tidak berjalan lancar pertimbangan cara lainnya, dan jika itu tetap gagal, jangan takut untuk menyerah; ini adalah cara meludah ke atas jika kau menyukainya, dan ini adalah cara menghindar agar kau tidak terkena ludahmu sendiri; ini adalah cara untuk mengakhiri pertemuan; cek roti-roti, dan pastikan semuanya layak makan.

    “Namun bagaimana jika si pembuat roti tidak mengizinkanku untuk mengeceknya?”

     Maksudmu, setelah itu semua, kau tidak mampu  menjadi  wanita yang bisa membuat seorang tukang roti mengizinkanmu untuk berada di dekatnya?

    Girl oleh Jamaica Kincaid ditulis pada 1978, diterjemahkan dari bahasa Inggris. Naskah cerpen diambil dari situs Newyorker.

    Jamaica Kincaid adalah penulis esai, buku, novelis dan cerpenis wanita Jamaika yang lahir pada 25 Mei 1949. Bukunya A Small Place (1988) dan novel yang berjudul Lucy (1990) adalah dua karya yang melambungkan namanya dalam khazanah novelis pos kolonial dan feminin.

  • Funes Si Pengingat [Jorge Luis Borges]

    author = Maestro Simanjuntak

    Aku “mengingat” pria itu (Aku tidak punya hak mengatakan kata keramat ini, hanya satu orang di dunia ini yang punya hak dan dia telah mati) dengan bunga gelap menyala dalam genggamannya, melihatnya seolah tidak ada orang lain yang pernah melihatnya, seumur hidup. Aku mengingat Dia, dengan wajahnya yang tenang dan mirip Indian serta luar biasa terasing, tersembunyi di balik rokok. Aku mengingat (Aku rasa), jalinan kulit tangannya yang kasar bergerigi. Aku mengingat di dekat tangan-tangan itu minuman mate dengan gelas labu bergambar lambang kebesaran Uruguay; Aku mengingat penyekat ruangan berwarna kuning dengan pemandangan samar-samar danau pada jendela rumahnya. Aku dengan jelas mengingat suaranya: pelan, kasar, suara sengau khas orang pinggiran, tanpa desis-desis khas italia yang kita gunakan saat ini. Aku hanya bertemu tiga kali dengannya: terakhir kalinya pada 1887..Aku merasa sangat lega mengetahui bahwa mereka yang mengenal Dia harus menulis tentang Dia; testimoni ku mungkin akan menjadi yang paling singkat dan tidak diragukan lagi paling buruk, juga yang paling tidak objektif dalam jilid yang akan kau susun. Statusku yang tercela sebagai orang Argentina akan mencegahku berpuas diri dalam bersyair, sebuah genre wajib ketika subjeknya seorang Uruguay. Cendekiawan, orang kota, bung: Funes tidak pernah mengatakan kata-kata tercela tersebut, tapi Aku cukup yakin Aku mewakili kata-kata itu. Pedro Leandro Ipuche telah menuliskan bahwa Funes adalah pelopor dari orang-orang super, “Zarathustra dengan Logat asli dan tidak berpendidikan.” Aku tidak ingin mendebat gagasan ini, tetapi harap jangan dilupakan bahwa Funes juga seorang bocah yang berasal dari Fray Bentos, dengan kekurangan-kekurangan yang manusiawi.  

    Kenangan pertamaku akan Funes sangat jelas. Aku bisa melihatnya pada suatu petang di bulan Maret atau Februari pada tahun 1884. Ayahku pada tahun tersebut, membawaku menghabiskan musim panas di Fray Bentos. Waktu itu Aku baru saja kembali dari peternakan di San Fransisco dengan sepupuku Bernardo Haedo. Kami bernyanyi seraya menunggang kuda bersama, hal ini bukan satu-satunya kegiatan yang membuatku bahagia. Setelah hari yang pengap, badai sehitam papan tulis telah menutupi langit. Didesak angin selatan, pepohonan menjadi liar tidak karuan: Aku ketakutan (dan penuh harap) kekuatan alam hujan akan menerbangkan kami secara tiba-tiba ke alam terbuka. Kami seakan berlomba dengan badai. Kami memasuki jalan gang yang ditutupi dinding bata tinggi di kedua sisi jalan; Aku mendengar langkah kaki yang tergesa dan hampir tidak bersuara dari atas: Aku mendongak dan melihat seorang bocah berlari sepanjang jalan sempit dan rusak bagai tembok yang sempit dan rusak. Aku mengingat terusan koboinya yang panjang dan longgar, sepatu bersol tali, Aku mengingat rokok pada wajahnya yang menegang, berlatarkan awan badai tidak berujung. Bernardo sekonyong-konyong berseru padanya, “Jam berapa sekarang, Ireneo?” tanpa menatap langit, tanpa berhenti, Dia menjawab: “Sekarang jam delapan lewat empat menit, Tuan Bernando Juan Fransisco.” Suaranya melengking, menghina. 

    Aku tidak menghiraukan percakapan mereka, percakapan yang tidak menarik minat ku jika saja sepupuku, yang Aku percaya-terdorong oleh sebuah kebanggaan dan kemauan untuk menunjukkan bahwa Dia acuh terhadap jawaban pihak ketiga, memberitahuku bahwa bocah yang kami temui di jalan gang adalah Ireneo Funes, terkenal dengan ciri khasnya sebagai penyendiri dan selalu mengetahui dengan tepat, waktu, seperti arloji. Sepupuku menambahkan bahwa Funes adalah anak dari tukang setrika di kota, Maria Clementina Funes, dan beberapa orang mengatakan bahwa ayahnya adalah seorang dokter di pengepakan daging, seorang Inggris bernama O’connor, dan beberapa orang mengatakan Dia adalah pawang kuda dan pemandu jalan dari area Salto. Dia tinggal bersama ibunya, di sekitar sudut perumahan Laureles. 

    Sekitar tahun delapan puluh lima dan delapan puluh enam, kami menghabiskan waktu di Montevideo. Pada tahun delapan tujuh Aku kembali ke Fray Bentos. Aku bertanya, sewajarnya, tentang para kenalan dan akhirnya tentang “Si maha tepat” Funes. Aku diberitahu bahwa Dia dilemparkan oleh kuda yang separuh jinak dan menjadi lumpuh putus asa. Aku mengingat sensasi sihir jahat yang dihasilkan kabar tersebut dalam diriku: terakhir kali Aku melihatnya adalah ketika kami kembali dari San Fransisco menunggangi kuda dan Dia berlari di dataran tinggi; kenyataan ini, diberitahukan oleh sepupuku Bernardo, mirip dengan kualitas mimpi yang terbentuk dari komponen masa lalu. Aku diberitahu bahwa Dia tidak pernah keluar dari ranjangnya, dengan mata terpaku pada pohon ara di belakang rumah atau pada jaring laba-laba. Pada petang hari, Dia akan membiarkan dirinya dibawa ke depan jendela. Dia tetap mengusung kehormatannya seakan kejadian yang membuatnya terpuruk seolah mengandung hikmah… Dua kali Aku melihatnya di belakang jeruji besi jendela, yang secara tidak langsung menggambarkan kondisinya sebagai tahanan seumur hidup: pertama kali, Dia sama sekali tidak bergerak, dengan mata tertutup; di lain waktu, juga sama sekali tidak bergerak, tenggelam merenung dalam semerbak tanaman Santonica.  

    Tidak bermaksud menyombongkan diri, pada saat itu Aku telah memulai penelitian metodikal Latin. Koper ku berisi De viris illustribus oleh Lhomond, Quicherrat’s Thesaurus, the commentaries oleh Julius Caesar, dan sebuah jilid dari Naturalis Historia-nya Pliny. Yang kemudian mengembangkan (sampai saat ini) wawasan ku yang terbatas sebagai pakar Latin. Semua hal segera diketahui umum di kota kecil; Ireneo, di rumahnya pada pinggiran kota, tidak butuh waktu lama untuk mengetahui kedatangan buku-buku aneh tersebut. Dia mengirimiku surat yang berbunga-bunga dan resmi dimana Dia membahas pertemuan kami yang sayangnya cukup singkat, “Pada hari ketujuh bulan Februari pada tahun 1884,” kiranya Tuhan membalas jasa-jasa Paman ku Gregorio Haedo, yang meninggal pada tahun yang sama, “perang terjadi antara kedua negara kita yang gagah berani di Ituzaingo.” Dia meminta untuk meminjamkan beberapa jilid buku ku, bersama sebuah kamus “untuk pengetahuan akan naskah asli, karena Aku seorang Latin yang bodoh.”. Dia berjanji akan memulangkan mereka dalam kondisi yang baik, secepatnya. Tulisan tangannya sempurna, dengan garis-garis yang tajam, pengejaannya, adalah jenis pengejaan yang disenangi Andres Bello: i sebagai y, j untuk g. Pada mulanya Aku mengira ini adalah guyonan. Sepupuku lalu meyakinkan ku, bahwa ini bukan guyonan dan ini salah satu ciri khas Ireneo. Aku tidak tahu apakah Aku harus merasa tersanjung atau terhina, ketidaktahuan dan kebodohan dari gagasan bahwa logat lidah Latin yang sulit membutuhkan instrumen seperti kamus; untuk membuat Dia sepenuhnya kecewa, Aku mengiriminya Gradus and Parnassum of Quicherrat karya Pliny. 

    Pada hari ke empat belas Februari, Aku menerima telegram dari Buenos Aires memberitahukan Aku harus segera kembali, karena ayah ku “kurang sehat.” Semoga Tuhan mengampuni ku; kehormatan sebagai penerima telegram yang mendesak, keinginan untuk berbincang ke seluruh Fray Bentos, kontradiksi antara berita buruk dan keterangan yang memerintah, godaan untuk mendramatisasi penderitaanku, pemikiran Stoic jantan yang mempengaruhi, mungkin telah mengalihkanku dari segala kemungkinan duka yang nyata. Ketika Aku mengemasi koper, Aku melihat bahwa The Gradus dan jilid lainnya hilang. Kapal Saturn akan berlayar keesokan hari, pada pagi hari; malam harint, setelah makan malam, Aku berjalan ke arah Rumah Funes. Aku tercengang menemukan hari belum terlalu gelap dari yang seharusnya. 

    Di rumah kecil bersahaja, Ibu Funes membukakan pintu untukku. Dia memberitahuku Funes ada di ruang belakang dan agar Aku jangan terkejut menemuinya dalam keadaan gelap, karena Funes tahu bagaimana cara melewatkan jam-jam kosong tanpa menyalakan lilin. Aku berjalan melewati taman kecil, sebuah gang kecil, lalu sampai pada taman kecil kedua. Di sana ada punjung anggur; kegelapan tempat itu serasa sempurna buatku. Tiba-tiba Aku mendengar suara Ireneo yang nyaring, suara melengking. Suaranya dalam bahasa Latin; suarant (yang muncul dari dalam kegelapan) menyuarakan sebuah pidato murung atau doa yang bersahaja atau mantra. Suku kata romawi bergema di taman mini dari tanah; rasa takutku membuat mereka menjadi terdengar samar-samar dan tidak berujung; setelah itu, pada perbincangan panjang malam itu, Aku mengetahui bahwa mereka adalah jalinan paragraf pertama dari bab ke dua puluh empat buku ketujuh dari Naturalis Historia. Subjek dari bab tersebut adalah ingatan; kata-kata terakhir adalah: ut nihil non iisdem verbis redderetur auditum. 

    Tanpa sedikit pun perubahan suara, Ireneo memintaku untuk masuk. Dia berada di atas ranjangnt, sedang merokok. Sepertinya, Aku tidak bisa melihat wajahnya hingga fajar tiba; Aku percaya Aku mengenang kembali cahaya sigaretnya yang berkelap-kelip. Ruangan menguarkan bau lembap yang samar-samar. Aku duduk; mengulangi cerita tentang telegram dan penyakit ayahku. 

    Saat ini Aku tiba pada bagian tersulit dalam ceritaku. Cerita ini (sebaiknya para pembaca mengetahuinya saat ini juga) tidak mempunyai alur lain selain perbincangan yang terjadi setengah abad yang lalu. Aku tidak akan mengulang kata-kata yang diucapkan, yang saat ini tidak bisa diutarakan kembali. Aku lebih memilih meringkasnya dengan akurat tentang berbagai hal yang Ireneo katakan padaku. Gaya yang bertele-tele terasa berjarak dan lemah; Aku tahu saat ini Aku mengorbankan keampuhan naratif ku; para pembaca harus membayangkan sendiri jam-jam penuh keraguan yang merundungku malam itu.  

    Ireneo mulai dengan menuturkan, dalam bahasa Latin dan Spanyol, kasus-kasus orang dengan ingatan yang luar biasa mengesankan yang tercatat di Naturalis Historia : Cyrus, Raja Persia, yang mampu menyebut nama-nama setiap pasukannya; Mithridates Eupator, yang membuat peraturan/hukum dalam dua puluh satu bahasa daerah kekaisarannya; Simonides, penemu ilmu pengetahuan mnemonic, Metrodorus, yang melatih seni dalam mengulangi apa yang Dia dengar hanya satu kali. Dengan maksud yang baik, Ireneo terkesan bahwa kasus kasus seperti tersebut Dianggap luar biasa. Dia memberitahuku bahwa pada petang berhujan ketika kuda kelabu-kebiruan melemparkannya, Dia berubah menjadi manusia sesungguhnya: buta, tuli, bodoh, tidak berwawasan. (Aku mencoba untuk mengingatkan Dia tentang persepsi waktunya yang maha tepat, ingatannya akan nama-nama yang selalu benar; Dia menghiraukanku.) selama sembilan belas tahun Dia telah hidup sebagai seseorang dalam mimpi: Dia melihat tanpa memperhatikan, Dia mendengarkan tanpa menyimak, melupakan semuanya, hampir segalanya. Disaat Dia terjatuh, Dia tidak sadarkan diri; ketika sadarkan diri, masa kini yang kaya dan tajam hampir tidak bisa Dia terima, begitu juga dengan kenangannya yang jauh dan paling remeh.

    Beberapa waktu kemudian, Dia sadar Dia telah lumpuh. Kenyataan itu hampir tidak digubris olehnya. Dia beralasan (Dia merasa) bahwa mobilitas adalah harga yang terlalu murah. Saat ini persepsi dan ingatan yang Dia miliki betul-betul sempurna. 

    Kita, hanya dalam satu lirikan, mampu melihat tiga gelas pada sebuah meja; Funes, semua dedaunan, dan tangkai-tangkai serta buah yang berpadu membentuk anggur merambat. Dia tahu dengan mendetail, bentuk-bentuk awan selatan di petang hari pada tanggal 30 april, 1882, dan mampu membandingkan mereka satu dan yang lain dalam ingatan dengan noda belang-belang pada sebuah buku dalam bahasa Spanyol yang hanya pernah Dia lihat satu kali, dengan kontur dari buih-buih yang disebabkan sebuah dayung di Rio Negro malam sebelum pemberontakan Quebracho. Ingatan-ingatan tersebut bukanlah ingatan sembarangan; setiap gambaran visual terhubung dengan sensasi-sensasi otot, sensasi-sensasi suhu, dll. Dia bisa merekonstruksi mimpi-mimpinya, semua setengah-mimpinya, dua atau tiga kali Dia telah merekonstruksi satu hari secara menyeluruh; Dia tidak pernah ragu-ragu, tetapi semua rekonstruksi memakan waktu satu harian. Dia memberitahuku, “Aku sendiri mempunyai mimpi lebih banyak dari seluruh umat manusia sejak dunia tercipta.” Dan menambahkan: “Mimpi-mimpiku seperti jadwal bangun kalian.” Dan lagi menjelang subuh: “Ingatan kepunyaanku, Tuan, bagai setumpuk sampah.” Sebuah lingkaran digambar pada papan tulis hitam, sebuah segitiga siku-siku, sebuah bangun datar segi empat-semua ini adalah bentuk bentuk yang kita pahami dan tangkap dengan baik, Ireneo mampu melakukan hal yang sama dengan surai kuda pony yang bergelebar, dengan kawanan ternak di atas sebuah bukit, dengan api yang menyala-nyala dan abunya yang tidak terhitung, dengan banyak wajah orang-orang mati selama Dia hidup, Aku tidak tahu berapa banyak bintang yang bisa Dia lihat di langit. 

    Semua hal ini, yang Dia beritahukan padaku, tidak satupun dari mereka yang dulu maupun sekarang Aku ragukan. Pada masa itu tidak ada bioskop atau fonograf/perekam suara; bagaimanapun juga, sungguh aneh dan benar-benar mengesankan bahwa tidak ada seorang pun yang melakukan penelitian dan eksperimen pada Funes. Kenyataannya adalah bahwa kita menjalani hidup menunda hal-hal yang bisa ditunda; mungkin saja jauh di lubuk hati kita semua tahu bahwa kita abadi dan cepat atau lambat umat manusia akan melakukan dan mengetahui segala hal. Muncul dari kegelapan, suara Funes terus berbicara padaku. Dia memberitahuku bahwa pada 1886 Dia menemukan sistem penomoran original dan bahwa hanya dalam beberapa hari Dia sudah sampai pada lebih dari dua puluh empat ribu tanda. Dia tidak menuliskan apa-apa, karena apapun yang Dia pikirkan walau hanya sekali, tidak akan pernah hilang dari ingatannya. Gejala/stimulus pertama yang dialami, menurutku, adalah ketidaknyamanan yang Dia rasakan pada fakta bahwa 33 koboi dalam sejarah Uruguay yang terkenal membutuhkan dua tanda dan dua kata, di tempat dengan kata tunggal dan tanda tunggal. Dia kemudian mengaplikasikan hukum absurd tersebut ke angka-angka lain. Pada angka ke tujuh ribu tiga belas, Dia akan mengatakan (sebagai contoh) Maximo Perez; pada angka tujuh ribu empat belas, Dia akan mengatakan; rel kereta; angka-angka lainnya adalah Luis Melian Lafinur, Olimar, Sulphur, The Reins, The Whale, The gas, The Caldron, Napoleon, Agustin De Vedia. Pada angka lima ratus, Dia akan mengatakan sembilan. Setiap kata mempunyai tanda khusus, pada akhir seri sangatlah rumit…Aku mencoba menjelaskan bahwa komposisi istilah-istilah yang ganjil tersebut adalah persis kebalikan dari sistem angka. Aku memberitahunya bahwa mengucapkan 365 sama dengan tiga ratus,enam puluh, lima-analisis yang tidak bisa ditemukan pada “Numbers” di The Negro Timoteo atau Meat Blanket. Funes tidak memahamiku atau menolak memahamiku. 

    Locke, pada abad ke tujuh belas, mendalilkan (dan menolak) bahasa yang mustahil yang mana setiap benda individu, setiap batu, setiap burung dan tangkai, akan mempunyai nama masing-masing; Funes sekali waktu pernah memproyeksikan bahasa berkiasan, namun membuangnya karena baginya tampak terlalu biasa, terlalu ambigu. Kenyataanya Funes tidak hanya mengingat setiap daun pada setiap pohon, tetapi juga setiap kali Dia membayangkannya. Dia memutuskan untuk memperkecil daftar dari setiap masa lalunya menjadi sekitaran tujuh puluh ribu ingatan, yang kemudian ditentukan dengan sandi. Dia kemudian disusahkan karena dua pertimbangan: kesadaran bahwa pekerjaan ini tidak akan berakhir, kesadaran bahwa ini tidak berguna. Dia berpikir bahwa pada jam-jam kematiannya pun, Dia tidak akan mampu selesai mengklasifikasikan semua ingatan masa kecilnya.  

    Kedua proyek yang Aku sebutkan (kosakata tak terhingga dengan seri angka, katalog tidak berguna dari ingatannya) memang konyol, tetapi mereka memberikan sedikit pencerahan agung. Mereka mengizinkan kita menarik sesuatu dari alam dunia Funes yang memusingkan. Dia, jangan kita lupakan, adalah orang yang hampir tidak memahami gagasan-gagasan umum, secara intelektual. Tidak hanya begitu sulit baginya untuk menangkap bahwa simbol generik untuk “Anjing” mencakup banyak sekali bentuk dengan ukuran dan individu yang berbeda; hal itu mengganggunya bahwa anjing pada angka tiga empat belas (dilihat dari samping) seharusnya mempunyai nama yang sama dari anjing pada angka tiga lima belas (dilihat dari depan). Wajah Funes dalam cermin, tangannya sendiri, mengagetkannya setiap kali melihat mereka. Seolah berkaitan erat, bahwa kaisar para Liliput mampu mencerap pergerakan jarum jam; Funes disisi lain mampu mencerap perkembangan dari korupsi, tipu daya, dan kemunduran. Dia bisa mencatat pergerakan kematian, kelembapan. Dia adalah penonton yang sendirian dan nyata dari dunia yang persis, bermacam-macam, instan dan hampir tak tertahankan. Babilonia, New York, London dijejali dengan imajinasi-imajinasi manusia yang megah dan ganas; tidak satupun dari menara menara mereka yang padat atau jalanan mereka yang berdesakan, pernah merasakan panas dan tekanan dari kenyataan yang tidak kenal lelah seperti siang dan malam yang menghimpit Ireneo yang malang, di pinggiran kota Amerika Selatan. Begitu sulit baginya untuk tidur. Tidur adalah memalingkan pikiran seseorang dari dunia; Funes, berbaring di atas ranjang di balik bayang-bayang, mampu membayangkan setiap celah, setiap retakan, setiap bagian yang di cor, mampu menggambarkan sampai pada hal terkecil rumah yang menaunginya. (Aku ulangi bahwa yang paling kurang berguna dari ingatan-ingatannya adalah menit demi menit yang lebih hidup dari persepsi kita tentang kenikmatan fisik atau siksaan fisik). Di arah timur, sepanjang bentangan yang belum terbagi menjadi blok-blok, terdapat beberapa rumah baru, asing bagi Funes. Dia membayangkan rumah-rumah itu, hitam, padat, terbuat dari kegelapan yang merata; Dia akan memutar wajah ke arah tersebut agar bisa tidur. Dia juga akan membayangkan dirinya berada di dasar sungai, terbenam dan diremukkan arus. 

    Tanpa usaha sama sekali, Dia menguasai bahasa Inggris, Prancis, Portugis dan Latin. Aku menduga, bagaimanapun, bahwa Dia tidak terlalu mampu berpikir. Berpikir berarti melupakan perbedaan-perbedaan, generalisasi, membuat abstraksi-abstraksi (memisahkan, menyusun, menetapkan).  

    Cahaya lemah dari sang fajar memasuki taman kecil yang terbuat dari tanah. Lalu Aku melihat wajah pemilik suara yang telah berbicara sepanjang malam. Ireneo berusia sembilan belas tahun; Dia lahir pada tahun 1868; Dia terlihat bagiku se monumental perunggu, lebih kuno dari Mesir, lebih tua dari nubuatan dan Piramid-piramid. Aku berpikir bahwa setiap kata-kata ku (juga setiap pergerakanku) akan tersimpan dalam ingatan tak bercela miliknya, Aku dilumpuhkan oleh rasa takut akan menambahkan gestur-gestur yang tidak berguna. 

    Ireneo Funes wafat pada tahun 1889, disebabkan penyumbatan paru-paru.

  • Dermaga di Smirna [Ernest Hemingway]

    author = Risen Dhawuh Abdullah

    Hal yang aneh adalah, dia berkata, bagaimana mereka berteriak setiap malam pada tengah malam. Saya tidak tahu mengapa mereka berteriak pada waktu tersebut. Kami berada di pelabuhan dan mereka semua ada di dermaga dan di tengah malam mereka mulai berteriak. Kami menggunakan lampu sorot untuk menenangkan mereka. Trik itu selalu berhasil. Kami telah menjalankan lampu sorot ke atas dan ke bawah kepada mereka dua atau tiga kali dan mereka berhenti. Suatu kali saya menjadi perwira senior di dermaga dan petugas Turki datang kepada saya dalam kemarahan yang menakutkan karena salah satu pelaut kami menghinanya. Jadi saya katakan pada dia orang itu akan dikirim ke kapal dan dihukum berat. Saya meminta kepadanya untuk menunjukkan orang yang dimaksud. Jadi dia menunjukkan rekan penembak, yang paling tidak ofensif. Mengatakan dia yang paling menakutkan dan berulang kali menghina ; berbicara kepada saya melalui penerjemah. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana rekan penembak cukup tahu bahasa Turki untuk menghina. Saya memanggilnya dan berkata, “Dan hanya kasus Anda seharusnya berbicara dengan petugas Turki.”

    “Saya belum berbicara dengan mereka, Pak.”

    “Saya yakin akan hal itu,” kata saya, “Tapi sebaiknya Anda naik kapal dan tidak datang ke darat lagi untuk hari tersisa.”

    Kemudian saya mengatakan kepada pria Turki itu bahwa orang itu dikirim ke atas kapal dan yang akan paling sering ditangani. Oh paling ketat. Dia merasa sedih karenanya. Kami berteman baik.

    Terburuk, dia berkata, wanita dengan bayi mati. Anda tidak bisa membuat wanita itu menyerahkan bayinya yang mati. Mereka akan dengan bayi mati selama enam hari. Tidak akan menyerah. Tidak ada yang bisa Anda lakukan. Akhirnya harus membawa mereka pergi. Lalu ada seorang wanita tua,  kasus yang paling luar biasa. Saya berkata ke dokter dan dia berkata saya bohong. Kami membersihkan mereka dari dermaga, harus membersihkan yang mati, dan wanita tua ini terbaring di atas semacam sampah. Mereka berkata, “Apakah Anda bisa melihatnya, Pak?” Jadi saya melihatnya dan dia meninggal dan benar-benar kaku. Kakinya terangkat dan keluar dari baju dan menjadi sangat kaku. Persis seperti dia sudah mati semalam. Dia sudah mati dan benar kaku. Saya berkata kepada dokter medis tentang hal itu dan dia berkata itu tidak mungkin.

    Mereka semua di luar dermaga dan sama sekali tidak seperti gempa bumi atau hal semacam itu karena mereka tidak pernah tahu mengenai orang Turki. Mereka tidak pernah tahu apa yang dilakukan si Turki tua itu. Anda ingat kapan mereka memerintahkan kami untuk tidak datang lagi? Saya mendapat angin ketika kami datang di pagi itu. Dia punya sejumlah baterai dan bisa membuat kami kehabisan air. Kami akan segera masuk, berlari di dekat sepanjang telaga, melepas jangkar depan dan belakang dan lalu menembaki seperempat bagian kota orang Turki. Mereka akan menghabisi dari kehabisan air kami tapi kami akan membuat kota itu hancur berantakan. Mereka baru saja melemparkan tuduhan tanpa dasar pada kami saat kami datang. Kemal datang dan memecat komandan Turki itu. Untuk melebihi otoritasnya atau hal semacam itu. Dia dapatkan sedikit atas dirinya sendiri. Itu akan menjadi berantakan.

    Anda ingat pelabuhan. Ada banyak hal bagus di dalamnya. Itulah satu-satunya waktu dalam hidupku saya bermimpi banyak hal. Anda tidak mempermasalahkan para wanita yang memiliki bayi seperti yang Anda lakukan pada mereka yang mati. Mereka baik-baik saja. Kejutan betapa sedikit dari mereka yang mati. Anda hanya menutupi mereka dengan sesuatu dan membiarkan mereka pergi. Mereka akan selalu memilih tempat gelap di ruang tunggu untuk memilikinya. Tidak satupun dari mereka keberatan ketika turun dari dermaga.

    Orang Yunani baik juga. Ketika mereka dievakuasi, mereka memiliki semua hewan bawaan mereka, mereka tidak melepasnya hingga hanya mematahkan kaki depan mereka dan membuang mereka ke air dangkal. Semua bagal itu dengan kaki depan mereka rusak didorong ke dalam air dangkal. Itu semua urusan bisnis menyenangkan. Kata saya bisnis menyenangkan.

    Diterjemahkan dari edisi berbahasa Inggris berjudul, “On the Quai at Smyrna” yang ada pada antologi The Complete Short Story of Ernest Hemingway—The Finca Vigia Edition (SCRIBNER 1230  Avenue of  the Americas New York, NY 10020).

  • Cinta Tak Berbatas [Nizar Qabbani]

    author = Tohir Mustofa

    1
    Wahai Nonaku,
    Engkau wanita paling penting dalam tarikhku
    sebelum tahun berlalu
    Saat ini, engkau adalah wanita paling penting
    setelah tahun ini lahir
    Engkau wanita yang tak kuhitung dengan jam dan hari
    Engkau wanita yang terbuat dari buah puisi
    dan emas mimpi-mimpi
    Engkau adalah wanita yang menempati ragaku
    Semenjak jutaan tahun lalu

    2
    Wahai Nonaku,
    Wahai engkau tenun dari kapas dan awan
    Wahai engkau rintik hujan dari yaqut
    Wahai engkau sungai-sungai dari nahawand[1]Nama sebuah nada musik yang berasal dari Persia
    Wahai engkau lebat hutan dari marmer
    Wahai engkau yang berenang seperti ikan di air hati
    dan tinggal di kedua mata seperti kawanan merpati
    Tak ada yang berubah sedikitpun dari kasihku
    tidak pula dari perasaanku
    juga relung hati dan keyakinanku
    Aku akan tetap teguh dalam islamku

    3
    Wahai Nonaku,
    Jangan kau hiraukan irama waktu dan nama-nama tahun
    Engkau adalah wanita, dan akan tetap seorang wanita, selamanya,
    Aku akan mencintaimu
    Saat memasuki abad ke dua puluh satu,
    saat memasuki abad ke dua puluh lima,
    dan saat memasuki abad ke dua puluh sembilan,
    Aku akan mencintaimu
    Saat kering air laut
    dan terbakar hutan-hutan

    4
    Wahai Nonaku,
    Engkau adalah ringkasan semua puisi,
    mawar segala kebebasan
    Cukup bagiku dengan mengeja namamu
    untuk menjadi raja atas puisi
    dan firaun kata-kata
    Cukup dengan dicintai wanita sepertimu
    agar bisa tercatat dalam buku-buku sejarah
    dan kepadaku
    dikibarkan bendera-bendera

    5
    Wahai Nonaku,
    Jangan kau panik seperti seekor burung di waktu pesta
    Tak akan berubah sedikitpun dariku
    Tak akan berhenti arus sungai cinta
    Tak akan berhenti irama detak jantung
    Tak akan berhenti terbang burung syair
    Saat cinta tumbuh besar
    dan yang dicintai menjelma rembulan
    Tidak akan berubah cinta ini
    menjadi tumpukan jerami yang dilahap api

    6
    Wahai Nonaku,
    Tak ada suatu apapun yang memenuhi mataku
    cahaya-cahaya
    hiasan-hiasan
    lonceng-lonceng hari raya
    tidak pula pohon ulang tahun,
    Tak ada artinya bagiku
    setapak jalan
    Tak ada artinya bagiku
    bar-bar minuman
    Tak ada artinya bagiku
    segala ucapan
    yang tertulis diatas kartu-kartu lebaran

    7
    Wahai Nonaku,
    Tak ada yang kuingat kecuali suaramu
    saat berdentum lonceng-lonceng hari minggu
    Tak ada yang kuingat kecuali wangimu
    saat di atas hamparan rumput kurebahkan badanku
    Tak ada yang kuingat kecuali wajahmu
    saat badai salju menyerang
    dan saat kudengar gemeretak kayu yang sedang menjadi arang

    8
    Bukan hal yang membahagiakanku, wahai Nonaku,
    menghimpun burung-burung yang takut
    di antara taman-taman bulu mata

    9
    Bukan hal yang membuatku terpesona, wahai Nonaku
    Saat kau beri aku sebuah pena tinta
    ku peluknya
    Lalu tidur bahagia seperti bocah-bocah

    10
    Wahai Nonaku,
    Yang membuatku bahagia dalam pengasinganku
    kusuling air puisi
    kuminum anggur dari pendeta
    yang membuatku kuat
    saat menjadi kawan bagi bebebasan
    dan manusia

    11
    Wahai Nonaku,
    Andai saja aku mencintaimu di zaman pencerahan,
    di zaman kamera,
    dan di zaman eksplorasi,
    Andai saja suatu hari kuciummu
    di Florence
    atau Kordoba
    atau Kufah
    atau Aleppo
    atau di sebuah rumah di suatu kampung di Syam[2]Daerah yang meliputi kawasan Suriah, Lebanon, dan Palestina

    12
    Wahai Nonaku
    Andai saja kita berkelana
    ke sebuah negara yang dipimpin oleh sebuah gitar
    di mana cinta tak berbatas
    di mana kata-kata tak berbatas
    di mana mimpi-mimpi tak berbatas

    13
    Wahai Nonaku,
    Jangan kau sibukkan dirimu dengan masa depan,
    Nonaku,
    Kerinduanku akan lebih kuat dari sebelumnya
    Lebih kukuh dari sebelumya
    Engkau adalah wanita yang tak terulang, dalam sejarah mawar,
    dalam sejarah syair,
    juga dalam ingatan bunga lili dan bunga yang semerbak wanginya

    14
    Wahai nona semesta
    Tak ada yang menyibukkanku di hari-hari mendatang kecuali cintamu
    Engkau adalah wanitaku yang pertama
    Ibuku yang pertama
    Rahimku yang pertama
    Cintaku yang pertama
    Gairahku yang pertama
    Tali penyelamatku kala mara bahaya

    15
    Wahai Nonaku,
    nona segala syair
    Ulurkan tangan kananmu
    supaya ku bisa sembunyi di sana
    Ulurkan tangan kirimu
    supaya ku bisa tinggal di sana
    Ucapkanlah kata-kata cinta,
    Agar pesta-pesta
    kembali bergelora

    Diterjemahkan dari bahasa Arab yang berjudul Ḥubb bilā ḥudūd

    Nizar Qabbani adalah seorang sastrawan berkebangsaan Syria. Dia dianggap sebagai salah satu sastrawan Arab terbesar di era kontemporer. Ia banyak menulis puisi dengan tema seputar wanita dan cinta. Pernah dia menulis sebuah puisi dengan judul Aku bersaksi bahwa tiada wanita selain engkau dengan menggunakan struktrur frasa yang digunakan dalam kalimat syahadat (asyhadu an laa imra’atan illa anti). Puisi-puisinya banyak diadaptasi dalam bentuk lagu, salah satunya oleh Kazim Saher, penyanyi kondang berkebangsaan Irak.

    References

    References
    1 Nama sebuah nada musik yang berasal dari Persia
    2 Daerah yang meliputi kawasan Suriah, Lebanon, dan Palestina
  • Buta dan Tuli [Lara Vapnyar]

    author = Andreas Nova

    Lelaki buta dan tuli ini, kekasih teman ibuku, sedang dalam perjalanan untuk menghabiskan malam. Namanya Sasha.

    Nama teman ibuku Olga. Aku dikenalkan pada saat aku masih bayi, jadi aku juga menganggapnya sebagai teman. Dia cantik. Lebih cantik dari ibuku. Dia memiliki tubuh yang bagus dengan rambut hitam pekat sepinggang. Aku dan ibuku juga memiliki rambut hitam, tapi rambut kami berantakan, tipis dan tidak mengesankan, sementara rambut Olga mengundang orang-orang untuk menatapnya. Olga tinggal di sebuah kota di tepi Laut Hitam, tapi dia sering mengunjungi Moskow dan dia selalu membawa hadiah untukku. Pemberiannya yang paling kusukai adalah kalung yang terbuat dari kulit kerang. Aku suka memakainya lalu berdansa, sementara Olga bertepuk tangan dan bernyanyi. “Olga malang, dia sangat baik dengan anak-anak,” komentar ibuku. Aku memang anak kecil, tapi aku sangat dekat dengan ibuku, sangat dekat, sehingga aku tidak dapat mendengar nada sombong dalam suaranya. “Ia dan ibumu saat itu sangat menginginkan anak,” jelas nenek kepadaku, “tapi hanya ibumu yang bisa punya anak.”

    Ibuku dan Olga bertemu saat menjalani perawatan kesuburan eksperimental di salah satu klinik di Moskow. Rawat inap, dua pekan lamanya, dijalankan oleh wanita berkumis bersepatu militer. Pasien harus tidur di ruangan yang sama dan menjalani prosedur bersama. Ada lima di antaranya. Semua wanita berusia tigapuluhan, semuanya (untuk alasan yang gila) bergelar Doktor. Ibuku Doktor di bidang Matematika, sedangkan Olga Doktor di bidang Filsafat. Subjek Olga adalah persepsi, subjek ibuku adalah bilangan negatif. Tempat tidur mereka berhadapan, jadi mereka tidak punya pilihan selain berteman. Mereka berbagi makanan, buku, cerita, lelucon. Ibuku memberitahuku bahwa Olga tidak begitu lucu, tapi dia selalu menertawakan lelucon ibuku. Setelah beberapa hari, mereka mulai berbagi air kencing. Wanita berkumis menuntut supaya semua pasien memberikan sampel urine setiap tiga jam. Mereka diminta untuk buang air kecil sebelum tidur, pukul 11.00 malam, lalu mengatur jam alarm mereka pukul 2 pagi dan 5 pagi. Ibuku mengambil shift pukul 2 pagi. Dia akan bangun dan buang air kecil untuk dirinya sendiri dan untuk Olga. Sementara Olga melakukan hal yang sama untuknya pada pukul 5 pagi. Dengan begitu, mereka berdua bisa tidur nyenyak setengah malam. Tak satu pun dari mereka peduli bahwa ini bisa menghancurkan keabsahan penelitian wanita berkumis. “Olga dan aku adalah saudara seperkencingan!” Ibuku suka mengatakannya. Aku cemburu padanya. Aku berharap untuk memiliki saudara seperkencingan sendiri suatu hari.

    Menjelang akhir program, ibuku dan Olga saling mengaku bahwa pernikahan mereka tidak bahagia. Olga menjelaskan bahwa suaminya tergila-gila padanya, tapi dia tidak pernah merasa lebih dari sekadar sayang dan menghormatinya. Dia ingin tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang “dengan segenap hati,” seperti yang ada dalam buku. Dia yakin dia akan mencintai anaknya seperti itu. Ibuku mengatakan pada Olga bahwa dia mencintai ayahku dengan segenap hati, tapi tidak yakin apakah Ayah juga mencintainya. Dia merasa bosan dengan pernikahan mereka. Dia berharap memiliki seorang anak untuk mempererat pernikahannya.

    Akhirnya mereka sama-sama tidak mendapatkan hasil. Pengobatan Olga gagal. Sedang ibuku berhasil memiliki anak, tapi ayahku meninggalkannya. Waktu itu aku berumur lima tahun. Pada saat aku berusia tujuh tahun, Ayah menikah lagi dan memiliki anak. Bayinya sering sakit. Setiap kali ayahku merencanakan pergi bersamaku, seperti pergi ke teater anak-anak atau kebun binatang, bayinya sakit dan dia harus membatalkannya. Untungnya setiap kali dia membatalkan, dia menjanjikan sesuatu yang lain untuk menggantinya, sesuatu yang jauh lebih menarik daripada sebelumnya. Aku berpikir betapa beruntungnya aku karena ketika tidak bisa pergi ke konser, misalnya, aku dijanjikan untuk menonton teater! Dan saat menonton teater itu dibatalkan aku dijanjikan sirkus. Lalu sirkus juga dibatalkan, dan aku dijanjikan sesuatu yang sangat spesial: bermain ski di luar kota. Kami akan naik kereta ke pedesaan dan menghabiskan sepanjang hari bersama-sama. Kami bermain ski melewati hutan dengan ransel yang penuh dengan makanan, dan kami mungkin akan melihat beberapa binatang musim dingin. Aku sangat beruntung karena adik bayiku sakit saat aku dijanjikan konser dan sirkus dan teater! Dan kami akan segera pergi. Ayah bilang akhir pekan depan. “Akhir pekan depan” ternyata menjadi kerangka waktu yang sulit dipahami. Akhir pekan setelah berikutnya secara teknis “akhir pekan depan,” juga, dan akhir pekan setelah itu, dan akhir pekan setelah itu. “Kau membuatnya sedih!” Aku mendengar Ibu berteriak di telepon. Bagaimanapun, dia salah. aku sendiri tidak masalah dengan menunggu. Aku tahu bahwa akhir pekan depan adalah “akhir pekan depannya lagi.” Aku tidak meragukan Ayah bahkan ketika musim dingin hampir berakhir. “Semua orang tahu salju bulan Maret adalah yang terbaik,” kata ayahku, dan aku mengulanginya tanpa henti. “Ayahku dan aku akan bermain ski di luar kota secepatnya. Kami hanya menunggu salju terbaik”. Sementara itu, salju di Moskow mencair cepat. “Masih banyak salju di negeri ini,” kata ayahku. Di pertengahan bulan Maret, seekor anjing tetangga sakit, meninggal. Aku bertanya kepada ibuku, “Mengapa adik bayiku tidak meninggal juga? Itu akan membuat semua hal lebih mudah.” Dia memarahiku, tapi aku mendengarnya menceritakan percakapan itu kepada nenekku dan tertawa.

    Aku dan ayahku akhirnya melakukan perjalanan ski itu. Saat itu tanggal 31 Maret, waktu yang sempurna untuk bermain ski. Semua pemain ski tahu itu. “Lihat, ada salju!” Kata ayahku saat turun dari kereta. Aku bisa mendengar bahwa dia sama-sama terkejut dan lega. Kami memasang ski kami dan masuk ke hutan. Kami tidak bisa lama bermain ski, karena salju—meski cerah cemerlang—terlalu lengket. Setelah beberapa menit, lapisan salju setebal kurang lebih dua inci itu melekat lengket pada ski kami, jadi kami tidak bisa meluncur; Kami harus berjalan di salju seolah-olah kami memakai sepatu platform. Kami juga tidak melihat binatang apa pun. Tapi hari itu masih merupakan hari yang indah. Ayah menunjukkan kepadaku bagaimana membuat api unggun di salju, dan kami membuat teh dengan menggunakan salju, bukan air. Kami minum teh, meringkuk di dekat api dan tertawa seperti orang gila setiap kali salah satu dari kami kehilangan keseimbangan dan terjengkang ke salju. Dalam perjalanan pulang, ayahku mengatakan bahwa kami akan melakukannya lagi setiap tahun pada tanggal 31 Maret, tanggal munculnya salju terbaik. Dia juga mengatakan kepadaku bahwa aku tidak boleh memakai ranselku di kereta, karena aku dapat secara tidak sengaja memukul orang lain dengan ski. Yang perlu kulakukan adalah melepas ransel sebelum naik kereta dan membawanya di depan, atau menyeretnya dengan salah satu tali jika terlalu berat. Sampai saat ini aku masih melakukannya. Aku selalu membawa ranselku sebelum naik kereta, bahkan jika itu adalah ransel kecil. Aku tidak ingat pelajaran hidup lainnya dari ayahku.

    Ketika sampai di rumah malam itu, aku mengatakan kepada Ibu bahwa aku lebih mencintai Ayah daripada Ibu. Itu benar, tapi aku tidak tahu setan apa yang membujukku mengatakan itu. Mungkin aku menyalahkan Ibu karena tidak mampu membuat Ayah tinggal bersama kami lagi. Mungkin aku merasa bahwa dia menyalahkanku untuk hal yang sama. Bagaimanapun, jika dia menyesali perawatan kesuburannya malam itu, pasti aku memahami perasaannya.

    Olga kebetulan berada di Moskow pada tanggal 31 Maret tahun depan. Dia berharap bisa menghabiskan waktu bersama kami dan memberitahu ibuku tentang Sasha. Malah dia terjebak dalam situasi yang kacau. Aku duduk di lantai, terjepit di antara lemari besar dan tempat tidur ibuku, menangis dan menolak untuk keluar. Ibu, nenek, dan kakekku bergantian mencoba untuk membujukku, menggunakan taktik yang berbeda mulai dari sogokan sampai ancaman, juga menyakinkanku bahwa Ayah sangat mencintaiku.

    Olga tidak melakukan pendekatan seperti keluargaku. Dia mengamati situasinya, lalu berjalan ke kamar tidur seolah tidak ada apa-apa, seolah-olah aku tidak gemetar di pojokan, bermuka merah dan beringus. Dia mengatakan bahwa dia dan aku akan membuat es krim jeruk. Dia memegang seikat tas berisi jeruk di satu tangan dan sekotak es krim Moskow terbaik di tangan yang lain. Tawaran yang tidak bisa ditolak. Aku tidak memiliki kekuatan atau keinginan untuk mendebatnya. Ditambah lagi, aku tidak pernah membuat atau makan es krim jeruk dan tidak mungkin mengatakan tidak untuk itu. Aku merangkak keluar dari tempat persembunyianku, dan kemudian Olga berkata, “Pergi dan cuci muka, Sayang. Kami tidak ingin ada ingus menetes di es krim. “

    Seperti inilah cara membuat es krim jeruk: bagi dua jeruk, dengan hati-hati pisahkan semua daging jeruk dari kulitnya. Kemudian campur es krim dengan daging jeruk yang telah dibersihkan, sendoklah campuran tersebut ke dalam bagian jeruk kosong, taburi sedikit parutan coklat di atasnya, dan masukkan semuanya ke dalam freezer. Freezer kecil kami tidak memiliki cukup tempat, jadi sementara kami harus menyingkirkan daging ayam utuh dan satu kotak lemak babi. Olga mengatakan butuh paling sedikit satu jam agar es krim bisa membeku dengan baik, dan cara terbaik bagiku untuk membunuh waktu adalah dengan membaca buku. Kakekku sedang tidur siang di sofa, nenekku sedang memasak makan malam, sementara Olga dan ibuku masuk ke kamar tidur untuk berbicara. Aku mengambil sebuah buku dan duduk di karpet ruang tamu untuk membaca, tapi setelah sepuluh menit aku mengetuk pintu kamar tidur, menanyakan apakah sudah lewat satu jam. “Belum!” Teriak ibuku. “Pergilah!” Aku mengulangi hal itu sampai empat kali sebelum akhirnya berhasil. Kulihat Olga menangis dan ibuku tampak terguncang, tapi aku tidak peduli. Aku terlalu bersemangat dengan es krim jeruk.

    Hasilnya tidak mengecewakan, es krim jeruk dengan warna gemerlap di cangkir bundar sangat dingin sehingga membuat jariku sakit. Aku mencoba membuatnya lagi berkali-kali saat dewasa, tapi setiap kali jadi, hasilnya hambar dan berair dan terlihat buruk. Aku pikir waktu itu adalah sebuah keajaiban. Aku memproklamirkannya sebagai makanan terbaik yang pernah kurasakan dan memeluk Olga semampuku. Aku memang menginginkan seorang ibu seperti Olga, cantik, dan beraroma jeruk, tidak seperti ibuku yang sering marah dan rambutnya mulai rontok. Tapi saat aku berusia delapan tahun galaknya telah berkurang, jadi aku memutuskan untuk berkata seperti itu kepada ibu.

    “Aku harus memberitahu sesuatu,” kata ibuku kepada kakek dan nenekku begitu Olga pergi. “Dan sebaiknya kamu duduk saja.” Kakek dan nenekku meletakkan piringnya, dan aku berjongkok di lantai, mencoba membangun sebuah kastil dengan cangkir es krim jeruk yang sudah kosong.

    “Olga punya kekasih,” kata ibuku. Hal tersebut menarik perhatian kami.

    Nenek terkesiap dan kakekku terdiam dengan gelas anggur di masing-masing tangan.

    “Namanya Sasha.”

    Nenekku menunjukku untuk mengingatkan ibuku akan kehadiranku, tapi ibuku hanya mengangkat bahu. Dia tidak masalah, aku dapat membaca apa pun yang aku mau atau menonton film dewasa dengannya atau mendengarkan gosip. Meski aku tidak tahu apa-apa tentang seks, aku mengerti apa yang harus dipahami tentang pasangan kekasih. Orang jatuh cinta pada orang lain saat sudah menikah. Ketika itu terjadi, mereka ingin mencium orang lain, bukan pasangan mereka, tapi mereka harus berbohong tentangnya sehingga pasangan mereka tidak akan terluka perasaannya. Sebagian besar film yang kami tonton dan sebagian besar buku di rak buku kami memiliki alur cerita ini, jadi aku berasumsi bahwa situasinya cukup umum. Itu jelas menjengkelkan, karena orang-orang yang terlibat sering menangis atau menjerit atau bahkan terlibat baku hantam, tapi tidak ada yang aneh. Sebenarnya, sekarang aku mengumpulkan cukup petunjuk untuk menduga bahwa inilah yang terjadi pada Ayah sebelum dia meninggalkan aku dan Ibu.

    Dan sekarang hal itu terjadi pada Olga. Aku bertanya-tanya apakah dia dan pria itu sudah berciuman.

    “O.K.,” kata ibuku. “Masalahnya bukan itu saja. Kekasih Olga buta dan tuli.”

    Sekarang nenekku memang harus duduk.

    “Bagaimana bisa buta dan tuli?” tanya kakek.

    “Mudah,” kata ibuku. “Tidak bisa mendengar, dan tidak bisa melihat.”

    Inilah saat aku mulai tertawa. Aku tertawa dan tertawa dan tertawa, sampai ibuku harus menamparku.

    Ada lebih banyak pertanyaan.

    Kakekku ingin tahu apakah Sasha sehat secara mental. “Ya, lebih dari segalanya – dia bergelar Doktor dalam bidang filsafat,” kata ibuku.

    Nenekku ingin tahu kapan dan di mana Olga bertemu dengannya. Sebulan sebelumnya. Pada sebuah konferensi di St. Petersburg tentang Filsafat persepsi. Sasha menjadi pembicara utama.

    “Pembicara? Kok bisa?” tanya kakek.

    “Dia menggunakan bahasa isyarat!” kata ibuku.

    “Bahasa isyarat bagaimana?”

    Ibuku tampak seperti ingin menampar kakekku dengan cara yang sama seperti ia menamparku, tapi dia menjawabnya. “Ia memegang tangan seseorang dan menyentuhnya dengan cara tertentu. Gerakan yang berbeda berarti huruf yang berbeda. “

    Kakekku menggelengkan kepalanya. “Kasihan suaminya,” katanya, “diselingkuhi istri sendiri saja sudah cukup sial, apalagi selingkuh dengan orang buta dan tuli!”

    “Kita tidak bisa memilih siapa yang kita cintai,” bisik nenekku.

    “Barangkali cuma sementara,” kata ibuku. “Aku bilang beri waktu sebulan.”

    Tapi, tentu saja, itu tidak berakhir dalam sebulan. Atau dalam enam bulan. Atau sebelas bulan lagi.

    Kami tidak melihat Olga sepanjang waktu itu. Dia tidak sering datang ke Moskow, dan saat dia menghabiskan waktu luangnya bersama Sasha. Tapi sekarang dia menelepon ibuku, dan mereka sudah lama berbicara di telepon untuk waktu yang lama. Kakek dan nenekku dan aku akan terus menunggu ibuku selesai sehingga dia bisa menceritakan pembicaraan mereka. Ibuku selalu memulai dengan mengatakan, “Rupanya, ini masih berlangsung.”

    Kapan pun dia bisa, Olga akan memohon atasannya untuk mengirimnya dalam perjalanan bisnis ke Moskow. Dia tidak mungkin melakukan ini tanpa sogokan. Suatu saat dia memberinya tiket teater, satu botol cognac mahal, dan kemudian meminta agar memberinya tempat di daftar tunggu untuk membeli sebuah ruang makan impor. Dia tidak peduli dengan meja dan kursi? Dia hanya peduli pada Sasha. Apa dia juga tidak peduli dengan suaminya? Tentu saja dia peduli! Dia merasakan kasih sayang dan rasa hormat padanya! Sangat menyakitkan untuk membohongi suaminya. Ada kalanya dia kembali dari Moskow menggunakan kereta malam, dan suaminya akan berada di sana, menunggunya di stasiun dengan seikat bunga kecil. Hal ini membuatnya merasa sangat mengerikan!

    “‘Orang itu meremukkan saya dengan kemurahan hati,’” kata ibuku kepada kami sambil tersenyum mengejek. Dia mengutip The Grasshopper-nya Chekhov, saat itu aku tidak tahu.

    Tidak, suami Olga sama sekali tidak curiga. Olga tidak mengerti bagaimana ini bisa terjadi. Istrinya tergila-gila pada pria lain dan dia tidak melihat tanda-tandanya? Terkadang hal ini membuatnya marah. Karena bukankah itu berarti dia tidak benar-benar mengenal atau memahaminya? Jika dia benar-benar mencintainya, dia akan menyadari ada yang tidak beres! Kadang Olga sangat marah padanya sehingga dia merasa menyakitinya secara fisik, seperti menampar wajahnya dengan rangkaian bunga yang menyedihkan itu.

    Suatu ketika, ibuku mengatakan bahwa dia punya teori, sebuah teori tentang mengapa Olga memilih orang yang buta dan tuli. Itu bukan cinta. Sama sekali bukan. Olga selalu menginginkan anak kecil, jadi dia pergi dan menemukan pria yang sepenuhnya bergantung padanya. Seperti anak kecil, kan? Ibuku terdengar jahat saat dia mengatakan ini, dan aku bisa melihat bahwa kakek dan nenekku tidak percaya pada teorinya.

    Selama tahun itu, aku sering merenungkan bagaimana rasanya mencintai orang buta dan tuli, atau, setidaknya bagaimana rasanya menjadi buta dan tuli. Aku menutup mataku, meletakkan tanganku di telingaku, dan mencoba berjalan. Ternyata lebih mudah daripada yang kubayangkan, tapi mau tidak mau aku terantuk rak buku atau sudut meja makan. Aku menangis kesakitan dan membuka mataku dan duniaku akan aman dan normal lagi. Tapi Sasha tidak bisa melakukan itu. Dia tidak bisa hanya membuka matanya dan telinganya lalu bisa melihat dan mendengar, tidak ada yang peduli betapa takutnya dia dalam dunianya yang gelap dan sunyi. Aku pikir orang buta dan tuli harus sangat berani.

    “Aku tidak tahan lagi,” kata Olga pada ibuku suatu hari di awal bulan Maret. Yang benar-benar membuatnya kalut adalah betapa sulitnya berkomunikasi dengan Sasha saat mereka berpisah. Sasha tidak bisa menelepon Olga, karena ada suaminya, tapi Olga sering meneleponnya. Biasanya, mereka dibantu oleh Andrei, teman sekamar Sasha yang alkoholik, seorang buta namun tidak sepenuhnya tuli, yang akan membantu dengan bahasa isyarat untuk Sasha dan kemudian menerjemahkannya di telepon ke Olga. Tapi ia hanya bisa menyampaikan informasi tertentu, bukan perasaannya! Dia mesum, kasar, dan sering mabuk! Dia mengolok-olok Olga saat dia memintanya untuk menerjemahkan betapa dia merindukan dan mencintai Sasha, dan dia tidak pernah mengatakan bahwa Sasha juga merindukannya. Olga tidak yakin apakah Andrei memilih untuk tidak menyampaikan bagian itu, atau bisa jadi Sasha tidak mengatakan bahwa dia mencintainya karena kehadiran Andrei membuatnya malu. Di akhir panggilan telepon, Olga akan meminta Andrei untuk meneruskan telepon ke Sasha agar dia bisa mendengarkan hembusan napasnya. Kadang Olga akan bernyanyi untuknya. Sasha mengatakan bahwa, meski dia tidak bisa mendengarnya, dia bisa merasakan getarannya. Olga tahu banyak lagu balada mengharukan, dan dia akan menyanyikannya sekeras yang dia bisa. Hal ini sering lebih berguna dari terjemahan Andrei yang bodoh. Namun hanya saat koneksi telepon sedang baik. Ada kalanya panggilan terputus di pertengahan lagu. Olga akan kembali mendapati diri sendirian, ratusan mil dari Sasha, duduk di bangku kayu di aula apartemennya yang suram dengan telepon kabel yang berminyak mendenging seperti bunyi sirine, membuatnya semakin kalut.

    “Ini akan berakhir,” kata ibuku setelah memberi tahu kami tentang hal itu. Tapi hal tersebut belum berakhir.

    Beberapa pekan kemudian, Olga menelepon ibuku lagi, kali ini dari Moskow, dan memberitahukan bahwa dia telah berhenti dari pekerjaannya dan meninggalkan suaminya dan datang ke sini untuk tinggal bersama Sasha.

    “Kalian akan menemuinya dua pekan lagi,” kata ibuku, suaranya bernada tinggi dan gemetar. “Olga mengajaknya makan malam di sini.”

    “Orang buta dan tuli! Orang buta dan tuli! Orang buta dan tuli akan datang untuk makan malam!” Aku mulai menjerit.

    Secara kebetulan, Ayah menelepon untuk mengatakan bahwa dia ingin mengajakku bermain ski pada tanggal 7 April, hari ketika Olga dan Sasha datang berkunjung. Aku berkata tidak. Siapa yang ingin bermain ski? Seorang buta dan tuli akan datang untuk makan malam!

    Aku  tidak bisa dan dengan senang hati mengatakan “tidak.” Untuk itu saja, aku akan berterima kasih kepada Olga selamanya.

    Pada hari kunjungan mereka, seluruh apartemen kami dipenuhi suara gedebuk. Itu suara ibuku yang memukul filet daging sapi dengan pemukul daging. Untuk Sasha dan Olga kami memutuskan menyajikan hidangan paling mewah yang kami tahu: salad olivier dan daging ala Prancis. Dagingnya perlu ditumbuk berkali-kali untuk dimasak ala Prancis. Aku sangat ingin menumbuk daging juga, tapi tugasku adalah memotong kentang dan telur rebus untuk salad.

    Nenekku memoles alat makan dari perak dan gelas cognac sampai berkilau.

    “Apakah tidak apa-apa menggunakan gelas yang bagus?” Dia ingin tahu. Tapi ibuku hanya mengerang dan menumbuk daging lagi.

    “Apakah dia bisa menggunakan toilet dengan bersih?” itu adalah pertanyaan nenek selanjutnya.

    “Sudah deh!” Ibuku memohon padanya. Tapi kakek menganggap ini adalah masalah yang serius. Dia mengatakan bahwa setelah dia menggunakan toilet, nenekku sering bertanya kepadanya apakah dia buta. Dan orang itu benar-benar buta!

    Tapi masalah toilet sama sekali tidak mengganggu kakekku. “Bagaimana kita berbicara dengannya?” tanyanya.

    “Olga tahu bahasa isyarat,” kata ibuku. “Jadi kupikir dia akan menerjemahkan apa yang kita katakan kepada Sasha dengan bahasa isyarat, dan menerjemahkan balik jawabannya kepada kita.”

    Kakekku rasanya tidak puas dengan jawaban itu. Ia selalu ingin membuat kesan baik kepada orang yang baru dikenalnya. Dia tidak tahu secara mendalam mengenai politik atau budaya, tapi dia suka mengungkapkan pendapatnya tentang hal itu dengan suara yang berat dan dengan menggerakan alis kanan yang tajam menuntut perhatian dan rasa hormat. Kakekku benar-benar khawatir bahwa, tanpa tambahan gerakan alis dan suaranya, dia tidak akan bisa membuat Sasha terkesan dengan isi opininya. Dia akhirnya duduk santai sembari membaca beberapa edisi terbaru Pravda, dengan harapan bisa membangun opini dengan baik.

    Lalu giliranku untuk mengajukan pertanyaan, dan aku menggunakan wajah bocah untuk mengungkapkan apa yang ada dalam benak mereka. “Apakah dia menakutkan?”

    “Tidak! Tentu saja tidak!” Nenek berkata tanpa basa-basi.

    Dan ibuku berkata, “Kamu seharusnya malu pada dirimu sendiri!”

    Aku merasa malu. Kuputuskan, meski Sasha sangat menyeramkan, aku pura-pura tidak takut, demi Olga.

    Pernahkah kamu membenci penantian yang seolah tak berujung antara waktu tamumu seharusnya tiba dan saat mereka benar-benar membunyikan bel pintu rumahmu? Para perempuan di keluargaku terkenal karena selalu tepat waktu, jadi semua persiapan telah dilakukan. Daging ala Prancis sudah siap di dalam oven yang hangat. Salad telah dicampur dan dihias dengan irisan wortel rebus. Potongannya disusun dengan hati-hati dan sesuai warna. Semua sudah mandi, berhias dan mengenakan pakaian terbaik mereka. Yang harus kami lakukan hanyalah menunggu.

    Sekarang ini, aku memiliki media sosial untuk mengisi saat-saat seperti itu. Aku bisa berkali-kali me-refresh media sosialku lagi dan lagi, membunuh menit demi menit. Tapi saat itu, apa yang harus kulakukan? Aku terus berputar-putar di antara jendela dapur, tempat aku bisa melihat sekilas lokasi Olga dan Sasha akan turun dari bus, dan pintu depan apartemen, tempat yang jika kamu menempelkan telinga ke bingkai jendela, kamu bisa mendengar suara lift apartemen bergerak naik. Inilah yang selalu kulakukan saat Ayah seharusnya datang dan menjemputku. “Hentikan! Kau terlihat menyedihkan,” kata ibuku, tapi ia sendiri yang menyedihkan. Mencoba baju yang berbeda sebelum ayahku datang, menyisir rambutnya dengan cara ini dan itu, memoles dan memoles kembali riasannya, dan kemudian berlari untuk bersembunyi di kamar tidur begitu dia mendengarku berteriak, “Ayah datang!”

    Aku kehilangan momen pertama untuk menyambut Sasha dan Olga. Bel pintu berbunyi ketika aku, duduk di toilet, dengan celana dalam tersangkut di lutut. “Tidak!” Teriakku. “Jangan buka sampai aku keluar!” Beberapa hal lebih memalukan bagiku daripada terjebak di toilet ketika tamu kami datang. Terutama oleh tamu seistimewa mereka. Tapi, tentu saja, ibuku tetap membuka pintu. Siapa yang akan mendengarkan seorang anak yang meminta hal tak penting dari toilet?

    Aku di belakang nenek dan keluar dari kamar mandi yang tersembunyi di baliknya. Saat kami sampai di pintu masuk, Sasha dan Olga telah melepaskan mantel mereka dan dengan penuh semangat menyeka kaki mereka di atas keset. Sasha lebih pendek dan lebih besar dari Olga, dengan wajah persegi yang empuk. Matanya setengah tertutup; Sepertinya dia menyipitkan mata. Olga memegang tangan kirinya. Semua orang bergantian bersalaman dengan tangan kanannya, dan dia menyebut nama semua orang dengan tegang dan menyebalkan. Aku melangkah maju. Olga mencondongkan tubuh untuk menciumku dan mengatakan bahwa dia telah memberi tahu Sasha bahwa aku adalah anak kecil favoritnya dari seluruh anak kecil di dunia dan sangat ingin bertemu denganku. Aku melihat bahwa dia tidak hanya memegang tangan Sasha, tapi bermain dengan jarinya. Kemudian aku sadar bahwa itu adalah bahasa isyarat. Olga telah berbicara dengan Sasha sepanjang waktu.

    Sasha menjulurkan tangan kanannya ke depanku, dan aku menjabat tangannya. Dia menutup telapak tangannya di atas jariku dan tersenyum pada sesuatu di belakang punggungku. Aku berbalik, tapi tidak ada apa-apa di sana, kecuali kulkas kami yang mendengung dengan tumpukan kotak kosong di atasnya. Olga meraih tangan kirinya dan meletakkannya di atas kepalaku, dan dia menunduk dan hampir menatap mataku. Ada ungkapan yang digunakan orang saat seseorang menghalangi pandangan mereka: “Hei, kamu tidak terbuat dari kaca!” Tapi Sasha melihat melaluiku dan melampauiku seolah-olah aku benar-benar terbuat dari kaca. Aku takut dan ingin bersembunyi, tapi aku melihat Olga menatapku, jadi aku tersenyum dan meremas tangan Sasha. Dia menyebutkan namaku dan menggunakan bahasa isyarat untuk Olga. Dia menerjemahkan bahwa Sasha benar-benar senang bertemu denganku. Aku tahu ia jujur, karena dia berseri-seri saat mengatakannya. Atau mungkin dia sudah berseri-seri sejak awal.

    “Kamu terlihat berseri-seri, Olga!” kata kakekku dengan suara menggelegar. Nenek setuju dengannya. Dan ibuku meminta semua orang mengikutinya ke meja.

    Salad Olivier ternyata bukan makanan ideal untuk orang buta. Semua potongan kubus dari sayuran dan daging, terpental dari garpu, berserakan di piring. Sasha harus mengejar  potongan kubus itu di sekelilingnya, mengetuk garpu di permukaan piring seperti menggunakan tongkat ke trotoar. Kapan pun dia berhasil memburu sebuah kubus, dia akan menyesap cognac-nya, seolah-olah merayakannya. Aku tidak bisa melepaskan pandanganku darinya, meskipun aku tahu ini tidak sopan. “Kamu harus tahu diri!” kataku pada diriku sendiri.

    Awalnya, Olga membiarkan Sasha fokus pada makanannya sementara dia terus berbicara.

    Tidak, Sasha tidak terlahir tuli dan buta. Dia kehilangan penglihatan dan pendengarannya pada usia empat tahun, setelah pertempuran panjang dengan penyakit meningitis. Orangtuanya menolak untuk memperlakukannya sebagai orang difabel. Mereka mengajarinya untuk mandiri. Kemudian mereka mengirimnya ke sekolah khusus untuk anak-anak tuna rungu dan tuna netra. Sekolah itu adalah sekolah yang bagus, dan terbukti, Sasha menjadi siswa yang brilian. Dia adalah satu dari hanya empat lulusan yang diundang untuk belajar di Universitas Negeri Moskow. Olga mengatakan ini dengan ungkapan bangga, sama persis dengan yang diungkapkan ibuku saat dia memberi tahu orang tentang prestasiku. Keempat siswa tersebut melanjutkan pendidikan doktor di bidang Filsafat, namun prestasi Sasha sangat luar biasa, karena dia adalah satu-satunya orang yang benar-benar buta dan tuli dalam kelompok tersebut. Teman sekamar Sasha, Andrei, misalnya, bisa mendengar dengan baik dengan bantuan alat bantu dengar. Bayangkan, betapa mudahnya belajar baginya! Tidak adil membandingkan kariernya dengan Sasha.

    “Tentu saja, ini tidak adil,” kata kakekku dengan alis kanannya yang mengesankan. “Sebenarnya, saya baru saja membaca di Pravda. . . “

    Tapi saat itulah Sasha, yang tidak tahu bahwa kakekku sedang berbicara, memotongnya. Dia membuat serangkaian gerakan cepat dengan jari-jarinya, dan Olga mengatakan bahwa dia ingin mengucapkan terima kasih atas makanannya. Semuanya lezat, tapi terutama dagingnya. Dia ingin tahu resep rahasia masakan itu.

    “Resep rahasianya itu sangat banyak,” kata ibuku.

    Olga menerjemahkan ini untuk Sasha dan bahkan meninju tangannya beberapa kali. Saat itulah dia tertawa untuk pertama kalinya. Tawanya terdengar seperti deru erangan, tapi kami sangat senang karena dia menghargai makanan dan humor ibuku. (Tidak semua orang melakukannya.)

    Menjelang akhir makan, Sasha sudah mulai berbicara lebih banyak. Jika alkohol melonggarkan lidahmu, mungkin juga bisa mengendurkan jarimu. Dia menggerakan jari-jarinya ke telapak tangan Olga dengan kecepatan luar biasa, dan Olga menerjemahkan untuk kami. Dia berbicara tentang bau dan betapa pentingnya hal itu baginya, betapa dia tahu bahwa kami adalah orang baik hanya dengan aroma apartemen kami yang hangat dan nyaman. “Ini bau dagingnya,” bisik ibuku, tapi kulihat dia senang. Dia berbicara tentang hutan yang dulu digunakan ibunya saat dia masih kecil. Ibunya akan menuntunnya ke pohon atau semak-semak dan memintanya menyentuhnya, dan dia mengajari Sasha cara memetik buah beri. Dia tahu bagaimana menemukan stroberi liar hanya dengan tangannya. Olga sebelumnya belum pernah mencoba memetik stroberi liar. Juli lalu, ketika Olga mengunjunginya di Moskow, Sasha membawanya ke hutan dan mengajarkan kepadanya cara menemukannya.

    Kemudian dia mengatakan sesuatu yang lain, dan aku ingin Olga menerjemahkannya, tapi dia mengatakan bahwa dia tidak dapat, bahwa terlalu banyak dan sebagian besar bersifat pribadi. Ada air mata di matanya. Tiba-tiba dia meraih tangan Sasha dan menciumnya.

    Pada saat itu, semua merasakan adanya sesuatu di dalam ruangan. Yah, aku tidak bisa memastikan tentang perasaan kakek-nenekku, tapi aku merasakannya, dan aku tahu bahwa Ibu juga merasakannya. Seolah ada sesuatu yang besar dan besar tumbuh dari meja makan kami, mengulurkan tangan naik-turun, seperti sebuah katedral yang tinggi menembus langit.

    Tidak seperti hal lain dalam hidupku sampai saat itu.

    Aku berharap bisa mengatakan bahwa aku tahu apa itu, tapi ternyata tidak. Apa yang aku rasakan benar-benar menakjubkan dan tidak terdefinisikan.

    “Cinta itu memang buta,” kata nenekku setelah mereka pergi.

    “Buta dan tuli,” sindir kakekku.

    Tapi ibuku tidak mengatakan apa-apa. Dia masuk ke kamarnya dan menutup pintu di belakangnya. Aku mengejarnya. Dia tidak menyalakan lampu, jadi aku tidak dapat melihatnya, tapi aku bisa mendengar bahwa Ibu sedang menangis. Aku berjalan ke tempat tidurnya dan mengulurkan tanganku sambil berharap bisa menemukan dan menyentuh bibirnya. Apa yang aku temukan adalah wajahnya, basah dan licin karena air mata.

    “Sini,” bisiknya. Aku naik ke tempat tidur dan memeluknya dari belakang sekuat yang aku bisa. Aku menangis di bahunya, yang terasa hangat dan gemetar. Aku mencoba meremasnya bahkan lebih kencang untuk menghentikan tubuhnya yang gemetar, untuk menghiburnya.

    Aku mengasihani dia. Tapi aku mencintainya lebih dari aku mengasihani dia. Aku sangat mencintainya sampai sulit bernapas. Dan satu hal lagi: pada saat itu, aku merasa dekat dengan ibuku dengan cara yang sama sekali baru. Bukan sebagai anak tapi sebagai sesama perempuan, yang setara.

    Sasha dan Olga menikah akhir tahun itu, setelah perceraian Olga terjadi. Sejauh yang aku tahu, mereka hidup bahagia selamanya sampai kematian memisahkan mereka. Olga yang meninggal terlebih dahulu. Umurnya baru empatpuluh dua. Kanker. Biasanya kanker yang menyebabkan perempuan meninggal di usia muda. Sasha menikah kembali setahun kemudian. Anehnya, istri keduanya juga menceraikan suaminya untuk bersama Sasha.

    Tapi ibuku, ibuku tidak pernah menikah lagi.

     

     

    Naskah asli ada di http://www.newyorker.com/magazine/2017/04/24/deaf-and-blind

    Lara Vapnyar adalah seorang penulis Rusia-Amerika kelahiran 1976 yang saat ini tinggal di Amerika Serikat.

    Vapnyar telah menerbitkan tiga novel dan dua koleksi cerita pendek. Karyanya juga pernah muncul di The New Yorker, Majalah Harper, Open City (majalah), dan Zoetrope: All Story.

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

  • Bunga-Bunga [Alice Walker]

    author = Oxandro Pratama
    Muhammad Oxandro Pratama, penulis. Belajar di Sastra Inggris, Universitas Andalas, Padang. Bergiat di Children’s Literature Reading Club dan Minang membaca. Menulis cerpen, puisi, dan kritik terhadap: film, musik, dan budaya. Kadang-kadang menerjemahkan cerpen untuk kebutuhan akademik di universitas.

    Kebahagiaan begitu terlihat di saat Myop dengan riangnya melompat ke sana dan kemari: dari kandang ayam ke rumah babi, lalu ke rumah asap, dan  baginya hari-hari sebelumnya belum pernah seindah seperti saat ini. Udara membawa aroma yang begitu tajam sehingga membuat hidungnya berkedut. Panen jagung dan kapas, kacang dan labu, membuat hari-harinya terasa penuh dengan keberuntungan dan saat itulah terbentuk semangat yang berlebihan yang muncul pada segi-segi rahangnya ketika tersenyum.

    Myop menenteng sebuah tongkat knobby pendek. Ia memukul ayam-ayam dengan tongkat itu secara acak berdasarkan keinginannya, lalu membuat ketukan lagu dengan memukulkan tongkat itu pada pagar di sekitar kandang babi. Ia merasa ringan dan tenang oleh hangatnya pancaran sinar matahari pagi. Umurnya sepuluh tahun, dan baginya tidak ada yang paling penting kecuali lagunya, yang selalu ia bunyikan dengan menggunakan stick yang tak pernah lepas dari genggamannya. Tat-de-ta-ta-ta, begitulah bunyi iringannya.

    Setelah usai mengambil papan yang penuh karat dari pondok milik keluarganya, Myop berjalan di sepanjang pagar hingga berlari si sepanjang tepian aliran sungai yang disebabkan oleh musim semi. Musim semi, saat para keluarga biasanya minum-mium dan mabuk, saat tanaman pakis perak dan bunga liar sedang tumbuh. Dan di sepanjang tepian sungai yang dangkal, di sanalah babi-babi akan berkerumun. Myop memperhatikan gelembung putih kecil yang muncul pada permukaan tanah hitam yang subur lalu secara perlahan air genangan menyapu gelembung itu.

    Ia amat kerap memperhatikan pohon-pohon di sekitar rumahnya. Sering kali pada akhir-akhir musim gugur, ketika ibunya mengajaknya untuk mengumpulkan kacang-kacang di antara dedaunan yang jatuh. Namun, hari ini ia melakukannya sendiri, melompat ke sana dan kemari, dan sesekali ia juga tetap berjaga-jaga akan keberadaan ular di sekitarnya. Ia menemukan sesuatu, di antara tumbuhan paku dan berbagai macam tumbuhan-tumbuhan biasa itu terselip setangkai bunga berwarna biru yang sangat cantik. Setangkai bunga biru yang dilapisi bulu-bulu beludru dan setangkai bunga cantik yang bertunas coklat, kuncupnya sangat harum.

    Pada sekitar pukul dua belas, ia merasa tangannya dibebani oleh tangkai-tangkai bunga yang ia temukan, dan jaraknya dari rumah lumayan jauh atau mungkin sangat jauh. Ia sebenarnya sudah sering melanglang buana jauh dari rumahnya, tetapi keanehan daerah yang ia tempati itulah kini yang membuat perjalanannya tak menyenangkan seperti tempat-tempat yang pernah ia kunjungi sebelumnya. Daerah di mana tempat yang ia kunjungi saat ini terlihat sedikit suram. Udaranya juga lembab dan keheningan juga terasa sangat dekat, nyata, dan begitu dalam.

    Myop pun akhirnya memutuskan berbalik menuju arah jalan yang akan membawanya pulang, kembali ke tempat yang penuh kenyamanan yang baru saja ia rasakan pagi tadi. Di saat itulah ia melangkah dan menginjak sebuah kepala. Kakinya terjepit di tengah-tenagh tengkorak kepala pria itu, tepat di antara alis dan hidung, dan dengan cepat ia segera membungkuk untuk melepaskan tengkorak kepala seorang laki-laki yang menjebak kakinya itu, tanpa takut. Hanya saja ia sedikit berteriak ketika melihat rupa muka tengkorak itu.

    Pria itu sangat tinggi. Panjang dari kaki hingga lehernya saja benar-benar memakan banyak tempat. Ketika ia menyibakkan daun-daun dan pung-puing di sekitar mayat itu, Myop melihat bahwa pria itu mempunyai deretan gigi putih nan besar, dan semuanya telah patah dan hancur. Jari-jarinya begitu panjang dan tulangnya juga tampak besar. Seluruh pakaiannya telah hancur dan tercabik-cabik, terkecuali pakaian kerjanya yang masih menyisakan helai-helai benang. Gesper dari pakaian kerjanya tampak sudah berwarna hijau kumal.

    Myop memperhatikan semua tempat itu dengan penuh ketertarikan. Di dekat kepala yang remuk oleh pijakkannya itu ada setangkai bunga mawar merah muda liar. Di saat ia memungut bunga itu untuk digabungkan dengan bunga-bunga lain yang berada di genggamannya, ia menyadari bahwa segumpal gundukan tanah juga ikut terangkat, di sana ada sebuah tali jeratan, tali jeratan itu tersangkut pada akar bunga itu. Jeratan itu berada di antara sisa-sisa bagian tubuh yang membusuk, terbuat dari tali kekang kuda yang sengaja dipotong, yang kini telah menyatu abadi dengan tanah. Di sekitarnya banyak batang pohon oak yang cabangnya dipenuhi bagian tubuh dan potongan pakaian pria itu. Compang-camping, membusuk, pucat, dan tercabik-cabik—hampir tidak sanggup ia melihatnya—kecuali berputar-putar dengan gelisah. Myop pun akhirnya meletakkan seluruh bunga yang ada dalam genggamannya. Musim panas pun telah berakhir.

     

     

    Informasi:
    The Flowers adalah cerita pendek yang sangat pendek yang ditulis oleh penulis Afro-Amerika, Alice Walker, dan dipublikasikan pertama kali pada tahun 1973. Karena kuatnya pengaruh yang disebabkan oleh cerpen ini di kalangan masyarakat, cerpen ini pun terpilih menjadi salah satu cerpen terbaik amerika yang pernah ditulis, dan terangkum dalam buku American Short Stories: 1920 to the Present yang diterbitkan pada tahun 2003. cerpen ini diterjemahkan langsung dari bahasa aslinya, yaitu bahasa Inggris dari buku American Short Stories: 1920 to the Present.
    Selain menulis cerpen, Alice Walker juga menulis novel dan puisi. Salah satu novelnya yang paling terkenal adalah The Colour Purple, yang mana berhasil memenangkan penghargaan Pulitzer Prize pada tahun 1983. selain menulis, Alice Walker juga dikenal sebagai aktivis yang memperjuangkan hak-hak masyarakat kulit hitam di seluruh dunia, khususnya di Amerika Serikat. Hal-hal itu dapat dilihat dari karya-karyanya yang sarat akan isu-isu diskriminasi terhadap masyarakat kulit hitam.

    Pendapat Anda:

  • Bintang itu Kakak Perempuanku [Alain Mabanckou]

    author = Bagus Panuntun

    Saat itu usiaku masih 10 tahun. Di tengah musim kemarau, aku keluar diam-diam dari kamar. Kubuka pelan-pelan pintu menuju muka rumah. Aku tak lagi takut pada hantu atau roh jahat apapun yang keluar di tengah malam untuk menakuti anak-anak.

    Aku duduk di teras dan mendongakkan kepalaku untuk memandangi langit. Emak bilang kalau kakak perempuanku tinggal di sana bersama para malaikat.

    Lalu tiba-tiba, muncul satu bintang, bintang yang sangat kecil tapi paling terang di antara yang lain. Aku menatapnya penuh perhatian. Ia bergerak, berkedip, dan tersenyum padaku sebelum bersembunyi di antara dua awan, lalu muncul kembali. Ia membuatku sangat bahagia dan aku membalas senyumnya. Aku tahu, bintang itu kakak perempuanku yang meninggal dua tahun sebelum kelahiranku. Aku memanggilnya: “Mbak Bintang”.

    Duduk di teras, aku mulai bicara padanya, pada Mbakku. Aku menceritakan banyak hal karena aku khawatir dia tak lagi tahu apa yang terjadi di sekitar sini sejak ia tinggal di atas.

    Mbak Bintang selalu mendengarkanku dengan saksama. Aku bilang kalau Bapak sudah membeli motor baru dan masih bekerja pada orang kulit putih di hotel Istana Jaya. Ia sering pulang membawa buku-buku yang dibuang oleh orang-orang kulit putih setelah mereka selesai membacanya. Aku bilang ke Mbak Bintang kalau terakhir kali, Bapak membawakan buku aneh yang membuatku hampir terisak saat membacanya: Pangeran Cilik, buku kecil yang ditulis seorang pilot bernama Antoine de Saint-Exupéry.

    Buku yang sudah kubaca lebih dari sepuluh kali ini menceritakan seseorang yang hilang di tempat yang jauh, sangat jauh dari tempat manapun yang ditinggali manusia. Di sana, tiba-tiba ia bertemu seorang bocah yang menyuruhnya menggambar seekor domba. Aku kasihan pada bocah yang entah dari mana itu, yang sepertinya belum pernah melihat domba.

    Suatu malam, aku bilang ke Mbak Bintang kalau aku sedang merasa seperti bocah itu. Aku juga ingin seseorang menggambarkanku seekor hewan yang ramah, seperti hewan lucu yang ada di buku Antoine de Saint-Exupéry…

    Lalu satu minggu berikutnya, di tengah malam seperti biasanya, aku kembali melihat angkasa. Meski malam itu semua bintang sedang beristirahat di kasur awan empuknya, aku melihat Mbak Bintang tetap bersinar terang. Ia berkedip-kedip lalu membolak-balikkan badannya seolah sedang sangat sibuk dan agak gugup. Aku memperhatikannya dengan antusias dan gembira dan aku segera menyadari kalau ia sedang menggambarkanku seekor domba. Seekor domba yang cantik di atas langit.

    Aku menjaga rahasia ini. Aku tidak pernah bilang ke Bapak, Emak, apalagi teman-teman satu kelas. Aku ingin bilang ke Mbak Bintang kalau aku sudah sering melihat domba di kampung dan aku ingin agar ia menggambarkanku hewan baik lainnya. Tapi Mbak Bintang lebih suka menggambar domba Saint-Exupéry. Dan aku tidak ingin menolaknya. Sebab, domba yang ia gambar terlihat seperti hewan paling baik yang pernah ada di dunia.

    Aku menceritakan banyak hal lain ke Mbak Bintang. Suatu hari, aku bahkan bercerita tentang Paman René yang baru membeli rumah di Kompleks Trisata, dekat kafe Kredit Bablas. Rumah Paman mewah dan kokoh. Halamannya sangat luas dan teman-temannya sering berkunjung karena senang melihat rumahnya yang luar biasa. Aku bilang ke Mbak Bintang kalau aku ingin sekali tinggal bersama Paman René karena rumah kami tidak sekokoh rumahnya. Rumah kami lebih kelihatan seperti gubuk dari papan rapuh dengan atap yang bocor-bocor. Hujan sering membanjiri ruang tengah bahkan sampai masuk kamarku. Dan setiap kali hujan, Bapak dan Emak harus bangun karena takut rumah kami terseret banjir. Aku sering tidur sambil memakai jas hujan. Bapak sering berjanji untuk menambal atap rumah keesokan harinya, tapi ia selalu lupa dan baru ingat setelah hujan datang lagi.

    “Kan situ udah janji mau benerin genteng!” teriak Emak saat hujan mengguyur.

    “Iya, besok…”, jawab Bapak.

    “2 minggu lalu situ juga ngomong gitu!”

    “Iya, iya besok ah. Janji”

    Dan Bapak tak pernah memenuhi janjinya. Ia lebih memilih membelikanku jas hujan baru dan sepasang sepatu bot. Air hujan sering jatuh ke badanku, tapi aku sudah terbiasa. Bahkan, saat itulah aku justru merasa lebih ngantuk.

    Sebenarnya, Paman René juga ingin aku tinggal di rumahnya, tapi Bapak dan Emak menolaknya. Mereka tak mau kesepian di rumah papan tuanya. Aku bisa membayangkan bagaimana misalnya aku tinggal di rumah Paman René. Aku akan bermain dengan sepupu-sepupuku dan aku akan tidur di kamar yang atapnya rapat. Tapi Bapak orang yang sangat memikirkan harga dirinya. Oleh karena itu, ia memintaku berhenti bermimpi untuk tinggal di sana, dan dengan tegas berkata:

    “Bapak nggak mau kamu tinggal di rumah René. Bapak tau Bapak miskin dan kamu pingin tinggal di rumah Pamanmu yang banyak duit dan rumahnya gede ! Tapi hidup tuh harus banyak syukur sama apa yang kita punya. Tinggal di rumah reyot bukan berarti hati ikutan melarat. Nanti kamu bakal ngerti kalau udah gede…”

    Setelah satu jam lebih melihat langit, aku mulai merasa mataku berat. Aku mengantuk, tapi cahaya Mbak Bintang membuatku tetap terjaga. Aku baru sadar kalau sudah cukup lama berada di teras. Aku ingin tidur tapi aku tak bisa tidur sebelum bercerita tentang Emak ke Mbak Bintang.

    Jadi, aku bercerita tentang kelereng yang Emak belikan untuk kado ulang tahunku. Emak memberiku 12 kelereng tapi semuanya hilang. Anak-anak kampung yang lebih tua meminta kelerengku sambil mengancam. Dan aku tak mungkin melawan mereka karena tubuhku kurus kering seperti biting. Emak jengkel dan berjanji akan membawaku ke dukun kampung yang bisa memberiku jimat supaya aku lebih kuat jika kelerengku diminta lagi. Dukun itu bernama Mak Malonga. Kami menyambanginya suatu malam. Ia menyuruhku makan akar pedas dan memberiku gelang dari taring ular berbisa. Saat anak-anak nakal itu melihatku, mereka akan kabur karena tahu bahwa mereka tak akan menang melawan seseorang yang memakai jimat.

    Sejak hari itulah, aku tak pernah lagi kehilangan kelereng-kelerengku.

    Emak sering memikirkan almarhum Mbak. Ia selalu membawa foto Mbak kemanapun ia pergi. Mbak cuma hidup selama satu minggu setelah kelahirannya. Roh jahat di desa kami nampaknya iri akan kecantikannya. Dan karena roh-roh jahat itu mendatangi Mbak setiap malam, mereka akhirnya bisa melempar kutukan jahat pada rumah kami. Oleh karena itulah, leluhur-leluhur kami ingin agar Mbak tinggal di langit bersama para Dewa dan di samping para malaikat untuk melindungi keluarga kami. Sejak kematian Mbak, Bapak dan Emak meninggalkan desa kami di Mouyondzi untuk tinggal di kota Pointe-Noire.

    Aku lahir dua tahun setelah kemalangan itu. Tapi penyihir jahat dari Mouyondzi tetap menyimpan dendamnya. Mereka bahkan mengirim kutukan jahat ke perut Emak sehingga aku tak bisa lagi punya adik hingga sekarang.

    Aku tak bisa lagi merahasiakan obrolan tengah malamku dengan Mbak Bintang. Aku ingin menunjukkan ke teman-temanku kalau aku bukan anak tunggal dan aku punya kakak perempuan yang tinggal di antara bintang-bintang. Aku menceritakan ini ke salah satu teman laki-laki di kelasku, namanya Nestor. Dan karena Nestor enggan percaya, aku mengeluh pada Mbak Bintang malam harinya. Aku bilang padanya:

    “Nestor nakal banget”

    Lalu Mbak Bintang bertanya:

    “Kenapa kamu bilang kalau dia nakal?”

    Dan aku menjawab:

    “Soalnya dia suka duduk paling belakang buat gangguin murid cewek. Terus dia suka jahilin aku padahal aku nggak ngapa-ngapain”.

    “Oh.. jadi karena itu kamu bilang dia nakal?”

    “Dia juga bilang kalau aku miskin dan menyedihkan karena aku nggak punya saudara laki-laki atau perempuan. Padahal aku sudah bilang ke dia kalau aku punya Mbak yang tinggal di langit”

    “Terus, Nestor jawab apa?”

    “Dia nggak percaya. Dia bilang kalau ceritaku bodoh dan aku pembohong. Nestor juga bilang kalau Mbak nggak ada, karena suatu malam, dia pergi ke teras dan melihat langit, tapi dia nggak melihat Mbak seperti aku sekarang. Dia bilang cuma ada bintang-bintang biasa, yang bisa dilihat semua orang”

    “Terus kamu jawab gimana?”

    “Aku bilang, kalau malam itu Mbak Bintang sedang kelelahan dan tidur sama para malaikat”

    “Terus apa kata Nestor?”

    “Dia bilang kalau aku harus berhenti cerita bohong. Kalau nggak, dia bakal menjewerku dan bocorin rahasia ini ke satu sekolah saat istirahat”.

    “Terus, kamu mau Mbak nunjukkin ke Nestor kalau Mbak memang ada?”

    “Aku mau Mbak ketemu langsung dengan Nestor, Mbak muncul di langit, dan Mbak bicara seperti Mbak ngobrol sama aku sekarang…”

    “Baik, besok kamu bilang ke Nestor kalau Mbak akan ada di langit pada Minggu malam. Dia harus mendongak ke langit dan melihat Mbak bergerak. Bilang juga ke dia kalau Mbak mau gambarin domba kecil seperti di bukunya Saint-Exupéry”.

    Nestor tak percaya padaku saat aku bilang tentang obrolanku semalam dengan Mbak Bintang. Dia tertawa keras dan bilang:

    “Kamu pasti sudah gila! Kamu nggak punya kakak perempuan. Mbakmu sudah meninggal. Mbakmu sudah lama meninggal!”

    “Nggak! Dia belum meninggal, aku nggak bohong. Kamu lihat sendiri hari Minggu malam. Lihat langit dan dia akan menggambar domba buatmu, seekor domba seperti di bukunya Saint-Exupéry”.

    Minggu malam, Nestor keluar dari kamar. Ia menatap langit. Tapi hanya ada gelap. Tak ada satupun bintang. Tapi saat ia semakin mendongakkan kepala, awan-awan mendung mulai menipis dan semakin berjarak. Satu bintang kecil berkedip. Bintang itu sendirian, seolah tak mau diganggu bintang lainnya. Ini saat terbaik untuk membuat Nestor percaya. Bintang itu bergerak dan membolak-balikkan badannya. Dari rumah, aku juga melihatnya.

    Nestor menatap langit dengan sangat saksama. Dan ia melihat seekor domba yang digambar oleh Mbak Bintang. Domba itu bahkan lebih bagus daripada domba milikku. Ia menggoyang-goyangkan ekor dan telinganyanya. Ia lalu melompat-lompat selama beberapa menit sebelum bersembunyi di balik bulan yang baru saja muncul bersama bintang-bintang lain yang merasa iri dengan Mbakku.

    Esok harinya di sekolah, Nestor duduk di sebelahku dan berbisik:

    “Aku lihat Mbakmu semalam… Dia menggambarkanku domba putih”.

    Aku tersenyum karena mulai sekarang Nestor menjadi sahabat terbaikku.

    Beberapa hari kemudian, Nestor datang kembali padaku dengan wajah sedih.  Ia mengajakku pergi ke taman.

    “Ada apa Nestor?”

    Ia mengusap air matanya sebelum memberitahuku:

    “Aku juga sedang mencari adik laki-lakiku. Dia meninggal tahun lalu, tapi aku nggak melihat dia di langit sama bintang-bintang. Ini nggak adil !”

    Aku merangkul bahunya untuk menenangkannya. Aku bilang kepadanya:

    “Kamu harus sedikit bersabar. Adikmu akan muncul suatu hari. Sekarang dia masih belajar tentang bagaimana hidup di sana. Tapi aku janji, besok aku akan bilang ke Mbak Bintang untuk mencarikan adikmu. Nanti, mereka akan muncul berdua di depan kita”.

    TAMAT

    Profil Penulis:

    Alain Mabanckou adalah penulis asal Kongo-Brazzaville dan menjadi salah satu penulis francophone paling terkenal dan produktif saat ini. Penulis kelahiran 24 Februari 1966 ini dikenal berkat karya-karyanya yang banyak bercerita tentang realitas sosial di Afrika dan pengalaman para diaspora kulit hitam di Prancis dan Amerika. Novelnya Black Bazar (2009) masuk dalam daftar panjang Man Booker Prize 2017, sementara novelnya yang lain Mémoires de porc-épic (2006) memenangkan Prix Renaudot 2006 dan masuk dalam daftar panjang Man Booker Prize 2015. Saat ini, ia menjadi dosen pengajar sastra francophone di University of California, Los Angeles (UCLA).

    Sumber buku: 

    Judul asli dari cerpen ini adalah Ma Soeur-Étoile yang termuat dalam buku Enfances, Nouvelles recueillies par Alain Mabanckou (2005), terbitan Ndzé. Enfances adalah kumpulan cerpen bertema anak-anak yang ditulis oleh sastrawan-sastrawan francophone asal Afrika. Beberapa penulis besar yang berkontribusi di buku ini di antaranya Alain Mabanckou, Ananda Devi, Raharimana, Sami Tchak, dll

  • Bagaimana Cara Berbicara dengan Gadis-gadis di Pesta [Neil Gaiman]

    author = Miguel Angelo Jonathan

    “Ayolah,” kata Vic. “Ini akan hebat.”

    “Tidak, tidak akan,” kataku, meski aku telah kalah dalam perdebatan ini berjam-jam lalu, dan aku tahu itu.

    “Ini akan cemerlang,” kata Vic, untuk yang keseratus kalinya. “Gadis! Gadis! Gadis!” Dia menyeringai dengan gigi putih.

    Kami berdua memasuki sekolah khusus laki-laki di London selatan. Walaupun akan menjadi suatu kebohongan bila mengatakan kami tak memiliki pengalaman dengan perempuan-Vic tampaknya memiliki banyak pacar, sementara aku pernah mencium tiga teman saudara perempuanku-itu akan, pikirku, sangatlah tepat untuk mengatakan kalau kami berdua lebih banyak berbicara, berinteraksi, dan hanya benar-benar memahami anak lelaki lain. Ya, aku begitu, bagaimanapun. Sulit untuk berbicara dengan orang lain, dan aku sudah tidak melihat Vic selama tiga puluh tahun. Aku tidak yakin aku akan tahu apa yang hendak kukatakan padanya sekarang jika aku menemuinya.

    Kami berjalan di jalan belakang yang dulu berkelok-kelok dalam labirin kotor di belakang stasiun East Croydon-seorang teman memberi tahu Vic tentang sebuah pesta, dan Vic bertekad untuk pergi entah aku suka atau tidak, dan aku tidak. Tetapi minggu itu orang tuaku sedang pergi ke sebuah konferensi, dan aku adalah tamu Vic di rumahnya, jadi aku mengikut saja di sampingnya.

    “Ini akan berakhir sama sebagaimana yang selalu terjadi,” kataku. “Setelah satu jam kamu akan pergi ke suatu tempat mencumbu gadis tercantik di pesta, dan aku akan berada di dapur mendengarkan ibu seseorang berceloteh tentang politik atau puisi atau suatu hal lainnya.”

    “Kamu hanya perlu berbicara dengan mereka,” katanya. “Kupikir itu mungkin jalan di ujung sini.” Dia memberi isyarat riang, mengayunkan tas dengan botol di dalamnya.

    “Bukannya kamu tahu?”

    “Alison memberikanku arahan dan aku menuliskannya di secarik kertas, tapi aku meninggalkannya di meja aula. Santai. Aku bisa menemukannya”

    “Caranya?” Harapan mengalir perlahan di dalam diriku.

    “Kita telusuri jalan,” katanya, seolah-olah berbicara kepada anak idiot. “Dan kita cari pestanya. Gampang.”

    Aku mengamati, tetapi tidak menemukan satupun pesta: hanya rumah-rumah sempit dengan mobil berkarat atau sepeda di taman depan berbeton mereka; dan kaca berdebu bagian depan lapak koran, yang berbau seperti bumbu-bumbu asing dan menjual segala sesuatu mulai dari kartu ulang tahun dan komik bekas hingga jenis majalah yang begitu porno sehingga mereka dijual sudah disegel dalam kantong plastik. Aku pernah ke sana ketika Vic menyelipkan salah satu majalah itu ke balik sweaternya, tetapi pemiliknya menangkapnya di trotoar luar dan membuatnya mengembalikannya.

    Kami sampai di ujung jalan dan berbelok ke jalan sempit rumah-rumah bertingkat. Semuanya tampak sunyi dan kosong di malam musim panas. “Tidak ada masalah untukmu,” kataku. “Mereka menyukaimu. Kamu sebenarnya tidak perlu berbicara dengan mereka.” Memang benar: satu senyum keparat dari Vic dan dia bisa mendapatkan pilihan untuk kamarnya.

    “Ah. Gak begitu. Kamu hanya perlu berbicara.”

    Pada waktu ketika aku mencium teman saudara perempuanku aku tidak berbicara dengan mereka. Mereka telah ada saat saudara perempuanku pergi melakukan sesuatu di tempat lain, dan mereka telah melintas ke dekatku, dan dengan begitu aku telah mencium mereka. Aku tidak ingat pembicaraan apa pun. Aku tidak tahu apa yang harus dikatakan kepada gadis-gadis, dan aku mengatakan demikian padanya.

    “Mereka hanya perempuan,” kata Vic. “Mereka tidak berasal dari planet lain.”

    Ketika kami mengikuti belokan di sekitar jalan, harapanku kalau pesta itu akan terbukti tidak dapat ditemukan mulai memudar: suara berdenyut rendah, musik teredam oleh dinding dan pintu, bisa terdengar dari sebuah rumah di depan. Saat itu jam delapan malam, tidak terlalu awal jika kamu belum enam belas, dan kami belum. Tidak terlalu.

    Aku memiliki orang tua yang ingin mengetahui keberadaanku, tetapi menurutku orang tua Vic tidak sepeduli itu. Dia anak bungsu dari lima bersaudara. Itu sendiri tampak ajaib bagiku: aku hanya memiliki dua saudara perempuan, keduanya lebih muda dariku, dan aku merasa unik dan kesepian. Aku menginginkan saudara laki-laki sejauh yang bisa aku ingat. Ketika aku berusia tiga belas tahun, aku berhenti berharap pada bintang jatuh atau bintang pertama, tetapi ketika aku masih melakukannya, seorang saudara laki-laki adalah apa yang aku harapkan.

    Kami mengikuti jalan taman, ubin keras menuntun kami melewati pagar dan semak mawar terpencil menuju rumah berdinding kerikil-kerikil kecil. Kami membunyikan bel pintu, dan pintu dibukakan oleh seorang gadis. Aku tak dapat memberitahumu berapa usianya, yang mana merupakan salah satu hal tentang perempuan yang mulai kubenci: saat kamu memulai sebagai anak-anak, kamu hanyalah lelaki dan perempuan, melewati waktu dengan kecepatan yang sama, dan kamu semua lima, atau tujuh, atau sebelas, bersama-sama. Lalu kemudian suatu hari ada keganjilan mendadak dan perempuan-perempuan seperti berlari kencang ke masa depan jauh di depanmu, dan mereka tahu tentang segalanya, dan mereka memiliki menstruasi dan buah dada dan alat rias, dan hanya-Tuhan-yang-tahu-apalagi—sebab tentu saja aku tidak tahu. Gambar-gambar dalam buku biologi bukanlah pengganti untuk makhluk hidup, dalam arti yang sebenarnya, anak-anak muda. Dan gadis-gadis seusia kami.

    Vic dan aku bukanlah anak-anak muda, dan aku mulai curiga kalau bahkan meski aku mulai perlu bercukur setiap hari, alih-alih sekali setiap beberapa minggu, aku masih tertinggal jauh di belakang.

    Gadis itu berkata, “Halo?”

    Vic mengatakan, “Kami teman-teman Alison.” Kami telah bertemu dengan Alison, berbintik-bintik dan berambut oranye dengan senyum licik, di Hamburg, pada pertukaran Jerman. Penyelenggara pertukaran mengirim beberapa gadis bersama kami, dari sekolah gadis lokal, untuk menyeimbangkan gender. Para gadis, seusia kami, lebih atau kurang, serak dan lucu, dan memiliki pacar yang kurang lebih dewasa dengan mobil, pekerjaan, sepeda motor, dan—dalam kasus seorang gadis dengan gigi bengkok dan mantel rakun, yang berbicara denganku tentang kesedihannya di akhir pesta Hamburg, tentu saja, di dapur—seorang istri dan anak-anak.

    “Dia tidak di sini,” kata gadis di depan pintu. “Tidak ada Alison.”

    “Tak perlu khawatir,” ucap Vic, dengan senyum luwesnya. “Aku Vic. Ini Enn.” Sebuah getaran, dan si gadis tersenyum balik padanya. Vic membawa sebotol anggur putih di tas plastik, diambil dari lemari dapur orang tuanya. “Kalau begitu, di mana aku harus menaruh ini?”

    Dia menyingkir dari jalan, dan membiarkan kami masuk. “Ada dapur di belakang,” katanya. “Taruh di meja sana, dengan botol-botol lainnya.” Dia memiliki rambut emas bergelombang, dan dia sangat cantik. Aula itu redup dalam keremangan, tetapi aku bisa melihat bahwa dia cantik.

    “Jadi, siapa namamu?” tanya Vic.

    Dia memberitahu kalau namanya Stella, dan Vic menyeringai dengan senyum lebar lalu memberitahu kalau itu adalah nama tercantik yang pernah didengarnya. Bajingan yang mulus. Dan yang lebih buruk, dia mengatakan itu seperti dia bersungguh-sungguh.

    Vic kembali pergi untuk menaruh anggur di dapur, dan aku menatap ke ruang depan, tempat musik berasal. Ada orang-orang yang menari di sana. Stella bergabung dan dia mulai menari, bergoyang mengikuti musik sendirian, dan aku memperhatikannya.

    Ini terjadi pada masa-masa awal punk. Di pemutar rekaman milik kami, kami akan memainkan The Advert, The Jam, The Stranglers, The Clash dan Sex Pistols. Di pesta orang lain, kamu akan mendengar ELO atau 10cc atau bahkan Roxy Music. Beberapa mungkin Bowie, kalau kamu beruntung. Selama pertukaran Jerman, satu-satunya LP yang bisa kami semua sepakati adalah Harvest-nya Neil Young, dan lagunya “Heart of Gold” mengalun selama perjalanan seperti dalam lirik: I crossed the ocean for a heart of gold

    Musik yang dimainkan di ruang depan itu bukanlah sesuatu yang aku kenali.

    Kedengarannya seperti grup musik elektronik Jerman bernama Kraftwerk, dan sedikit mirip sebuah LP yang diberikan untuk ulang tahun terakhirku, dari suara aneh yang dibuat oleh BBC Radiophonic Workshop. Namun, musiknya memiliki irama, dan setengah lusin gadis yang ada di ruangan itu bergerak pelan mengikuti musik, meski aku hanya memperhatikan Stella. Dia bersinar.

    Vic mendorong melewatiku, menuju ruangan. Dia memegang sekaleng bir. “Ada minuman keras di dapur,” dia memberitahuku. Dia berjalan menghampiri Stella dan mulai berbicara kepadanya. Aku tidak dapat mendengar apa yang mereka bicarakan karena bising musik, tapi aku tahu tidak ada ruang bagiku dalam pembicaraan itu.

    Aku tidak suka bir, tidak pada saat itu. Aku pergi untuk melihat apakah ada sesuatu yang bisa aku minum. Di atas meja dapur berdiri sebotol Coca-Cola, dan aku menuangkan segelas plastik penuh untuk diriku sendiri, tidak berani mengatakan apapun kepada sepasang gadis yang mengobrol di dapur remang-remang. Mereka sangat bergairah dan menawan. Masing-masing memiliki kulit legam hitam dan rambut berkilau serta pakaian layaknya bintang film. Aksen mereka asing, dan masing-masing berada di luar jangkauanku.

    Aku berkeliling, minuman bersoda di tangan.

    Rumah itu lebih luas dari yang terlihat, lebih besar dan kompleks dari model rumah two-up two-down yang kubayangkan. Ruangannya remang-remang-aku ragu ada bohlam lebih dari 40 watt di dalam bangunan-dan tiap ruang yang aku hampiri berpenghuni: seingatku, diisi hanya oleh perempuan. Aku tidak pergi ke lantai atas.

    Satu-satunya penghuni konservatori adalah seorang gadis. Rambutnya sangat menarik dan berwarna putih, panjang dan lurus. Dia duduk di meja berlapis kaca, tangan saling menggenggam, menatap taman di luar dan senja yang meredup. Dia tampak murung.

    “Apa kamu keberatan jika aku duduk di sini?” Tanyaku, memberi isyarat dengan gelasku. Dia menggoyangkan kepalanya, diikuti dengan sebuah angkatan bahu, menandakan kalau itu semua sama saja baginya. Aku duduk.

    Vic berjalan melewati pintu konservatori. Dia berbicara dengan Stella, tapi dia melihat ke arahku, duduk di meja, dipenuhi rasa malu dan canggung, dan dia membuka dan menutup tangannya sebagai tiruan sebuah mulut yang berbicara. Bicara. Benar.

    “Apa kamu berasal dari sekitar sini?” Aku bertanya kepada si gadis.

    Dia menggelengkan kepala. Dia mengenakan atasan keperakan berpotongan rendah, dan aku berusaha untuk tidak menatap dadanya yang menyembul.

    Aku bilang, “Siapa namamu? Aku Enn.”

    “Wain Wain,” ucapnya, atau sesuatu yang terdengar seperti itu. “Aku kedua.”

    “Itu, uh. Nama yang asing.”

    Dia menatapku dengan mata besar berair. “Itu menandakan kalau leluhurku juga Wain, dan aku diwajibkan melapor balik kepadanya. Aku tidak boleh berkembang biak.”

    “Ah. Oke. Terlalu awal untuk itu juga, kan?”

    Dia melepas genggamannya, mengangkatnya ke atas meja, merentangkan jari-jarinya. “Kamu lihat?” Jari kelingking di tangan kirinya bengkok, dan atasnya bercabang dua, terbelah menjadi dua ujung jari yang lebih kecil. Sebuah kelainan kecil. “Ketika aku selesai, sebuah keputusan diperlukan. Apakah aku akan dipertahankan, atau disingkirkan? Aku beruntung karena keputusan ada di tanganku. Sekarang, aku berpergian, sementara saudara perempuanku yang lebih sempurna berada di rumah dalam keadaan statis. Mereka yang pertama, aku kedua.

    “Sebentar lagi aku harus kembali ke Wain, dan memberitahunya apa yang telah kulihat. Seluruh kesanku terhadap tempatmu ini.”

    “Aku sebenarnya tidak tinggal di Croydon,” kataku. “Aku tidak berasal dari sini.” Aku bertanya-tanya apakah dia orang Amerika. Aku tidak tahu sama sekali apa yang dia bicarakan.

    “Baiklah kalau begitu,” dia setuju, “tidak satu pun dari kita berasal dari sini.” Dia melipat tangan kirinya yang berjari enam di bawah tangan kanannya, seolah menyembunyikannya dari pandangan. “Tadinya aku berharap itu lebih besar, bersih, dan berwarna. Tapi tetap, itu adalah permata.”

    Dia menguap, menutup mulutnya dengan tangan kiri, hanya untuk sejenak, sebelum tangannya kembali ke meja lagi. “Aku mulai bosan melakukan perjalanan, dan terkadang berharap itu akan berakhir. Di sebuah jalan di Rio pada saat karnaval, aku melihat mereka di jembatan, keemasaan, tinggi, bermata serangga dan bersayap. Aku gembira dan menyambut mereka, sebelum akhirnya tersadar mereka hanya orang-orang dengan kostum. Aku berkata pada Hola Colt, ‘kenapa mereka berusaha keras terlihat seperti kita?’ dan Hola Colt menjawab, ‘Karena mereka membenci diri mereka sendiri, semua bercorak merah muda dan coklat, dan begitu kecil.’ Itulah yang aku alami, bahkan aku, dan aku belum dewasa. Ini seperti dunia anak-anak, atau peri.” Kemudian dia tersenyum, dan berkata, “Adalah hal yang menguntungkan tidak satupun dari mereka bisa melihat Hola Colt.”

    “Um,” kataku, “apa kamu ingin menari?”

    Dia lekas menggelengkan kepalanya. “Itu tidak diizinkan,” ucapnya. “Aku tidak boleh melakukan sesuatu yang mungkin dapat menghasilkan kerusakan properti. Aku seorang Wain.”

    “Kalau begitu, apakah kamu ingin minum sesuatu?”

    “Air,” balasnya.

    Aku kembali menuju dapur dan menuangkan lagi minuman bersoda untukku, lalu mengisi gelas dengan air dari keran. Dari dapur kembali ke aula, dan dari sana ke konservatori, tapi sekarang ruangan itu cukup kosong.

    Aku bertanya-tanya apakah gadis itu pergi ke toilet, dan apakah mungkin dia mengubah pikirannya tentang menari nanti. Aku berjalan kembali ke ruang depan dan menatap ke dalam. Tempat itu semakin ramai. Ada lebih banyak gadis menari, dan beberapa pemuda yang tidak kukenal, yang terlihat lebih tua beberapa tahun dariku dan Vic. Para pemuda dan gadis semuanya menjaga jarak, tetapi Vic menggandeng tangan Stella sambil menari berdua, dan ketika lagu selesai dia merangkulnya, dengan santai, hampir seperti dia adalah miliknya, untuk memastikan tidak ada orang lain yang menyerobot.

    Aku berpikir apa mungkin gadis yang aku ajak bicara di konservatori sekarang berada di atas, karena dia tidak terlihat di lantai bawah.

    Aku berjalan menuju ruang tamu, yang berada di seberang aula dari ruangan tempat orang-orang menari, dan aku duduk di sofa. Ada seorang gadis yang sudah duduk di sana. Dia memiliki rambut hitam, dipotong pendek dan runcing, dan kelihatan gugup.

    Bicaralah, pikirku. “Um, segelas air ini akan kuberikan untukmu,” kataku padanya, “jika kamu menginginkannya?”

    Dia mengangguk dan mengulurkan tangannya untuk mengambil gelas, dengan sangat berhati-hati. Seakan-akan ia tidak terbiasa mengambil sesuatu, seolah-olah ia tidak dapat mempercayai pandangannya atau tangannya sendiri.

    “Aku senang menjadi turis,” ucapnya, dan tersenyum ragu-ragu. Dia memiliki celah di antara dua gigi depannya, dan dia menyesap air keran seperti orang dewasa yang menyesap anggur nikmat. “Pada tur terakhir, kami pergi menuju matahari dan berenang di kolam api matahari bersama ikan paus. Kami mendengar sejarah mereka dan kami menggigil dalam balutan dingin tempat-tempat luar, lalu kami berenang lebih dalam di mana panas bergelolak dan menyamankan kami.

    Aku ingin kembali. Kali ini, aku menginginkannya. Ada begitu banyak yang belum kulihat. Tetapi kami malah pergi ke bumi. Apa kamu suka?”

    “Suka apa?”

    Dia menunjuk secara samar ke ruangan—sofa, kursi berlengan, tirai, api gas yang tak terpakai.

    “Oke saja, menurutku.”

    “Aku mengatakan pada mereka aku tidak ingin mengunjungi bumi,” katanya. “orang tua-guruku tidak terkesan. ‘Kamu akan punya banyak hal untuk dipelajari,’ dia memberitahuku. Aku bilang, ‘aku bisa belajar lebih banyak di matahari, lagi. Atau di kedalaman. Jessa membuat jaring-jaring di antara galaksi. Aku ingin melakukannya.

    “Tapi tidak bisa beralasan dengannya, dan aku pun datang ke bumi. Orang tua-guru menelanku, dan di sinilah aku, terwujud dalam gumpalan membusuk yang tergantung pada kerangka kalsium. Saat aku menjelma aku merasakan banyak hal jauh di dalam diriku, menggelepar dan memompa dan meremas. Itu adalah pengalaman pertamaku mendorong udara melalui mulut, menggetarkan pita suara di perjalanan, dan aku menggunakannya untuk memberi tahu orang tua-guruku kalau aku berharap aku mati, yang diakui olehnya sebagai jalan keluar tak terelakkan dari bumi.

    Ada komboloi hitam melilit pergelangan tangannya, dan dia memainkannya sambil berbicara. “Tapi pengetahuan ada di sana, di dalam daging,” ujarnya, “dan aku bertekad belajar darinya.”

    Kami duduk berdekatan di tengah sofa sekarang. Aku memutuskan aku harus merangkulnya, tapi dengan santai. Aku akan mengulurkan tanganku di sepanjang bagian belakang sofa dan akhirnya merayapkan tanganku ke bawah, hampir tanpa terasa, sampai tanganku menyentuh dia. Dia berkata, “Benda dengan cairan di mata, ketika dunia memudar. Tidak ada yang memberitahuku, dan aku masih belum mengerti. Aku telah menyentuh lipatan Bisikan dan berdenyut dan terbang dengan tachyon swans, dan aku masih belum paham.”

    Dia bukan gadis tercantik di sini, tapi dia terlihat cukup baik, dan lagipula, dia seorang perempuan. Aku membiarkan lenganku turun sedikit, untuk sementara, sehingga lenganku bersentuhan dengan punggungnya, dan dia tidak menyuruhku untuk menariknya kembali.

    Vic kemudian memanggilku, dari arah pintu. Dia berdiri sambil merangkul Stella, menjaganya, melambai ke arahku. Aku berusaha memberitahukannya, dengan menggelengkan kepalaku, kalau aku sedang mencapai sesuatu, tetapi dia memanggil namaku dan, dengan enggan, aku bangkit dari sofa dan berjalan ke pintu. “Apa?”

    “Ehm. Begini. Pestanya,” ucap Vic, merasa bersalah. “Ini bukanlah pesta seperti yang kukira. Aku telah berbicara dengan Stella dan menyadarinya. Ya, singkatnya dia menjelaskannya kepadaku. Kita di pesta yang berbeda.”

    “Astaga. Apa kita dalam masalah? Perlukah kita pergi?”

    Stella menggelengkan kepalanya. Vic membungkuk dan menciumnya dengan lembut, di bibir. “Kamu kebetulan senang memilikiku di sini, benarkan, sayang?”

    “Kamu tahu aku begitu,” balasnya pada Vic.

    Vic memandang dari punggung Stella ke arahku, dan dia menyunggingkan senyum putihnya: nakal, memikat, sedikit Artful Dodger, sedikit Pangeran Tampan. “Jangan khawatir. Lagian mereka semua turis di sini. Ini seperti pertukaran mancanegara, ya kan? Seperti saat kita semua pergi ke Jerman.”

    “Begitu?”

    “Enn. Kamu harus berbicara dengan mereka. Dan itu berarti kamu harus mendengarkan mereka juga. Kamu mengerti?”

    “Sudah. Aku telah berbicara dengan beberapa dari mereka.”

    “Kamu mencapai sesuatu?”

    “Iya, sampai akhirnya kamu memanggilku.”

    “Maaf tentang itu. Dengar, aku hanya ingin memberimu informasi. Oke?”

    Dan dia menepuk lenganku lalu pergi dengan Stella. Kemudian, bersama-sama, mereka berdua menaiki tangga.

    Pahamilah aku, semua gadis di pesta itu, dalam remang-remang, sangat cantik; mereka semua memiliki wajah yang sempurna tetapi, yang lebih penting daripada itu, mereka memiliki keganjilan apa pun dalam proporsi, keanehan, atau kemanusiaan yang membuat kecantikan menjadi lebih dari sekadar boneka pajangan jendela toko.

    Stella yang tercantik di antara mereka, tapi dia, tentu saja, milik Vic. Dan mereka pergi ke atas bersama, dan begitulah yang akan selalu terjadi.

    Ada beberapa orang yang sekarang duduk di sofa, berbicara dengan gadis gigi bercelah. Seseorang melontarkan lelucon, dan mereka semua tertawa. Aku harus menerobos masuk ke sana untuk duduk di sampingnya lagi, dan sepertinya dia tidak mengharapkanku kembali, atau peduli kalau aku sudah pergi, jadi aku berjalan ke aula. Aku melirik ke arah orang-orang yang menari, dan mendapati diriku penasaran dari mana musik itu berasal. Aku tidak bisa melihat pemutar rekaman atau pengeras suara.

    Dari aula aku berjalan kembali ke dapur.

    Dapur bagus untuk pesta. Kamu tak perlu alasan untuk berada di sana, dan sisi baiknya, di pesta ini aku tidak melihat adanya tanda-tanda ibu seseorang. Aku memeriksa berbagai botol dan kaleng di meja dapur, lalu aku menuangkan setengah inci Pernod ke bagian bawah gelas plastikku, dan aku mengisi atasnya dengan minuman bersoda. Aku memasukkan beberapa es batu dan menyesapnya, menikmati bau tajam manis minuman itu. 

    “Apa itu yang kau minum?” Suara seorang gadis.

    “Ini Pernod,” aku memberitahunya. “Rasanya seperti adas manis, hanya saja beralkohol.” Aku tidak mengatakan kalau aku hanya mencobanya karena aku mendengar seseorang di antara kerumunan meminta Pernod di acara langsung LP Velvet Underground.

    “Bisakah aku minta satu?” Aku menuangkan Pernod lagi, mengisi bagian atas dengan minuman bersoda, memberikannya padanya. Rambutnya pirang seperti tembaga, dan terjulur keikalan di sekitar kepalanya. Ini bukan gaya rambut yang banyak kamu lihat sekarang, tetapi kamu sering melihatnya saat itu.

    “Siapa namamu?” Tanyaku.

    “Triolet,” katanya.

    “Nama yang cantik,” aku memberitahunya, meski aku tak tahu apakah benar begitu. Tapi, dia cantik.

    “Itu sebuah bentuk sajak,” katanya bangga. “Sepertiku.”

    “Kamu sebuah puisi?”

    Dia tersenyum, melihat ke bawah dan menjauh, mungkin dengan malu-malu. Tampangnya hampir datar—hidung Yunani sempurna yang turun dari dahinya dalam garis lurus. Kami memainkan Antigone di teater sekolah tahun sebelumnya. Akulah pembawa pesan yang menyampaikan berita kematian Antigone kepada Creon. Kami memakai topeng setengah yang membuat kami terlihat seperti itu. Aku memikirkan drama itu, menatapi wajahnya, di dapur, dan aku memikirkan gambar wanita Barry Smith dalam komik Conan: lima tahun kemudian aku pastinya akan memikirkan Pra-Raphaelite, dari Jane Morris dan Lizzie Siddall. Tapi aku baru berumur lima belas tahun waktu itu.

    “Kamu sebuah puisi?” Aku mengulangi.

    Dia menggigit bibir bawahnya. “Kalau kamu mau. Aku adalah puisi, atau aku sebuah pola, atau aku ras masyarakat yang dunianya telah ditelan lautan.”

    “Bukankah sulit untuk menjadi tiga hal sekaligus?”

    “Siapa namamu?”

    “Enn.”

    “Jadi kamu seorang Enn,” katanya. “Dan kamu adalah laki-laki. Dan kamu berkaki dua. Bukankah sulit untuk menjadi tiga hal sekaligus?”

    “Tapi mereka bukanlah hal yang berbeda. Maksudku, mereka tidak berkontradiksi.” Itu adalah kata yang telah kubaca berkali-kali tapi tidak pernah kuucapkan begitu lantang malam itu, dan aku meletakkan tekanan di tempat yang salah. Kontradiksi.

    Dia mengenakan gaun tipis yang terbuat dari kain sutra putih. Matanya hijau pucat, warna yang sekarang membuatku berpikir tentang lensa kontak berwarna; tapi ini tiga puluh tahun yang lalu; segalanya berbeda saat itu. Aku ingat penasaran tentang Vic dan Stella, di lantai atas. Sekarang, aku yakin mereka ada di salah satu kamar tidur, dan aku sangat iri pada Vic sampai hampir membuat sakit.

    Tetap saja, aku berbincang dengan gadis ini, bahkan meski kami membicarakan omong kosong, bahkan meski namanya bukan benar-benar Triolet (generasiku belum diberi nama hippie:  semua Pelangi dan Matahari dan Bulan, mereka hanya enam, tujuh, delapan tahun waktu itu). Dia bilang, “Kami tahu bahwa ini akan segera berakhir, jadi kami memasukkan semuanya ke dalam puisi, untuk memberitahukan kepada alam semesta siapa kami, dan mengapa kami di sini, dan apa yang kami katakan dan lakukan dan pikirkan dan mimpikan dan rindukan. Kami membungkus mimpi kami dalam kata-kata dan memulai kata-kata itu sehingga mereka hidup selamanya, tak terlupakan. Kemudian kami mengirim puisi sebagai pola flux, untuk menunggu di pusat bintang, memancarkan pesannya dalam denyut nadi dan menyembur dan memudarkan melintasi spektrum elektromagnetik, sampai suatu saat di mana, di dunia yang jaraknya seribu sistem matahari, polanya akan diterjemahkan dan dibaca, dan itu akan menjadi puisi sekali lagi.”

    “Lalu apa yang terjadi?”

    Dia menatapku dengan mata hijaunya, dan seolah-olah dia menatapku dari topeng setengah Antigonenya sendiri; tapi seolah-olah mata hijaunya yang pucat hanyalah bagian dari topeng yang berbeda, lebih dalam. “Kamu tak dapat mendengar puisi tanpa puisi itu mengubahmu,” katanya padaku. “Mereka mendengarnya, dan puisi menjajah mereka. Ia mewarisi mereka dan mendiami mereka, ritmenya menjadi bagian dari cara berpikir mereka, gambarannya secara permanen mengubah metafora mereka, syairnya, tampilannya, aspirasinya menjadi kehidupan mereka. Dalam satu generasi anak-anak mereka akan terlahir dengan telah mengetahui puisi itu, dan, lebih cepat daripada nanti, seiring berjalannya hal-hal ini, tidak akan ada lagi anak yang lahir. Mereka tidak diperlukan, tidak lagi. Hanya akan ada puisi, yang menjadi daging dan berjalan dan menyebarkan diri mereka sendiri melintasi luasnya yang diketahui.”

    Perlahan-lahan aku mendekatinya, supaya aku bisa merasakan kakiku menyentuh kakinya.

    Dia tampak menyambutnya: dia meletakkan tangannya di lenganku, dengan mesra, dan aku merasakan senyuman melebar di wajahku.

    “Ada tempat di mana kami disambut,” kata Triolet, “dan ada tempat di mana kami dianggap sebagai tanaman liar berbahaya, atau penyakit mematikan, sesuatu yang harus dikarantina dan dilenyapkan. Tapi di mana penularan berakhir dan seni dimulai?”

    “Aku tidak tahu,” kataku, sambil tersenyum. Aku dapat mendengar musik asing yang berdenyut dan bergemuruh di ruang depan.

    Dia mendekatkan tubuhnya kepadaku dan—kupikir itu sebuah ciuman… aku rasa. Bagaimanapun, dia menempelkan bibirnya ke bibirku, dan kemudian, setelah puas, dia menarik ke belakang, seakan-akan dia telah menandaiku sebagai miliknya.

    “Apakah kamu ingin mendengarnya?” tanyanya, dan aku mengangguk, tidak yakin apa yang dia tawarkan padaku, tapi yakin aku membutuhkan apapun yang dia bersedia berikan padaku.

    Dia mulai membisikkan sesuatu di telingaku. Itu adalah hal yang paling aneh dari puisi—kamu bisa mengetahui kalau itu puisi, meski kamu tidak berbicara bahasanya. Kamu dapat mendengar puisi Yunani Homer tanpa mengetahui sepatah kata pun, dan kamu masih tetap tahu itu puisi. Aku telah mendengar puisi Polandia, puisi Inuit, dan aku tahu apa itu tanpa mengetahuinya. Bisikannya sama seperti itu. Aku tidak tahu bahasanya, tapi kata-katanya merasuki diriku, sempurna, dan dalam benakku aku melihat menara-menara kaca dan berlian, dan orang-orang dengan mata hijau tepucat; dan, tak terbendung, di bawah setiap suku kata, aku dapat merasakan gelombang laut yang tanpa henti.

    Mungkin aku menciumnya dengan pantas. Aku tidak ingat. Aku tahu aku ingin.

    Dan kemudian Vic mengguncangku dengan keras. “Ayo lah!” dia berteriak. “Cepat lah. Ayo!”

    Di kepalaku aku mulai kembali dari jarak ribuan mil.

    “Idiot. Ayo. Pergi saja.” katanya, dan dia mengumpat kepadaku. Ada kemarahan dalam suaranya.

    Untuk pertama kalinya pada malam itu aku mengenali salah satu lagu yang diputar di ruang depan. Sebuah ratapan sedih saksofon diikuti oleh aliran nada cair, suara seorang pria menyanyikan lirik yang terpotong tentang anak-anak zaman sunyi. Aku ingin tinggal dan mendengarkan lagunya.

    Triolet berkata, “Aku belum selesai. Masih ada lebih banyak lagi dariku.”

    “Maaf sayang,” ujar Vic, tapi dia tidak lagi tersenyum. “Akan ada waktu lain,” dan dia mencengkeram sikuku dan memutar dan menarik, memaksaku keluar dari ruangan. Aku tidak melawan. Aku tahu dari pengalaman kalau Vic bisa mengalahkanku dengan mudah jika di kepalanya dia memutuskan untuk melakukan seperti itu. Dia tidak akan melakukannya kecuali dia kesal atau marah, tapi dia marah saat ini.

    Keluar ke aula depan. Saat Vic membuka pintu, aku melihat ke belakang untuk terakhir kalinya, melewati bahuku, berharap mendapati Triolet di ambang pintu dapur, tapi dia tidak ada di sana. Namun, aku melihat Stella di puncak tangga. Dia sedang menatap Vic, dan aku melihat wajahnya.

    Ini semua terjadi tiga puluh tahun yang lalu. Aku telah melupakan banyak hal, dan aku akan melupakan lebih banyak lagi, dan pada akhirnya aku akan melupakan segalanya; meski, jika aku memiliki kepastian tentang kehidupan setelah kematian, itu semua tidak terbungkus dalam mazmur atau himne, tetapi pada satu hal ini saja: aku tidak percaya aku dapat melupakan momen itu, atau melupakan ekspresi wajah Stella saat dia menyaksikan Vic bergegas menjauhi dirinya. Bahkan dalam kematian aku akan mengingatnya.

    Pakaiannya berantakan, ada riasan tercoreng di wajahnya, dan matanya…

    Kamu tidak ingin membuat alam semesta marah. Aku yakin alam semesta yang marah akan melihatmu dengan mata seperti itu.

    Kami kemudian berlari, aku dan Vic, menjauh dari pesta dan turis-tuis dan aram temaram, berlari seolah-olah badai petir berada di belakang kami, lari pontang-panting karena jalanan yang membingungkan, menerobos labirin, dan kami tidak melihat ke belakang, tidak berhenti sampai kami tidak bisa bernapas; dan kemudian kami berhenti dan terengah-engah, tak mampu berlari lagi. Kami kesakitan. Aku berpegangan pada dinding, dan Vic muntah, keras dan lama, ke selokan.

    Dia menyeka mulutnya.

    “Dia bukan seo—” Dia berhenti.

    Dia menggelengkan kepalanya.

    Kemudian dia berkata, “Kamu tahu… kupikir ada sesuatu. Ketika kamu telah bertindak sejauh yang kamu berani. Dan jika kamu melangkah lebih jauh, kamu tidak akan menjadi dirimu lagi. Kamu akan menjadi seseorang yang telah melakukan itu. Sebuah tempat yang tidak bisa kau datangi… kupikir itu terjadi padaku malam ini.”

    Kupikir aku tahu apa yang dia katakan. “Persetan dengannya, maksudmu?” Kataku.

    Dia menghantamkan buku jarinya dengan keras ke pelipisku, dan memutarnya dengan kasar. Aku bertanya-tanya apakah aku harus melawannya—dan kalah—tapi sejurus kemudian dia menurunkan tangannya dan menjauh dariku, membuat suara pelan, yang tertelan.

    Aku menatapnya dengan penasaran, dan tersadar kalau dia menangis: wajahnya merah padam, ingus dan air mata membasahi pipinya. Vic terisak-isak di jalanan, tanpa disadari dan memilukan seperti anak kecil.

    Dia lalu berjalan menjauhiku, bahu terangkat, dan dia bergegas menyusuri jalan sehingga dia berada di depanku dan aku tidak bisa melihat lagi wajahnya. Aku penasaran apa yang telah terjadi di ruangan lantai atas itu sampai-sampai dia bersikap demikian, menakutinya seperti itu, dan aku bahkan tidak bisa menebak.

    Lampu jalan menyala, satu per satu; Vic tersandung di depan, sementara aku berjalan tertatih-tatih di belakangnya di balik temaram senja. Kakiku memijaki sebuah irama puisi yang, kucoba sekuat tenaga, tak dapat kuingat dengan baik dan takkan pernah bisa kuulangi.

    How To Talk To Girls at Parties oleh Neil Gaiman terbit pertama kali tahun 2007, diterjemahkan dari Bahasa Inggris. Naskah asli.