Solitude Pinus
Pinus-pinus tinggi menjulang
Menyangga kemelut malam di ujung dahan
Akar-akarnya jauh menghujam
Dalam sampai mendesak rahim bumi
Sulaman tanah basah dan bijian
Merangkai anak-anak angin
Yang ikut terikat di ekor zaman
Menetes di sepanjang zamrud khatulistiwa
Ribuan pasang, jutaan surut kelam sejarah
Menebal di pipi matahari
Seteguk lagi pagi muntah dari bibir cakrawala
Dengan jaring di tangan kita pun berjaga
Barangkali badai membawa gundah nasib
Kita peluk gemuruhnya dengan sisa sukma dan cinta!
Linggo Asri, Agustus 2019.
Di Kadipiro
Di Kadipiro
Aku melihat Malaikat meniup Malioboro
Ke dalam dadaku
Malam panjang dan
Puisi terbaca dari tangan udara
Sementara hawa hangat menyusun barisan sajak
Suara-suara membeku jadi peristiwa
Umbu, masihkah kau gunting alamat pulang?
Kereta panjang tanpa keberangkatan
Iman, berapa usia api kayu bakarmu? Tegak kayu pagarmu?
Masihkah serupa lagu penjaga masa lalu?
Ragil, di mana hilang sunyi yogamu?
Parangtritis tak kunjung menjawab, Kota Gede diam dalam bisu, dan Wonosari melontarku ke sudut kota
Teguh Ranu yang nyaStra, biarkan aku mengungsi ke dalam kertas kusam penuh coretan kelam itu
Emha yang Nadjib! Pinjamkan padaku sepasang Ainun elangmu
Untuk merobek kebebalan yang langgeng di kening zaman
Kini dunia memadat, bumi terpaku
Puisi harus terus lahir sebagai karikatur yang menggugat
Sebagai carangan dari perlawanan yang halus dan tak kentara
Sebab sastra adalah ruang
Di mana kesejatian tak bisa dibengkok-patahkan oleh aturan-aturan!
Yogyakarta, Agustus 2019
Jelaskan Bagaimana
Jelaskan bagaimana
Dengan sejuta kata dan bahasa yang tua
Sakit tak bisa diucap
Tertahan warna biru di ujung rasa kelu
Jelaskan bagaimana
Dengan hati segenggam dan darah sisa setetes
Cinta mau membuka pintu
Bagi tamu yang minta usia sekeras batu!
Sinangoh Prendeng, September 2019.
Sunyi tak Terbilang
Dalam panas membakar kutangkap cahaya
Meski malam pun
Kupungut gelap untuk menambal luka
Di ratusan warna dan segala cuaca
Ayat badai firman-firman hujan tak kentara
Demikianlah kini
Jauh di keremangan
Rindu tak tersangga bunyinya
Meski padam amuk darah
Hanya di nadi, Hu Allah
Sunyi tak terbilang!
Sinangoh Prendeng, September 2019
Presiden Sutardji
Seorang Presiden masuk hutan cari Sutardji
Kabarnya di kaki pohon purba ia meringkuk
Baru pada langkah ke-2019 Sutardji berhasil ditangkap
Tubuhnya yang renta dan harum digenggam, lalu dipaku ke dalam mulut
Langit temaram, asap membumbung, pekik raung-meraung
Ratusan juta rakyat sudah menunggu
Di atas podium istana
Presiden menangis sambil berteriak:
“Yang tertusuk padamu, berdarah padaku.”
Tapi kapan?
Puisi hanya igauan.
Sinangoh Prendeng, Oktober 2019.