Category: Puisi

  • Taling Tarung : Satu Menangis yang Lain Termenung

    author = Guido Laksmono

    (1)

    Jika badai topan datang nanti
    Biarlah palung meremuk tulangku
    Jika waktuku datang nanti
    Satu doa ku : sampan
    Biarlah ikan terjaring untuk nelayan

    Jika kering datang nanti
    Biarlah perutku masam kelaparan
    Jika waktuku datang nanti
    Satu doaku : padi
    Biarlah diberkahi tiap petani yg menyiram dan menuai

    (2)

    Jika bapak ku datang nanti
    Biarlah ia mengucap salam dan menghatur doa

    Bapa kami yang ada di surga, di kuduskanlah piring mu
    datang lah cangkirmu, jadilah kehendakmu
    seperti di bawah gigi dan di atas meja.
    Berikanlah hari ini, perih yang secukupnya.
    Dan ampunilah kami atas asam raut muka,
    seperti kami mengampuni orang yg kenyang karena mu.
    Lepaskan lah kami dari apa yang nikmat,
    karena engkau yang punya kuasa,
    atas angin dan segala rasa daging,
    sampai selama-lamanya.
    Amin

    (3)

    “Malam ini makan apa pak?”, tanya Soni.
    “Maaf nak, hanya ini yang terbeli”,
    “Sejumput angin dan secuil harap”,
    “Semoga kamu bisa makan dengan lahap”,

    Hanya ada rengginang berserakan di meja makan
    Hanya ada ibu di rupa pigura
    Hanya terdengar tangis ayah di sisa malam

    (4)

    Pagi datang soni terlelap
    Terang bersinar namun gelap berbinar
    Tiap sudut matanya hitam
    Tiap gerak mulutnya sumbang

    Untuk pertama kali dalam sebulan
    Bapak makan dengan kenyang
    Untuk pertama kali dalam seminggu
    Beras penuh di periuk
    Asap mengepul di bawah kuali
    Dibarengi serak suara surau
    Lantunan doa dan yasin

    Bapak terharu kekenyangan
    Bapak menangis kehilangan

  • Sumpah Malaikat Api

    author = Rifki Syarani Fachry

    Sumpah Malaikat Api

    ingin kuhancurkan matahari 

    dan melempar bumi ke kegelapan 

    ke dalam mulutmu, sumur buta  

    nganga yang mengoleksi gema tebing 

    antologi hening  

     

    akan kulempar  

    seperti arang perasaanku  

     

    di jurang batas lambungmu 

    akan kulelapkan bumi  

    dan kiamat kecil tumbuh di hatimu 

    seperti batu yang berkali-kali  

    menjadi tunas bagi kesakitanku  

     

    menjadi dingin  

    yang bertahun-tahun melukaiku  

     

    gerhana menyesali gelap 

    kemurungan mencintaimu  

     

    2019

    Inori

    tuhan, sisakan satu 

    neraka untuk puisi-puisiku

     

    2019

    Postulat

    tuhan tak mengalami apa-apa

    tuhan tak pernah belajar

     

    2019-2020

    Gagasan yang Terbakar

    matahari, gaun lebu, mata arang

    kebakaran besar menyelinap sebagai puisi 

    memeluk mayat-mayat batu; bangkai bagi segala yang 

    retak 

    : kehancuran akan menempuh sunyi sebagai debu 

    dari puing-puing dunia, mirip perih yang disisipkan 

    waktu

    dari tangisan tak terdengar, kepada telinga-telinga tuli

    untuk lambung-lambung lapar, demi mulut-mulut yang 

    saum

    dari kepala-kepala yang tak tidur

    ketika makna hidup lengang bagi kepulangannya 

    jadi mempelai sasar yang menyimpan luka cabik

     

    aku manghafal bayi di kepalanya seperti doa dan 

    raraban 

    seperti kejadian dari tahun-tahun yang tak kualami

    dan di dalam sini (ke sebuah kening), selain tafsirnya, 

    tak ada lagi

    aku, tubuh terbakar, kesadaran melelehkan kata-kata 

    pintar

    awan-awan mati bernafas di dasar jurang mencari tepi

     

    2018-2020

    Kelahiran Ulang

    bangkit kembali jadi tubuh hari-hari

    makna yang tak henti mencambuki ingatan

    melubangi punggungku dengan paku

    menanamkan batu-batu di dadaku

     

    sebaris nama yang sempat kubaca di nisan-nisan 

    waktu

    roh yang kembali dari neraka para raksasa 

    datang seperti pikiran-pikiran bunuh diri 

     

    aku tak bisa membedakan

    ini hidup atau mati

    aku kembali bayi tapi kesedihan 

    hanya dapat kupahami sebagai lelaki 

     

    yang hidup di bawah todongan senjata  masalalu 

    masalalu yang memandangi jantungnya

     

    aku merasa tak benar-benar lagi dimiliki –memiliki

    luka dari masa depan yang mengungsi menjadi sebaris

     puisi di tubuhku, gelap tak kumengerti

     

    siapa gerangan, apa yang diinginkan tuhan 

    dari hidupnya orang-orang mati

    dan kelahiran-kelahiran tak berarti

    dari doa-doanya perasaan 

    kembali menjalani hidup sebagai aku;

    obat-obat palsu dan batu

     

    2019-2020

    Cermin Menulis Sejarah di Mataku

    untuk  W. Haryanto

    Tak ada hujan yang kukenal, dari gelap awan 

    di matamu (ingin kukatakan itu)

    ketika musim menangis, aku terbunuh gerimis

    bayangan kita terjebak di aula ini (masalalu)

    dan kusadari, kenangan kita tak seabadi hujan itu

    nampaknya, kita bukan batu

     

    di luar, gedung-gedung tetap bermakna

    sementara di hadapannya, aku mayat

    terbaring memeluk nyawa yang henti

    seperti patung dengan kepala hancur dilubangi peluru

    darahnya dijilati usia, dan tali air itu 

    akan membawa merah

    menuju menara puisi yang runtuh: 

    mimpi yang kehilangan bahasa 

    –sesuatu, tak bermakna lagi apa-apa

    selain kenyataan bahwa kini, aku dan bayangan kita

    hidup di akhirat yang sama

     

    hanya mampu kurenungi hujan-hujan yang terluka itu

    sebagai luka-luka baru

    dan apa yang tak kunjung reda jadi cermin 

    cermin yang menulis dingin sejarah kematian kita

     

    lama, biru, dan kota tinggal lampu-lampu

    tapi hujan tak berhenti melubangi ingatanku

     

    2016-2020

  • Solitude Pinus

    author = Sobrun Jamil

    Solitude Pinus

    Pinus-pinus tinggi menjulang
    Menyangga kemelut malam di ujung dahan
    Akar-akarnya jauh menghujam
    Dalam sampai mendesak rahim bumi
    Sulaman tanah basah dan bijian
    Merangkai anak-anak angin
    Yang ikut terikat di ekor zaman
    Menetes di sepanjang zamrud khatulistiwa
    Ribuan pasang, jutaan surut kelam sejarah
    Menebal di pipi matahari
    Seteguk lagi pagi muntah dari bibir cakrawala
    Dengan jaring di tangan kita pun berjaga
    Barangkali badai membawa gundah nasib
    Kita peluk gemuruhnya dengan sisa sukma dan cinta!

    Linggo Asri, Agustus 2019.

    Di Kadipiro

    Di Kadipiro
    Aku melihat Malaikat meniup Malioboro
    Ke dalam dadaku
    Malam panjang dan
    Puisi terbaca dari tangan udara
    Sementara hawa hangat menyusun barisan sajak
    Suara-suara membeku jadi peristiwa

    Umbu, masihkah kau gunting alamat pulang?
    Kereta panjang tanpa keberangkatan
    Iman, berapa usia api kayu bakarmu? Tegak kayu pagarmu?
    Masihkah serupa lagu penjaga masa lalu?
    Ragil, di mana hilang sunyi yogamu?
    Parangtritis tak kunjung menjawab, Kota Gede diam dalam bisu, dan Wonosari melontarku ke sudut kota

    Teguh Ranu yang nyaStra, biarkan aku mengungsi ke dalam kertas kusam penuh coretan kelam itu
    Emha yang Nadjib! Pinjamkan padaku sepasang Ainun elangmu
    Untuk merobek kebebalan yang langgeng di kening zaman

    Kini dunia memadat, bumi terpaku
    Puisi harus terus lahir sebagai karikatur yang menggugat
    Sebagai carangan dari perlawanan yang halus dan tak kentara
    Sebab sastra adalah ruang
    Di mana kesejatian tak bisa dibengkok-patahkan oleh aturan-aturan!

    Yogyakarta, Agustus 2019

    Jelaskan Bagaimana

    Jelaskan bagaimana
    Dengan sejuta kata dan bahasa yang tua
    Sakit tak bisa diucap
    Tertahan warna biru di ujung rasa kelu

    Jelaskan bagaimana
    Dengan hati segenggam dan darah sisa setetes
    Cinta mau membuka pintu
    Bagi tamu yang minta usia sekeras batu!

    Sinangoh Prendeng, September 2019.

    Sunyi tak Terbilang

    Dalam panas membakar kutangkap cahaya
    Meski malam pun
    Kupungut gelap untuk menambal luka
    Di ratusan warna dan segala cuaca
    Ayat badai firman-firman hujan tak kentara

    Demikianlah kini

    Jauh di keremangan
    Rindu tak tersangga bunyinya
    Meski padam amuk darah
    Hanya di nadi, Hu Allah
    Sunyi tak terbilang!

    Sinangoh Prendeng, September 2019

    Presiden Sutardji

    Seorang Presiden masuk hutan cari Sutardji
    Kabarnya di kaki pohon purba ia meringkuk
    Baru pada langkah ke-2019 Sutardji berhasil ditangkap
    Tubuhnya yang renta dan harum digenggam, lalu dipaku ke dalam mulut

    Langit temaram, asap membumbung, pekik raung-meraung
    Ratusan juta rakyat sudah menunggu
    Di atas podium istana
    Presiden menangis sambil berteriak:

    “Yang tertusuk padamu, berdarah padaku.”

    Tapi kapan?
    Puisi hanya igauan.

    Sinangoh Prendeng, Oktober 2019.

  • Setiap Kamis, Ia Mencukur Kumis oleh Dwi Rahariyoso

    author = Dwi Rahariyoso

    Sol Sepatu

    Ia menjahit kakiku yang aus oleh gang-gang sempit kota

    di mana ribuan saudaraku tergerus dalam labirin nasibnya

    tiap hari bersama cahaya-cahaya yang menyerbuki mimpi

    dan menelan sisa nafas yang terhempas

     

    Ia menjahit kakiku dan menyulamnya bersama jejak-jejak

    ingatan, jarak dari perjalanan yang mengental di kepala

    sebuah kampung halaman yang dialiri sungai

    betapa naif hidup yang dihabiskan sendiri

     

    Ia menjahit kaki dan kepalaku seperti menjaga hidup

    dari revolusi yang hangus oleh kenyataan

    dan tidak pernah ada kemenangan bagi perantau

    kecuali pulang pada kenangan yang nostalgik

     

    2017

     

     

    Di Hadapan Buku

    di hadapan buku, dunia menjadi televisi yang bersandiwara

    tentang lakon tanpa nama

    kau menonton dirimu sedang memuntahkan hewan-hewan

    purba dalam suatu drama satu babak

    lalu, segala yang teringat tentang kedai kopi, sarapan nasi bungkus,

    dan juga biaya listrik mulai meleleh memenuhi sudut mata

    ironi yang gersang tengah dibacakan oleh seseorang di masa lalu

    yang dilarang seorang pegawai kelurahan

    manusia-manusia adalah negara yang terbelah di hadapan buku

    sebelum mereka benar-benar selesai merindu

    di hadapan buku, sebuah pabrik bahasa tengah bekerja

    cerobongnya yang menganga siap menghisap segala upaya

    untuk menciptakan tafsiran-tafsiran hampa

    2017

     

    Setiap Kamis, Ia Mencukur Kumis

    setiap Kamis ia mencukur kumis dan melakukan perjalanan

    seperti pasasir

    ia mencukur kumis dalam sebuah perjalanan musafir

    ke arah debu-debu yang menghuni gurun

    sebuah perjalanan musafir dikabarkan untuknya sebagaimana

    tahun-tahun yang senyap dalam almanak masehi

    debu-debu yang menghuni gurun seperti tidak berpintu

    dan tidak berpenjuru

    angin menutup tubuhnya dengan badai sepanjang masehi

    yang kering oleh kopi dan roti

    ia mencukur kumis tujuh hari sekali dalam kesunyian

    dan tuhan merangkulnya lewat bisikan-bisikan

    yang menghuni gurun

    ketika ia mencukur kumis kesekian kalinya,

    tubuhnya lebur bercampur debu-debu  

    dan terbang ke segala penjuru

     

    2107   

     

    Seorang Suami yang Berbicara kepada Istrinya  

    Aku memerankan suamimu. Kau menjadi istriku. Di kamar sempit

    inilah segalanya bermula. Kita adalah sepasang lakon yang saling menyakiti

    demi dunia yang sepi dan pahit. Aku yang kejam dan kau yang cerewet, di

    hadapan dunia yang sumpek dan pekat.

    Kita tidak lagi membicarakan cinta seperti masa silam. Cinta adalah variasi

    tentang gula, teh, dan kopi. Di kamar ini, dunia menyusut tiba-tiba.

    Sarang laba-laba dan catatan-catatan hutang belanja yang terus-menggerus

    hati dan telinga. Demikian juga lenguh dan gairah farji yang semakin menua.

    Aku seperti lembu yang hampa dan kau bajak yang merindukan aroma tanah.

    Kelak, kita akan bahagia seperti tokoh-tokoh telenovela. Sebab dunia tanpa idola

    adalah niscaya. Demikian halnya masa tua yang tembaga, di hadapan anak cucu.

    Masa kini adalah rindu yang mahal tentu saja. Kita telah menukarnya dengan omelan

    dan bermacam kejengkelan tak terperikan. Kau yang keras kepala dan aku yang ingin

    menang sendiri. Kelak, kebahagiaan itu akan dimaknai sebagai kenekatan.

    Sepeda butut itu adalah mesin perang kita. Menghadapi zaman yang tajam,

    hari-hari terasa panjang, berpeluh, dan mendebarkan.

    Seorang kuli batu tak lebih butut dari sepedanya, demikian denganmu

    yang pembantu. Jauh kampung halaman tidak tergantikan sebab hidup

    tak pernah dimenangkan.

    2017     

     

    Kejadian Ganjil Seorang Buruh

    sebagai buruh yang bekerja, namamu tidak ada di daftar gaji. buruh

    meminjam kursi untuk duduk di atas rasa letih yang dihasilkan

    jam-jam lembur kantor yang berisik.

    kedua kakimu terkulai seperti sungai yang keruh dan dipenuhi

    endapan sampah dari pagi hingga petang.

    atasanmu adalah mandor yang malas tapi baik. ia memberimu

    pekerjaan dan upah sukarela.

     

    di kontrakan yang sempit, bohlam sepuluh watt menyala temaram

    dan dipan yang keras meringkik disertai nyeri rematik.

    gas tiga kilogram kembang kempis

    memanaskan sisa sayur kemarin. rasa lapar

    dan dinginnya hujan bercampur seperti teka-teki

    yang tidak pernah kau mengerti.

     

    2017

     

     

    *gambar lukisan The Traveler Painting oleh Anthony Vandertuin

    Catatan Redaksi:

    Puisi-puisi Dwi Rahariyoso menggambarkan realitas kehidupan yang ironis dan tragis, dimana kehidupan masa kini yang sedang dijalani sepenuhnya tak lagi sama dengan apa yang dijalani pada masa lalu. Sementara itu, bayangan mengenai kebahagiaan di masa depan hanya hadir sebagai sesuatu yang samar. Namun di sela-sela kepayahan hidup tersebut, harapan akan kebahagiaan di masa depan tetap saja ada sebab hanya harapan sajalah kiranya sisa tenaga yang bisa menggerakkan segalanya.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Sepotong Kayu yang Bertanya tentang Kayu Dagingnya atau Pinocchio as He Searches for His Missing Mother

    author = Andre Wijaya

    Juara 2 Lomba Cipta Puisi Festival Sastra UGM 2020

    Sepotong Kayu yang Bertanya tentang Kayu Dagingnya
    atau Pinocchio as He Searches for His Missing Mother

    suatu hari
    tak ada pohon yang boleh bicara
    kepada diri sepotong kayu hingga

    di suatu hutan
    pada sebuah pohon besar dan gendut batangnya
    sepotong kayu bercakap pada dua jalan rantingnya
    dan dalam tubuhnya, ada yang diam-diam menjadi
    air pertanyaan

    mengertilah, anakku
    kaki tangan ibu telah mengalir air yang sama seperti dalam dirimu
    apakah getah tubuhku tak semerah darah seperti dalam tubuhmu?
    pergilah, anakku: ke mana saja kau mau, tapi jangan lagi kepadaku

    dan air di dalam tubuhnya menyusun sebuah jawaban
    lalu mengeras menjadi akar-akar yang menjulur dan
    memanjang: yang setiap ujungnya penuh kebingungan

    dan kebingungan itu menyusun lagi dua jalan kenyataan
    kenyataan kepada siang dan kenyataan kepada malam
    ia mencari timur; ia mencari barat; ia melupakan selatan
    dan dalam tubuhnya, ada yang diam-diam malah menjadi
    jalan ranting kepada siang; jalan ranting kepada malam

    satu jalan ranting kepada siang
    suatu kali
    jika sepotong kayu boleh bertanya
    maka setiap pohon akan bicara

    kepada sebuah pohon besar dan gendut batangnya
    jika sepotong kayu bertanya tentang kayu dagingnya
    maka akar kaki pohon itu menjalar dan bersuara teduh
    mengutuhkan pesan kepada rapuh ranting-rantingnya, lalu
    satu ranting di tubuhnya menyusun urutan daun yang jatuh
    kepada tanah

    dan daun itu adalah sepuluh jari-jemarinya yang hijau juga
    ungu seperti warna umbi yang terpendam sehampar bentala

    dan kepada siang, satu ranting pohon itu mulai berbahasa
    maka sepotong kayu itu boleh diam, tak boleh bersuara
    tetapi, boleh membuka matanya

    lalu, dari punuk rantingnya
    dijatuhkannya serangga di kepala sepotong kayu itu
    tetapi, tak ada sepotong kayu yang boleh bersuara
    karena tidak ada pohon yang boleh bicara maka
    ditunjukkannya muka ketakutan dari canggah
    tangkai tangannya

    dan tiba-tiba
    pohon itu mengangkat satu rantingnya kepada sebuah siang
    maka sepotong cahaya menyinarinya serta sepotongnya lagi
    siluet rantingnya menyentuh kening sepotong kayu miliknya
    lalu satu per satu, daun-daun pun jatuh seperti air matanya

    tetapi, angin tiba-tiba berbisik; membawa aroma getah pohon
    yang pernah tergores dari kapak dan gergaji tukang kayu

    lalu dari bayangan bonggol pohonnya
    sepotong kayu itu memandangi kecil kaki-kakinya
    maka tatapan itu menjadi satu jalan kebingungan
    kepada paku-paku yang menyimpan nyeri
    : yang menghantar perih ke dalam dirinya

    dan kepada siang, satu ranting pohon itu berbahasa
    kepada matahari; meminta biji-biji cahaya tumbuh
    sebagai malam di dalam hutannya dan membiarkan
    malam akan membukakan matanya: mata anaknya

    tetapi, tiba-tiba
    malam melihatnya melalui mata seribu kunang-kunang
    dan kunang-kunang itu menangkap cahaya yang masuk
    ke dalam matanya

    satu jalan ranting kepada malam
    suatu kali
    jika setiap pohon boleh bicara
    maka sepotong kayu akan bertanya
    kepada salah satunya, apakah dia
    adalah anak pohonnya?

    kepada sebuah pohon besar dan gendut batangnya
    jika sepotong kayu bertanya tentang kayu dagingnya
    maka seekor kunang-kunang akan berhenti berkedip
    memberi cahaya kepada lemah ranting-rantingnya, lalu
    satu ranting pohon itu menyentuh wajah sebuah bulan
    yang sinarnya jatuh ke dalam mata anaknya

    dan sinar itu adalah bayangan rantingnya di kaca sungai
    sungai yang mengambil mukanya karena sepotong kayu
    itu adalah anaknya; yang bercermin dalam ngalir airnya

    kini, tak ada yang bisa memaksa satu rantingnya berbicara
    bahkan ketika muka anaknya berupa ikan-ikan yang mengira
    wajahnya adalah makanannya; maka air sungai yang melarikan
    sepotong tubuhnya tiba-tiba menjadi air yang hilang gemerciknya

    suatu kali
    di suatu hatinya
    pada sebuah pohon besar dan gendut batangnya
    itu adalah pohon yang telah ditebang kayunya
    : telah diambil buah hatinya

    lalu, kepada pohon itu dan dua jalan waktu di rantingnya
    sepotong kayu bertanya di mana ibunya, daging kayunya

    tetapi, tak ada pohon-pohon yang boleh bersuara
    karena tidak ada pohon yang boleh bicara maka
    sepotong kayu itu pun memilih untuk berbicara
    : mengatakan tak akan lagi mencari pohon ibunya

    tetapi, di dalam hatinya
    kata-kata itu adalah kebohongannya kepada kesunyiannya maka
    sepotong kayu yang berbohong itu pun jadi panjang hidungnya

    dan suatu hari
    di suatu hutan
    pada sebuah pohon kering dan kurus batangnya
    sepotong kayu bertanya tentang kayu dagingnya
    tetapi, dahan pohon itu diam-diam mematahkan
    kedua rantingnya
    secara tiba-tiba

    Yogyakarta, April 2020

  • Senin dalam Berbagai Himpunan

    author = Aloysius Bram

    Senin Menggejala

    kebencian terhadap Senin 

    telah menjadi demam lain 

     

    panaseanya: racikan Minggu, Sabtu dan setengah dari Jum’at 

    bersama layanan pesan antar 

    diminum sembari Netflix dan selonjor

    sebelum demam itu kembali dengan begitu gawat

     

    sebentar saja

    berselaput kegembiraan nan festive pisan 

    sebab setelah ini Selasa, Rabu dan Kamis 

    akan begitu genting dan ngomel

     

    nrimo ing pandum ergo sum 

    serupa jampi dus multivitamin

    yawla, betapa sepekan adalah gejala 

    yang begini-begini saja.

    Pilihan Ganda: Melengkapi Haiku Senin

    Senin adalah 

    umpama manusia

         (a) … yang tak berkawan

         (b) … berkalang gamang

         (c) … menyarap diri

         (d) … bermuram libur

         (e) semua benar

    Senin Mengambil Cuti

    Bukankah Senin dikisahkan sebagai suatu gelap dan terang yang dipisahkan? Tapi sekali ini ia yang memisahkan diri lalu pergi mengambil libur cuti. 

     

    Sesuatu harus ambil giliran memangku kesibukan. Demi kebahagiaan sesuatu harus digantungkan tinggi-tinggi serta dipercaya. 

     

    Siapa ingin jadi Senin dengan segenap pidato upacara bendera, dasi dan urat yang mengencang, derit mesin fotokopi, anjuran puasa, sampai tercecernya uang kembalian? 

     

    Tengok, mangkok-mangkok menganga dari sarapan yang tergesa. Siapa yang akan menghabiskannya? 

     

    Tentu bukan Senin. Sebab kali ini ia duduk-duduk di taman. Menggenggam kopi susu gula aren sembari berdegup di luar waktu. Begitu lepas dari hitungan yang tua dan berpenghabisan.

    Senin Menggali Diri

    Tidak tahukah? 

    Angin tak pernah lagi tentang sepoi 

    dan awal tak selalu tentang pagi.

    Kesadaran adalah kemeja dan sepatu hak tinggi

    lalu ingin buru-buru dilucuti. 

     

    Seseorang pernah manusia. 

    Tetapi tangan-tangan tak kasat mata 

    mendorong bergegas masuki kantor, pasar, sekolah,  halte, puskesmas, instastory. 

    Berakhir keluar menjadi sesuatu yang lain

    dan bersama menggali Senin-nya sendiri.

    Ada Kabar Apa, Tara Basro?

    perempuan-perempuan Senin 

    masih membicarakan selulit di badanmu

     

    tetapi hamparan baliho Jalan Kaliurang 

    tidak mengenal Selasa, Rabu, dan Kamis 

    ia tetap saja kulit porselen dan dagu-dagu tirus 

    mengkilap direka gatekeeper kecantikan 

     

    eureka! badan relikui 

    bagi para curvy body 

    artikel-artikel “tips turunkan berat badan” 

    bicarakan nanti 

    selama stroke dan diabetes

    masih ditanggung BPJS Kesehatan dan premi asuransi

     

    many kinds of insecurity is not necessary

    sepanjang representasi badan-badan 

    di media sosial begitu penting untuk dibicarakan 

    begitu genting untuk diwacanakan 

    begitu pening di kening yang berkerut-kerutan 

     

    badan itu, kini dan nanti:

    masihkah ada sisa untuk bercecah selulit kami?

    selulit-selulit lain yang berlesung nyelip, menyebar, tetapi lebih abadi

    sebagai bentuk-bentuk liyan nasib buruk hirau negara. kulum kesunyian, upah buruh murah, 

    tak ada sarapan paha di meja makan keluarga enamlima, sembilandelapan, dan duasatudua 

     

    lagipula kulitmu yang gingerbread brown itu 

    senantiasa terpapar cahaya 

    tempat numpang sempurna 

    buat selulit kami dibicarakan.

  • Seikat Blues

    author = Sobrun Jamil

    Seikat Blues

    Blues itu mematuk dinding rapuh
    di dalam kepalaku
    Sedangkan gelap yang
    kumasuki tak jua sampai ujungnya
    Seringkali amat menakutkan kedunguan, bagiku
    Sebelum Blues mengajari pencarian

    Seseorang di dalam aorta leherku berkata:
    Blues adalah pendekar kegelapan, menyongsong rahasia dengan gairah di tangan
    Ke mana langkah kakimu setelah waktu merundung dan dinding mendesak?
    Adalah Blues mengajarimu setia pada
    kemungkinan di balik tantangan

    Kini Blues mendengkur di ujung jariku
    Meloncat keluar dan menendangku ke punggung cakrawala!

    SP, Mei 2020

    Blues Tho’ Sin Mim

    Kulihat hidup adalah denah-denah patah
    tanpa sambungan
    Maka kunukilkan padamu Blues dari Qur’an:
    Kisah-kisah masa silam menjadi jembatan ke
    hari depan
    Dari tongkat pembelah laut sampai jazz di Madinah
    Ibrahim yang gagah mengalungkan kapak pada rembulan, betapa Blues!
    Selaksa Yunus, selaksa ikan paus, selaksa petapa mengolah kebuntuan
    Dan apabila Daud tak kau hitung, serulingnya akan meniupmu ke ruang-ruang hampa
    Di sana kau temui Zakaria, tergeletak di ranjang kesunyian

    Tho’ Sin Mim! Tho’ Sin Mim!

    Blues menekukmu, dari Tho’ yang tegak lurus ke langit menuju
    Mim yang membenam ke bumi
    Nama besar, kesuksesan, dan ketinggian adalah semu
    Jika tak berakhir pada sujud ilaLlah

    Betapa Blues!

    SP, Mei 2020

    Blues Sakinah

    Suara itu datang lagi,
    entah dari patahan angin sebelah mana
    Bagai ghost-note dalam permainan boogie woogie, samar tapi tetap berada
    dalam keberadaan

    “Hidup adalah perjuangan tanpa henti untuk
    menggenggam ketentraman. Ketentraman pula, angin. Dijaring, lolos. Dibungkus, lenyap. Tetapi angin tak bisa lepas dari ruang. Angin selalu butuh ruang untuk tinggal. Sekarang, kemasi Blues ke dalam rongga jiwamu, terbanglah untuk meruang!”

    Litaskunu ilaiha, litaskunu ilaiha!

    Blues-ku terpekur di ujung dahan
    Tuhan di mana-mana, sekaligus tak di mana-mana
    Pergi ke mana? Kembali pada siapa?
    Tuhan ada di sini, di dalam, tak pernah tak kurasakan
    Selalu lebih putih dari tulang

    Tetapi Tuhan pun, selalu hadir dalam kehilangan
    Selalu menagih pencarian, perjalanan, pengembaraan
    Serupa hukum optik: semakin dicahayai
    semakin sempurna bayangan
    Bayangan ada karena cahaya

    Blues sakinah,
    Tak ada ke mana yang sampai
    Selain bertapa di waktu
    Mendengungkan Blues kapanpun hati mau

    SP, Mei 2020.

    Blues Kinanthi

    Lebih dari sekadar babak sebuah tembang
    Hidup kita lebih ikal dari notasi yang ditegur
    oleh Pak Pelog dan Bu Slendro
    Apalagi Pakdhe Pentatonis dan Budhe Diatonis
    Apa bisa membaca sesuatu yang tak berbunyi,
    seperti misal, kangenmu?

    Ah, tentu saja kita kecut dan marah
    Bisa-bisanya ia berkata:
    “Perjalanan dari Mijil sampai Megatruh, ditengahi oleh Blues bernama Kinanthi!”

    Tak kurang-kurang isi kepalamu memintal api
    Bahkan perutmu memendam semacam kegelapan yang lapar
    Memakan seluruh jalinan syaraf di tulang
    Sehingga tarianmu kini aus dan tak berporos

    In lam takun ‘alayya ghodo-Blues, fa la uballi!

    Suatu hari kaca di jendela kamarmu bergetar
    Angin menggedor membawa sepucuk
    kabar di genggaman
    Dengan hati sembelit dan mata yang awas
    Huruf demi huruf kau susun di atas sprei beraroma rembulan

    Hasilnya:

    “Yth. Blues, di tempat.
    Apabila zaman menjarak suka-duka di keningmu
    Ikutilah aku sebagai pertanda sekaligus kawan
    Dari sebuah igauan yang patah di persimpangan.”

    SP, Mei 2020

    Blues yang Aneh

    Sebagian dari isi kepalaku mencret
    bagai suar, ia menembakkan comberan
    dan air sampah ke titik-titik langit yang tatap
    Pagi ini aku bermimpi (ya, kulipat matahari
    jadi rembulan dan kulipat rembulan jadi wajahmu),
    tetapi seperti bukan aku dalam mimpiku
    Mungkin kamu, atau satu dari triliunan kita,
    terserah saja.

    Mula-mula di mimpiku, aku berdiri dalam sedekap, sikap sholat yang tegak
    Alang-alang bermahkota sinar violet mengelilingi tubuhku,
    satu per satu urat dan daging lolos dari tulang
    belulang
    Tiap detik yang mengetuk bagai mengurai diri perlahan: kini aku kunang-kunang, padam tapi bersahaja
    Melesat ke pusat tata surya!

    Tiga ratus tujuh puluh dua galaksi
    Bergerak acak bagai biji karambol
    Nyata. Di depan mataku: mata kunang-kunang

    Inti dari segala anomali adalah ruang hampa
    Ratusan janji demokrasi, undang-undang,
    pemerintah dan negara
    Menguap jadi ruang hampa
    Hampa tak bisa digenggam, tak bisa dimaknai
    tak punya harga

    Maka, di akhir fragmen mimpiku
    Muncul telapak tangan amat besar dari
    dasar kesuwungan
    Sembilan planet berputar tertib di atasnya
    Kemudian suara dari sudut suwung yang lain
    menegur:

    “Setiap kesabaran dilatih oleh jarak tempuh melingkar, diuji oleh api, dan dihukum oleh kematian. Semakin dekat matahari, semakin cepat sampai, tetapi semakin mudah terbakar. Semakin jauh dari matahari, semakin lambat sampai, dan mustahil terbakar. Pilihlah satu
    dari sembilan jenis waktu ini. Kesabaranmu
    yang mana?”

    SP, Juni 2020.

  • sebuah kampung tumbuh subur beserta harapan

    author = Moh. Afaf El Kurniawan

    Juara 3 Lomba Cipta Puisi Festival Sastra UGM 2020

    sebuah kampung tumbuh subur beserta harapan

    a/
    sesekali kau tak akan mengerti
    menyaksikan hidup bersandar pada petak-petak tanah
    dada yang tabah. warna kulit hangus terbakar matahari
    di kening, musim adalah baris-baris doa
    kami panjat di waktu paling sunyi

    oh kepada yang memberkati
    sebuah pagi dengan kicau burung koju’
    di sela-sela pohon bambu
    bagai tembang memulai hari yang keras
    hidup yang tandus. nasib serupa cadas di punggung waktu
    kami terima sebagai beban waris pendahulu
    sementara luas batin kami
    hamparan langit dan dalam biru laut

    di sini kesabaran kami bagai hujan
    tanam lumpur dalam diri
    tempat menaruh mimpi
    : kampung yang tenang dari luka dan kekejaman hati

    b/
    kampung ini tumbuh subur beserta harapan
    walau tanahnya keras dan panas
    cinta menjelma embun di luas rerumput

    capung-capung berkejaran di udara
    seperti usia kanak-kanak mengakrabi keriangan
    sepanjang jalan antara masa lalu dan hari yang akan datang
    pohon-pohon rindang bagai waktu tumbuh dengan
    teduh – mendamaikan usia

    oh kampung yang permai
    kampung yang terhidar dari ringkik kuda
    juga salak anjing hutan
    di utara gunung. di selatan gunung
    dari ujung barat hingga timur
    sungai membentang dan berkelok bagai suratan
    mengalirkan sejuk ke dasar jiwa kami

    c/
    ketika matahari di atas ubun-ubun
    dan liuk ilalang seakan melambai ke wajah langit
    di jalan setapak nan berliku
    anak-anak pulang sekolah telanjang kaki
    langkahnya yang riang
    – mengejar masa depan yang lebih waras

    oh hari yang akan datang
    hari yang belum tentu datang
    hari yang mungkin tak akan datang

    di antara luas ladang-ladang
    kami tanam kecemasan sedalam mungkin

    pada sebatang sungai
    yang membelah tubuh kampung
    kami alirkan kesedihan ke muara masa lalu

    ;agar anak cucu kami tak merasakan peluh nasib yang sama

    d/
    rumah kami beralas tikar pandan
    berdinding anyaman bambu
    dan dapur selalu mengepulkan asap kasih sayang
    jika kau ada waktu, sesekali datanglah kemari
    pintu selalu terbuka
    kamipun pantang tak berbuat manis pada tamu

    di sini kami selalu berdiri dan berpijak pada kehangatan cinta
    tutur kata bagai mekar kembang kamboja
    memandang sebatang sungai bagai kemujuran anak cucu
    jagung, padi, dan tembakau hasil peluh dan doa

    pun barangkali kau tak akan mengerti
    di sini batu dan bintang penuh isyarat
    menjadi tanda siapa yang pantas kami anggap kerabat

    Oktober 2019 – April 2020

  • Sajak Sajak Bemartamukti

    author = Bemartamukti

    Pengantar Desember

    Kau datang begitu cepat

    mengejutkan hati pada revolusioner

    yang sedang melakukan revolusi diri

    serta mimpi-mimpi yang belum sepenuhnya terpenuhi

    kautikam waktu tanpa peduli siapa yang sedang

    mengatur diri untuk menjadi pemenang di kemudian hari

     

    Desember, yang katanya penghujung tahun

    kini lebih seperti penentu sebuah harap yang menahun

    yang berakhir jadi titik balik yang menukik

    kejurang paling pelik. Dan menjelma kembali

    menjadi titik awal bagi mereka yang tumbang

    di medan peperangan

     

    Ketika usia masih remaja, kukira semua akhir

    akan selalu berpihak pada bahagia

    hingga usia mengantarkanku pada seperempat abad

    perkara apa saja yang tertunda, dapat

    melahirkan duka dan nestapa hebat

     

    Desember, kurasa tak lagi berwarna

    seperti film-film Richie Rich yang diputar tanpa bosan

    permen-permen Santa Claus yang rasanya mulai tawar

    lagu-lagu ketenangan yang justru menyeramkan

    paket-paket liburan yang cukup menguras tabungan

    pesan-pesan nyasar pemenang undian yang penuh tipu-bualan

    serta gema-gema iklan toko online yang tak peduli isi celengan 

     

    Kepada Desember,

    janganlah kau tanyakan kepada siapa saja

    tentang mimpi, pencapaian, harapan, keberhasilan,

    dan rasa suka yang tanpa mengandung duka

    kerana tiada yang mampu menanggung lara

    walau kaujanjikan kejutan dengan mendatangkan

    tahun yang baru dan lebih seru,

    sebab barang siapa saja yang kecewa

    berganti tahun adalah mimpi buruknya

    2020

     

    Dua Puluh Empat di Bulan November

    Di dua puluh empat di bulan November

    kita mengarungi malam dalam rindangnya

    purnama yang undur diri dari panggung megah

    : di langit yang sedang masygul

     

    Di dua puluh empat di bulan November

    kita tenun senyum dalam sebilah senyap

    dalam peluk yang tak lagi hangat

    : di beranda yang lekat dengan pohon keramat

     

    Di dua puluh empat di bulan November

    kita tulis kilasan peristiwa yang sumbing

    dari kisah yang mengandung kasih

    : di hamparan cangkir-cangkir yang ganjil 

     

    Di dua puluh empat di bulan November

    kita mengikrarkan ucap sehidup tanpa semati

    dalam derunya kata yang mengalun di sela-sela epitaf ibu 

    : di kenangan yang menganak pinakan danau di pipiku

     

    Di dua puluh empat di bulan November

    kita mencipta pasang dan surut

    dalam carut marut air laut

    : di curamnya air mata yang bermetamorfosa menjelma palung segara

    2020

    Menganyam Doa

    Dan, Kasih

    mari bersuci dan bergegas pergi

    menuju haribaanNya yang sunyi

    dengan bekal yakin dan percaya diri

     

    Bukalah genggamanmu, ketika

    bait pertama keluar dari bibirku

     

    Sebab, Kasih

    kita membutuhkan amin

    untuk doa-doa yang mengudara

    berserta iman untuk tercapainya

    pinta kepadaNya

     

    2020

    Menggambarkan Kisah di Peliknya Resah

    Sebelum segalanya terbayar lunas

    kita adalah sekumpulan buas

    yang mengarungi hamparan luas

    di harapan yang tandas

     

    “Berapa jam yang kauhabiskan untuk membaca dan menulis?”

    tanya seorang telada

    kita hanya diam tanpa raut manis

    pandai menggadaikan diri hanya karena haus eksistensi

    menggumuli diri sebab itu yang sedang trendi

     

    Hari esok adalah rahasia

    namun kita sudah berlagak tahu segalanya

    perihal apa dan bagaimana masa tua

    kita seakan hafal alur jalannya

     

    Dagu mendongak, mata menajam

    ingin terlihat gaya namun isi kantong boleh pinjam

    kita tak peduli mana ingin mana butuh

    asal pengikut bertambah, lagak pun harus bertumbuh

     

    2020

  • Ruang dan Waktu oleh Irwan Apriansyah

    author = Irwan Apriansyah
    lahir di Malingping, Lebak, Banten, 17 April 1989. Telah merampungkan studi di Fakultas Bahasa dan Seni – Universitas Negeri Yogyakarta. Beberapa karyanya termuat di Jurnal Sajak dan media cyber. Bergiat di Sindikat Rawarawa dan Susastra.

    PENEGASAN

    Ia terbangun
    Dengan seribu kecemasan
    Di matanya

    Kegelapan merambat di wajah langit
    Gemintang seolah redup
    Bulan tak lagi tembaga
    Dunia kehilangan warna
    Kata-kata menjauh dari lidah

    Sang kekasih bangkit, berjalan, terhuyung
    Mencari tempat paling sunyi
    Di mana hanya ada dirinya
    Dan bayang mimpi

    Barangkali
    Mimpi tak perlu ditafsir
    Sebagai wahyu
    Barangkali
    Tuhan tak memberi perintah apa-apa
    Barangkali cinta tak perlu diuji
    Tapi kenapa ia menuntut pengorbanan

    Ibrahim termenung dalam tanya
    “O Tuhanku,
    inikah cinta
    atau petaka?”

    Ibrahim terjaga
    Merenung serupa patung di kuil-kuil
    Antara takut dan harap
    Tangan langit mengusap putih nasibnya
    Usia yang senja
    Sebilah pisau di urat leher sang putra
    Sebilah pisau menagih penegasan
    Dari kemurnian cinta
    yang menyala dan menyulut
    selubung jiwa.

     

    RUANG DAN WAKTU

    Kau bertanya
    Apa itu ruang?
    Apa itu waktu?
    Dan kujawab:
    Ruang adalah dirimu
    Sebuah dunia yang menampung
    degup jantungku,
    yang menjaga darahku tetap mengalir.

    Dan waktu adalah aku
    Dalam diriku kenangan dan harapan
    Berjalan beriringan
    Darimu dan menujumu
    Kulihat wajahmu
    menyusun dirinya sendiri di masa depan
    Sebagaimana kulihat wajahmu
    Membentuk dirinya sendiri di masa silam.

    Tanpaku, kau hanya kekosongan yang dalam
    Ruang hampa yang sia-sia.
    Sedang aku, tanpamu,
    dunia mana yang dicipta
    tanpa adanya waktu?

     

    KASATMATA

    Aku gelombang
    Yang merambat di udara
    Mengantar suara dan cahaya

    Kau tak akan mampu mengejarku
    Dengan kecepatan benda-benda
    Yang kau cipta

    Aku gelombang
    Berkarib dengan materi
    Merambat di segala ruang
    Mengantar suara dan cahaya
    Hanya agar keduanya sampai kepadamu

    Bersamaku
    Kau dapat mendengar
    Sejarah menjerit dan meminta uluran tanganmu
    Untuk membebaskannya
    Dari belenggu penguasa
    Kau juga akan mendengar
    Sayup-sayup suara masa depan
    Yang tak jelas wujudnya
    Yang memanggil dan menagih jiwamu
    Untuk menjadi bagian dari dirinya.
    Bersamaku
    Kau dapat melihat dunia penuh warna
    Kelamnya dukacita, terangnya sukacita
    Sebab akulah yang mengantar cahaya
    Yang mengangkat kegelapan dari pangkuanmu
    Menepis segenap mimpi
    Agar kau berlapang dada menerima segala yang nyata
    Buka sepasang matamu dan terbangunlah dari mimpi
    Sebab nasib telah menghamparkan dua jalan,
    Jalan menuju hari kemarin
    Dan jalan menuju hari esok
    Keduanya ada, hanya kemurnian jiwa
    Kuasa memilih satu di antara yang dua.

    Aku gelombang yang setia kepadamu
    Ada di sekitarmu, tak tersentuh oleh jemarimu,
    Yang selalu ada dan senantiasa kasatmata.

     

    RISALAH

    Kuletakkan dunia lama ke pundakmu
    Hidup yang fana ke telapak tanganmu
    Beri aku makna
    Hidupkan lagi segala yang lama mati.

    Yang kau lihat dalam diriku
    Ada dalam dirimu
    Yang kau baca dari kata-kataku
    Tertulis dalam lembar nasibmu
    Yang kau kenang dariku
    Hanya bagian dari waktu
    Sebab aku pernah jadi tawanannya

    Kini aku melayang seperti kapas
    Menuju negeri azali
    Sebuah pesta yang tak dihiasi ledakkan
    Ataupun api
    Sebuah pesta yang penuh wangian mawar
    Dan kekasih abadi
    Maka usap mataku
    Karena dengannya telah kusaksikan
    Kelahiran dan kematian dunia
    Kecup bibirku,
    Dengannya kuwariskan senyum dan tawa
    Kepadamu.

     

    Catatan Redaksi:

    Puisi-puisi Irwan Apriansyah nampaknya memperlihatkan relasi kuasa antara Tuhan dan manusia. Meskipun akhirnya Tuhan telah memberikan (mewariskan) kekuasaan kepada manusia untuk mengurusi dirinya sendiri dan juga dunia, namun Tuhan tetap tak serta merta melepaskan dirinya dari ikatan kuasa itu. Saat manusia diuji dan membutuhkan pertolongan, Tuhan akan kembali hadir untuk memberi pertolongan.

    Dalam puisi-puisinya, Irwan Apriansyah nampak mencoba untuk menghadirkan sisi eksistensi manusia, bahkan mencoba menghadirkan relasi yang setara. Namun pada akhirnya, Tuhan tetaplah menjadi awal dan akhir segalanya, menjadi pusat yang selalu dominan.

    Dalam narasi tentang pengorbanan, Tuhan juga dihadirkan dengan kuasa penuh melalui tuntutan kepada manusia untuk membuktikan cinta kepada diriNya, yakni dengan meminta pengorbanan berupa hal duniawi yang paling dicintai manusia. Dalam titik ini, manusia sekali lagi tak memiliki pilihan. Hal ini kembali menunjukkan bahwa di hadapan Tuhan, manusia tak memiliki kuasa apa-apa.

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi