Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Jazz dan Tuak Nira [Emmanuel Boundzéki Dongala]

author = Bagus Panuntun

Diterjemahkan secara kolaboratif oleh Bagus Panuntun dan Gustu Wino.

I

Mereka datang dari langit berupa dua bola cahaya yang saling mengitari seperti sepasang kunang-kunang. Mereka terbang melewati seorang perempuan yang sedang bekerja di ladang dan mendarat perlahan di sampingnya. Panik melihat dua makhluk asing turun dari piring terbang itu, si perempuan lari terbirit meninggalkan barang-barang berharga termasuk keledainya. Kedua makhluk itu lalu mendekati si keledai, meletakkan satu tangan di atas pusar mereka, menundukkan kepala (sebagai tanda hormat ?), dan menekan sebuah tombol di mini kaset yang mereka bawa; satu kalimat dalam bahasa Swahili terdengar:

  • Bisakah kau mengantar kami ke tempat presiden?

Tapi keledai itu justru ketakutan dan berlari ke arah desa. Kedua makhluk itu mengikutinya karena mengira si keledai mengantar mereka ke rumah presiden bangsa manusia. Pada saat bersamaan, perempuan tadi telah sampai di desa dengan nafas ngos-ngosan, buah dadanya menjuntai, dan wajahnya tersayat ranting-ranting semak belukar. Ia lalu berteriak hingga membangunkan penduduk satu desa : “Cepat… lari cepat… Ada pi..piring terbang. Ada makhluk aneh warnanya biru logam. Tubuhnya mirip manusia tapi rambutnya hijau. Jalannya tersentak-sentak dan sangat menyeramkan.”

Semua warga terkesiap. Anak-anak bersembunyi di kolong ranjang, para perempuan memasang jimat dan grigri di sekeliling rumah, dan para pria mengangkat senjata, dari mulai panah sampai tombak. Sedangkan para veteran perang menyusun strategi yang pernah mereka pelajari saat membantu Prancis di dua perang dunia, lalu mengambil senapan dan mengambil posisi mengelilingi kota.

Keledai itu sampai di desa sambil meringkik tapi terhenti dengan tubuh dihujani peluru dan anak panah. Begitu pula dengan dua makhluk tadi. Tanpa sempat bergerak dan mengucapkan sepatah kata pun, tubuh mereka telah diberondong senjata hingga keduanya ambruk, yang satu tersungkur dan yang satu terlentang. Gumpalan-gumpalan darah biru pirus mengucur dari bekas luka mereka. Mayat-mayat itu lalu mengering begitu saja, berubah menjadi debu biru dan menguap di hadapan warga yang masih terperangah. Saat itulah, kawan-kawan mereka yang masih menunggu di pesawat memahami apa yang terjadi. Kedua piring terbang itu segera tinggal landas dan menghilang dalam cakrawala.

II

Mereka datang lagi dari empat penjuru mata angin, berlalu-lalang, bersinar, dan menari-nari gila di langit sebelum mendarat. Ada puluhan, ratusan, bahkan ribuan piring terbang yang mendarat dan menutupi sabana Kongo hingga melembak ke sungai Kinshasa. Mereka yang jatuh di sungai seketika tenggelam atau perlahan terseret arus dan terjebak pusaran air lalu hanyut terbawa riam ke hilir dan terbentur granit-granit raksasa. Sebagian lainnya meledak begitu saja ketika menyentuh air, membuat kuda nil dan buaya-buaya mengamuk, sementara burung-burung air melarikan diri ke padang teratai dan memekik ketakutan. 

Makhluk itu datang dengan jumlah puluhan, ratusan, ribuan.  Langit pun menjadi sesak. Mereka mendarat di Brazzaville dan Kinshasa. Di Brazzaville, mereka jatuh di atas gedung-gedung hingga membuat bangunan-bangunan itu hancur dan terbakar. 3 piring terbang jatuh di atas Istana Presiden, menembus atap, dan terjun di ruang kamar sebelum akhirnya meledak : hanya lencana-lencana sang Presiden saja yang sempat terselamatkan. Mereka juga jatuh di atas Kedutaan Uni Soviet, di atas Bundaran Perdamaian, di atas gedung Radio Kota yang tidak mengudara lagi, dsb.

Dan semua kepanikan ini barulah permulaan.

III

Amerika serikat menawarkan apa yang mereka sebut “saturation bombing”, bom karpet yang pernah mereka gunakan di Dresden, Jerman, dan dimutakhirkan di Vietnam. Tentu sudah jadi resiko penduduk lokal jika dalam proses pemutakhiran itu, mereka ikut terbunuh. Lagipula, tidak hanya bumi tetap berputar sejak puluhan ribu suku indian dibantai, tapi Amerika juga tetap menjadi negara adidaya. Rusia sebaliknya, mereka hanya menawarkan metode lama dengan intervensi militer: mengirim tank-tank dan kendaraan tempur lapis baja seperti yang pernah mereka lakukan di Hungaria, Cekoslovakia, dan Afghanistan. Menanggapi situasi ini, Cina mengusulkan mengirim puluhan juta pasukannya ke Lembah Kongo; sehingga andaipun ada beberapa juta pasukan yang terbunuh, jumlah mereka akan tetap cukup untuk menaklukan para makhluk penjajah yang menurut mereka hanya seperti macan kertas. Kuba, belajar dari Vietnam dan Korea Utara, mengusulkan metode perang gerilya : jika penjajah maju, kita mundur; jika mereka mundur, kita yang maju, dengan begitu kita bisa menebak kelemahan dan kekuatan mereka. Afrika Selatan mengusulkan pemasangan pagar berduri, semacam garis ala Perdana Menteri Verwoerd, di sekeliling wilayah yang terkontaminasi musuh dan menempatkan para prajurit kulit putih totok di sepanjang garis tersebut. Lalu, semisal kita berada di sana, kita dapat dengan mudah memantau dan menempatkan di luar pagar orang-orang kulit hitam, Arab, Cina, Indian Amerika, India, Papua, Melayu, Eskimo… (cukup, kita tak punya banyak waktu untuk menyebut semua bangsa di dunia.) Delegasi Namibia sepertinya sadar bahwa usulan Afrika Selatan akan mengorbankan kemanusiaan. Akan tetapi, delegasi Afrika Selatan menjawab bahwa Si Tuan Namibia menggunakan kata “kemanusiaan” secara berlebihan. Toh seandainya yang dimaksud delegasi Namibia itu benar, hal itu bukanlah pengorbanan yang terlalu besar asal bisa menyelamatkan bangsa kulit putih. 

Mendengar itu, delegasi-delegasi Asia-Afrika keluar dari ruang musyawarah sebagai tanda protes…

Sementara itu, makhluk-makhluk asing tetap datang dalam jumlah puluhan, ratusan, ribuan. Mereka memenuhi Lembah Kongo hingga menyebar ke Douala, Abidjan, Tenkodogo, Timbuktu dan telah menguasai seluruh wilayah utara Kongo. Mereka juga menyerbu wilayah selatan dan langsung mengancam tambang-tambang penting di Katanga – tempat yang dulu disebut Shaba.

Tak ada solusi yang benar-benar berjalan, semuanya buntu. Delegasi Uni Soviet menyalahkan Amerika yang tidak melakukan apapun untuk mengantisipasi invasi tersebut dan mencurigai Amerika sebagai dalang di balik semua ini. Fakta bahwa Kedutaan Besar Uni Soviet telah diserang sembilan puluh sembilan kali cukup membuktikan kecurigaan tersebut. Delegasi Amerika membalas dengan tegas bahwa Kedutaan Besar mereka di Boko juga telah diserang. Lagipula kata Amerika, sudah jadi rahasia umum kalau Soviet selalu ingin menyabotase pekerjaan Dewan Keamanan PBB. Siapa tahu kalau balik semua ini ada persekongkolan untuk melakukan sovietisasi dunia? Tapi delegasi Soviet segera mengingatkan delegasi lain bunyi semboyan Amerika : “lebih baik mati daripada merah!”. Di antara mereka, delegasi eSwatini yang sudah terbiasa dengan keributan siang malam  di harem – ia punya 14 istri dan 33 anak – memotong pembicaraan delegasi Soviet dan Amerika agar perdebatan sepenting ini tidak melenceng terlalu jauh. Bagaimanapun, percuma saja merundingkan penyebab bencana ini berlarut-larut. Sebab, setelah bertanya pada para leluhur yang mengetahui segala bentuk derita manusia, ia sudah mendapat jawaban: semua ini hanya sihir orang kulit putih rasis untuk membasmi semua bangsa kulit berwarna, sebagaimana yang pernah mereka lakukan pada orang kulit kuning di Song-My dan di My-Lai, orang kulit hitam di Sharpeville dan Soweto, dan anggota Black Panther di Amerika Serikat. Perkataan ini, yang disiarkan radio PBB via satelit Terra I, menyulut emosi orang-orang Harlem dan membuat para militant Black Power melakukan protes sambil membawa potret Malcolm X, Lumumba, Nelson Mandela dan Paul Robenson. Sementara itu, delegasi Prancis Jawara Kartesian, Jawara Afrika, Jawara Dunia Ketiga, mengingatkan seluruh delegasi untuk tidak menerima solusi manapun terutama dari Soviet dan Amerika, yang menurutnya akan berakibat lebih buruk daripada ancaman yang sedang menimpa dunia sekarang. Setelah itu, ia justru berhikayat tentang kisah sukses intervensi militer Prancis di Afrika. Namun, segera terhenti oleh protes delegasi-delegasi Asia-Afrika.

Perundingan masih berujung buntu.

Sementara itu di belahan bumi utara, makhluk-makhluk asing telah mencapai Eropa dan Amerika. Di Aulnay-sous-Bois, pinggiran kota Paris, piring-piring terbang itu jatuh di atas paviliun Monsieur dan Madame Millet. Di Litchfield, kota kecil negara bagian Connecticut, Amerika, mereka jatuh di atas rumah dokter Huvelle yang langsung panik dan mengungsi ke rumah tetangganya, seorang arsitek Inggris. Mereka juga masih berjatuhan di Afrika. Di Afrika Tengah, mereka datang bersamaan dengan intervensi Prancis. Di Komoro, mereka datang ketika Presiden dibunuh oleh pasukan bunuh diri yang dikirim antek imperialisme. Mereka juga telah menguasai sepenuhnya tambang-tambang Shaba dan beberapa telah sampai di sungai Limpopo…

Delegasi Belgia bersikeras agar keputusan segera diambil, bahkan jika itu berpihak pada NATO. Pasca serangan di Johannesbourg, delegasi Afrika Selatan – yang air mukanya sudah sepucat kain kafan – berdiri dan menyatakan siap menerima solusi konkret dari siapapun bahkan dari orang non-kulit putih. Lalu, delegasi Kenya berdiri  mengusulkan untuk, mengikuti tradisi Afrika, mencari kepala suku makhluk asing tersebut. Ujarnya, kita harus mengundang tetua-tetua mereka untuk duduk berunding di bawah pohon keramat sambil minum tuak nira. Pada kesempatan itulah, kita bisa mengamati dan mempelajari mereka.

Usulan terakhir diterima dengan bulat.

IV

Tentu saja ! Jazz dan tuak nira ! Tuak nira punya efek menenangkan (hasil penelitian Laboratorium Beaujolais, Prancis) dan mereka pasti sangat menyukainya. Musik John Coltrane akan membuat mereka dalam kondisi katatonik seperti melayang di nirwana (Laboratorium Katmandou, Nepal). Apalagi, disambung dengan musik kosmik Sun Râ yang akan membuat mereka semakin lincah (Laboratorium Wernher-Braun bekerjasama dengan Laboratorium Gagarin dari Moskow). Ini satu-satunya solusi yang akan berhasil. Kita tak akan bisa melukai, menusuk, apalagi membakar mereka. Mereka juga tidak suka whisky, air, apalagi perempuan. Tak satupun! Hanya jazz dan tuak nira!

Jutaan piringan John Coltrane pun dicetak dengan sembunyi-sembunyi. Sepanjang sejarah, belum pernah pertanian tropis dan industri tuak mendapat omset semelonjak ini dan belum pernah pula para agronom dan ahli tanah dibutuhkan seperti sekarang. Selain itu, Sun Râ dianggap seperti raja dan kelompok orkestra ini mendapat tawaran panggung yang tak terhitung jumlahnya. 

V

Pesta akhirnya tiba. Untuk memperingati sepuluh tahun penjajahan Bumi atau la Grande Conquête—seperti yang disebut dokumen-dokumen resmi sejarah—semua presiden dan pemimpin-pemimpin negara di Bumi datang ke ibukota Kongo. Titik awal terjadinya kolonisasi. Kepala negara Afrika Selatan diperbolehkan datang dengan syarat tidak berjabat tangan dengan Sun Râ yang saat ini tengah diidolakan semua orang. Pun jika ia merengek atau bertekuk lutut, larangan tetap larangan !

Lalu tiba saatnya pidato dari makhluk penjajah. Makhluk luar angkasa ini menyanjung keberanian, sains, kecerdasan, kebajikan, dan lain-lain, yang telah mereka bawa, yang tanpanya Bumi tidak akan seperti sekarang. Presiden Organisasi Persatuan Afrika juga memberikan pidato : “kami penduduk bumi, hasil percampuran budaya antar semesta, mencoba membaurkan budaya dua dunia sebaik mungkin. Di satu sisi, ada kontribusi intelektual dan ilmu pengetahuan dari sahabat kita, penakluk semesta, yang telah menyinari dunia hingga bintang Sirius dan Vega. Di sisi lain, ada budaya bumi yang mengatur semua hal berdasarkan ritme siang dan malam, budaya candra (seks, waktu bercinta, dan emosi), dan budaya surya (rasionalisme, individualisme, absurditas).” Kemudian ada pula pidato dari para presiden: Presiden Jendral Besar, Presiden Komandan, Presiden Kolonel, Presiden Rakyat, Presiden Penyair, dan Menteri-menterinya. Di akhir perayaan, pada acara ramah tamah, kepala suku penjajah mengingatkan sembari bercanda tentang legenda dewa anggur di bumi bernama Bacchus. Untuk menunjukkan jika mereka peduli pada tradisi bumi, mereka melakukan penghormatan kepada Bacchus dengan meneguk satu-satunya hal terdahsyat yang pernah mereka temukan di Bumi: tuak nira. Delegasi Bumi menyusul berdiri dan mengatakan bahwa ada tradisi lain yang tidak kalah penting di Bumi yakni, memberikan ciuman hangat di leher tamu. Setelah mendapat ciuman, kepala suku penakluk semesta pun mengangkat gelasnya dan mulai menenggak tuaknya. Semua yang hadir berebut jutaan liter tuak yang disediakan gratis di seluruh dunia. Selama tuak belum tandas, mereka akan minum, minum, dan minum sampai tuntas…

Lalu tiba-tiba, terdengar suara merdu saksofon John Coltrane dari semua sudut Bumi. Dari rumah-rumah, dari bawah tanah, bahkan dari langit. Makhluk-makhluk itu lalu menggoyangkan kepala dan mengikuti ritme musik dengan tatapan kosong. Tak berselang lama, sejauh mata memandang, hanya ada tubuh-tubuh yang menari gila seperti kesurupan. Siapapun, bahkan presiden Amerika Serikat tidak dapat menahan godaan suasana di sekelilingnya! Ia bertepuk tangan dan menghentakkan lantai dengan sepatu boot cowboy-nya sembari berteriak “I’ve got rhythm, man! And soul!”. Presiden Republik Sosialis Uni Soviet tidak mau kalah. Ia melakukan tarian ala Georgia dan memekik “tovaritch, tovaritch!”. Saat orkestra Sun Râ memanaskan suasana hingga mencapai klimaksnya, makhluk-makhluk asing itu tiba-tiba menguap dan sekejap sirna di udara.

Merasa bahagia, seluruh manusia melanjutkan tariannya, saling mencumbu, dan merayakan kemerdekaan yang mereka raih kembali. Berkat peristiwa ini, Sun Râ menjadi musisi jazz kulit hitam pertama yang menjadi presiden Amerika Serikat. Sejak saat itu pula, setiap tahunnya, peminum tuak paling ulung di dunia dinobatkan sebagai Sekjen PBB. Dan sejak saat itu, musik jazz akhirnya menguasai dunia.

Epilog: Setahun setelah peristiwa itu, John Coltrane mendapat gelar Santo Trane dari Paus. Komposisi pertama dari karyanya, A LOVE SUPREME, menggantikan GLORIA dalam Misa Katolik.