Category: Puisi

  • Ibu Sungai oleh Dedy Tri Riyadi

    author = Dedy Tri Riyadi

    Catatan Redaksi:
    Puisi-puisi ini hadir sebagai respon dari teks-teks lain yang umumnya sudah banyak dikenal. Puisi berjudul Ibu Sungai misalnya, nampak merespon puisi berjudul Tigris karya Goenawan Mohammad. Puisi ini sekaligus mengonstruksi pikiran-pikiran tentang perdamaian di kawasan tempat lahirnya peradaban pertama sekaligus wilayah yang terus menerus bergejolak hingga dewasa ini. Perang dan perdamaian selalu datang silih berganti tanpa berkesudahan. Darah dan dosa tumpah mewarnai sejarah kawasan tersebut dan sungai yang terus mengalir itu terus menjadi saksi sekaligus tempat kembali, seperti ibu yang menyaksikan anaknya tumbuh, jatuh, berkelahi tapi padanyalah anak-anak menangis dan minta disusui.

     

    Ibu Sungai

    (ibuku, seandainya kau tahu
    kami adalah anak-anakmu)
    – Tigris, Goenawan Mohammad

    Tak apa jika kau mati,
    tapi hiduplah sekali lagi.

    Ibu sungai akan melarungkan
    segala sesal pertarungan.

    Luka-lukamu akan dibasuh
    sampai bersih sungguh.

    Tak ada istilah kalah,
    oleh Ibu Sungai batu pun belah.

    Karena Ibu Sungai, yang datang
    dari gurun, menemu jalan pulang.

    Dan seekor merpati turun
    bukan untuk sekadar minum.

    Ia jadi tanda dunia damai
    meski baru sebatas sungai.

    Lihatlah, yang datang berduyun.
    Meminta mandi, memohon ampun.

    Dan pada Ibu sungai, beribu tangis reda,
    seolah telah menemu Bethesda.

    2017

     

     

    Melangkah

    Jiwa yang memandang keindahan
    kadang berjalan sendirian – Goethe

    Ia mulai perjalanan
    dengan membuka pintu,
    mengenakan sepatu
    lalu melangkah ke halaman.

    Ia melihat peradaban
    hanya setumpuk serasah,
    sisa pembakaran, dan
    botol- botol plastik bekas minuman.

    Sedang teknologi masih
    sebatas sinyal dan aplikasi
    yang mempertemukan seorang
    dengan yang lain lalu pergi
    ke mana entah. Mungkin
    ke planet lain.

    Ia tahu, pada saatnya
    puisi bukan hanya bunga,
    kenangan, dan kesedihan.

    Maka
    ia
    melangkah.

    Mengelindankan apa yang
    sesuram mural di tembok kota,
    seperih amsal dalam kitab tua.

    Menjadikan diri sebagai pejalan kaki
    pada sebuah kota yang tak pernah
    benar-benar peduli akan kehadirannya.

    2017

     

    Lagu

    Hidup itu lagu ajaib dari semesta,
    untuk memahaminya,
    rasakan saja di dadamu
    dan bernyanyilah, ―
    Debasish Mridha

    Tanpa batas suci, lagu
    itu mengalun menghampiri
    ruang tak terjangkau
    dalam hidupnya:

    selasar pasar, sudut terminal,
    sebatang bambu yang menusuk
    lubang got di trotoar dengan
    bendera kertas warna kuning yang
    berkibar.

    Lagu itu sangat berbeda
    dari himne gereja, meski
    kata-katanya nyaris sama.

    Ia menghibur mereka yang
    kehilangan anaknya, cemas dan
    gemas akan luka-lukanya, serta
    gundah hampir menyerah pada
    takdir dan kematian.

    Lagu itu terdengar seperti
    berlepasannya serat kapuk
    dari buah randu ke udara.

    Terasa begitu ringan, seolah
    memang rapuh sebentuk ikatan,
    entah janji manis atau sejenisnya.
    Namun bukankah lagu sekadar
    penghiburan?

    Kau ingin berkata, bukan. Namun
    baru saja bersiap untuk lebih jernih
    mendengarkan, lagu itu telah berlalu.

    2017

     

     

    Lari Pagi dalam Puisi

    Wherever I go,
    I meet myself
    ― Dejan Stojanovic
    dalam The Shape

    Dengan puisi, ia
    ingin kau mengingat
    keganjilan berjalan dari
    ambang pintu sampai halaman.
    Menyadari betapa pohon-pohon
    yang tampak diam sesungguhnya
    mengerti hidup bisa dimulai dari
    biji yang terjatuh dari cengkeram
    paruh lalu jatuh ke celah bebatuan.

    Lalu saat kau mulai berlari,
    ia menjadi hirup udara segar,
    muskular kaki yang lincah
    menghindari genang hujan
    semalam dan gonggong anjing
    tetangga di balik pagar.

    Dalam bahasa yang hangat,
    saat matahari belum tinggi benar,
    akan ia tampakkan suram pohonan,
    dan disebarkan wangi nektar bunga,
    agar kau mengerti hidup bukan soal
    berlari hari lepas hari.

    Sebab hidup sering juga
    diserang mengi lalu
    terantuk bebatu.

    2017

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Ia Mengingat Pohon Beringin Tua di Halaman Belakang Sekolahnya oleh Muhammad Ikhsan

    author = Muhammad Ikhsan

    Catatan Redaksi:
    Dunia yang dibangun dalam puisi-puisi ini adalah dunia kesendirian yang sunyi. Kesunyian yang hadir dalam puisi-puisi ini karena ketakhadiran liyan, sosok yang dekat dan mampu menjadi kawan hidup. Yang liyan itu pernah hadir di masa lalu, entah apakah manusia, benda-benda, atau peristiwa-peristiwa yang membuat kehidupan menjadi lebih berwarna. Dalam puisi berjudul Komorebi, tokoh gadis ikal mencoba menciptakan sosok lain yang menyerupai dirinya yang mungkin difungsikan menjadi kawannya. Namun sosok yang diciptakan bukanlah sosok yang hidup, bisa bergerak. Ia tidak hidup di dunia nyata tapi mungkin hanya hidup dalam imajinasinya sendiri. Dunia teks adalah dunia yang sama sekali sunyi. Dan puisi-puisi ini menyuguhkan kesunyian itu lewat tokoh-tokoh yang kesepian dalam kehidupan.

     

    Komorebi

    Hutan hujan dalam dirimu
    dan, kesunyian
    gadis berambut ikal sebahu mengumpulkan
    dahan patah, ranting-ranting, dan daun-daun kering

    Gadis berambut ikal sebahu
    berlarian, tertawa, menangis
    menciptakan subuh
    embun-embun dan, cahaya mentari
    ketika datang pada sela daun-daun.

    Dari dahan patah sebagai kerangka
    Ranting-ranting sebagai jemari,
    dan daun-daun kering adalah rambutnya

    Maka jadilah, seperti dirinya.
    Gadis berambut ikal sebahu yang lain,
    sebagai teman yang sepadan.

    2018

     

    Seorang Penyair di Luar Sajak Ini

    Di luar sajak ini
    adalah kebisuan,
    peristiwa-peristiwa yang diam.
    Kekal.

    Tapi di dalam sajak ini
    ada engkau
    yang menghidupi
    segala ruang dan waktu.

    Tempat ia menziarahi diri
    setiap kali mengunjunginya.

    Kata-kata menyembunyikan bunyi-bunyi.
    Menyembunyikan engkau
    Menyembunyikannya.

    Sehingga seorang penyair
    di luar sajak ini
    tak pernah merasa sendirian lagi.

     

     

    Carpe Diem

    Ia membayangkan diri sebagai rumput liar di belakang rumahnya.
    Sehingga ia tak perlu berpindah tempat,
    Tak perlu khawatir pada jarak,
    Sebab perdu liar di belakang rumahnya adalah kehidupan yang ia dambakan.

    Kehidupan——tanpa harus merasakan sakit, tua, dan membusuk di dalam tanah.
    Ia menduga segala makhluk yang dapat berpindah mestilah menukar kehidupan yang diam dengan kaki-kaki.

    Kaki-kaki untuk berjalan, berlari, mengelak. Dan kegentaran adalah perangkat bagi ia menghindari bahaya. Sedangkan rumput di halaman belakang itu tak perlu tangan untuk melawan, tak butuh kaki untuk mengindar, mereka bisu dan geming tanpa rasa sakit.

    “Makan dan minumlah, karena esok kita mati.”

    Sebuah suara, barangkali dari halaman belakang rumahnya
    Rumput-rumput yang bergoyang ditiup angin.

    2018

     

     

    Ia Mengingat Pohon Beringin Tua di Halaman Belakang Sekolahnya

    Ia mengingat pohon beringin tua di halaman belakang sekolahnya, dahan-dahan kokoh yang berjasa ketika ia bersama kawannya membolos pelajaran olahraga.

    Mereka sangat tidak menyukai pelajaran olahraga, sebab yang lain akan mengejek bahwa tubuh mereka lemah sehingga tak layak bergabung di tim mana pun. Tidak untuk sepak bola, tidak kasti, atau bola voli.

    Maka mereka memilih diam-diam pergi, menemukan pelajaran olahraga mereka sendiri: memanjat pohon beringin tua. Takjub pada apa yang mereka berdua rasakan dan rahasiakan.

    Tahun-tahun berganti dan ia tanpa kawan membolosnya, berkunjung kembali ke sekolah masa kanaknya, kini tak melihat lagi pohon beringin tua di halaman belakang sekolah sebab pohon itu telah ditebang demi perluasan gedung tambahan. Kelak ia akan selalu bersedih untuk setiap pohon yang ditebang dengan atau tanpa alasan.

    Ia menatap sekeliling, menyadari waktu-waktu yang berlalu, memisahkan ia di hari ini dengan ia di masa lalu. Tanpa kawan lama yang bersamanya membolos pelajaran olahraga.Tanpa pohon beringin tua di halaman belakang sekolah masa kanaknya.

    2017

  • Gondolayu oleh Faruk HT

    author = Faruk HT

    GONDOLAYU

    Cangkir kaleng berkarat

    segelas kopi dan sejumput bunga

    yang manakah jalan ke sorga

    atau kau tak pergi ke mana-mana

    terus menungguku di pojok kamar itu

    setelah mengambil sebatang rokok

    yang selalu kusediakan di sana

     

    Sudah kutiti jembatan waktu

    sudah kulewati goncangan itu

    Colt campus dan trans-yogya

    pohon nangka dan sapu lidi

    tanah berpasir guratan nasib

    aku menunggu

     

    Kupikul segala kenangan

    mencoba mengadu pada baginda sultan

    tentang kau yang tak pernah datang atau kembali

    dan tentang langkahku yang tak beranjak dari bumi

     

    Kuhirup semua aroma

    korban peperangan atau kejahatan

    atau hanya kekonyolan

    mungkin juga sekedar canda

    mayat atau jelaga

    kotoran manusia atau kuda

    minyak wangi pembersih muka

    tak ada sisa

     

    Kasihku,

    adakah kau di selatan atau utara

    kenapa tak pernah ada lagi suara

    kenapa tak ada lagi sasmita

    atau kupingku yang tak terbuka

     

    Kasihku,

    kenapa tak ada lagi kiriman angin dari sana

    karena, di sini, di tempat mayat yang terbuang ini

    aku tak mencium apa-apa

     

    YOGYA 030212

     

     

    MOLIOBORO

    sepotong ayam, sesendok sambal, sejumput lalap

    wajah itu tak bergeming ketika dompet raib

    senyum terkembang bersama lagu keroncong

    jalan sesak, andong mendesak, tukang parkir tak kehilangan tongkat

    “inilah molioboro,” katamu. “bukan sanak bukan kadang

    kalau uang melayang, tak ada yang kehilangan.”

    kaos oblong, sandal jepit dan baju batik

    bunyi klakson, gerobag pedagang dan alun suara musik

    wajah melayang di sehelai kertas bekas

    jatuh di bekas muntahan bakal preman

    “inilah molioboro,” katamu. “bathi sanak, tambah beban”

    malam merayap, kakilima kukut

    keroncong berganti suara dangdut

    tak lagi penting mana mabuk mana joged

    mana jalan, mana gelanggang

    “inilah molioboro,” katamu, sambil menghitung duit dan sisa potongan lele:

    “tuno sathak asor wekasane”, lanjutmu dengan suara geram yang tak sempat kudengar

    “Jangan-jangan taman budaya udah tutup,” batinku bergegas

     

     

    KAHANAN

    katamu, tak ada yang bisa kau kais dari masa lalu

    sejarah tak menyisakan apa pun bahkan untuk dikenang

    arus peradaban dari seberang dan damai yang tak kunjung datang

    hutan belantara. kakang kawah adi ari-ari mengawang

    telanjang.  antara gejolag ombak yang menderu dan

    keheningan gunung yang mencoba bertahan. api yang terpendam

    dan air yang terus mencoba membuatnya padam

     

    kaulah jalan itu. begitu lurus memandang dan dipandang

    tak ada pohon atau bangunan. hanya langit dan kematian

    kaulah sungai itu. hanyut dan menghanyutkan

    berkelok menyapa batu dan lahan-lahan, memberi hidup pada rerumputan

     

    katamu, kaulah orang itu. berjalan telanjang dari lorong ke lorong.

    hingga peziarah datang menaburkan bunga di tubuh yang bukan milikmu

    melepaskan pakaian mereka satu persatu sampai tak ada lagi yang tahu

    mana yang kramat mana yang kualat di kepala siapa mahkota itu ditempatkan

     

    pernah, katamu, seorang penyihir dari mancanegara terbang bersama angin

    dari timur. menuliskan rajah ke tubuh itu dan kemudian sirna tak terbaca

    lenyap entah ke mana bersama tongkat, pakaian, dan jerit rasa sakit yang panjang

    dan kudengar, seorang penjelajah dari barat, menunggang kereta tanpa kuda

    menyulap batu jadi bangunan dan tempat peribadatan, menjelma percikan api

    kemudian lenyap bersama sorban dan senapan

     

    siapakah aku, siapakah kau, mana yang tabu mana yang profan

    mana ilmu mana kebatinan. seutas benang pun tak melekat di badan

    siapakah aku, siapakah kau. selamat tinggal sejarah juga peradaban

    diri adalah langit tak terjangkau dan misteri kedalaman

     

    tak ada yang bisa kau kais dari masa lalu

    sejarah tak menyisakan apa pun bahkan untuk dikenang

    arus peradaban dari seberang dan damai yang tak kunjung datang

    hutan belantara. kakang kawah adi ari-ari mengawang

    telanjang.  antara gejolak ombak yang menderu dan

    keheningan gunung yang mencoba bertahan. api yang terpendam

    dan air yang terus mencoba membuatnya padam

    YOGYA 210112

     

     

     

    KECOAK

    : 24 tahun dea karya adyani

     

    hidup itu bagai kecoak pasti kau kenal

    bertemu dengannya membuat kita

    seperti begitu jauh terlempar

    sendirian di alam yang gelap kental

    hidup itu bagai kecoak pasti kau hapal

    kita tak pernah tahu dari mana dia berasal

    tiba-tiba muncul di atas kasur

    sewaktu kita sedang nyenyak tidur

    hidup itu bagai kecoak pasti kau tahu

    ia datang ketika kita mencoba menghindar

    kau yang tak ingin kenal sejak dalam kandungan

    sekarang harus merantau jauh sendirian

    hidup itu bagai kecoak pasti kau yakin

    bila kita yang mencari ia yang pergi

    tekad membuatnya tak lagi kembali

    menjauh bahkan dari mimpi-mimpi

     

     

     

    RITES OF PASSAGE

    dalam shalat jamaah

    dunia langsung berubah

    tepat ketika kaki pertama

    menginjak lantai mushola

    karena semua jenjang berubah

    pemimpin tiba-tiba menjadi makmum

    walau masih ada beda tersisa

    perempuan tetap berdiri

    di belakang

     

    dalam bulan puasa

    dunia langsung berubah

    semua orang jadi sama

    pengemis yang hina dina

    dengan tubuh lemas tanpa daya

    sedang di malam-malamnya

    semua berubah jadi hamba

    di hadapan yang maha kuasa

    hingga sampai di akhirnya

    ketika bulan berganti

    semua orang kembali seperti semula

    menjadi majikan dan hamba

    dengan kualitas bertambah

     

    dalam ibadah haji

    begitu sampai di mekah

    dunia langsung berubah

    semua orang jadi sama

    tanpa pakaian dan nama

    seperti gelandangan

    tiap hari terlihat di jalan

    memuja dan mengemis

    ampunan dan berkah

    dari hanya satu nama: allah

    hingga sampai akhirnya

    kembali ke masing-masing negeri

    menempati jenjang baru

    dengan jubah dan topi baru

    dengan budak yang bertambah

     

    ada saat-saat ibadah

    ada saat-saat hierarki lenyap

    lima kali dalam sehari

    sebulan dalam setahun

    sekali seumur hidup

    saat-saat bersedekah

    sisanya entah

     

    ada mereka

    tiap saat hina

    tak punya pakaian

    tak punya nama

    hingga semua hari

    biasa saja

     

    Catatan redaksi:

    Puisi-puisi Faruk HT merepresentasikan pertanyaan-pertanyaan menyoal esensi kehidupan manusia, sejak awal kelahiran seorang di dunia hingga akhirnya, juga pertanyaan akan kemana dan seperti apakah yang kemudian. Seringkali, dunia dipandang sebagai hal yang tidak diinginkan, hadir tanpa permisi dan tiba-tiba musti dihadapi. Dalam posisi itu, manusia pada akhirnya hadir sebagai lakon, yang musti eksis berjuang menjalani dan menghadapi hidup dan persoalannya. Melalui jalan itulah tabir rahasia kehidupan barangkali bisa terungkap. Puisi-puisi Faruk sekaligus juga merepresentasikan sikap hidupnya terhadap dunia.

    Melalui penekanan pada pilihan diksi yang tepat, metafor-metafor serta keuletan melukisan suasana baik lanskap maupun jiwa, puisi-puisi Faruk terasa begitu kuat dan dalam. Puisi-puisi Faruk juga tidak terjebak dalam satu dimensi waktu saja tetapi hadir untuk dibaca baik untuk melihat masa lampau, kini dan nanti. Penghayatan yang demikian hanya didapat oleh seseorang yang senantiasa hadir menghadapi situasi-situasi pelik dalam kehidupannya.

     

    *Lukisan Strenge bewaking van de Gondolayu brug in het centrum van Jogyakarta (Strict surveillance of the Gondolayu bridge in the center of Jogyakarta) karya Mohammad Toha Adimidjojo, dilukis tahun 1948-1949. Kini disimpan di Rijksmuseum, Amsterdam, Belanda.

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

  • Filantropi

    author = En. Aang MZ

    Filantropi

    Bukan aku yang sebenarnya 

    Mengatakan kebenaran ke bilik perasaan

    Itu hanya serupa air tawar yang di asinkan 

     

    Engkau yang sebangsa alat kelamin

    Sebatas telinga yang mendengarkan

    Pendek-pendek basah

    Pendek-pendek tegang

    Sebuah peristiwa yang harus di tenggelamkan

     

    Sudahlah kau jangan terlalu tawar dalam filantropi

    jika kau bisa asinkan perjalananmu sebelum yang asin jadi tawar

    Agar yang asin jadi garam

    Teruslah berjalan hingga saatnya terdengar omongan orang

    “anjing aku mati-matian dalam keinginan”

     

    Gili raja, 21-juli- 20

    Sketsa mana

    Sketsa mana yang menyerupai kearifanku

    Bilamana yang ada  bagai tangan yang berjalan

    Ruang mana yang bisa menerima pengap

    Kebahagiaan mana yang menerima kegetiran

    Mungkin tak ada dari kedua-duanya

     

    Aku arif dalam kebahagiaanku

    Jika ada yang menyambut skema-skema luka

    Yang tertera dan tabah menerimanya

    Api yang membara kekuning-kuningan

    Tak ada yang pasrah bagi yang bernyawa kecuali mati

     

    Tak jauh beda dengan skema yang tertera

    Tak kan ada yang menyelimuti skema

    Kecuali skema berubah nyata

    Nyata dalam kearifan yang seutuhnya.

     

    Gili raja,22-juli-20

    Jemawa

    Yakni buah mangga masih muda

    Tak ada tangan yang memetiknya

    Mungkin ada kisah Mahabharata

    Yang di lakoni buah mangga

     

    Gili raja,24-juli-20

    Laut

    Keramaian ombak menyibak hening kefakiran dengus lautan

    Yang menelangsa pada ikan-ikan jelmaan manusia 

     

    Pantai adalah batas perahu dalam kegagalan maupun kemenangan

    Yang bersimbah tengkuk ikan yang terpompang dan terpancing

     

    Angin berhamburan dengan pasir menakwilkan segenap pemukim lautan

    Angin yang menakrifkan bahwa ada tangan yang mencari ikan

     

    Dan dermaga ialah suatu senja bagi remaja dalam merpati, waktu senja 

    Dan para merunduk untuk kekasihnya

    Ia akan berubah senja dalam melenggaknya

     

    Gili raja,26-juli-20

    Seakan-akan cacat

    Berdiri di antara letak datangnya pasang-surut

    Suasana menjadi senja, dikala engkau berselancar di wajahku 

    Kini serupa perahu berlayar

    Lalu tenggelam ke dasar ingatan

     

    Berdiri di antara letak datangnya pasang-surut

    Ranum di pasir wajahmu

    Yang pernah berbunga didahanku 

    Lalu, bunga itu jatuh

    Padahal aku ingin merangkulnya kembali

    Tapi lebih dahulu hujan membawakan kau ke samudra

    Hingga tanganku seakan-akan cacat

     

    20-03-2020

  • Fatamorgana oleh Mokhamad Malikul Alam

    author = Mokhamad Malikul Alam

    Fatamorgana

    Saujana yang merah, dan senyum bibir yang fatamorgana. Desah angin dan lengking camar

    mencipta lagu semesta. Tersembunyi pesan tentang sunyi dan hal-hal yang menumbuhkan

    ingatan yang kenang.

     

    Aku melihat seorang lelaki, perempuan dan bocah tengah membangun istana di garis pantai

    yang memantulkan warna keemasan. Mereka menjelma siluet di cakrawala yang remang-

    remang. Diantara karang dan perahu yang kabur dan hitam.

     

    Tanpa benda yang beri jarak antara perjumpaan mereka. Tanpa Jemari dan mata-mata yang

    asik dengan dunia yang semu dan celaka.

     

    Ngalamun, 16 Juni 2017

     

     

    Pesan Ibu Seorang Pelaut

    Rindu yang tambah pasang. Menyeret air laut ke tepi pantai.

    Mengikis karang yang benam di tanah perak.

    Seekor camar keluar dari mata seorang perempuan

    Melengking dan terbang ia. Menyimpan resah diparuhnya,

    Membawa kabar dari pulau tak bernama.

     

    Bulan dan laut mengingatkanmu

    untuk terus berlayar. Tapi tak ingatkah kau

    pada kampung halaman?

     

    Sedang gelisah, 24 Juni 2017

     

     

    Sebuah Taman

    Aku melihat matamu yang basah,

    Setelah tumbuh hujan yang rintiknya jatuh

    di wajah yang entah siapa: Lelakimu, selingkuhanmu,

    gebetanmu, atau siapapun itu.

     

    Hanya saja di bawah sepasang bulu mata

    yang meneduhkan bola mata hitammu itu

    aku ingin menanam pohon-pohon yang lebat, dan

    membangun sebuah bangku taman diantaranya.

     

    Dan aku ingin beristirahat disana, melepas lelah

    Sambil baca buku-buku yang ringan, atau

    melamunkan hal-hal yang membuatku tersenyum

    dan melupakan luka.

     

    Oh iya, kamu boleh kok ikut gabung.

    Sembari tak peduli waktu kita berkisah

    tentang burung-burung gereja, dan

    kupu-kupu kesayanganmu yang sirna.

     

    Sedang kangen, 21 Juni 2017

     

     

    Catatan Redaksi:

    Puisi-puisi Malikul Alam menggambarkan tentang sebuah pengharapan/keinginan. Ada yang menggambarkan harapan soal keindahan masa lalu keakraban sebuah keluarga, kepulangan orang yang dicintai, atau harapan untuk bisa mendapatkan ruang dalam hidup seseorang. Tapi apa yang diharapkan nampaknya sulit digapai. Sebagaimana sebuah fatamorgana, Ia seolah-olah nyata, bisa tergapai, namun akan hilang dalam sekejap layaknya istana pasir yang lekas disapu oleh ombak.

    Puisi ketiga Malikul Alam juga semakin memperlihatkan gambaran sesuatu yang tak hanya semu tapi sekaligus ironis. Membangun taman di atas mata air air mata, membasuh luka di mata air yang penuh luka, bercerita santai tentang sesuatu yang menyesakkan hati, sementara barangkali lebih baik terlebih dahulu membangun taman dalam hidup sendiri.

    Terlepas dari itu semua, puisi-puisi Malikul Alam memang renyah untuk dibaca, sampai membuat saya terbuai dalam fatamorgana.

     

    *Lukisan Calm Sea karya Leonid Afremov

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Dialog Air Mata oleh Daffa Randai

    author = Daffa Randai

    Berita Duka

    Dan hujan pun larut dalam secangkir dukamu

    Meluruhkan iba pada daun-daun kamboja

    Karangan bunga─ukiran nama

    Juga istana merupa tanah yang bagimu itu jatah:

    Batas persimpuhan buat pamit pada mereka

     

    Bunga-bunga setaman tiba tumbuh di muka air

    Permandian─buatmu nanti kembali pulang

    Lalu di luar ramai langkah, berkecimpungan air mata

     

    Sebelum waktu mengantarmu pada

    Tempat paling pangkal: buat meniti selangkang hidup di muka raya

    Yang senasib. Pulang di pangkuan-Nya

    Kau buat pengakuan, semesta laku di lembar kafah

     

    Yogyakarta, 3 Mei 2017

     

    Menanam Rindu

    Aku pernah menanam rindu di jantungmu

    Dini hari waktu kau masih menenun mimpi

    Meraung wajah-wajah pagi, juga langit

    Merupa embun pada daun-daun sunyi

     

    Seusai tiba berpuluh musim, aku kemari membawa hujan

    Sambil bertanya tentang yang pernah kutanam

    Apakah rindu itu masih terus kau rawat

    Setelah kita sudah tak saling ingat?

     

    Sampai kemarau

    Datang meranggas tanyaku

    Kau masih bisu: merawat sunyi di bibirmu

     

    Sekalinya masih kupaksa masuk

    Pada tirai pintu matamu

    Di sela tangis yang mendayu

    Kutahu sudah tiada tumbuh

    Sepohon rinduku lelayu, terguyur kering air matamu

     

    Celeban, 19 April 2017

     

     

    Sajak Musim

    Pada puncak malam yang kuncup

    Tertingkap rindunya yang ranum, yang sembunyi

    Di antara lapis kelopak

    Bunga mimpi

    Yang mengalum di bibir tambak

     

    Ia tabah merawat musim

    Mengirim air dari pintu sungai matanya

    Menyeduh pagi menjadi hangat

    Merupa temu dalam hening yang mengisak

     

    Hari itu menjadi luka bagi rindunya

    Pada kepingan siasat

    Juga rencana yang terlunta

     

    Pada sajaknya, terdapat musim yang getir

    Buat segala air mata

    Disimpan untuk semata-mata

     

    Sedia andai hujan tiada;

    Masih kuyup putik rindunya

     

    Yogyakarta, 20 April 2017

     

     

    Pada Taman

    Seumpama aku jadi daun kering

    Pada taman tempat kau berjaga

    Apa kiranya lalu akan kau perbuat?

    Menatapku lama-lama dalam sapa-sapa angin;

    Atau menyapuku lalu kau biar tersiksa?

     

    Saban pagi aku menggugur

    Dari tangkai juga rimbun: langit yang melukis engkau

    Tiada sampai hati, berlamaan menghakimi

     

    Sedang dari ujung utara

    Angin menatapku sirik

    Menerka aku sengaja membuat kau terusik

     

    Padahal begini, sedang terus aku menanti

    Kau berlari menuju taman setiap pagi

    Lagu matamu pelan datang menghampiri

    Duduk di tepi kursi

    Melempar senyum untuk terus kujatahi

     

    Yogyakarta, 14 April 2017

     

     

    Dialog Air Mata

    (1)

    Tirai mataku tersibak, menyaksikan derapmu

    Melangkah menuju jarak

    Yang tiada pernah ingin kutempuh

    (2)

    Mengiring pamit pergimu, angin melambai:

    Mengisyaratkan segala duka yang beratap di kepala

    Merayap sampai ke lumbung dada

    (3)

    Kau kusaksikan sedang tersedu

    Memandangku dari balik jendela

    Sedang aku berpura tabah: coba mengusap

    Dinding mata yang berkaca-kaca

    (4)

    Aku sedang berteduh dari hatiku yang mendung

    Berjaga-jaga kalau saja

    Seketika gerimis jatuh dari langit-langit mata

    (5)

    Dunia sepi kali itu, samar terdengar angin tersedu

    Seolah turut merasa, perpisahan yang mengharubiru

    (6)

    Dan para dewa pun

    Mungkin akan turut menduka, kalau saja

    Mendengar samar-samar jeritku: dari palung dada

    Meminta dialog air mata itu, untuk berhenti seketika

     

    Yogyakarta, 25 April 2017

     

    *Lukisan Window Seat Tears karya Anthony Duce

     

    Catatan Redaksi:

    Daffa Randai melukiskan sebuah peristiwa dengan begitu baik lewat puisi-puisinya. Melalui pelukisan suasana jiwa yang didukung oleh metafor-metafor yang diambil dari citraan semesta, angin, kamboja, hujan dan lain-lain menjadikan puisi ini terasa liris sekaligus sendu.

    Puisi ini begitu mengalir sehingga nikmat untuk dibaca. Tidak ada tubrukan atau tumpang tindih dalam penggambaran suasana batin, menggambarkan bahwa aku lirik seolah memang sejak awal turut saja mengikuti jalannya takdir. Meskipun begitu, dalam beberapa lirik penutup puisi terasa ada yang terpendam, yang tak terungkap, yang terus menggelora tapi tertahan. Hanya para dewa yang mendengar, hanya para dewa yang senantiasa setia  menerima kepasrahan.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

  • Di Sungai Kenangan Itu; Puisi-puisi Afthon Ilman Huda

    author = Afthon Ilman Huda

    Di Sungai Kenangan Itu

    aku yang setinggi dada Ibu
    dan kau yang setinggi bahuku,
    merakit kertas perahu

    tinggi ambisi jadi orang nomor satu
    bagi barang kertas perahu siapa
    yang melaju cepat lebih dulu

    di sungai kenangan itu
    : aku yang kelaparan menangkap ikan piatu,
    rasanya nikmat mengkhianati lezat masakan Ibu

    di sungai kenangan itu
    : kita mandi telanjang badan berlulur lumpur
    dengan wajah tak tahu malu

    khasiatnya mantap!
    mengusir pandangan orang untuk tak tahan
    melihat kita yang tak tahu malu

    di sungai kenangan itu
    : ternyata kita tak benar-benar berlalu

    mengalir jadi air yang melajukan kertas perahu, membisu
    jadi batu sebagai rumah tempat berlindung ikan piatu,
    atau mengendap jadi lumpur dan tak benar-benar berlalu
    dari sungai kenangan itu

    (2019)

    (R)

    – si nona

    sepasang mata
    mengintip mesra

    di paviliun tua;
    nona sendu disetubuhi waktu,
    merintih lirih minta dibuahi rindu

    angin mengetuk malu pada dahan jendela
    kabar tersiar olehnya:
    “kenangan nona hendak pamit sebentar
    mandi hujan di luar”

    angin berlalu dari paviliun tua
    kabar beredar sekembalinya:
    “rindu hendak libur menemui nona, luka bertamu
    tanpa ada sejengkal ruang bagi rindu,” ungkapnya
    “namun rindu sepertinya tak ingin menemui nona
    luka menganga, takut melenyapkan rindu selamanya,” tegasnya

    nona sendu disetubuhi waktu,
    merintih lirih minta dihadirkan rindu

    “dan, kenangan?” tanya nona dengan isak air mata berlinang

    “kuyup menggenang, melebur bersama hujan
    tenggelam diserap tanah bebungaan
    —menyulam bahan kerinduan,” jawab puitis
    sang angin dengan tenang

    percakapan nona dengan angin kemudian berakhir hening

    (2019)

    Tu(h)an

    di bumi kami
    : cinta tak berwajah

    surga di undi
    tangan-tangan Tu(h)an terhampar mengantri
    menunggu diciumi

    di tanah kami
    : lintah-lintah lapar
    memenuhi sungai-sungai emas

    tikus-tikus kotor
    berteduh di tirai suci istana
    maharaja

    dan anjing-anjing jalang
    penjuru kota hingga kampung-kampung tua
    disantuni kemewahan dengan manusiawi

    hanya di sini
    pendosa di sanjung tinggi
    dengan penuh hati

    di sini…

    kasih benar tak berwajah
    adil adalah selongsong bedil
    yang menoreh darah

    mari, datanglah!
    Tu(h)an di sini menyenangkan untuk kau ketahui

    (2019)

  • Di Pucuk Malam oleh Muharwi Mukal

    author = Muharwi Mukal

    MENJEMPUTMU

    Dan aku adalah diriku

    dengan keadaan

    yang tak pernah genah.

    Sebuah sajak pun merangkak

    di antara tubuhku yang sonder pijak.

    Menjemputmu, hari depan

    adalah perjudian kelabu

    bagi mata dadu sonder tentu.

    Dan hari ini

    masih berisi babak yang sama

    babak-babak lalu yang masih saja kurawat.

    Ambivalensi yang belum tamat.

    2017

     

     

    DI PUCUK MALAM

    Di pucuk malam, sunyi membenam

    jam pun memberat, dan kau tahu

    ada yang enggan jadi karat

    seperti cinta, yang mengendap

    melolosi hari-hari sangsi.

     

    Padamu, ingin kubagi cerita

    ihwal yang lalu dan yang datang

    di muka. Terasa hari bangkit

    berbuih pada orbit. Sepi pun melaju

    menemu bulan yang ungu. Menemu kau.

    Menemu diam yang mangu.

     

    2017

     

     

    BAGAI KABUT TURUN DI MUKA

    Dan kau berpindah kota

    meninggalkan ingatan-ingatan

    pada tempat lama kita:

    Percakapan tentang puisi

    juga narasi para kelasi

    yang didatangkan dari laut Hindi.

    Angin pun memburu dari Yogya

    namun kau lebih terampil melambung

    dan lebih tahan mengapung

    dari kawanan para burung.

    Dan tak ada lagi yang dapat kutemukan

    selain fiksi-fiksi sediakala

    yang pernah kita punguti dari Eropa.

    Segalanya seakan telah tuntas

    padahal tak kita ciptakan tapal batas

    atau maklumat lain sebagai penyintas.

    2017

     

     

    JOGLO BAGI SIWAR

    Susunan belikat belulangmu

    dan rerusuk serta persendianmu

    adalah pohon jati tua

    yang menahan kesedihan

    dari getah zaman laju

    dan kenangan demi kenangan

    dari zaman yang telah beku.

     

    Kedua tanganmu yang pasak, di antara

    ruas ruang dan sekat kamar hangat, terlacak

    seribu satu hikayat yang masih kau rawat.

    Tetap kuat. Tetap kuat!

     

    Di sana

    pernah tinggal

    anak-anakmu

    yang bebal.

     

    Dan pada punggung tubuhmu

    masih ada sisa-sisa

    dari jejak yang enggan kadaluwarsa:

    undakan batu dibaluri lumut tua

    dan galur-galur tanah

    yang jadi pendiangan

    dedaunan kalah.

     

    Di sana

    pernah tumbuh

    anak-anakmu

    yang jagung

    dan singkong

    yang menggembung.

     

    Dan sepeda ontel model lama

    pernah terparkir pada terasmu.

    Sebuah teras yang membisu

    menatap cakrawala remang:

     

    Bagi yang pergi

    dan yang pulang.

    2017

     

    Catatan Redaksi:

    Puisi-puisi Muharwi Mukal nampak disusun dengan penuh kehati-hatian, berisi suara jiwa aku lirik sekaligus menunjukan kontemplasi yang cukup dalam atas situasi-situasi yang dihadapi. Beberapa puisi juga menyuguhkan lanskap-lanskap yang memperkuat imajinasi tentang kehidupan yang begitu dinamis yang tentu saja menggerakkan jiwa si aku lirik sendiri.

    Tiga puisi Muharwi Mukal ini terasa menggambarkan suara jiwa aku lirik menghadapi situasi-situasi temporal: masa depan, masa kini, dan masa lalu. Masa depan dipandang sebagai sesuatu yang masih merupakan sebuah rahasia, yang harus dihadapi dan dijemput dengan segala keberanian. Karena masa depan dianggap sebagai misteri maka untuk menghadapinya, aku lirik mencoba melihat ke masa kini. Ketika melihat masa kini nampak bahwa aku lirik mencoba melihat kekurangan-kekurangan, melihat hambatan dan tantangan yang di dalamnya dibutuhkan kekuatan dan perjuangan. Sementara yang lalu hadir sebagai sebuah kekuatan untuk menguatkan yang kini tersebut. Dari hal tersebut nampak bahwa aku lirik mencoba menghadap situasi kehidupan dengan hati-hati dan tidak gegabah. Mencoba mempelajari dan mendalami kehidupan serta memperoleh banyak pelajaran baik apa yang dijalaninya maupun dari luar dirinya

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

  • Di Malam Hari Sebelum Kita Bergegas Tidur oleh Syafri Arifuddin

    author = Syafri Arifuddin

    Catatan Redaksi:
    Bantal guling bagi seorang lajang adalah kekasih paling setia. Tak pernah marah, selalu ada ketika dibutuhkan dan bisa diperlakukan layaknya apapun. Hal tersebut mungkin yang membedakan dengan pasangan hidup yang dihalalkan. Dalam puisi ini, benda mati itu nampaknya menjelma metafora kebebasan yang bertentangan dengan aturan, norma-norma yang seringkali terlalu mengikat. Kerinduan akan kebebasan itu nampaknya dirasakan kembali oleh aku lirik namun tak lagi bisa diraih sehingga menjelma kenangan semata. Hal ini karena aku lirik telah menemukan keindahan dan kenikmatan lain dalam dunia baru yang telah dijalani. Kebebasan pada akhirnya dianggap sebagai sebuah kebodohan, kesia-siaan namun senantiasa dikenang sebagai sesuatu yang nikmat, meski hanya sesaat.

     

    Di Malam Hari Sebelum
    Kita Bergegas Tidur

    Bantal guling sungguh hanyalah benda mati.
    Di dalam malam yang dingin ia hanya mampu
    kupeluk tanpa membalas dengan gerakan yang
    sama. Hanya rasa percaya yang menjaga tubuh
    dan pikiranku agar kau selalu terasa ada.
    Aku rindu—sungguh.

    Itu dulu—dulu sekali. Sekarang tak lagi kuserahkan
    tubuhku sepenuhnya. Ada aturan agama yang harus
    kupatuhi setelah ijab kabul mempertegas hak kepemilikan
    diriku. Bertahun-tahun tanpa nafkah batin dan materi
    adalah penistaan terhadap ayat-ayat tuhan yang paling
    sungguh, tapi kau tak lagi peduli dengan sabda-sabda.

    Kau di sebelahku sekarang. Melingkarkan kedua
    lenganmu tapi tak ada kehangatan lagi di dalamnya,
    kecuali ingatan-ingatan yang membuatku tersenyum
    mengingat kembali bahwa kau pulang tanpa sedikitpun
    rasa bersalah—di wajahmu.

    Selamat tidur, sayang.

    (Mamuju,2017)

     

     

    Bapak yang Pergi Tanpa Pamit
    Tak Pernah Betul-Betul Pulang

    Sudah lama ibu berubah tulang punggung
    setelah bapak lepas tangan dari beban menanggung.
    Masikah ia disebut lelaki bila ia pergi tanpa pamit
    dan kembali mengetuk pintu rumah tanpa permisi?

    Sudahlah, ia tak pernah betul-betul pulang.
    Kedatangnya hanyalah remah-remah sepah.
    Ingatan adalah penjara dan aku tak pernah
    merasa sebagai penjahat sebab ingatan apa
    yang tersisa dari lelaki yang hanya meninggalkan luka?

    Tak ada seorang pun siap menjalani hidup seperti ini
    tapi merengek tak akan melunasi urusan utang dan
    segala tagihan mustahil dibayar dengan air mata.

    Tangisan yang kau biarkan deras mengalir akan
    menghanyutkanmu dari segala tempat dalam kepala
    yang pernah kau tempati tinggal cukup lama di sana.

    (Mamuju,2017)

     

     

    Nasihat Ibu

    Lihatlah ia sejauh matamu memandang,
    jadilah seorang mata-mata agar kau tahu
    siapa saja yang datang dengan hati yang lapang
    Sebab pesulap yang paling handal adalah
    lelaki dengan banyak peran.

    Kau pantang lemah, menjadi ibu bukan
    perkara merayu seorang remaja. Bila tembok
    pertahananmu tak kukuh, kau akan dipaku
    di jari telunjuk, mengikuti segala perintah
    tanpa mampu membantah.

    Belajarlah dari ingatan masa kecil
    saat di mana semuanya harus dilalui
    tanpa pundak kepala keluarga yang
    kuat menopang.

    Bila ia tak siap menjadi nahkoda dari bahtera
    yang akan mengarungi labilnya samudera,
    maka lepaskanlah.

    Apa guna hidup berkalung emas
    jika pada akhirnya berkalang lelaki.

    (Mamuju,2017)

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Di Bangku Bus Malam oleh Remon Sulaiman

    author = Remon Sulaiman

    DI BANGKU BUS MALAM

     

    Sebuah tanda pesan membuat gemetar dada

    telepon genggamnya

    Sejenak dering memecah di udara Juli yang kering

     

    Tidakkah kau akan pulang malam ini, tualang

    Kemana lagi kau akan pergi ?

     

    Ke Jambi

    Ke Muara Batanghari

    Kukejar engkau

    Duhai, rindu yang pergi

     

    Muarabungo, 2017

     

     

    SEBUAH BUS MALAM YANG TERPAKSA BERANGKAT PAGI

    Sebuah bus malam yang terpaksa berangkat pagi

    bergegas mengantarkan pulang orang-orang dari Huluan seusai menjemput mimpi yang terhanyut ke muara Batanghari

    Namun di tikungan terakhir sebelum simpang menuju kotamu yang bergerak ragu, aku melihat seseorang menurunkan harapan yang kutitip pada kopernya yang penuh berisi dan rapat terkunci

    Cepatlah pulang

    Sebuah ucapan dingin, asing,  dan pura-pura, meluncur enggan dari sudut bibirnya sebelum menuruni tangga

    Mungkin sebagai pengganti tangis kesedihan

    Atau mungkin sebagai lambaian perpisahan

    Aku terdiam menatapnya dari balik jendela

    Di luar matahari terik

    Sementara di dalam bus ini

    Pendingin udara serupa mengantarkan tuba ke rongga dada

    Muarobungo, 2017

     

     

    BATANGHARI

     

    Tulislah sebuah puisi tentang luka di dada sungai yang terus digali

    Engkau berseru ketika melihat sebuah perahu menyongsong arus dari hulu

     

    Namun di dadaku hari kian tenggelam, kekasih

    Nun, jauh di hulu

    Kukenangkan matamu

    Sebagai sungai jernih itu

    Dengan kesedihan di dalam hati yang tak henti mereka gali

    Dan kelak tunggulah

    Keruh airmata lukanya akan tumpah

    Ke ladang-ladang

    Ke badan jalan

    Ke rusuk rumah

    Lalu menenggelamkan mimpi anak-anak

    Bersama suara sajak-sajakku yang kian serak

     

    Lupakan puisi, kekasih

    Sebab di dadaku,

    Seperti halnya sejarah

    hari tenggelam sudah

    Dan tentang luka di dada sungai ini,

    Takkan pernah kutulis lagi

     

    Muaro Bungo, 2017

     

    Catatan Redaksi:

    Puisi Remon Sulaiman membahas persoalan rantau, saat seseorang menjadi asing dan berjarak dengan kampung halaman. Pulang menjadi saat yang berat karena ia harus meninggalkan banyak hal yang dalam sekian waktu telah menjadi begitu akrab. Dalam hal ini, pulang bagi orang yang pernah merantau pada akhirnya hanya serupa singgah, sebab segala sesuatu telah berubah dan menjadi berbeda, sementara di tempat yang ditinggal senantiasa ada yang dicari. Pada akhirnya, bagi seorang kembara, perjalanan musti diteruskan kembali untuk menemukan sesuatu yang lebih berharga dari sekedar pulang.

     

    Foto karya Nick Turpin

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi