DI BANGKU BUS MALAM
Sebuah tanda pesan membuat gemetar dada
telepon genggamnya
Sejenak dering memecah di udara Juli yang kering
Tidakkah kau akan pulang malam ini, tualang
Kemana lagi kau akan pergi ?
Ke Jambi
Ke Muara Batanghari
Kukejar engkau
Duhai, rindu yang pergi
Muarabungo, 2017
SEBUAH BUS MALAM YANG TERPAKSA BERANGKAT PAGI
Sebuah bus malam yang terpaksa berangkat pagi
bergegas mengantarkan pulang orang-orang dari Huluan seusai menjemput mimpi yang terhanyut ke muara Batanghari
Namun di tikungan terakhir sebelum simpang menuju kotamu yang bergerak ragu, aku melihat seseorang menurunkan harapan yang kutitip pada kopernya yang penuh berisi dan rapat terkunci
Cepatlah pulang
Sebuah ucapan dingin, asing, dan pura-pura, meluncur enggan dari sudut bibirnya sebelum menuruni tangga
Mungkin sebagai pengganti tangis kesedihan
Atau mungkin sebagai lambaian perpisahan
Aku terdiam menatapnya dari balik jendela
Di luar matahari terik
Sementara di dalam bus ini
Pendingin udara serupa mengantarkan tuba ke rongga dada
Muarobungo, 2017
BATANGHARI
Tulislah sebuah puisi tentang luka di dada sungai yang terus digali
Engkau berseru ketika melihat sebuah perahu menyongsong arus dari hulu
Namun di dadaku hari kian tenggelam, kekasih
Nun, jauh di hulu
Kukenangkan matamu
Sebagai sungai jernih itu
Dengan kesedihan di dalam hati yang tak henti mereka gali
Dan kelak tunggulah
Keruh airmata lukanya akan tumpah
Ke ladang-ladang
Ke badan jalan
Ke rusuk rumah
Lalu menenggelamkan mimpi anak-anak
Bersama suara sajak-sajakku yang kian serak
Lupakan puisi, kekasih
Sebab di dadaku,
Seperti halnya sejarah
hari tenggelam sudah
Dan tentang luka di dada sungai ini,
Takkan pernah kutulis lagi
Muaro Bungo, 2017
Catatan Redaksi:
Puisi Remon Sulaiman membahas persoalan rantau, saat seseorang menjadi asing dan berjarak dengan kampung halaman. Pulang menjadi saat yang berat karena ia harus meninggalkan banyak hal yang dalam sekian waktu telah menjadi begitu akrab. Dalam hal ini, pulang bagi orang yang pernah merantau pada akhirnya hanya serupa singgah, sebab segala sesuatu telah berubah dan menjadi berbeda, sementara di tempat yang ditinggal senantiasa ada yang dicari. Pada akhirnya, bagi seorang kembara, perjalanan musti diteruskan kembali untuk menemukan sesuatu yang lebih berharga dari sekedar pulang.
Foto karya Nick Turpin
Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.
Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi