Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Gondolayu oleh Faruk HT

author = Faruk HT

GONDOLAYU

Cangkir kaleng berkarat

segelas kopi dan sejumput bunga

yang manakah jalan ke sorga

atau kau tak pergi ke mana-mana

terus menungguku di pojok kamar itu

setelah mengambil sebatang rokok

yang selalu kusediakan di sana

 

Sudah kutiti jembatan waktu

sudah kulewati goncangan itu

Colt campus dan trans-yogya

pohon nangka dan sapu lidi

tanah berpasir guratan nasib

aku menunggu

 

Kupikul segala kenangan

mencoba mengadu pada baginda sultan

tentang kau yang tak pernah datang atau kembali

dan tentang langkahku yang tak beranjak dari bumi

 

Kuhirup semua aroma

korban peperangan atau kejahatan

atau hanya kekonyolan

mungkin juga sekedar canda

mayat atau jelaga

kotoran manusia atau kuda

minyak wangi pembersih muka

tak ada sisa

 

Kasihku,

adakah kau di selatan atau utara

kenapa tak pernah ada lagi suara

kenapa tak ada lagi sasmita

atau kupingku yang tak terbuka

 

Kasihku,

kenapa tak ada lagi kiriman angin dari sana

karena, di sini, di tempat mayat yang terbuang ini

aku tak mencium apa-apa

 

YOGYA 030212

 

 

MOLIOBORO

sepotong ayam, sesendok sambal, sejumput lalap

wajah itu tak bergeming ketika dompet raib

senyum terkembang bersama lagu keroncong

jalan sesak, andong mendesak, tukang parkir tak kehilangan tongkat

“inilah molioboro,” katamu. “bukan sanak bukan kadang

kalau uang melayang, tak ada yang kehilangan.”

kaos oblong, sandal jepit dan baju batik

bunyi klakson, gerobag pedagang dan alun suara musik

wajah melayang di sehelai kertas bekas

jatuh di bekas muntahan bakal preman

“inilah molioboro,” katamu. “bathi sanak, tambah beban”

malam merayap, kakilima kukut

keroncong berganti suara dangdut

tak lagi penting mana mabuk mana joged

mana jalan, mana gelanggang

“inilah molioboro,” katamu, sambil menghitung duit dan sisa potongan lele:

“tuno sathak asor wekasane”, lanjutmu dengan suara geram yang tak sempat kudengar

“Jangan-jangan taman budaya udah tutup,” batinku bergegas

 

 

KAHANAN

katamu, tak ada yang bisa kau kais dari masa lalu

sejarah tak menyisakan apa pun bahkan untuk dikenang

arus peradaban dari seberang dan damai yang tak kunjung datang

hutan belantara. kakang kawah adi ari-ari mengawang

telanjang.  antara gejolag ombak yang menderu dan

keheningan gunung yang mencoba bertahan. api yang terpendam

dan air yang terus mencoba membuatnya padam

 

kaulah jalan itu. begitu lurus memandang dan dipandang

tak ada pohon atau bangunan. hanya langit dan kematian

kaulah sungai itu. hanyut dan menghanyutkan

berkelok menyapa batu dan lahan-lahan, memberi hidup pada rerumputan

 

katamu, kaulah orang itu. berjalan telanjang dari lorong ke lorong.

hingga peziarah datang menaburkan bunga di tubuh yang bukan milikmu

melepaskan pakaian mereka satu persatu sampai tak ada lagi yang tahu

mana yang kramat mana yang kualat di kepala siapa mahkota itu ditempatkan

 

pernah, katamu, seorang penyihir dari mancanegara terbang bersama angin

dari timur. menuliskan rajah ke tubuh itu dan kemudian sirna tak terbaca

lenyap entah ke mana bersama tongkat, pakaian, dan jerit rasa sakit yang panjang

dan kudengar, seorang penjelajah dari barat, menunggang kereta tanpa kuda

menyulap batu jadi bangunan dan tempat peribadatan, menjelma percikan api

kemudian lenyap bersama sorban dan senapan

 

siapakah aku, siapakah kau, mana yang tabu mana yang profan

mana ilmu mana kebatinan. seutas benang pun tak melekat di badan

siapakah aku, siapakah kau. selamat tinggal sejarah juga peradaban

diri adalah langit tak terjangkau dan misteri kedalaman

 

tak ada yang bisa kau kais dari masa lalu

sejarah tak menyisakan apa pun bahkan untuk dikenang

arus peradaban dari seberang dan damai yang tak kunjung datang

hutan belantara. kakang kawah adi ari-ari mengawang

telanjang.  antara gejolak ombak yang menderu dan

keheningan gunung yang mencoba bertahan. api yang terpendam

dan air yang terus mencoba membuatnya padam

YOGYA 210112

 

 

 

KECOAK

: 24 tahun dea karya adyani

 

hidup itu bagai kecoak pasti kau kenal

bertemu dengannya membuat kita

seperti begitu jauh terlempar

sendirian di alam yang gelap kental

hidup itu bagai kecoak pasti kau hapal

kita tak pernah tahu dari mana dia berasal

tiba-tiba muncul di atas kasur

sewaktu kita sedang nyenyak tidur

hidup itu bagai kecoak pasti kau tahu

ia datang ketika kita mencoba menghindar

kau yang tak ingin kenal sejak dalam kandungan

sekarang harus merantau jauh sendirian

hidup itu bagai kecoak pasti kau yakin

bila kita yang mencari ia yang pergi

tekad membuatnya tak lagi kembali

menjauh bahkan dari mimpi-mimpi

 

 

 

RITES OF PASSAGE

dalam shalat jamaah

dunia langsung berubah

tepat ketika kaki pertama

menginjak lantai mushola

karena semua jenjang berubah

pemimpin tiba-tiba menjadi makmum

walau masih ada beda tersisa

perempuan tetap berdiri

di belakang

 

dalam bulan puasa

dunia langsung berubah

semua orang jadi sama

pengemis yang hina dina

dengan tubuh lemas tanpa daya

sedang di malam-malamnya

semua berubah jadi hamba

di hadapan yang maha kuasa

hingga sampai di akhirnya

ketika bulan berganti

semua orang kembali seperti semula

menjadi majikan dan hamba

dengan kualitas bertambah

 

dalam ibadah haji

begitu sampai di mekah

dunia langsung berubah

semua orang jadi sama

tanpa pakaian dan nama

seperti gelandangan

tiap hari terlihat di jalan

memuja dan mengemis

ampunan dan berkah

dari hanya satu nama: allah

hingga sampai akhirnya

kembali ke masing-masing negeri

menempati jenjang baru

dengan jubah dan topi baru

dengan budak yang bertambah

 

ada saat-saat ibadah

ada saat-saat hierarki lenyap

lima kali dalam sehari

sebulan dalam setahun

sekali seumur hidup

saat-saat bersedekah

sisanya entah

 

ada mereka

tiap saat hina

tak punya pakaian

tak punya nama

hingga semua hari

biasa saja

 

Catatan redaksi:

Puisi-puisi Faruk HT merepresentasikan pertanyaan-pertanyaan menyoal esensi kehidupan manusia, sejak awal kelahiran seorang di dunia hingga akhirnya, juga pertanyaan akan kemana dan seperti apakah yang kemudian. Seringkali, dunia dipandang sebagai hal yang tidak diinginkan, hadir tanpa permisi dan tiba-tiba musti dihadapi. Dalam posisi itu, manusia pada akhirnya hadir sebagai lakon, yang musti eksis berjuang menjalani dan menghadapi hidup dan persoalannya. Melalui jalan itulah tabir rahasia kehidupan barangkali bisa terungkap. Puisi-puisi Faruk sekaligus juga merepresentasikan sikap hidupnya terhadap dunia.

Melalui penekanan pada pilihan diksi yang tepat, metafor-metafor serta keuletan melukisan suasana baik lanskap maupun jiwa, puisi-puisi Faruk terasa begitu kuat dan dalam. Puisi-puisi Faruk juga tidak terjebak dalam satu dimensi waktu saja tetapi hadir untuk dibaca baik untuk melihat masa lampau, kini dan nanti. Penghayatan yang demikian hanya didapat oleh seseorang yang senantiasa hadir menghadapi situasi-situasi pelik dalam kehidupannya.

 

*Lukisan Strenge bewaking van de Gondolayu brug in het centrum van Jogyakarta (Strict surveillance of the Gondolayu bridge in the center of Jogyakarta) karya Mohammad Toha Adimidjojo, dilukis tahun 1948-1949. Kini disimpan di Rijksmuseum, Amsterdam, Belanda.

 

Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/